2 - The Anxiety

Kecemasan

.

.

.


Sudah lewat tiga jam semenjak Seokjin menelepon manajer dan memberitahukan apa yang terjadi di tempat tinggal mereka. Setelah insiden itu, beberapa saat kemudian, dua orang staf agensi dan wakil dari kepolisian datang tanpa memancing hingar-bingar publik. Insiden ini akan dirahasiakan, paling tidak sebelum kasusnya selesai dan pelaku berhasil ditemukan.

“Jangan memunculkan konflik. Kita tidak tahu bagaimana media berbicara,” kata manajer, yang menurutnya, menghindar dari memancing kecemasan publik dan bahan untuk berita adalah opsi paling baik dan tidak ruwet.

Lorong sempit yang memisahkan dinding dan gudang kecil di bagian paling belakang dorm adalah sumber di mana kekacauan terjadi. Seorang pria pertengahan empat puluhan―Song Chaewong―anggota divisi penyelidikan dari kepolisian, dan juga Lee Mijin, salah satu wakil dari agensi yang diminta untuk datang, tengah berdiri bersandingan seraya memelototi sebuah pintu di ujung koridor yang gagangnya patah dan terkoyak, sengaja dirusak oleh pelaku.

“Lihat,” kata Chaewong kepada Mijin, “tidak ada tanda-tanda pemakaian benda asing lain untuk mematahkan gagang pintu. Jelas sekali pelakunya punya tenaga yang besar untuk merusaknya hingga hancur seperti ini.” Dia meraba penyok di muka pintu dan berpikir sembari mengernyitkan dahi. Tatapannya berpindah-pindah dari gagang pintu yang copot ke lantai di bawah kakinya yang penuh serpihan pecahan. Tidak ada goresan atau bukti lain yang mengindikasikan pelaku membobol pintu belakang menggunakan senjata lain, tak seperti halnya perampok yang selalu menggunakan teknik buka kunci manual atau merusak menggunakan batu.

“Semuanya mungkin saja terjadi kalau pelakunya memang punya obsesi berat untuk masuk dan mengobrak-abrik isi dorm,” kata Mijin sambil menggosok pelipisnya, tidak habis pikir dengan kejadian yang menimpa artis agensinya. Siapapun si sialan yang bertanggung jawab atas semua ini benar-benar sakit jiwa, dia membatin dengan kesal. Mijin kemudian menatap Chaewong yang tengah berkacak pinggang dan memasang tampang seolah-olah kejadian pembobolan ini telah merampas seluruh konsentrasi pikiran dalam hidupnya, lalu ikut merasa bahwa yang dialami artisnya adalah hal paling serius yang pernah ditemuinya selama dia bekerja di agensi.

“Chaewong-ssi.”

Terdengar suara berat pria yang membuat keduanya menoleh. Song Chaewong mendapati wajah salah satu rekan di timnya menatapnya dari ujung lorong

“Sudah selesaikah pengecekannya?” tanya Chaewong.

Pria bernama Han Gi tersebut kemudian bergerak menghampiri, membenahi topi di kepalanya sebelum membuka mulut menyampaikan laporan. “Kami telah melakukan penggeledahan menyeluruh dan tidak menemukan satu benda pun yang dicuri,” ujarnya.

Song Chaewong menyipitkan matanya ketika mendengar hal itu, membuatnya tergelitik untuk bertanya sebelum Han Gi sempat menyelesaikannya.

“Bagaimana dengan kamera pengintai? Kalau pelakunya bukan pencuri, satu-satunya tuduhan cuma mengarah ke stalker.” Dia melirik pada Mijin yang ikut mendongak menatapnya, tampangnya seolah hatinya terluka mendengar dugaan itu. “Seorang sasaeng, tahu kan? Beberapa dari divisi kami dipanggil untuk melakukan penyelidikan semacam itu. Mereka terkadang berperilaku di luar batas dengan memasang kamera tersembunyi demi menikmati gambar-gambar pribadi para artis.”

“Kami sudah menggunakan detektor FR dan analisis spektrum. Keduanya tidak menunjukkan reaksi, jadi kemungkinan tidak ada kamera pengintai yang pelaku tinggalkan.” Han Gi menuturkan yakin.

