18 - The Trust
Sebuah Kepercayaan
.
.
.
"Aku sama sekali tidak tahu apapun soal itu!"
Meskipun ruangan itu kini telah berganti menjadi tempat penyidikan kasus, di mana beberapa polisi tampak sibuk menyisir jejak dengan menganalisa material bukti yang ada, suara kasak kusuk kamera dan gumam pemeriksaan yang bercampur dalam udara pengap di dalamnya tak lantas membuat nada lantang mijin tenggelam dalam bising. Dia menyuarakan tanggapannya dengan bergetar sebagai antisipasi terhadap berita mengejutkan yang sampai di telinganya.
Mijin menatap Taehyung yang tengah duduk di sofa, ditemani oleh manajer Sejin yang sedari tadi mengunci lengannya di sepanjang bahu Taehyung. Anak itu tampak kacau. Wajahnya murung dan kosong, seakan-akan sesuatu yang paling berharga di hidupnya telah direnggut dan kini hatinya hampa. Mijin ingin memeluk Taehyung erat-erat, menenangkan jiwanya yang terguncang. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Cairan panas menggelegak di dasar perut Mijin setelah dia mengetahui hasil pemeriksaan CCTV di gedung pertunjukan. Dia tidak bisa tenang menghadapi masalah ini.
Memangkas langkah dan bersimpuh di depan Taehyung, Mijin kemudian mengguncang kedua bahu anak itu hingga dia terayun ke depan dan ke belakang. "Kau pasti bercanda, kan?" tanyanya gusar. "Gong Joo bukanlah orang yang kau lihat di gedung itu!"
"Mijin-aa, mana mungkin dia bisa bercanda di situasi seperti ini?" manajer Sejin menyahut panas, lalu menyingkirkan tangan Mijin dengan pandangan kecewa. Mijin merasa terpukul, tapi dia tahu kemarahannya akan sia-sia. Taehyung bahkan tampak tidak bereaksi dengan desakannya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Seorang polisi tahu-tahu datang kepadanya dan mengatakan bahwa mereka telah menemukan bukti mengenai aksi penyelinapan Lee Gong Joo ke dalam gedung pertunjukan. "Berdasarkan pernyataan para saksi, Saudara Lee Gong Joo adalah teman dekat anda, benar begitu?" Kira-kira, itu adalah pertanyaan pertama yang dia dapatkan sebelum situasi menjadi rumit. Polisi itu lalu menekannya dengan banyak sekali pertanyaan sehingga Mijin dibuat kebingungan.
Tindakan mencurigakan Lee Gong Joo telah mengakar pada konklusi penetapannya sebagai pelaku tunggal dalam seluruh insiden; pembobolan dorm, kecelakaan Taehyung, dan yang paling tidak bisa dimaafkan adalah hilangnya Park Jimin. Mijin tidak bisa menyangkal apapun yang keluar dari catatan polisi itu. Semuanya entah bagaimana terasa masuk akal. Tapi dia tidak bisa terus diam sementara dirinya berada dalam bahaya yang lebih kritis.
Dia berpaling ke samping ketika mendengar deheman seorang pria. Polisi yang mengajukan banyak pertanyaan itu tengah berdiri memandangnya. Ekspresinya begitu pahit di mata Mijin.
"Jadi, Nona," kata polisi itu, menunduk memeriksa catatannya dan berdehem lagi. "Saya ingin anda ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan jawaban mengenai keterlibatan anda dengan tersangka utama."
Mijin bangkit berdiri. Dia mengusap keringat yang lebih banyak di dahi dan lehernya. "Sudah kubilang, aku sama sekali tidak terlibat dengan aksinya," kata Mijin, suaranya parau. "Dia memang temanku, tapi ... kami tidak memiliki kepentingan apapun diluar itu. Dia hidup dengan dunianya, dan aku dengan duniaku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan atau rencanakan sampai kalian memberitahuku berita mengejutkan ini."
"Ya, tapi kita tetap harus mengikuti prosedur penyelidikannya," ujar polisi itu. Dia membenahi topi yang dikenakannya dan menyisir sekeliling ruangan. Beberapa rekannya tampak sibuk memeriksa jejak bukti di lantai dan di sekitar tangga. Aktivitas yang sama juga tengah dilakukan di bagian koridor paling ujung, di dekat gudang, yang diduga adalah lokasi paling mencurigakan.
