16 - The Investigation [2]

PART 2

Pengusutan

.

.

.

Melewati pagar tinggi yang dibuka dengan bunyi kerit melengking, berjalan di sepanjang lahan berkerikil yang berbunyi di bawah kakinya, manajer Sejin masuk dengan tergesa ke halaman dorm. Jaket yang dikenakannya dinaikkan ke atas kepala untuk melindunginya dari hunjaman hujan. Kilat tiba-tiba menyambar ketika manajer Sejin sampai di teras; spontan menutup telinganya. Dia bergegas menekan bel, menunggu sebentar, kemudian wajah Taehyung muncul dari celah pintu.

"Ayo, ayo, cepat masuk dulu," kata manajer Sejin dengan gigi bergemeletuk karena dingin. Didorongnya Taehyung hingga pemuda itu ikut terseret ke dalam bersama dirinya.

Pintu menutup di belakangnya. Setelah meletakkan sepatunya di rak, manajer Sejin menuju ruang tamu yang berbatasan dengan dapur. Dia melihat Yoongi tengah bersantai di sofa sambil menonton siaran berita, sementara Jimin sedang menyeruput semangkuk sup di meja makan di dapur di sebelahnya.

"Bagaimana keadaanmu, Jim?" tanya manajer Sejin sembari duduk di dekat Yoongi dan melepas jaketnya.

Jimin menyahut dengan mulut penuh, kelihatan sangat sehat dan jauh lebih semangat daripada tadi. "Luar biasa," katanya.

Taehyung membuka lemari es, mengambil sekotak susu dan menuang isinya ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Jimin. Hubungan keduanya membaik setelah Yoongi dengan murah hati mengungkapkan segala hal yang selama ini membeban di benaknya. Tetapi Yoongi seperti tidak mau mengakui apa yang baru saja telah terjadi di antara mereka. Meski demikian, Taehyung dan Jimin tahu tentang alasan di balik sikapnya; ini persoalan tipikal Yoongi yang cenderung suka menyembunyikan segala macam bentuk perhatian, jadi mereka membijaki kenyataan itu dengan sepakat untuk tidak membahasnya lagi.

"Hyung-nim mendapat giliran jaga dorm?" Taehyung bertanya selagi menarik mundur kursi di sebelah Jimin dan duduk di atasnya. "Kukira Hyung-nim akan menelepon dan menyuruhku menemani Jimin di sini, sementara Yoongi Hyung kembali pergi latihan bersama yang lain."

"Enak saja," Yoongi menyahut tanpa repot-repot berpaling dari reporter wanita di televisi yang sedang membacakan laporan berita. "Jimin biar kujaga. Taehyung kan punya banyak masalah dengan gerakannya. Latihan saja sana sampai mampus."

"Hyung, apa maksudmu bicara begi―"

"Sudah cukup kalian berdua," potong manajer Sejin dengan tampang gundah. "Aku hendak mengajak Taehyung pergi untuk mencari keterangan di gedung pertunjukan mengenai kasus kecelakaannya―surat perintahnya sudah kudapatkan. Dan kau, Yoongi," melirik Yoongi dengan tajam, "Kau akan kuantar kembali ke agensi untuk latihan bersama yang lain. Jimin akan ditemani oleh staf yang bergiliran jaga hari ini."

Yoongi langsung berpaling dari televisi dan memandang Hyung-nim-nya dengan dahi berkerut kecewa. "Kenapa harus Taehyung?" katanya dengan semacam erangan tidak terima. Sulit sekali menerima keputusan tentang latihan rutinnya yang harus diikuti kembali.

"Taehyung yang tahu kronologi kejadiannya," kata manajer Sejin selagi sibuk merogoh saku di bagian belakang celananya untuk mengeluarkan ponsel. Jemarinya menari sebentar di monitornya sebelum beringsut melirik Yoongi. "Dia masih ingat tempat-tempat dan situasi yang terjadi sebelum kecelakaan. Kemungkinan dia akan berguna saat ikut nanti."

Sementara Yoongi hanya menanggapi alasan itu dengan dengusan pelan. Ingin sekali mencoba menawar, tapi terlampau sadar kalau usahanya pasti sia-sia. Dia sudah mengenal manajer Sejin terlalu lama sehingga dia cukup tahu bentakan seperti apa yang akan dia dapatkan kalau mencoba membantahnya.

"Masalahnya anak-anak," manajer Sejin tiba-tiba menukas sedih, "aku belum mendapat kabar dari staf yang harusnya bertugas menjaga dorm kalian. Dia tidak bisa dihubungi seharian ini."

"Memang siapa yang bakal menjaga?" tanya Jimin.

