21 - The Illegality

Sebuah Ilegalitas


.

.

.

Jimin sekali lagi menemukan dirinya terbaring dalam keadaan yang tidak bisa dia jelaskan. Pikirannya entah bagaimana terasa hampa, kendati jauh di dalam hatinya dia masih ragu tentang adanya harapan. Berada di dalam ruangan kecil ini telah membuatnya menapak lebih dekat ke ambang kegilaan. Di sini. Masih di sini. Jimin berpikir mati rasa tentang nasib dirinya. Sudah sejauh mana dia pergi? Sudah berapa lama dia meninggalkan dorm? Tak ada seorangpun yang bisa menjawab jeritan itu. Tak ada apapun yang tersisa.

Jimin merasakan kesunyian menyergap ruangan itu bagai udara dingin yang mencekik. Lampu bohlam yang tergantung di langit-langit bersinar redup, nyaris kehabisan daya. Hujan di luar telah berhenti, hanya menyisakan kelam langit hitam yang tampak dari celah jendela yang bolong. Dalam kesuraman itu Jimin terpaku, berbaring di atas dipan sambil mengintai sekelilingnya.

Kosong.

Ujung-ujung jemarinya gemetar, menjalar pada sekujur tubuhnya, membuatnya kesulitan mengambil napas sebab jantung di dadanya berdentum-dentum cepat. Dalam sekejap Jimin menyadari dirinya tengah dilanda hasrat besar untuk segera melarikan diri.

Dia memaksakan diri untuk duduk, lalu mendadak merasakan sengatan nyeri di bagian belakang kepala.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengingat rangkaian kejadian mengerikan itu. Gong Joo dan wajah bengisnya yang kejam. Hentakan rasa sakit seperti dipukul palu besar. Jimin sangka dirinya telah mati setelah kepalanya dibenturkan ke tembok, akan tetapi kali ini dia lega mengetahui keabsahan atas kesempatan hidupnya yang kesekian kali. Sakit di tubuhnya masih bisa ditoleransi, kendati satu kakinya tidak bisa berkompromi. Paling tidak, Jimin menenangkan dirinya, dia masih bisa berjalan walau harus diseret.

Kakinya tergelincir dan tersaruk-saruk ketika dia bangkit dan mengambil langkah menuju pintu. Tepat di ambangnya, Jimin meraih kenop dengan hati-hati, memutarnya perlahan, lalu berharap bilah kayu itu terbuka dengan mudahnya―itu yang dia pikirkan sebelum menemukan dirinya terjebak di dalam ruangan sempit itu sendiri; pintunya ternyata dikunci dari luar.

Oh, sialan.

Dengan langkah terseok sembari menumpukan beban pada tubuh bagian kirinya, Jimin menghampiri jendela di ujung ruangan. Dia menyentuh bilah papan kayu yang telah lembab dan lapuk sebab air hujan selalu membasahinya. Mudah, pikirnya dengan tenang. Jimin menarik papan itu agak kuat, lalu sebagian kayu di bagian tepinya perlahan lepas. Dia menarik lebih kuat, mencongkel paku dengan ujung jari, menarik satu bilah lagi, mencongkel lagi, melakukan hal yang sama pada bilah ketiga, dan mendapatinya dirinya telah sukses membuat jalan keluar sendiri.

Jimin melongok sebentar ke luar jendela. Dirasakannya angin malam sedingin es menampar-nampar mukanya, membuat matanya berair. Pohon-pohon yang berdiri di seberangnya entah bagaimana tampak pendek dan sangat dekat, seakan-akan tangannya sanggup meraih puncak meski di dalam kegelapan. Ada yang aneh, pikirnya. Selagi matanya menjelajah sekitar, Jimin mendadak dikejutkan oleh kenyataan bahwa tempatnya berpijak saat ini cukup jauh dari tanah. Oh, tidak, ini lantai kedua! Dia berpikir dengan merana. Kalau begini caranya dia tidak bisa keluar ... dia tidak bisa melarikan diri ....

Itulah yang dia pikirkan sampai Jimin sadar bahwa dirinya telah keliru.

Jimin memperhatikan lebih teliti kegelapan di bawah dagunya. Ada susuran pijakan semen sempit yang mengelilingi sisi dinding bangunan, kira-kira berjarak tiga meter dari bibir jendela―agak jauh dari perkiraannya. Kemungkinan dia bakal jatuh terhempas ke tanah alih-alih bertumpu pada pijakan itu. Akan tetapi kini rasanya isi kepala Jimin tidak berfungsi dengan baik untuk memikirkan resiko. Hanya ini jalan satu-satunya untuk bebas ... keluar dari ruangan sempit mirip penjara ... lalu pohon-pohon itu ... Jimin bisa melarikan diri ke hutan, walau entah bagaimana ide itu kedengarannya tidak menyenangkan. Dia bisa saja dimangsa binatang buas sebelum mencapai kota....