Polisi bernama Han Gi tersebut kemudian berpaling kembali pada Mijin. "Meskipun anda merasa tidak terlibat, kami harap anda bisa ikut menjelaskan kepada unit penyelidikan khusus yang saat ini bertugas di markas besar. Anda akan diberi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan anda dengan tersangka. Ini berguna agar kita tahu kemungkinan-kemungkinan yang masih terpendam di luar sana. Karena berdasarkan analisa kami, jabatan anda sebagai orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban barangkali memicu insiden penculikan ini."
Mijin hanya diam, terhenyak menatap Han Gi dengan kondisi kepala yang rasanya nyaris pecah. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana sampai kemudian sebuah suara lain yang lebih berat menyela pembicaraan mereka.
"Jangan buang-buang waktu, Nona," kata Song Chaewong, berjalan mendekat dari balik sofa. Cahaya lampu ruangan membuat wajahnya kelihatan pucat di bawah rambut awut-awutannya yang mulai beruban. "Kami tidak ingin membawa anda dengan cara paksa, tapi bila anda masih tetap teguh dengan penolakan, tidak ada cara lain lagi bagi kami untuk melakukannya."
Kepala unit penyelidikan itu melirik Taehyung dan manajer Sejin sebentar sebelum kembali ke Mijin. "Rekan mereka hilang, dan kami tidak bisa memastikan kondisinya saat ini karena keterbatasan barang bukti yang kami miliki. Bila anda mau menyempatkan sedikit waktu untuk membantu kami mengetahui informasi mengenai pelaku, kemungkinan ditemukannya Jimin dalam keadaan selamat akan semakin besar."
"Apa maksud anda bicara begitu?" sergah Taehyung, mendongak menatap Chaewong dengan tatapan nyalang. "Anda pikir Jimin tidak akan selamat? Anda pikir anak itu tidak akan berhasil bertahan? Kenapa anda bicara seolah-olah kami tidak memiliki harapan untuk menemukannya?"
"Kami bukan bermaksud begitu, Nak," kata Chaewong, mengusap janggut halus di dagunya dengan jengah. Dia memberi tatapan lelah pada Han Gi sebelum menjawabnya. "Begini, kami berusaha keras untuk menyelidiki ke mana pelaku membawa Park Jimin. Tetapi, bukti yang saat ini kami temukan tidak cukup untuk mengetahui informasi itu."
"Bukankah sudah jelas? Dia pasti membawa Jimin ke rumahnya!" kata Taehyung menahan amarahnya.
Chaewong menghembuskan napas berat. "Nak," katanya. "Kalau dia punya seribu cara cerdik untuk masuk ke tempat ini tanpa membunyikan alarm peringatan, kemungkinan besar dia juga punya seribu tempat untuk menyembunyikan Jimin agar lolos dari penyelidikan kami."
"Jadi kalian tidak akan memeriksa rumahnya?" tanya manajer Sejin, lebih kasar dari yang seharusnya dia niatkan. "Pelakunya mungkin saja menyimpan banyak barang bukti di tempat itu!"
"Tim kami memang sedang dalam perjalanan memeriksanya," sergah Han Gi, seakan hampir marah mendengar nada mendesak manajer Sejin.
"Dia meninggalkan sidik jari di beberapa tempat." Chaewong beringsut mengerling pada lokasi bawah tangga yang berjarak beberapa meter di depan. "Dari hasil visum sidik jari, pelakunya memang benar saudara Gong Joo. Kami sudah mendapatkan identitas kependudukannya dan sedang dalam tahap mencari bukti lebih."
Kemudian, Chaewong melirik Mijin dengan pandangan curiga yang tidak wajar. "Tapi, informasi mengenai tempat tinggal dan status kependudukan saja belum cukup untuk memberitahu kami tentang lokasi yang ditujunya sekarang. Kami butuh lebih banyak informasi yang berguna untuk menganalisa jejaknya―sekecil apapun itu pasti sangat penting untuk kelancaran penyelidikan. Jadi, bila Nona ini mau ikut kami dan―"
"Aku akan ikut kalian," potong Mijin dengan dingin. Suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar parau. Mijin tidak sadar dirinya telah segugup ini setelah mendengar tuturan Chaewong mengenai tindakan mengerikan Gong Joo. Jauh di dalam hati, Mijin enggan percaya. Bagaimana mungkin wanita serapuh Gong Joo merencanakan aksi penculikan ini sendirian?