"Kim Mijin," jawab manajer Sejin.

"Mijin Noona juga ikut menjaga?" Taehyung merasakan gejolak tidak enak mampir di lambungnya setelah sekian lama tidak mendengar nama itu lagi. Pertemuan terakhirnya dengan Mijin bukanlah sesuatu yang bisa dianggap biasa saja. Rasanya sulit untuk melupakan kenyataan bahwa dia pernah membuat seorang wanita dewasa menangis karena sebuah tuduhan. Taehyung baru saja berpikir (yang seharusnya sudah dia lakukan jauh-jauh hari tapi malah baru kepikiran sekarang) apa yang akan dia katakan kalau bertemu pandang dengan Mijin nanti?

"Kenapa memangnya?" manajer Sejin menatap Taehyung curiga.

"Tidak apa-apa," kata Taehyung, berusaha mengontrol suaranya. Dia melirik manajer Sejin yang masih memandangnya seakan bisa membaca sesuatu, lalu cepat-cepat mengaliihkan topik. "Kenapa Mijin Noona tidak bisa dihubungi? Apa ada sesuatu?"

"Aku juga tidak tahu," kata manajer Sejin. "Kemarin dia bilang akan datang ke sini, tapi sejak tadi pagi ponselnya tidak aktif."

"Mungkin Noona masih sibuk," kata Taehyung.

"Mungkin saja," kata manajer Sejin. "Tapi aku tidak bisa tahu tentang kabarnya selama ponselnya mati―eh, bukan, maksudku, uh―" manajer Sejin menggosok telinga belakangnya, tampak sangat salah tingkah, "―Chaewong-ssi menghubungiku kalau kita harus segera berangkat, padahal aku belum menemukan orang yang bisa menggantikan Mijin untuk menjaga dorm."

Jimin kemudian menyahut dengan enteng. Sup di mangkuknya sudah habis dan sekarang dia mulai mengudap permen kunyah dari sebuah toples. "Bagaimana kalau kalian berangkat dulu saja? Biar aku yang menunggu Noona di sini."

Yoongi langsung berpaling memandang Jimin dengan ekspresi heran. "Jadi maksudmu, kami akan membiarkan target utama yang diincar pelaku berdiam diri di dalam rumah sendirian? Tanpa seorangpun yang menjaganya? Keren sekali idemu. Sekalian saja pasang papan reklame besar-besar dan pakai tulisan 'PARK JIMIN SEDANG SENDIRI DAN ADA DI SINI' supaya dia tidak perlu repot-repot mencarimu."

"Aku kan bisa jaga diri!" Jimin menukas dengan panas. "Rumah ini kan sudah dilengkapi keamanan, dan kalau ada orang asing yang berniat masuk, aku akan cepat-cepat panggil polisi. Apa kalian masih menganggapku kurang pintar untuk sekedar pencet nomor telepon kepolisian? Kapan sih kalian mau melihatku sebagai laki-laki dewasa?"

Jimin nyaris saja meledak marah sehingga hal yang dilakukannya untuk melawan desakan itu adalah meraup permen kunyah dari tangan kecilnya dan melahapnya dalam sekali lempar ke mulut. Pipi-pipinya mengembung, menekan kedua matanya ke atas sehingga membuatnya makin mengkerut menutup (yang justru membuat siapapun berpikir dua kali tentang kedewasaanya).

Hening sejenak, sementara Yoongi memasang wajah kecut. Taehyung duduk di tempatnya, antara geli melihat tampang Jimin dan turut menyumbang sedih melihat tampang manajer Sejin yang gelisah berat sambil menatap ponsel.

Kemudian, keheningan pecah, bukan karena Jimin, yang tampaknya masih betah mengunyah permen untuk meredakan marahnya, melainkan karena Manajer Sejin tiba-tiba terlonjak bangkit dari sofa.

"MIJIN KIRIM PESAN!" katanya keras-keras. Taehyung hampir melorot dari kursinya karena kaget, dan Jimin nyaris saja tersedak permen. Sementara Yoongi hanya menanggapi teriakan lantang itu dengan desahan napas khas orang malas. Tangan manajer Sejin teracung memegangi ponsel yang menampilkan balon pesan Mijin. Ekspresinya langsung berubah cerah secepat jari menekan tombol on/off lampu.

"Coba kita lihat!" Manajer Sejin membawa ponsel itu ke depan wajahnya. Dia membacanya sebentar, kemudian langsung tersenyum girang, yang menurut Taehyung malah tampak seperti seringai orang bodoh.

