23 - The Suddenness
.
.
.
Langit malam tengah diselimuti oleh kemuraman hujan yang menerpa atap mobil selagi kendaraan tersebut meluncur membelah jalanan padat Seoul.
Begitu sulit bagi Mijin untuk mengabaikan gelegar guntur, embusan badai yang terhempas di kaca-kaca pertokoan, serta derak angin di antara tiang-tiang listrik kendati dia seharusnya lega setelah dinyatakan tidak terlibat apapun dalam penculikan Jimin. Sebab sampai detik ini kepalanya masih terasa kacau. Di samping memikirkan betapa banyak permasalahan dan kapasitas pertahanannya yang hampir jebol, Mijin tidak bisa menyingkirkan perasaan bahwa ada sesuatu yang keliru, yang kini hinggap di benak setiap orang yang mengenal dirinya.
Dia tengah menatap kosong sesuatu di balik jendela ketika tahu-tahu terdengar deham tertahan seseorang dari arah bangku kemudi. Han Gi sudah memperhatikannya semenjak beberapa menit lalu, tampak tenang sekaligus muram. Matanya memandang Mijin lewat spion sejenak sebelum melontarkan kalimatnya dengan pelan.
"Anda pasti sudah mendengar keseluruhan ceritanya di kantor tadi," ujarnya. "Ada kemungkinan Park Jimin dibawa ke Yangju. Akan tetapi tim tidak bisa melakukan penyelidikan tanpa perintah dari atasan. Kepala penyelidikan bilang kami harus menunggu kabar dari CCTV pusat yang sebentar lagi tiba, dan apabila datanya akurat, kita segera berangkat ke sana."
Mata Mijin menyipit menahan deguk liar di dalam perutnya yang memberontak panik saat mendengar penjelasan Han Gi. Memikirkan kawanan penjahat yang bisa saja saat ini telah melukai Jimin menjadi alasan mengapa tangannya tak bisa berhenti gemetar. Ditautkan jemari berkeringatnya dengan erat, seakan cara itu bisa membuatnya tenang. Namun, semua itu sia-sia.
Maka, Mijin memilih untuk diam, bergeming menatap pemandangan di luar dengan seluruh pertanyaan yang menggantung di dalam kepalanya. Sementara mobil mulai berbelok ke sebuah lintasan landai di penghujung jalan. Hujan menggempur jendela mobil. Jendela-jendela kini berwarna kelabu kusam sebelum akhirnya menjadi gelap. Kendaraan itu melambat, dan setelah benar-benar berhenti, suara hujan terdengar makin keras.
Deru angin kian kencang dan gumam keributan terdengar begitu jelas ketika mereka berdua turun. Kerumunan di depan pintu gerbang dorm tampaknya adalah gabungan dari para penghuni sekitar dan wartawan haus berita yang saling berjinjit serta menjulurkan leher tinggi-tinggi demi bisa mengintip lewat atas pagar yang ditutup. Han Gi memimpin jalan, melewati berderet-deret mobil polisi yang diparkir sembari menggumamkan sesuatu yang kedengaran seperti pengenalan identitasnya, dilihat dari reaksi sebagian besar orang yang menyingkir memberinya ruang. Sementara Mijin hanya menundukkan kepala sepanjang perjalanan sampai ke depan teras. Firasat aneh di dalam dadanya kembali datang bagai ombak pasang yang menggulung. Mendadak dia merasa takut untuk masuk ke dalam dorm.
Pintu utama dijeblak terbuka. Seorang polisi berwajah cemberut yang tadi mampir ke kantor hanya untuk menyemburkan amarahnya menghadap mereka.
"Aku sudah mencoba meyakinkannya, tapi dia tetap keras kepala," katanya dengan nada jenuh kepada Han Gi, yang hanya dibalas tatapan kecewa sebelum pria itu menyeruak masuk dan berlalu menjauh. Mijin mengikuti di belakangnya, dalam benaknya dia tahu siapa yang dimaksudkan oleh polisi itu.
Beberapa member BTS berkumpul di ruang tengah, masing-masing dengan tampang seperti kehilangan harapan yang membuat kejang mengerikan di dasar perut Mijin kembali lagi. Yoongi, Seokjin, Jungkook dan Hoseok bersandar lemas di kursi sofa. Kelihatan menderita dan pucat pasi. Sementara Namjoon tampaknya sudah mencapai level ketakutan yang tidak wajar. Tangannya menangkup wajah. Kedua sikunya yang bergetar berada di lutut. Seorang staf agensi yang duduk di sampingnya, yang tampak sama merananya, memeluk bahu Namjoon untuk menenangkannya. Tanpa sadar, Mijin mendekap erat tubuhnya sendiri seperti sedang menahan sengatan rasa sakit. Dia merasakan tekanan rasa bersalah mencoba menenggelamkannya dari berbagai sisi.
