20 - The Informant

Seorang Narasumber

.

.

.

Aku berpura-pura menjadi bagian dari mereka.

Sederet kalimat itu tertulis dengan huruf bengkok-bengkok yang berantakan.

Sang penyidik, yang tengah duduk di samping ranjang pasien, memperhatikan secarik kertas bertuliskan pernyataan itu dengan teliti, kemudian menatap kembali wajah di depannya dengan satu alis terangkat. Pasien itu tidak melakukan apa-apa―hanya menunggu pertanyaan selanjutnya untuk dilontarkan. Sang penyidik yang merasa tidak tahan pada akhirnya berpaling dari pemandangan muka mengerikan itu dan mengatakan sesuatu.

"Kalau begitu, Dongsun-ssi," kata penyidik tersebut, tampak sibuk membolak-balik catatannya. "Atas alasan apa anda nekat menyamar menjadi salah satu anggota sekte ajaran sesat mereka?"

Dongsun―nama pasien itu―tidak membutuhkan waktu lama untuk berpikir. Dia menarik kertas tersebut dari hadapan penyidik dan tenggelam kembali dalam aktivitas menulisnya.

Sementara sang penyidik diam-diam memperhatikan Dongsun. Gejolak mual hinggap di dasar perutnya ketika menatap keadaan wajahnya yang mengenaskan. Kulit di sekitar mulut Dongsun berwarna merah terang seperti daging mentah, kontras dengan warna dahinya yang putih pucat. Terhitung dari sudut bibir kanan sampai sekitar empat senti melewati pipi, terdapat corak jahitan membujur yang mulai mengering. Dalam sekilas pandang, orang awam pasti berpikir bila Dongsun sedang memakai topeng bercodet di separuh wajahnya. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi sesungguhnya jauh lebih parah dari itu.

Salah seorang dokter yang menanganinya memberikan laporan yang cukup memilukan mengenai kondisi Dongsun. Luka tembakan pistol polisi di paha kirinya bahkan belum cukup parah bila dibandingkan dengan cedera di separuh wajahnya; Mulutnya disobek, lidahnya dipotong, langit-langit di dalamnya disundut rokok, serta empat gigi gerahamnya dicabut paksa. Terlepas dari fakta akan status merah Dongsun dalam catatan kepolisian, penyidik itu tidak bisa berpura-pura abai dengan kemalangan yang menimpanya. Rentetan kejadian macam apa yang membawa Dongsun hingga berakhir seperti ini?

Dia dilumpuhkan oleh polisi karena telah mengakibatkan kekacauan di jalan raya beberapa waktu lalu. Tembakan di kakinya tidak mengakibatkan luka kronis, akan tetapi dokter berasumsi penyebab lain yang melatarbelakangi kejatuhannya dalam koma selama beberapa hari kemarin. Shock dan trauma pasca penyiksaan (yang membuat sebagian wajahnya rusak sehingga dia kesulitan bicara) adalah salah satu penyebabnya. Yang menjadi pertanyaan penting, siapa dan atas dasar apa Dongsun mengalami siksaan sedemikian menyakitkan?

Belum sempat penyidik itu mendaratkan kecurigaannya pada beberapa pihak, Dongsun akhirnya selesai menulis. Dia membalik kertas dari pangkuannya dan menghadapkannya pada sang penyidik.

Orang-orang hilang secara misterius. Sebagai wartawan, instingku tidak pernah keliru. Selama setahun ini kuselidiki banyak kejadian yang berkaitan dengan kasus-kasus orang hilang di Korea, dan kecurigaanku timbul saat aku bertemu dengan sebuah kelompok rahasia. Merekalah pelakunya, komplotan penjahat yang mengambil orang-orang tidak bersalah itu.

"Mengambil, katamu?" Penyidik itu mengulangnya sembari menyipitkan mata.

Dongsun mengangguk menegaskan, sementara wajah sang penyidik mendadak menegang seakan-akan seseorang telah menyelipkan jarum ke dalam kulitnya.