Mijin tidak langsung lega setelah mendengar laporan itu. Pikirannya justru diserang oleh prasangka bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Tiba-tiba, ia menutup mulutnya, menahan rasa mual yang timbul ketika pikiran kalutnya membawanya ke beberapa menit yang lalu, ketika dia naik ke kamar mandi atas dan menemukan tulisan di cermin yang dibilang Seokjin. Dia ingat saat menyentuh tinta merah itu dan mendekatkannya ke hidungnya. Baunya amis, seperti karat. Sebenarnya, itu bau khas darah yang keluar dari kewanitaan seseorang. Menjijikan. Mijin langsung mencuci tangannya, menggosok-gosok kulit jemarinya dengan kasar seakan-akan menyentuh darah menstruasi adalah hal terkotor yang ia lakukan.

“Nona, anda tidak apa-apa?” suara Song Chaewong menariknya kembali ke permukaan.

Mijin menjilat bibirnya untuk menghapus getir pahit yang tiba-tiba menyerang lidah. Ia menatap kedua pria di depannya itu dan berkata sengit, “Apa anda bisa memastikan untuk menangkap orang gila itu?”

Gila? Ha. Kata yang tepat. Memakai darah untuk menulis pesan di permukaan dinding kamar mandi laki-laki adalah penggambaran sakit mental yang tepat untuk pelakunya. Mijin tak menemukan alasan pelaku melakukan hal itu selain untuk memancing perhatian, bahkan ketika laporan mengenai tidak adanya kamera pengintai yang sengaja dipasang, hal itu tetap tidak melonggarkan kecemasannya.

“Keselamatan dan privasi artis kami adalah aturan nomor satu yang harus dijaga. Aku tidak ingin sesuatu terjadi pada mereka,” tambahnya. Entah mengapa setelah mengatakannya Mijin seakan membaca kembali isi pesan berdarah itu. Padahal tulisan itu bukan ditujukan untuknya, namun mengapa jiwanya juga merasa terancam?

“Tim polisi akan mengusutnya sampai tuntas. Setelah ini kami juga akan mengecek CCTV jalan, dan laporannya akan kami berikan besok pagi. Untuk pintu belakang, kusarankan kalian segera mengganti kuncinya dengan yang memakai password seperti pintu depan, oke?”

Mijin menanggapi saran Chaewong dengan deheman kecil, sementara polisi tersebut langsung berbalik dan pergi meninggalkannya. Membiarkan wanita yang terlihat lelah itu untuk menenangkan diri sepertinya adalah pilihan yang tepat.

-oOo-

Mijin melangkahkan kakinya memasuki ruang tamu yang kini penuh tampang lelah para member. Dia melewati sofa hitam yang penuh barang-barang berserakan (mengingat tim polisi baru saja melakukan penggeledahan), kemudian berhenti di salah satu petak sofa yang kosong dan mendudukkan tubuhnya di sana. Tepat di depannya, ada Hoseok yang tengah sibuk memeriksa deretan action figures dan tumpukan kaset video di dalam lemari kaca kecil. Laki-laki itu berjongkok di bawah dan membelakanginya, tampak tak menyadari keberadaan Mijin di dekatnya.

“Hoseok-aa, boleh aku tahu apa jadwal kalian untuk besok?” Mijin tahu-tahu bertanya.

Yang dipanggil menoleh. Dan, untuk sejenak, Mijin mengernyit kala memperhatikan raut lelah di wajah Hoseok. Dia bertaruh laki-laki di depannya ini bahkan belum sempat mandi dan beristirahat semenjak pulang dari kantor agensi tadi.

“Oh, Noona,” gumamnya, lalu berpaling melanjutkan pekerjaannya seraya menjawab, “Karena rekaman sudah selesai, kami besok tinggal menggarap koreografi. Tetapi katanya akan ada sedikit perubahan untuk konsep MV-nya, jadi mungkin ada rapat untuk membahas itu juga.”

Mijin mengangguk. “Aku akan bilang pada pelatih kalian untuk mengundur latihan dulu. Setelah adanya insiden seperti ini, kupikir pihak agensi harus mengadakan rapat membicarakan langkah kita untuk menghadapi kasus kedepannya.”

“Apakah polisi menemukan sesuatu yang mencurigakan?” Hoseok bertanya tak sabar.

“Mereka tidak menemukan aktivitas mencurigakan dari pelaku selain membobol dan berkeliaran di dalam dorm kalian saja.”