"Bagus sekali," kata Chaewong. Bibirnya melengkung ke bawah, tampak puas. "Anda akhirnya mengerti betapa pentingnya informasi saudara Gong Joo bagi penyelidikan kami."
"Ya, tapi aku tidak ingin menerima intimidasi dari kalian lagi," cetus Mijin. Dia menatap Chaewong yang sedari tadi memandangnya penuh curiga, dan merasa tatapan itu adalah tatapan paling tidak sopan yang pernah dia terima dari seseorang yang berkedudukan tinggi. "Aku hanya ingin membantu untuk menemukan Jimin, bukannya menjadi sasaran interogasi kejam kalian," katanya. "Jangan perlakukan aku sebagai pelaku kejahatan. Anda seharusnya tahu bagaimana cara sopan untuk bicara kepada seorang warga yang mau menyediakan informasi penting demi sebuah penyelidikan."
Muka Mijin terasa panas. Dia tidak pernah seberani ini sebelumnya. Melawan polisi adalah tindakan berisiko. Dia seharusnya paham hal itu. Tapi amarah membungkus pemikiran itu lebih efektif daripada niat sabarnya. Sementara Chaewong tampak menarik napas dan membetulkan dasinya dengan jengah. Han Gi menunduk, membetulkan topinya dan bergumam sesuatu. Mijin yang berada dekat dengannya mendengar kalimat maaf yang mirip suara batuk keluar dari mulut laki-laki itu. Dia tidak jadi menyesali perbuatannya.
Kemudian, seperti disentil oleh kesadaran lain, Mijin bersimpuh kembali di depan Taehyung dan manajer Sejin. Matanya memandang cemas pada keduanya.
"Aku berjanji akan menemukan Jimin," ujarnya. Dia menekankan satu tangannya pada lutut Taehyung, bermaksud menyampaikan kesungguhannya.
Sayangnya Taehyung justru enggan menatap matanya. Anak itu bahkan tidak bereaksi apa-apa dengan sentuhan penuh ketulusan di lututnya. Kau pasti kecewa, pikir Mijin. Dia juga pasti merasakan hal yang sama di hatinya, sama seperti dirinya yang merasa sedih dengan Gong Joo.
Mijin terpukul. Dirinya telah melakukan kesalahan besar kali ini.
"Taehyung-aa," bisiknya. "Ka―kau percaya kepadaku, kan?"
Taehyung hanya menatap hampa lantai di depannya.
Tetesan air mata jatuh ke pipi Mijin. Dia menelan ludah dengan susah payah, menggali lebih dalam pada kedua manik mata Taehyung untuk menemukan secercah harapan yang tersembunyi. Tetapi, dia tidak menemukannya. Mata itu kosong dan tanpa jiwa. Taehyung tidak bisa dia gapai.
"Se―Sejin Oppa?" Mijin lantas beringsut menatap manajer Sejin, memohon sesuatu demi sebutir kelegaan yang sangat ingin dirasakannya. Tetapi, manajer Sejin ternyata sama saja. Ulu hati Mijin serasa dihantam ketika melihat pria itu hanya terpaku memandangnya dengan sorot kekecewaan yang begitu besar.
Mijin merasakan jantungnya teremat sampai pada titik kepedihan yang tidak bisa dibendung lagi. Jimin hilang, dan tidak ada yang bisa dua laki-laki itu lakukan selain memuntahkan kekecewaan pada satu-satunya wanita yang kenal baik dengan pelakunya. Apa yang harus Mijin lakukan agar mereka percaya kepadanya? Rasa sesak mengikat paru-parunya dengan kuat. Mijin ingin sekali memohon, merengek kepada mereka agar berhenti memandangnya dengan tatapan menyakitkan seperti itu.
"Kumohon ...," lirihnya dengan parau. Tangannya di atas lutut Taehyung bergetar ketika mengatakannya. "Jangan benci aku."
Namun, walau suara paraunya telah berubah menjadi isakan kesedihan yang tenggelam dalam bising ruangan, Mijin menyadari bahwa sesuatu telah ikut terenggut dari dalam dirinya, sesuatu yang sangat berharga, yang membuat pengorbanannya menjadi sebuah tindakan yang sia-sia. Memohon seperti apapun, Mijin tahu, kepercayaan mereka yang mulai runtuh kepada dirinya tidak akan bisa terbangun kembali.
