25 - The Death
Akhir Kehidupan
.
.
.
Dalam ketakutannya akan kematian, Jimin masih bisa merasakan jantungnya berdentum-dentum kuat di balik rongga dadanya, menjaganya untuk tetap hidup. Namun, baginya ini terasa aneh, seakan-akan maut sengaja mempermainkan benaknya yang mulai dirambati oleh keputusasaan. Dia ingin hidup, akan tetapi sudah hilang kekuatannya untuk bertahan, sementara di dalam sini, jantungnya masih bertalu dan meminta kehidupan.
Setiap tarikan napas yang dia hembuskan kini terasa sangat bernilai. Mengapa dia baru menyadarinya sekarang? Jimin terlalu payah untuk berkomentar tentang makna kehidupannya setelah sekian lama bertempur demi kebahagiaan dunia. Betapa aneh, dalam sedikit kesempatan yang kini terasa siap membunuhnya kapan saja, Jimin memikirkan tentang banyak kemungkinan; seberapa besar peluangnya untuk hidup, seberapa banyak waktu yang dibutuhkannya untuk kabur, seberapa mudah kesempatannya untuk lenyap tanpa mengundang kecurigaan.
Gelombang rasa takut menggulung setiap organ yang dimilikinya, merontokkannya pada sebuah dasar tak bernama yang begitu gelap dan keramat. Jimin mulai berpikir, di ambang kegilaan yang mulai tumbuh dalam benak liarnya, bahwa mungkin dia tidak memiliki banyak peluang untuk lepas dari belenggu organisasi menyesatkan ini. Barangkali memang sudah waktunya untuk memeluk kematian, itulah yang bisa dia bayangkan ketika tetes-tetes hujan turun membasahi pakaiannya, menimbulkan rasa pedih yang amat menyiksa saat air membasuh luka terbukanya sementara dia terseret-seret berlari di antara barisan pepohonan. Dia tidak tahu harus pergi ke mana. Perasaan pulang yang dirasakannya telah lenyap bersamaan dengan denyutan di kakinya yang makin parah.
Malam kian larut, hujan semakin deras, begitu juga dengan kematiannya yang tinggal menghitung langkah.
Jimin memutuskan untuk berhenti sebab napasnya telah sampai diujung. Terengah-engah, dia biarkan tubuhnya merosot di atas tanah berlumpur, lalu menyandarkan punggungnya ke sebuah pohon besar yang begitu dingin dan berlumut. Kedua kakinya diluruskan, dan ketika matanya menatap apa yang ada di sana, separuh nyawa Jimin seperti ditarik keluar dengan paksa. Perban di pahanya telah tertutup sepenuhnya oleh darah yang berkilat hitam dalam tempaan sinar bulan. Sejauh yang dia duga, pahanya membengkak dan suhunya sangat panas walau udara di sekelilingnya dingin. Sekarang Jimin tidak bisa menahan diri untuk membuka perbannya, tetapi dia tidak sanggup untuk melihat apa yang ada di baliknya. Bisa jadi keadaannya jauh lebih buruk.
Tetapi, sebesar apapun keinginannya untuk melihat luka, Jimin tidak punya kekuatan lagi untuk sekedar mengangkat lengan. Rasa-rasanya seluruh tulang di balik kulitnya telah meleleh dan dia tak punya penyokong untuk duduk tegak. Posisinya miring, dengan kepala yang terkulai di atas bahu. Tangannya jatuh tersampir di atas tanah, seakan dia tak peduli bila saat itu ada ular yang menggigit jarinya. Jimin hanya bisa terpekur menatap jauh ke dalam nasibnya. Kesudahannya akan jelas. Sebentar lagi semua selesai. Lingkaran telah utuh, dan Jimin akan pergi.
Benar, kematian tampaknya jauh lebih mudah, kendati Jimin sama sekali tak pernah memikirkan betapa sakit ketika melaluinya. Dia punya harapan yang sangat besar untuk hidup, akan tetapi kali ini semua seakan lenyap seperti dilalap api. Tak pernah terbayang olehnya untuk sekarat di tempat semacam ini, di balik sesemak gelap yang basah, penuh nyamuk dan serangga-serangga kecil.
Pikiran-pikiran akan kematian telah masuk di benaknya bagai tinta yang dituang ke dalam air. Pekat dan penuh perasaan sakit yang terburuk.
Jimin mulai membayangkan Ayah dan Ibunya, adik serta keluarganya yang dia sayangi ... para member yang selama ini berbagi suka dan duka bersamanya, kini seakan-akan mereka berada di tempat yang jauh sekali, dimensi yang berbeda. Rasa-rasanya mereka telah berpisah dalam waktu yang sangat panjang, tanpa salam perpisahan maupun penjelasan. Jimin meyakini mungkin inilah yang terbaik, setelah cukup banyak menerima kebahagiaan di dunia, kini Tuhan harus mencabut nyawanya, meski cara kematian yang dialaminya agak begitu kejam.
Oh, Jimin tak peduli lagi. Seluruh tubuhnya basah, gemetaran dan sakit. Dia tidak mau memikirkan apapun selain memejamkan mata dan mencoba memeluk kegelapan yang nyaman. Nafasnya mulai melambat, tenggorokannya sekering padang pasir, dan air mata telah membuat selokan kecil di wajahnya.
Namun, setelah cukup lama waktu yang dinikmatinya sebagai kedamaian tanpa batas, Jimin merasakan sesuatu yang lain, muncul di tengah kesadarannya yang mulai menutup. Sebuah pergerakan ... gemeresak samar di sekelilingnya. Dedaunan kecil yang lembab bergoyang, menggesek kulitnya yang basah, menciptakan citra dingin yang selamanya membeku di permukaannya. Ada kekuatan lain yang menyeret Jimin untuk pergi ke arah cahaya, menjauh dari kegelapan.