Jimin mengenyahkan pikiran itu dari benaknya. Tidak, tidak, tidak! Ini bukan saat yang tepat untuk takut kepada alam alih-alih penjahat keparat mengerikan macam Gong Joo. Dia berpikir demikian selagi mengambil napas dalam-dalam dan meyakinkan dirinya. Tangannya bergerak ke bibir jendela. Jimin mendorong dirinya naik ke atas, lalu terlambat mewaspadai sakit luar biasa seakan-akan seseorang telah menempa besi panas di pahanya.

Jimin mengatupkan rahangnya rapat-rapat, menahan sekujur tubuhnya yang menegang dan berteriak kesakitan setiap kali dia menarik dan mendorong dirinya untuk bebas.

Pada menit berikutnya, Jimin telah berhasil sepenuhnya berada di luar jendela, berpegangan erat pada bibir jendela dengan kedua tangannya. Dia merasakan kakinya melayang-layang di bawah. Mendadak panik sebab pijakan sempit yang tadi dia lihat seolah hilang entah ke mana. Jimin menurunkan tubuhnya beberapa senti. Tangannya kini mulai bergetar dan berkeringat, sampai-sampai ruas jarinya memutih dan telapaknya semerah darah. Kepalanya pening karena ketinggian. Jimin melirik dari balik bahunya dengan napas tercekat, mencari jejak susuran pijakan itu di antara selimut kegelapan, lalu merasakan lonjakan rasa lega tak terkira ketika menemukan pijakan kasar balok bata itu ternyata ada tak jauh di bawah kakinya yang menggelantung.

Jimin menghitung sampai tiga sebelum memasrahkan dirinya untuk melepas bibir jendela. Satu. Dua.

Tiga.

Berhasil.

Kakinya menapak di atas susuran sempit itu dengan kaku. Angin malam seolah bisa dengan mudah membuat dirinya terpelanting dan jatuh ke bawah, akan tetapi Jimin mencoba untuk tidak memikirkan ketakutannya soal itu. Sekarang yang dia pikirkan adalah bagaimana cara mencapai dataran sementara dirinya berada kurang lebih enam meter di atas tanah.

Jimin membungkukkan badannya, meraih pijakan di kakinya dengan tangan, lalu merasakan setiap ototnya menegang saat dia sekali lagi menyeret tubuhnya agar berayun ke bawah. Tinggi badannya sekitar seratus tujuh puluh enam senti. Bila digabung dengan panjang rentangan tangannya, Jimin bisa meraih paling tidak dua meter lebih sedikit untuk memangkas jarak antara dirinya dengan tanah. Dia hanya perlu jatuh dari ketinggian empat meter. Akan tetapi memikirkan kata jatuh membuat perutnya mual.

"Kau pasti bisa, Jimin," dia berbisik pada dirinya sendiri, mengetahui hal gila yang akan dilakukannya dan Jimin jelas sadar tentang itu. Setitik kesalahan dan sebutir keraguan maka hidupnya akan berakhir. Setiap udara di dalam tubuhnya telah berubah menjadi gejolak api yang membakar. Jimin menghela napas panjang, melonggarkan genggamannya, lalu detik berikutnya membiarkan tubuhnya jatuh dari penyangga.

Tubuhnya membentur tanah. Kakinya mendarat lebih dulu, dan pada saat itu Jimin seketika terjatuh lunglai sebab rasa sakit seperti jilatan api membakar sekujur kaki kirinya yang terluka. Dia meringkuk beberapa saat, menahan erangan kesakitan lolos dari mulutnya sebab tak ada yang bisa menjamin keselamatannya bila dia tertangkap basah tengah melarikan diri. Beberapa menit Jimin membeku dalam kesakitan, kemudian dia berguling ke samping secepat yang dia bisa, mendorong dirinya untuk duduk.

Dia selamat.

Jimin menghempas napas lega sebelum memaksakan tubuhnya untuk berdiri. Kaki sebelah kirinya serasa mati rasa seakan-akan tak ada lagi darah yang tersisa di dalamnya. Dia menunduk, lalu terhenyak, mendadak merasa pening dan ingin pingsan. Luka di pahanya sepertinya telah terbuka lagi, dan bercak darah yang lebih banyak merembes keluar dari balutan perbannya. Dia sudah hampir kehilangan daya sebelum sadar bahwa dirinya tak memiliki banyak waktu untuk meratapi kemalangan itu.

Mengikuti dorongan hati, Jimin mengabaikan luka di kakinya dan berjalan di sepanjang tembok dengan teratih. Gedung ini mirip sebuah pabrik tak terpakai yang telah lama ditinggalkan. Dikelilingi oleh pagar berkawat yang sebagian besar telah penyok. Jimin bertanya-tanya apakah binatang buas yang melakukan hal itu, dan bagaimana nasib dirinya jika nekat masuk ke dalam hutan di tengah malam begini.

Suara derum mobil tahu-tahu terdengar dari ujung jalan. Jimin tersentak ke belakang hingga kaki kanannya tersandung bebatuan. Cepat-cepat, dia mengendap-endap merapatkan diri ke sebuah dinding dan berharap bayangan hitam pohon dan semak lembab yang tinggi akan merahasiakan presensinya dalam kegelapan.