Tidak akan pernah.
-oOo-
Seratus kilometer dari dorm.
Dunia di sekelilingnya tersembunyi di balik selimut kabut tebal, dan benaknya terselip dalam bayangan suram yang mengimpitnya bagai lapisan mimpi.
Rasa sakit yang tajam menusuk kepalanya. Jimin merasakan seluruh tenaganya telah disedot sampai pada tingkat ketidakberdayaannya untuk membuka mata. Dia ingin sekali terbangun, tapi dia tidak bisa. Kegelapan yang pekat entah bagaimana telah menghanyutkannya dalam tidur yang panjang.
Akan tetapi, Jimin mulai merasakannya di tengah udara pengap yang membungkus kulitnya. Dia mencium aroma apak yang begitu kental, seakan-akan bau itu memerangkapnya di dalam timbunan pakaian usang. Tidak. Jimin masih sadar dengan keberadaannya. Dia merasakan kerikil dan debu tebal menggesek lengannya yang tidak tertutup pakaian. Kulitnya terasa panas dan perih, tapi bila dibandingkan dengan denyut mengerikan di kepalanya, goresan tajam kerikil itu bukanlah apa-apa.
Di mana aku?
Jimin merasakan kabut di sekelilingnya memudar. Lalu, setelah beberapa saat yang cukup lama, serangan peristiwa itu membuka kesadarannya bagai sabit yang mencabik kulit ....
"Jangan sentuh aku!"
"Pergi! Pergi! Pergi kau dari sini!"
"TOLONG AKU!"
Memori itu membawanya berkelana lebih jauh ke dalam lorong ingatannya, sampai kemudian dia mendengar kembali gaung suara yang melengking samar, mengirimkan getaran tidak nyaman yang mematri permanen di dalam benak memorinya. Jimin ingin mengenyahkan suara mengerikan itu dari kepalanya, lari dari sebuah kenyataan tergelap yang telah dialaminya.
Namun, dia tidak bisa. Rasa sakit di kepalanya membuatnya lumpuh. Udara pengap dan bau tajam di sekelilingnya membuatnya kesulitan untuk bernapas. Ada rasa panas seperti bara api yang menjilat dasar perutnya, bergejolak dan membuatnya mual. Jimin melayang-layang dalam batas kesadarannya.
"Jimin ...."
Terdengar sebuah suara. Jimin hampir tidak bisa menangkapnya karena timbunan berbagai macam perasaan asing yang menyerang inderanya. Akan tetapi, suara itu perlahan berubah menjadi sebuah seruan yang memanggil namanya berulang-ulang, menabuh gendang telinganya, mendorongnya untuk keluar dari geliat tidur yang menyakitkan ini.
"Jimin, buka matamu!"
Dunia yang menyapanya ketika Jimin membuka mata adalah sebuah dinding yang tampak temaram di bawah berkas cahaya kuning. Itu bukan sinar matahari, Jimin tahu persis hal itu. Alih-alih, cahaya kuning itu seperti sinar lampu bohlam yang disorot dari langit-langit. Dia memaksa dirinya untuk tetap bangun, bergeming beberapa saat, menatap dinding di depannya dengan separuh kesadaran.
Kemudian, tiba-tiba dinding itu tertutup oleh bayangan wajah seseorang yang sedang menatapnya.
"Jimin, kau sudah sadar?"
Siapa?
Siapa kau?
"Jimin, maafkan aku," kata suara parau itu.
Meski Jimin tahu dia tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tapi dia bisa menduga suara itu milik perempuan. Pandangannya masih buram. Jimin hanya bisa menangkap kontur wajah dan helai rambut yang menjuntai berwarna gelap, sebab barangkali kepala orang itu memblokir sinar lampu. Tangannya lalu digenggam erat, dibawa menuju bibir orang itu―Jimin menebaknya demikian―karena yang dirasakannya sesaat kemudian setelah ucapan maaf itu adalah sentuhan kecupan basah yang mendarat di punggung tangannya.
"A―aku tidak ingin mereka membawamu pergi," bisik suara parau itu setelahnya.