Akan tetapi manajer Sejin tampaknya menjadi yang paling tenang di tengah kekacauan ini, meski tampangnya sepucat kertas dan cara berdirinya menimbulkan kecurigaan bahwa dia sedang berusaha bersikap tegar. Dia mengangguk samar saat bertemu pandang dengan Mijin, entah bagaimana tatapan dari balik kacamata kotaknya memberi kesan menusuk Mijin untuk ikut merasakan kepedihan serta rasa sakitnya.
"Aku sudah dengar semua laporanmu." Manajer Sejin tahu-tahu berkata sesaat setelah Mijin berada di dekatnya.
Mijin tampak terperanjat beberapa detik.
"Kuharap ini berarti," katanya agak ragu, "sekarang kau percaya kepadaku?"
Manajer Sejin hanya terdiam dan memandangnya hampa, seakan-akan dia tidak memiliki jawaban yang cocok untuk menjawab pertanyaannya. Mijin merasakan matanya memanas, dan dia mendadak merasa bodoh sekali atas semua harapan yang telah dipupuknya.
Mijin berkata lirih, "Sejin-ssi, kumohon," dipandangnya manajer Sejin dengan sorot permohonan yang begitu menyakitkan. "Aku tidak ingin kalian semua membenciku seperti ini."
"Mijin, aku hanya ...," Manajer Sejin mengusap dagunya dengan berat hati, memikirkan kalimat yang tepat. "... tidak menyangka dengan apa yang selama ini kulihat dan kudengar darimu."
"Kau sudah tahu kalau dia menipuku." Mijin berujar parau, mendapati setetes air mata turun melewati pipinya. Dia melangkah lebih dekat saat dilihatnya manajer Sejin tidak menanggapi apapun, meraih sejumput kain kemeja di bagian dadanya dan melanjutkan. "Andai aku menyadari lebih awal, andai aku tidak mempercayainya, kekacauan ini tidak akan terjadi!" dia berkata dengan gemetar, penuh emosi. "Sejin-ssi, sekarang aku kehilangan kepercayaan orang-orang, dan menurutmu apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan ganti rugi atas semua―"
"Mijin, tolong dengarkan aku!" hardik manajer Sejin, mencekal kedua tangan Mijin yang mengguncang dadanya sampai-sampai kulitnya memerah. Dia berdiri tegang sembari menatap Mijin dengan sorot kecewa. Wanita itu balik menatapnya cemas. Kedua bahunya bergetar karena takut.
"Kami semua butuh waktu untuk menelan kenyataan ini. Apakah kau tahu sudah seberapa besar kekacauan yang terjadi akibat ulah temanmu itu?"
Mijin membeku di tempatnya. Dia tidak bisa mengatakan apapun, akan tetapi manajer Sejin nampaknya tidak membutuhkan jawabannya sekarang, sebab pria itu langsung melanjutkan dengan emosi.
"Aku tahu," lanjutnya. "Aku tahu kau bukan satu-satunya orang yang patut disalahkan. Tetapi pentingkah untuk menanyakan apakah kami percaya kepadamu sekarang? Semuanya sudah terlambat, Mijin. Sudah terlambat! Identitas pelakunya bahkan sudah ditemukan, dan kita masih terombang-ambing di tengah kepastian tempat penyekapan Jimin! Jadi, aku memohon kepadamu, maukah kau sedikit saja berpikir dengan kepala terbuka? Apakah dalam kekacauan ini kau masih tega memikirkan betapa penting rasa percaya kita kepadamu, sementara di luar sana ada seseorang yang jauh lebih membutuhkan perhatian kita?"
Kata-kata itu menampar Mijin bagai sengatan lebah di musim panas yang kering. Pada saat itu, Mijin merasakan kepedihan dan rasa malu yang besar mencabik seluruh organ tubuhnya. Dia menyadari kesalahan yang paling fatal ada di dalam benaknya sendiri. Tentang kekerasan hati yang membuatnya terjebak dalam ketakutan akan ditinggal sendiri dan diabaikan.
Manajer Sejin benar. Semestinya dia tidak boleh seegois ini.