“Aneh sekali,” kata Hoseok, memandang Mijin dan merasakan keganjilan yang sama juga tengah dialami wanita itu. “Aku tidak mau berprasangka buruk dulu, dan tindakanku ini kujamin bukanlah sebuah pengharapan yang kuinginkan. Tetapi aku khawatir polisi melewatkan sesuatu, seperti alat sadap atau kamera pengintai.” Hoseok berpendapat dengan ragu.

“Untuk itulah kita harus berdiskusi mengenai hal ini bersama pihak agensi,” tukas Mijin tenang. “Polisi belum menemukan bukti untuk mengisi kemungkinan rencana buruk pelaku di masa mendatang, sebab itulah kita masih belum tahu bahaya seperti apa yang mengancam kalian.”

Sementara mendengar kata-kata Mijin, Hoseok merasakan perutnya seolah jatuh ke lantai yang dingin. Dalam kecemasannya menerima insiden pembobolan, dan mendengar informasi bahwa polisi belum memecahkan teka-teki mengenai jati diri pelakunya, kata-kata terakhir Mijin tentang adanya suatu bahaya menumbuhkan rasa takut dalam benak Hoseok. Dia berpaling ke ujung ruangan, memperhatikan Jimin yang sedang membereskan kaleng dan toples makanan di meja dekat konter dapur, tampak lesu dan rapuh sekali. Lantas berpikir kengerian seperti apa yang tengah Jimin rasakan setelah mengetahui seseorang di luar sana baru saja menuliskan keinginan untuk memiliki dirinya menggunakan darah.

“Jangan khawatir,” kata Mijin. Hoseok membuang muka dari Jimin dan melihat wanita di awal usia tiga puluh itu memandangnya. “Kami melindungi kalian.” Mijin mengakhiri dengan yakin.

Seraya bernapas dalam-dalam dan melihat sekeliling ruangan untuk memastikan kehendak hatinya, bahwa keributan dan keresahan yang timbul di dalam dorm masih belum cukup untuk mematahkan semangatnya melindungi satu sama lain, Hoseok memandang Mijin dan mengatakan keteguhannya dalam sekali pelepasan napas.

“Kami sebagai member BTS juga akan mengatakan hal yang sama kepada Jimin.”

-oOo-

Penyelidikan telah berakhir walau untuk sementara. Atas saran dari Mijin, manajer Sejin menghubungi tim dari agensi yang bertugas dalam bagian produksi untuk mengundur latihan besok. Sementara menanti laporan berikutnya dari kepolisian, seluruh pihak yang terkait kontrak bersama BTS akan mengadakan diskusi mengenai kasus ini, perkara tindakan-tindakan sederhana yang bisa dicapai untuk melindungi artis asuhannya.

Meskipun tampak bahwa perlindungan maksimal bisa mereka peroleh sekalipun diterpa insiden semacam ini, berbagai perasaan tak menyenangkan seperti rasa takut dan cemas masih menyelimuti para member yang saat ini sedang berkumpul di ruang tamu. Jarum pendek jam sudah bergerak di angka sebelas, tetapi belum ada satupun dari mereka yang menggelung tubuhnya di dalam selimut. Padahal rasa lelah begitu kental, namun seakan keinginan beristirahat sama sekali tidak ada.

Jimin tertunduk lesu di sofa paling ujung. Kedua tangannya saling bertautan mengusap jemari―yang biasa ia lakukan saat keresahan menggerogoti ketenangannya. Puluhan kali ia meminta dirinya untuk berhenti berpikir terlalu keras, akan tetapi malam ini rasanya keinginan itu meluap seiring bayang-bayang pesan berdarah yang muncul dan tak mau hilang di dalam benaknya.

Dia nyaris saja tenggelam dalam lamunan ketakutannya bila telapak tangan Hoseok tidak mendarat di bahunya.

“Baik-baik saja, Jim?” tanyanya, membuat yang dipanggil terkesiap.

Jimin bergumam tidak jelas, merasa tak yakin dengan jawabannya sendiri.

Hoseok kemudian duduk di sebelah Jimin, bersandar lebih dekat dan melingkarkan lengannya di bahu Jimin. Perhatiannya sama sekali tak teralih ketika dia menyadari gurat ketakutan di wajah laki-laki itu. Yah, benar-benar bohong bila tak ada yang khawatir ketika nama salah satu temannya turut disebut dalam pesan terkutuk itu. Dia mengambil waktu sejenak untuk membatin, kemudian mendongak ketika Seokjin tahu-tahu datang dari sisi lain ruangan dan langsung memijat tengkuk Jimin.