Apapun yang dikatakan Dongsun, penyidik itu bukanlah orang yang mudah tertipu. Tidak luput dari perhatiannya bahwa, kasus orang hilang yang disinggung Dongsun adalah suatu kebenaran yang selama ini sengaja ditimbun dalam laci penyimpanan 'perkara tak terselesaikan' di kantor kepolisian. Membaca jawabannya, sang penyidik terkejut dengan kejujuran Dongsun, sebab tidak banyak orang yang tahu serta ingat mengenai kelanjutan kasus-kasus itu.

"Kau ... darimana kau tahu? Maksudku ... kasus itu sudah lama ditutup ...," gertak sang penyidik.

Dongsun kembali menuliskan jawabannya dengan cepat sebelum menyodorkan kembali kertas itu.

Meski sudah menjadi pensiunan wartawan, aku tetap memberi perhatian besar pada kasus-kasus yang terjadi di Korea, terutama kasus orang hilang yang kini beritanya seakan-akan tenggelam ditelan bumi.

Ketika memandang wajah Dongsun, sang penyidik tahu, pasien itu hampir bisa disebut tengah mencebik kecut seandainya mulutnya tidak terkoyak hancur seperti ini. Lantas dia berdeham kikuk, seakan-akan malu dengan aib kepolisian yang bisa-bisanya terungkap begitu saja. Dia membuka satu kancing seragamnya di bawah dagu dengan jengah, mendadak merasa udara di sekelilingnya menjadi panas.

"Begini, Dongsun-ssi," kata penyidik itu sembari sibuk mencatat, enggan menatap wajah memuakkan di depannya. "Untuk informasimu saja, kasus-kasus orang hilang yang setahun belakangan terjadi bukanlah sesuatu yang sengaja kami abaikan. Orang-orang yang dilaporkan hilang adalah para pengangguran yang hidup sebatang kara. Itulah mengapa hanya sedikit atau bahkan nyaris tidak ada siapapun yang bisa dijadikan saksi. Sebab, mereka memang jarang sekali muncul di tengah masyarakat. Kami kesulitan menggali informasi dan petunjuk, sehingga pada akhirnya kasus berakhir buntu."

Dongsun mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda kepahaman, namun lengkungan di matanya menunjukkan bahwa dia masih belum sepenuhnya menerima konfirmasi kebenaran dari mulut sang penyidik. Dia menarik kertas itu dan menulis lagi.

Penjelasan anda sudah tidak berguna untuk sekarang. Apapun alasannya, kuputuskan untuk menyelidiki kasus itu sendiri sebab kepercayaanku kepada polisi telah terkuras habis. Aku terpaksa berpura-pura menjadi bagian dari sekte sesat mereka, dan menemukan suatu jawaban.

"Bahwa mereka adalah komplotan yang selama ini adalah dalang di balik kasus orang-orang hilang itu?" Sang penyidik menyahut tajam bahkan sebelum Dongsun menyodorkan kertas itu kepadanya.

Dongsun mengangguk dengan tenang.

"Tunggu, tunggu." Penyidik itu mengangkat tangannya sebagai upaya untuk menghentikan anggukan yakin Dongsun. Dia memandang dingin wajah pasien itu, mendengus mengejek, lalu berkata, dengan nada hampir menahan tawa, "Ini semua terasa agak tidak masuk akal bagiku."

Dongsun mengerutkan alisnya.

Penyidik itu melanjutkan, "Kendati para polisi telah terbagi dalam tim khusus yang ahli dalam bidang penyelidikan di lapangan, kami tetap tidak menemukan petunjuk apapun mengenai keberadaan para orang hilang itu, atau bahkan informasi tentang kelompok yang selama ini menculik mereka. Tapi kau," sang penyidik menyodok dengan keras dada Dongsun dengan telunjuknya. "Tahu-tahu datang dari suatu tempat, membuat keributan di jalan raya, ditembak, berakhir koma, lalu ketika bangun, kau mepaparkan tentang keberadaan komplotan penganut ajaran sesat yang berhubungan dengan kasus hilangnya orang-orang ...."

Dongsun memandang pria di depannya dengan tatapan kecewa, terlihat seakan-akan ada sesuatu yang besar menyangkut di tenggorokannya. Penyidik itu melanjutkan dengan suara yang kini terdengar memojokkan.