Dari sudut matanya, Jimin melihat mobil itu berhenti di depan platform bangunan, sekitar lima meter dari tempatnya bersembunyi. Bunyi klik samar terdengar sebelum pintu kemudi membuka.

Seorang pria dengan perawakan tinggi-kurus, serta rambut hitam klimis, keluar dari mobil sambil mengusap-usap wajahnya yang kemerahan akibat terpaan udara dingin. Dia memakai pakaian mirip pastur gereja―semacam baju terusan panjang berwarna hitam; tidak bisa memperhatikan dengan jelas karena malam itu tidak ada lampu atau penerangan apapun. Satu yang diketahuinya secara pasti, pria itu tampak gelisah. Dia menumpukan kedua tangannya di atas kap mobil, mengetuk-ngetukkan jarinya seakan-akan tengah menanti sebuah gagasan di dalam kepala. Jimin memperhatikan situasi itu dan menyadari pada detik setelahnya ada seorang pria lain keluar dari sisi dalam gedung.

"Tuan Kwon," kata pria itu selagi mengambil langkah menghampiri si pengemudi. Alih-alih berdandan mirip, pria tersebut justru memakai setelan serba hitam serta topi yang menutup sebagian wajahnya. Suaranya datar, namun terdengar begitu dingin di telinga Jimin.

"Bagaimana?" yang dipanggil Tuan Kwon berbalik dari kap mobil dan menatap pria bertopi itu.

"Done," kata sang pria bertopi. Dia memalingkan muka ke kanan kiri dengan waspada, membuat Jimin secara sontak merapatkan diri lebih dalam ke tembok. "Kelompok keempat sudah dipastikan tidak meninggalkan jejak―kami sudah membakar mayatnya dan menyelidiki identitas mereka. Organnya masih bagus―sesuai catatan yang anda berikan. Filipina sudah menguhubungi dan akan mengambil besok malam, tepat setelah akses udara dibuka. Tapi ...," pria bertopi itu berkacak pinggang, membuang desah napas berat yang keras, lalu berkata lagi dengan agak bimbang. "Yang bertugas di distrik dua mengatakan ada kemungkinan tempat ini telah dicurigai, Tuan. Kita harus pindah sebelum semuanya―"

"Aku tahu itu." Tuan Kwon memotong. Satu tangannya tersampir mengusap tengkuknya. Dia melanjutkan dengan nada agak gemetar. "Tapi ini sulit―kecuali kita punya tambahan waktu satu hari untuk membersihkan kotoran di gedung ini. Berapa kelompok yang tersisa? Tiga? Empat?"

"Tiga, Tuan."

Tuan Kwon mengangguk gelisah. "Tiga, dan masing-masing dari mereka perlu waktu agak lama untuk dibujuk. Kita mungkin harus memakai tindakan baru, tapi semua itu tetap tidak mengubah apapun. Yang harus dibereskan sangat banyak, sebab tempat ini telah menjadi sarang kita selama bertahun-tahun."

"Kita bisa memindahkan semua perkakas dalam sekejap, Pak," sahut pria bertopi. Dia berpaling ke sisi tubuhnya seakan baru saja mendengar suara, tepat ke arah Jimin yang kini tengah gemetar bersandar di tembok, lalu kembali menatap Tuan Kwon sepersekian detik kemudian. "Tapi orang-orang itu akan sulit sekali untuk diajak berkomromi. Mereka tidak akan percaya begitu saja bila dibawa pergi dari tempat ini, kecuali kalau kita―"

"Kita akan menghabisi mereka." Tuan Kwon memotong dengan dingin. Nada suaranya yang terdengar kejam membuat napas Jimin mendadak tercekat di tenggorokan.

Sejenak tak ada percakapan. Pria bertopi itu tampaknya terlalu terkejut dengan saran dari Tuan Kwon.

"Pak, jejaknya akan terlihat―"

"Jejak kita sudah terlihat oleh polisi, jadi tak ada gunanya lagi mempertahankan tempat ini." Tuan Kwon memotong lagi dengan marah. "Kita hanya perlu kabur dan mengirim kode gps kepada para pemasok. Meninggalkan orang-orang bodoh di sini tidak akan berarti apa-apa, toh tak ada yang akan mengenali mereka juga. Bakar dan hapus jejaknya. Kita akan pindah dan mengulang semuanya dari awal. Bagaimanapun juga, bisnis penjualan organ ini adalah yang terpenting."

Jimin merasakan udara dingin menyelimuti tengkuk, merambat seperti tangan-tangan dingin yang meraba punggungnya. Dia terhenyak mendengarkan muntahan informasi itu, seakan-akan itu adalah sesuatu yang sangat terlarang, seakan-akan dia telah terjebak dalam lumpur hisap dan tak ada apapun yang bisa menariknya keluar.

Terjebak.

Dia telah terjebak dalam sindikat penjualan organ ilegal.[]























Selamat malam :)

Bagi yang tebakannya bener, selamat untuk anda^^


Jangan lupa vommentnyaa :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top