Tangannya diremat dengan amat kuat. Jimin rasanya ingin menangis, melolongkan keinginannya untuk pulang bertemu dengan yang lainnya. Tetapi lidahnya kelu dan pahit. Tenggorokannya sekering pasir di gurun. Jimin tidak sanggup membuka mulutnya untuk berbicara.
"Berjanjilah kepadaku, Jimin," kata suara itu. "Bi―bila mereka kemari, jangan katakan apapun! Jangan lakukan apapun! Mereka ... mereka akan berbuat sesuatu bila kau tidak menurut!"
Kemudian, Jimin mendengar suara pintu terhentak kasar. Serbuan cahaya menyakitkan mata terpapar dari arah samping kanannya. Suara derap langkah kaki menyerbu masuk, memenuhi pendengaran Jimin dan menyatu dengan denyut mengerikan di dalam kepalanya. Bayang wajah di depan matanya tiba-tiba lenyap. Pemilik suara parau itu berdiri dan menghampiri asal suara. Jimin merasa kesadarannya hampir goyah, tapi dirinya melawan sekuat tenaga untuk tidak terseret ke dalam kegelapan.
Dan, di balik rasa sakit itu, Jimin mendengar suara-suara asing, bercampur dengan denging di telinganya.
"Apa yang kau lakukan?" bentak sebuah suara berat laki-laki. Jimin mengernyit karena nada tinggi suara itu membuat kepalanya semakin berdentum-dentum. "Kenapa kau membawanya?"
"A―aku tidak bisa meninggalkannya!" Itu adalah suara parau perempuan yang tadi, kali ini terdengar panik dan ketakutan. "Ka―kalian berjanji akan membantuku mendapatkan apa yang kuinginkan, bukan?"
Terdengar helaan napas frustrasi. "Kau tidak bilang kalau dia―berengsek―seorang artis! Sialan! Beritanya pasti akan tersebar luas! Apa kau tahu seberapa kecil peluang kami untuk lolos kali ini?"
Entah bagaimana Jimin menduganya, kedua orang itu seperti berada tidak jauh darinya, paling tidak hanya berjarak dua sampai tiga meter. Jimin memaksakan diri untuk sedikit berpaling agar bisa melihat wajahnya, tapi rasanya sungguh menyakitkan ketika menggerakkan leher. Dia mengerang, yang kedengarannya malah mirip bisikan rintihan. Dia mendengar laki-laki itu bicara lagi.
"Kegiatan kami mulai terendus, jangan berlagak kau tidak mengetahuinya!" sergahnya. "Kau tidak ingat tentang wartawan kemarin? Kukira dia sudah mati―fuck―aku sudah menyiksanya dengan keji―nyatanya dia masih hidup! Bayangkan apa yang akan terjadi bila dia sudah bangun dari koma dan menceritakan rahasia kami!"
"Aku sudah memotong lidahnya!" suara parau itu kini berteriak.
"Lalu kenapa kalau kau memotongnya? Memang hal itu menjadi halangan baginya untuk bercerita, hah?" laki-laki itu menyahut tak kalah panas.
Memotong lidah?
Jimin membeku. Dia berusaha untuk mempertahankan kesadarannya yang mulai melemah lagi. Percakapan itu seperti membuka suatu ingatan di dalam benaknya. Jimin ingin mendengar lebih banyak lagi. Tapi ... rasanya sungguh sulit. Gelombang kegelapan mulai memendam kembali suara-suara itu. Jimin tidak punya cukup waktu untuk memproses apa yang mereka katakan. Suara mereka mulai berbaur dalam aroma usang ruangan yang pekat.
Akan tetapi, sebelum Jimin membiarkan dirinya diseret oleh arus kehampaan yang menenangkan, dia mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut laki-laki itu. Kalimat yang memicu mimpi buruknya, yang membuatnya terhenyak dalam dunia barunya yang berkabut.
"Jawab aku Gong Joo, apa yang kau rencanakan dari penculikan Park Jimin?"[]
Nah, jadi, gimana tanggapan kamu setelah baca chap ini? Ada yg bisa nebak percakapan pria asing tadi dengan Gong Joo?? Apa yg sedang mereka bahas? Adakah hubungannya dengan sesuatu yang belakangan terjadi?
Jangan lupa vote, dan terima kasih banyak sudah berkenan baca ;)
Love u.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top