"Apa kau mencoba menipu kami dengan membuat kami bersimpati kepadamu, hm?" Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, melanjutkan dengan serius. "Kau hanyalah seorang pensiunan wartawan, dan barangkali ini semua hanyalah taktik untuk membuat kami menghargai jasamu yang sempat luntur di masa jabatanmu dulu. Sebab terasa sangat tidak mungkin bila kau menyelidiki kasus besar itu sendirian―mengingat kami bahkan butuh berbulan-bulan dan tidak menemukan apapun selain laporan orang hilang yang terus bermunculan―dan kau memanfaatkan wajah rusakmu itu sebagai alasan tentang kekejaman mereka? Oh, bahkan aku tidak melihat hubungan di manapun. Sekte ajaran sesat dan kasus orang hilang? Kau tadi bilang mereka mengambilnya, bukan? Apakah maksudmu mereka menculiknya, hm?"

Dongsun merasakan sesuatu meledak di dasar perutnya ketika mendengar nada angkuh berbahaya milik penyidik itu. Bagian dalam mulutnya berkedut-kedut mengerikan, dan kendati telah diberi obat pereda nyeri, sengatan rasa pedih itu masih mengoyak seluruh jaringan kulitnya dan memberi sensasi terbakar yang membuat perutnya mual. Dia melirik kertas di pangkuannya, lalu dengan sisa tenaga menyambar pulpen dan mulai menulis. Tangannya bergetar saat menuliskan penolakan mutlaknya atas tuduhan tidak menyenangkan dari sang penyidik.

"Nah, tulis saja apa yang kau tahu dari penculikan itu!" gertak penyidik itu dengan tajam. Dia bangkit dari kursinya, mencari ketentraman dengan mondar-mandiri di ruangan rumah sakit, melepas satu lagi kancing seragamnya dan menyibak jaket yang dikenakannya dengan tidak sabar.

"Aku mau tahu," katanya dengan nada marah, setelah berpaling pada Dongsun yang masih sibuk menulis, "sampai mana kau bisa bertahan dengan cerita palsumu itu. Ketika kami memeriksa kamar sewamu, banyak sekali benda aneh yang kami temukan. Kau mungkin bisa berkata bahwa semua bukti itu hanyalah strategi kepura-puraanmu menjadi bagian dari mereka. Tetapi, bisa saja sebetulnya kau memang berniat menjadi anggota sekte, lalu kau tidak punya nyali duluan saat mereka menyuruhmu untuk mengorbankan diri dalam sebuah ritual, sehingga mereka memaksa dan menyiksamu sampai kau terluka seperti itu. Kemudian, ketika ada kesempatan, kau kabur dan mencari cara untuk menangkap mereka. Di saat itulah kau, sebagai mantan wartawan, melihat celah dari kasus-kasus orang hilang yang selama ini ditutup-tutupi dari publik. Kau memanfaatkan kasus tersebut dan mengaitkannya dengan masalahmu, lalu berusaha membuat kita percaya dan ...."

Tahu-tahu Dongsun meletakkan pulpen di atas nakas dengan suara keras.

Penyidik itu bergeming, menatap Dongsun dingin sebelum sesuatu di dalam pikirannya kembali berjalan. Dia memejamkan matanya dan menghela napas berat, menyingsingkan lengan jaketnya sembari menghampiri ranjang Dongsun, merebut kertas dari pangkuannya dengan kasar, lalu membaca dalam hati.

Anda boleh tidak percaya kepadaku, tetapi aku punya bukti kuat untuk membuat anda berlutut meminta maaf. Datanglah ke Yangju. Ikuti sungai di sepanjang sisi jalan hutan terbuka di sebelah barat. Ada pabrik tua bekas yang ditelantarkan. Di sana mereka menyekapku dan orang-orang lainnya. Secara teknis, mereka tidak menculik. Mereka menipu orang-orang yang kehilangan harapan dan mendoktrin mereka dengan paham-paham baru yang selanjutnya membuat orang-orang keliru menafsirkan sesuatu, sehingga orang-orang tersebut akan mengikuti apapun yang kelompok itu perintahkan. Mereka memang merekrut anggota baru lewat ajaran sesat, tapi sebetulnya, ada sebuah tujuan yang melatarbelakangi aksi ini.