"Sejin-ssi ...,"
"Akhir yang tragis untuk hubunganmu dengan Gong Joo," potong manajer Sejin. Tatapannya kini berubah dingin, sampai-sampai Mijin merasakan bulu kuduknya merinding ketika dia membalas sorot tajam manajer Sejin. "Sekarang setelah kau mengatakan semuanya kepada polisi, kita hanya bisa berharap bahwa dari hasil interogasimu itu mereka menemukan jawaban." Dia menambahkan dengan muram.
Mijin belum sempat menjawab apapun saat dilihatnya manajer Sejin berbalik, menjauh dari sudut ruangan dan melangkah ke dalam koridor yang gelap, yang barangkali dilakukannya untuk mencari tempat serta waktu untuk meredakan emosinya. Dia tengah menatap hampa tembok putih di depannya ketika mendadak dihantam oleh sebuah kesadaran.
Mijin berpaling untuk melihat sekeliling, memandang wajah para member lain yang seketika memunculkan semacam perasaan berdosa seakan menembus jantungnya bagai ribuan jarum kecil yang amat menyiksa.
Dia berkata dengan sedih, "Aku ...."
"Tidak perlu minta maaf." Yoongi tahu-tahu menyela, duduk tegak dari sandaran kursinya dan berkata dengan nada lirih. "Aku tidak sedang dalam suasana yang baik untuk mendengar pembelaan Noona. Sebab menurutku kata-kata Hyung-nim tadi seharusnya sudah cukup membuat Noona sadar tentang semuanya."
Sesuatu yang sedingin es membanjiri dasar perut Mijin ketika mendengar tutur Yoongi. Seketika, keheningan tegang menyelimuti ruangan itu selama beberapa saat.
"Noona, apakah sebelumnya Hyung-nim tahu tentang Lee Gong Joo?" Hoseok mendadak bertanya. Matanya melirik gelisah ujung lorong gelap tempat manajer Sejin menjauh tadi, seakan dia membutuhkan kejelasan atas sikap manajer Sejin yang tiba-tiba berubah mencurigakan.
Mijin bergeming sebentar, menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan lagi semuanya dari awal. Dia tidak ingin mengingat-ingat kembali kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lalu, akan tetapi mengabaikan pertanyaan Hoseok berakibat sama buruknya dengan mempermalukan dirinya sendiri.
"Ya," akunya sedih. "Pernah suatu hari, Taehyung menuduh Gong Joo sebagai sosok yang muncul di dalam mimpinya. Aku yang mendengar ceritanya menjadi murka, lalu mengadu kepada Sejin-ssi ...," Mijin menjeda lama, menahan napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "kalian tahu pada saat itu aku menganggap Gong Joo di atas segalanya. Maka dari itu, kupikir kecurigaan Taehyung sama sekali tidak beralasan, jadi aku mati-matian membela Gong Joo ... sampai-sampai Sejin-ssi percaya kepadaku."
Terdengar geraman sumpah serapah yang lolos dari mulut salah satu member. Mijin memperhatikan, tak jauh dari tempat Yoongi duduk, itu adalah bentuk kemarahan yang dilontarkan oleh Namjoon. Dia menangkap air mata dan keringat membasahi wajah Namjoon yang merah padam, membuat anak itu tampak seperti baru saja diceburkan ke dalam kolam.
"Taehyung juga bercerita kepada kita tentang mimpinya, tetapi dia sama sekali tidak mengatakan soal Gong Joo!" kata Namjoon dengan nada menantang. Dia berpaling ke kanan-kiri, menatap wajah-wajah di sekelilingnya dengan nyalang. "Lalu ke mana anak itu sekarang?" Namjoon bertanya kepada staf di sampingnya, akan tetapi dia hanya mendapatkan gumaman entah.
"Itu karena aku memohon kepadanya!" sahut Mijin, terlalu panik. Dia merasakan cubitan lebih keras di jantungnya. Sekali lagi kesalahan fatalnya terungkap. "A―aku memohon kepadanya untuk tidak berpikiran buruk kepada Gong Joo―Wanita itu terlalu rapuh. Maksudku, dulu kusangka begitu, sehingga kupikir tuduhan Taehyung terlalu kejam. Aku marah dan menangis, mengatakan kepadanya untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Oh, andai aku tahu semuanya akan menjadi sekacau ini, aku ... aku sama sekali tidak menduga ...."
Mijin menundukkan kepalanya, mengusap wajahnya yang mendadak terasa sangat panas dan tidak nyaman. Dia mendengar suaranya sendiri gemetar tertahan ketika melanjutkan kalimatnya.