Dia melihat Gong Joo saat membuka matanya.
Perempuan itu berlutut di depan Jimin, dengan pakaian tipisnya, melawan genta angin dan gerimis kecil yang turun di tengah malam. Dia memandang Jimin dengan ekspresi yang aneh, seakan-akan sedang menahan sesuatu yang meluap-luap dari dalam dirinya. Bibirnya bergetar. Tampak dari sorot matanya yang berkaca-kaca di dalam kegelapan, Jimin pikir dirinya berkhayal, sebab dia sadar batas kegilaannya sudah sangat dekat. Tetapi, bila yang dilihatnya benar terjadi, itu adalah tatapan sendu Gong Joo yang tengah menangis ....
Tidak.
Jimin tidak percaya dengan matanya, dan akan selamanya demikian. Dia menepis semua rasa gentarnya, menatap ke dalam manik kelam Gong Joo dan berbisik lirih.
"Bunuh aku."
Jimin sama sekali tidak takut ataupun waspada. Ini menjadikannya sasaran mudah, tetapi toh dia tidak peduli. Dibunuh sepertinya adalah ide paling bagus, sebab Jimin tidak bisa memperkirakan kekuatannya untuk sekarat di tengah suhu dingin sebelum mencapai kematian. Rasanya pasti akan lebih menyakitkan bila mati secara perlahan-lahan.
"Bunuh aku ... Gong Joo ...." Jimin berbisik lebih parau, mengharapkan perhatiannya.
Akan tetapi Gong Joo tak bergerak. Hanya menatapnya di tengah kelam kabut malam yang menyembunyikan mereka dari perhatian sekitar. Lagi. Ekspresi itu tampak semakin aneh di matanya. Dia ... seakan-akan sedang melihat Gong Joo yang sedih, rapuh dan begitu khawatir. Jimin bertanya-tanya, apakah wanita yang ada di depannya ini memang benar ada, ataukah hanya ilusi semata?
Jimin tak bisa lagi membedakan mana kenyataan dan mana ilusi. Gong Joo di depannya barangkali adalah bayangan yang diciptakan oleh otaknya yang sekarat, atau bisa saja perempuan itu memang ada di sana. Tetapi kemungkinan kedua sungguh tidak mungkin. Gong Joo bisa berbuat kejam hanya untuk menahannya agar tidak kabur. Bila orang di depannya bukan ilusi belaka, semestinya sekarang kepala Jimin sudah dibenturkan lagi ke batang pohon lalu dia akan kembali terbangun di tempat semula―di dalam penjara kecil itu. Akan tetapi yang terjadi sekarang sungguh tidak sesuai dengan dugaannya. Gong Joo hanya diam seperti patung. Memandangnya. Hanya terus memandangnya.
Pada saat itu Jimin merasa tak ada siapapun lagi yang lebih penting dari Gong Joo. Di hutan itu hanya ada mereka berdua. Waktu seolah bergerak sangat lambat, dan tahu-tahu Jimin kepikiran untuk mengungkapkan segalanya kepada perempuan itu.
Dia membuka mulutnya yang sekering pasir, memaksa diri untuk bicara walau suara yang keluar dari tenggorokannya tak lagi jernih.
"Gong Joo― "
"―kau akan segera mati."
Jimin tidak keliru sama sekali. Setelah mendengar keseluruhan informasi dari dua orang pria itu, Jimin meyakini di dalam hatinya, bahwa malam ini bukan hanya dirinya saja yang akan menjemput maut, tetapi mungkin akan ada empat, lima, sepuluh, atau bahkan belasan nyawa yang melayang. Meski tindakannya tampak sia-sia (sebab perempuan yang ada di depannya bahkan hanya sebuah ilusi tak bernyawa) Jimin entah bagaimana tidak bisa membiarkan rahasia gelap itu bersembunyi di dalam benaknya yang sekarat, yang akan ikut lenyap beserta jiwanya yang berhembus pergi dari raga. Di penghujung akhir hidupnya yang menyedihkan, setidaknya Jimin tak ingin meninggalkan apapun sekalipun itu sebuah dendam.
"Mereka akan membunuh semuanya."
Jimin susah payah berkata. Keringat dingin berdesir di kulitnya, walau pada kenyataannya dia tidak benar-benar bisa merasakannya. Sebab lumpuh perlahan-lahan menyerang anggota tubuhnya. Dimulai dari jempol-jempol kakinya, merambat naik ke betis, kedua lututnya, pahanya yang luka ....
Jimin merasakan nyawanya mulai pudar dari tubuhnya.
"Kau tidak bisa ... kabur dari dosamu."
Gong Joo masih diam. Kelam matanya yang mirip jelaga tampak penuh dengan lapisan sejarah hidupnya yang tak terjangkau. Jimin melihat kepahitan, kesedihan, serta keputusasaan melebur di pupil matanya laksana anjing kesepian yang tak mengenal apapun kecuali luka buruk di masa lalu.
"Gong Joo...."
Tubuh dan nyawanya rasanya hampir berpisah. Malaikat maut pasti sudah mencabut nyawanya hingga sepertiga jalan. Lumpuh itu merambat ke leher Jimin, merangkak naik menuju ubun-ubun kepalanya yang kini memberat. Dia merasakan kekuatan yang besar mulai memaksanya untuk menutup mata. Sungguh usaha yang menyedihkan untuk mempertahankan semuanya.
"Kumohon―"
Sebab itulah, Jimin menyerah untuk bertarung dan melepas pertahanannya.
"―pulangkan aku."[]
Selamat malam :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top