Punggung sang penyidik mendadak kaku dan hidungnya diangkat tinggi-tinggi. Dahinya mengernyit tegang ketika membaca kalimat-kalimat berantakan yang ditulis secara terburu tersebut. Dia menatap wajah Dongsun dalam kerut bayangan di pelupuk matanya dengan curiga.

"Demi penyelidikan, aku akan mendatangi tempat yang kau sebut di sini," katanya lirih. Gejolak kemarahan hampir mereda dalam benaknya, namun dia masih mempertahankan sisi dinginnya untuk mengintimidasi Dongsun.

"Dan apa yang kau maksud di kalimat ini?" tanya penyidik itu, menunjuk sebaris kalimat di kertas tanpa berniat memperlihatkannya pada Dongsun. "Mereka memang merekrut anggota baru lewat ajaran sesat, tapi sebetulnya, ada sebuah tujuan yang melatarbelakangi aksi ini. Kau mau bilang bahwa selama ini kelompok itu hanya berpura-pura mendalami sekte?"

Secara tidak terduga, Dongsun mengangguk mengiyakan. Dia mengulurkan tangannya, meminta kertas itu kembali. Penyidik itu memberikannya dan menunggu Dongsun sejenak untuk menyodorkan pernyataan lain lagi kepadanya.

Dengan mencuci otak, para korban akan mengikuti apa yang komplotan itu inginkan. Menurut mereka hal ini jauh lebih mudah daripada menculik secara kasar dan menimbulkan keributan yang tidak diinginkan. Komplotan itu dengan sengaja membuat orang-orang mengorbankan dirinya dalam sebuah operasi yang mereka sangka sebagai ritual pengangkatan. Para korban berpikir bahwa jiwa mereka akan dibebaskan ke Nirwana dan tubuh mereka akan disemayamkan di tempat yang baik. Sesungguhnya yang terjadi adalah sebaliknya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya penyidik itu. Nada suaranya turun sehingga kini dia terdengar seperti menahan dirinya untuk tidak penasaran.

Dongsun meraih kertas itu dengan tidak sabar. Kali ini hanya sebaris kalimat pendek yang tidak kurang dari lima detik ketika dia menuliskannya. Setelahnya, dia menyodorkan kertas itu di hadapan si penyidik.

Dan mata si penyidik seketika menyipit penuh perhatian ketika membacanya.

-oOo-

Pintu dijeblak terbuka.

"Ke mana Pak Kepala?"

Mijin terkejut ketika melihat seorang polisi laki-laki tiba-tiba muncul tanpa mengetuk pintu kantor terlebih dahulu. Han Gi yang duduk di balik meja sambil memelototi komputer di depannya mendongak, menatap polisi itu dengan pandangan terganggu sebelum menjawab dengan suara tenang yang rendah, "Beliau sedang mengusut kasus penculikan."

"Oh, tidak, jangan kasus orang hilang lagi." Polisi itu melangkah mendekat dan berdiri di samping Mijin, setelah sebelumnya sempat bersinggung mata dan mengangguk sekilas kepadanya.

Han Gi menghela napas berat, menggeser kursinya menjauh dari komputer, memeriksa jam di tangannya dan menyahut dengan nada bosan. "Dari sejak jaman Ayah saya belum lahir, yang namanya kasus orang hilang selalu ada. Kenapa Bapak mengatakan hal demikian seolah kasus-kasus itu adalah satu-satunya sumber kekacauan kita?"

Mijin berjengit ketika mendengar suara Han Gi.

Polisi itu berkacak pinggang, menggaruk bagian belakang telinganya sembari berkata, "Dengar, Nak. Yang kumaksud adalah rentetan kasus orang hilang sejak tahun kemarin yang penyelidikannya terhambat karena berujung buntu. Aku baru saja menginterogasi seorang korban di rumah sakit dan mendapat petunjuk baru tentang sekelompok penjahat yang diduga adalah otak di balik semua kejadian orang hilang yang selama ini terjadi. Jadi, aku butuh Pak Kepala sekarang. Dia adalah orang yang bertanggung jawab atas pengusutan kasus itu."

Mata Han Gi menyipit. Dia berdeham sebentar dan mencondongkan tubuhnya ke meja, memandang mata polisi itu lekat-lekat dan berbicara serius. "Bapak mendapatkan petunjuk soal itu? Tapi ... dari mana ...."