"A―aku begitu bodoh! Se―semestinya kurobek saja mulutku saat itu! Semestinya aku tidak bertemu dengannya!"
"Sayangnya sekarang semua sudah terlambat." Yoongi berdesis lirih. Matanya memancarkan kekecewaan yang luar biasa besar ketika menatap Mijin. "Noona baru sadar apa itu rasa sesal ketika sudah mengalami sendiri dampaknya."
Wajah Mijin kemudian membara akibat tamparan dari keputusasaan. Pelupuk matanya berkejap memandang lantai sebelum dia merasakan cairan panas tumpah mengalir di pipinya. Detik selanjutnya dia menyadari bahwa dirinya telah hancur oleh ketragisan yang dialaminya.
Sementara di dalam ruangan luas yang kini terasa seakan berkali-kali lipat menyusut lebih kecil, napas seluruh orang tercekat. Dan, kendati malam di luar masih bertempur dengan rinai hujan yang menghunjam, di dalam hati setiap wajah yang menatap kesedihan pada diri Mijin terasa begitu kosong, seakan-akan mereka tak memiliki apapun untuk saling menguatkan.
Sebab kenyataannya, memang tidak ada apapun yang tersisa. Park Jimin adalah perwakilan dari seluruh hal baik yang selama ini melekat dalam hati orang-orang. Kehilangan dirinya, berarti adalah sebuah kehampaan.
-oOo-
Song Chaewong mengamati semua itu dari jauh ketika sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di pundaknya.
"Pak, laporannya telah tiba."
Dia memutuskan untuk meninggalkan situasi ruang tamu yang begitu muram dan berjalan mengikuti Han Gi, menelusuri koridor lenggang dan berhenti di serambi depan pintu masuk. Pendar lampu kepolisian yang menyala terang menembus lewat selapis gorden di permukaan jendela. Malam ini begitu riuh, pikir Chaewong. Dia bisa mendengar gemuruh guntur, gumam keributan dari para wartawan di luar, serta tangisan Mijin yang samar mengisi udara di sekelilingnya ... lebih banyak suara daripada yang seharusnya terdengar.
"Pengkhianatan yang membawa petaka." Chaewong bergumam sembari berpaling dan melirik ke ujung koridor, ke arah ruang tamu.
"Ya?" Han Gi menaikkan alisnya, kemudian ikut bergumam setuju saat memahami maksudnya. "Agak mengecewakan, memang," dia melanjutkan setelah menghela napas berat. "Wanita bernama Mijin itu bilang dia sangat menyayangi Gong Joo seperti saudara sendiri. Tak tahu saja bahwa selama ini dia hanya dimanfaatkan."
"Terkadang bukan hanya menjadi artis saja yang berisiko." Chaewong menyimpulkan.
"Anda benar," kata Han Gi.
"Aku sudah mendengar hasil interogasimu dengan Mijin," kata Chaewong, mendadak suaranya berubah dingin. "Kau yakin dia tidak sedang berbohong, kan? Sebab Kim Sejin bilang, Mijin masih berhubungan dengannya lewat pesan ponsel selama hampir dua puluh menit sebelum kejadian, tetapi wanita itu mengaku kepadaku bahwa dia hampir-hampir tidak menghubungi laki-laki itu selama seharian penuh."
Han Gi mengangguk tegas. "Aku sudah memeriksa Mijin dan tidak menemukan ponsel. Dia bilang dia telah kehilangan ponsel sejak kemarin pagi setelah acara bertamu di rumah Gong Joo. Kupikir ini masuk akal. Gong Joo mengambil ponselnya, lalu mengintai seluruh kegiatan Mijin dan menemukan kesempatan mengunjungi dorm dengan berpura-pura membalas pesan Sejin. Dengan kata lain, selama dua puluh menit sebelum kejadian dimulai, Sejin tanpa sadar telah berbalas pesan dengan pelaku penculikan dan memberi informasi tentang situasi di dalam dorm."
"Ya, aku paham." Chaewong menggosok tengah dahinya dengan letih. Dia berhenti sejenak, mengamati pendar cahaya merah-biru yang nyala redup di balik gorden jendela, menembus menerangi pot bunga yang berdiri di samping rak sepatu.
"Apa keluarga korban sudah dihubungi?" tiba-tiba dia berceletuk.
Han Gi mengangguk, berdeham sebentar sebelum menatap ke dalam mata Chaewong. Suaranya lebih lirih ketika menjawabnya, sampai-sampai Chaewong bisa mendengar adanya perasaan iba di dalamnya.