“Polisi pasti akan menangkap pelakunya, Jim. Kau tenang saja.”

“Mana mungkin aku bisa tenang, Hyung.” Jimin menyahut cepat. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu menunduk mengusap wajahnya dengan kalut. Sementara Hoseok secara canggung melepaskan pelukan di bahu pemuda itu dan melirik para member di sekeliling sofa, yang sekarang tengah memperhatikan Jimin sama ibanya seperti anjing kecil yang ketakutan.

“Paling tidak jangan memikirkan masalah ini sebagai sesuatu yang berat.” Seokjin menambahkan dengan hati-hati.

“Ada hal buruk yang mengincarku. Kalian semua juga melihat isi pesannya, bukan?” kedua mata Jimin menatap para member bergantian. “Dia bilang dia menginginkanku! Apa hal yang lebih masuk akal selain berpikir bahwa pelakunya memang tengah berencana untuk mendapatkanku?” Jimin mengatakannya dengan panas, seakan kepanikan telah merambat sampai ke setiap sel sarafnya. Dia tidak pernah menerima ancaman sebegini nyata. Pengalaman sebagai seorang artis yang menerima kebencian juga telah dirasakannya semenjak jauh-jauh hari, dengan berbagai cara yang dia pikir cukup sukses membuatnya khawatir. Namun, belum pernah ada yang sanggup membobol rumah dan meninggalkan tanda sejelas yang dia terima kini. Jimin terhenyak dalam kursinya dan berpikir bagaimana bila pesan itu suatu hari menjadi kenyataan.

“Kau pikir kami akan diam saja hanya karena nama kami tidak muncul dalam pesan itu?” Namjoon tiba-tiba menyahut dari seberang sofa.

Jimin mendongak menatap Namjoon tetapi tidak menanggapi apa-apa.

“Jangan remehkan kekuatan kami, Jim,” kata Taehyung, sementara matanya memandang Jimin tanpa puas, seakan-akan tidak pernah cukup baginya memandangnya. “Kau tahu kau adalah bagian dari diri kami, sama pentingnya seperti kau menganggap suara dan gerakan tarimu adalah anugerah dari Tuhan.”

Jimin tersentuh mendengar kata-kata itu, sampai-sampai rasanya dia tidak sanggup bicara untuk meluapkan betapa hangat perasaannya kala menerima siraman kasih sayang dari para member di sekelilingnya. Untuk sejenak dia bergeming, hampir percaya bahwa dia bisa mengatasi semua ini lebih baik dari yang pernah disangkanya.

Yoongi yang sedari tadi tampak melamun memikirkan sesuatu tahu-tahu berujar, “Kami akan melakukan yang terbaik untukmu.”

“Apa kalian akan menemaniku?” Jimin bertanya, pipinya merona karena merasa malu.

“Sampai seterusnya,” jawab Yoongi.

“Jangan hanya percaya dengan kata-kata, Hyung,” sahut Jungkook, yang kini mendapat perhatian dari seluruh member karena lagak pentingnya. Jungkook bangkit dari duduknya dan mulai menggelung lengan kaosnya sampai batas ketiak, mengerling pada Jimin seolah menekankan bahwa otot-otot yang menggembung di lengannya bukanlah sekedar pencapaian tanpa alasan. “Kau juga harus percaya dengan kekuatanku. Aku bisa merobohkan orang hanya dengan menonjok mukanya.” Jungkook berkata dengan ringan. 

Hoseok menjadi tak bisa menyembunyikan tawa. Dia terkikik seraya mengingat-ingat memori jauh-jauh hari, ketika Jungkook latihan di dalam dorm mereka yang lama dan tersandung remot pendingin ruangan sehingga tubuhnya terpeleset menabrak Taehyung. “Benar sekali. Terakhir kali Jungkook tidak sengaja menyikut Taehyung tepat di pipi, wajah Taehyung sudah layak dimasukkan buku serangga beracun.”

Malam itu, semua member meledak dalam tawa karena mengenang masa lalu.[]





















a/n

aku akan merasa sangat, sangat, sangat dihargai apabila kalian meninggalkan jejak di cerita ini. makasih buat yg sudah baca dan meninggalkan jejak di chap sebelumnya, yaa :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top