"Itu tidak penting, Nak!" bentak sang polisi, kali ini menunjukkan ketidaksabarannya. "Kau bilang ada kasus penculikan lagi? Tidak, tidak, tidak, itu bukan penculikan! Orang itu pasti sudah termakan paham ajaran sesat dan kini mengikuti kelompok itu ke suatu tempat. Aku tahu tempat di mana mereka menyembunyikan para korban yang selama ini menghilang secara tiba-tiba. Kita akan ke sana sekarang, tapi sebelumnya aku harus melaporkan ini kepada Pak Kepala ...."

"Apa maksudmu?" Mijin tiba-tiba memotong dengan sengit. Dia bangkit dari kursinya dan menatap nyalang polisi di depannya. "Apa maksudmu bicara begitu, Pak? Kau pikir dia hilang karena kehendaknya sendiri?"

Alis polisi itu berkerut menatap Mijin. Dia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda pembelaan. Dalam sekejap dia tahu posisi Mijin di tempat ini. "Hei, Nona, aku tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya membicarakan fakta yang baru kudapat saja. Apa itu saudaramu yang hilang, eh? Oh, bukan―pasti hanya kenalan, kan? Sebab orang-orang yang dilaporkan menghilang selama ini selalu tercatat sebagai pengangguran sebatang kara yang―"

"JAGA MULUTMU DASAR SIALAN!" teriak Mijin. Dia merasakan udara panas telah membakar paru-parunya, membuat pegangan rapuh yang selama ini ditahannya mendadak goyah dan hancur. Dia memangkas langkah cepat dan menyambar kerah jaket polisi itu dengan kalap, lalu berkata dengan nada tertahan yang gemetaran, "Park Jimin telah diculik oleh seorang wanita keparat yang selama ini mengaku-ngaku sebagai temanku! Dia tidak mungkin pergi mengikuti sekelompok orang jahat yang kau maksud itu sendirian! Dia hilang! PARK JIMIN HILANG DAN AKU TIDAK TAHU KE MANA DIA PERGI!"

Mijin melepas cengkeramannya dari kerah polisi itu, kemudian bertingkah liar dengan mencengkeram kedua sisi kepalanya, seakan-akan sesuatu di dalam otaknya hendak meledak keluar dan dia tidak memiliki apapun untuk menahan guncangan mengerikan itu. Erangan putus asa lolos dari mulutnya ketika Han Gi mendadak muncul dan mencekal kedua tangan Mijin yang hendak menjambak rambutnya sendiri, berjuang keras dengan ganas agar bisa lepas dari belitan tangan Han Gi.

"NONA, TOLONG TENANG DULU!" kata Han Gi, kewalahan memaksa wanita itu untuk kembali duduk.

Polisi itu sejenak bingung dengan apa yang terjadi. Dia memandang Mijin dengan kosong, lalu berceletuk saat sadar akan sesuatu. "Han Gi-ssi, memang siapa korban kali ini?" tanyanya tanpa berpaling dari Mijin.

Sementara Mijin telah kembali duduk dan kini menangis tersedu-sedu di atas kursi, dengan tampang luar biasa berantakan, satu tangannya menyentuh dahi dan dari mulutnya terus keluar gumaman menyakitkan yang tidak jelas. Han Gi berpaling dari Mijin dan menghela napas lelah sebelum menjawab dengan suara putus asa.

"Park Jimin, salah satu member boyband BTS."[]


























Malem :)

Mau kubuat yg lebih panjang, tapi nanti kalian pada kewalahan nerima informasi. Jadi kubagi dua chap.

Semoga kalian ga bingung yah. Di sini udah keungkap cukup banyak siapa komplotan penjahat itu sebenernya. (Tinggal tujuan kelompok doang yg belum kesingkap) Dan, kalau kalian peka, pasti bisa menemukan hubungan antara klompok itu dan Gong Joo.

Makasih sudah baca yaah^^ jangan lupa vomment tanggapan kalian, atau tebakan tentang plot juga boleh, karena menurutku sebenarnya ff ini gampang banget diprediksi. Tapi kalau bingung tanya aja, hehe. Aku bakal berusaha tuk jawab, kok :))

Love u.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top