"Sedang dalam perjalanan dari Busan."
"Baiklah." Chaewong mengangguk. Satu tangannya dijejalkan ke dalam saku. "Jadi, sekarang aku ingin dengar laporan terbaru yang mau kau sampaikan."
Han Gi berdeham, membetulkan topi yang menutup sebagian wajahnya, lalu mengembuskan napas berat sebelum menjawab, "Petugas dari pusat CCTV Gangnam baru saja menelepon, Pak. Mereka melaporkan ada mobil mencurigakan berplat 23 GU 8337 yang melintasi sebuah dataran terlarang wilayah Yangju―sebelumnya diketahui bahwa mobil itu telah parkir selama berjam-jam di dekat persimpangan nomor 36, sekitar lima puluh meter dari dorm."
"Kau sudah memeriksa waktu rekamannya?" Chaewong menatap Han Gi tanpa berkedip.
"Ya," jawab Han Gi. "Semuanya cocok. Mobil itu mulai menyalakan mesinnya pada pukul empat sore tadi, sementara laporan dari saudara Kim Sejin mengatakan bahwa mereka meninggalkan korban pukul setengah empat. Tiga puluh menit adalah selisih waktu yang cukup untuk menerobos ke dalam dorm dan menculik korban."
Alis Chaewong menukik tajam. "Apakah ada rekaman yang membuktikan bahwa mobil itu mengangkut korban ke Yangju?"
Han Gi menghela napas berat. Dia menggeleng lemah. "Sayangnya tidak, Pak. Dalam hal ini kurasa penculik sudah memperkirakan tempat-tempat tak terjangkau CCTV. Akan tetapi dia kurang teliti menyadari perbedaan waktu yang jelas-jelas menimbulkan kecurigaan. Tim kami yakin bahwa mobil itu tengah melakukan pengintaian sebelum melancarkan aksinya."
Chaewong merasakan kepuasan liar menguasai dadanya, tampaknya menyadari semacam lecutan semangat membara di dalam dirinya. Untuk sejenak dia tidak bisa berkata-kata. Informasi itu memberi dampak yang cukup untuk membuatnya tersentak dari kesadaran.
"Oh, astaga," katanya, menepuk dahinya dengan perasaan keheranan. "Jadi ini benar adalah sebuah keterkaitan antara penculikan Jimin dan kasus mafia penyelundupan organ yang bersembunyi di daerah Yangju―yah, oh, astaga, seharusnya aku mempercayai Yoonwoo tadi."
Chaewong berdiri dengan gelisah, hampir-hampir kesulitan menyembunyikan rasa sesal dan kemarahan yang kini bercokol di dalam dirinya. Dia menatap Han Gi yang kini balas menatapnya dengan alis mengerut.
"Kau sudah tahu semuanya, iya kan?" katanya curiga.
Han Gi mengangguk dengan tenang. "Yoonwoo sudah memberitahu saya sebelum dia bercerita kepada anda. Setelah laporan dari CCTV Gangnam turun, dia tidak menunggu Bapak lagi dan langsung terjun ke lapangan. Tim yang ada di dorm kini sudah bersiap berangkat untuk mengamankan Yangju," dia mencondongkan tubuhnya ke jendela, mengintip lewat celah gorden yang dibuka.
"Aku akan menyuruh beberapa staf menjaga tempat ini sementara kita bisa bersiap untuk berang―"
"PAK KEPALA!"
Raungan suara itu muncul dari ujung koridor. Chaewong berbalik badan, mengerutkan dahinya saat melihat salah satu anak buahnya dan Kim Sejin mendadak menghampiri mereka, lalu diikuti oleh, beberapa detik setelahnya, Mijin yang hampir kehilangan warna wajah saking pucatnya, dan beberapa member BTS yang tampak membelalakkan mata karena ketakukan. Mereka berhenti di depannya dan bernapas terengah.
Pada saat itu, Chaewong memiliki firasat ada sesuatu yang tidak mengenakkan sedang terjadi.
"Ada apa?" tanyanya waspada.
Polisi itu menegakkan tubuhnya, kemudian berbicara dengan suara lantang kendati terdengar sedikit bergetar di telinga Chaewong.
"Salah satu keluarga korban, Kim Taehyung, tiba-tiba saja menghilang, Pak. Dia mengirimkan pesan bahwa saat ini dirinya sedang dalam perjalanan ke Yangju seorang diri."[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top