"Ada apa?" tanya Taehyung, setengah berharap dia tidak bereaksi sama seperti manajer Sejin ketika mendengar pesannya. Apa yang membuat Hyung-nim mendadak berubah seperti ini?

"Dia akan datang katanya―oh, syukurlah―sebentar lagi! Tadi ponselnya mati dan dia sedang belanja di luar." Manajer Sejin beralih pada Jimin, "Jim, kau tunggu sebentar, oke? Mijin sudah di jalan dan akan datang dalam lima belas menit. Dia menyuruh kita untuk pergi duluan. Aku akan hubungi Chaewong-ssi dulu."

"Oke," kata Jimin, jelas sekali menurutnya itu bukan berita yang membuatnya tertawa bahagia, yang artinya satu kecurigaan untuk alasan senyum bodoh manajer Sejin. "Kenapa Hyung-nim senang sekali?" Jimin bertanya.

Manajer Sejin tampak kebingungan sesaat untuk menjawabnya. Matanya berkedip-kedip sambil menjelajah sekeliling, seakan sedang mencari sebuah alasan. Gelagatnya sekarang tampak begitu mencurigakan di mata para member.

"Itu ...," dia berkonsentrasi memilih kata-kata, "Aku hanya lega karena dia akhirnya merespon pesanku―tahu kan? Ini masalah tanggung jawab pekerjaannya."

Lalu manajer Sejin langsung menyambar jaket di lengan sofa dan memakainya. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan menghadapkan wajah pada ketiga memberpun tidak. Dan, meskipun manajer Sejin mengira alasan yang diberikannya adalah sesuatu yang wajar, ketiga member itu justru berpikir hal sebaliknya.

Manajer Sejin tidak menyadari kalau wajahnya yang sekarang sudah semerah tomat.

-oOo-

Taehyung berdiri di depan jendela, memutar matanya ke langit-langit yang masih memuntahkan hujan dengan begitu deras. Dia menoleh ke samping ketika merasakan tepukan seseorang mendarat di pundaknya.

"Ayo kemari." Manajer Sejin menarik lengannya dan menyuruh Taehyung untuk duduk di salah satu kursi, sementara dia berdiri di belakang Taehyung.

Taehyung memandang berkeliling ruangan itu sekali lagi. Dia dan manajer Sejin, juga seorang polisi yang diingatnya sebagai kepala penyelidik yang bertanggung jawab di kasus pembobolan sebelumnya, datang membawa surat perintah untuk mencari bukti keterangan tentang kecelakaan yang menimpanya beberapa waktu lalu. Seorang petugas yang memakai seragam hitam dan topi yang menutupi rambut cepaknya mengantar mereka ke sebuah ruangan yang penuh monitor dan orang-orang berseragam sama, lalu mempersilakan mereka untuk duduk menghadap salah satu monitor yang menyala.

Petugas itu sebentar-sebentar menatap Taehyung, yang membuatnya merasa aneh sekaligus merasa malu. Taehyung bertanya-tanya, apakah yang hendak dilakukannya ini adalah pilihan yang tepat? Dia seperti sedang mencari-cari kesalahan karyawan dengan mengais bukti rekaman penyusupan yang terjadi di bawah pengawasan ketat mereka.

Tiba-tiba saja Taehyung merasa takut. Pikiran-pikiran berkecamuk di dalam benaknya, menenggelamkan kepercayaan diri Taehyung, membuatnya merasa kecil dan malu sekali. Bagaimana bila dia tidak menemukan sosok itu? Bagaimana bila dia tidak mendapatkan bukti apapun? Bagaimana bila yang dilihatnya pada malam itu memang benar adalah delusinya? Apa yang harus dia katakan pada orang-orang?

"Taehyung-aa." Manajer Sejin memanggilnya. "Kau baik-baik saja?"

"Ya," kata Taehyung. Dia tidak bisa mengungkapkan semuanya di sini sekarang. Sudah terlambat.

Petugas itu menatap monitor di depannya sebentar, lalu beralih pada Taehyung. "Rekaman di mana yang ingin anda lihat?"

Taehyung melihat kotak-kotak rekaman yang tertata sesuai urutan nomor kamera pengawas di monitor. Ketika Taehyung menyebutkan nama tempatnya, petugas itu mengetikkan perintah dan sebuah kotak berkas rekaman muncul. Dia membuka kotak itu dan menyesuaikan pada tanggal dan waktu yang diperkirakan. Kemudian, rekaman yang dipilih mulai berputar. Itu adalah sebuah area parkir yang dikenalnya. Tampak kosong, sepi dan sunyi. Dalam situasi yang berlawanan dengan seharusnya, Taehyung merasa agak merinding, seperti sedang menonton film horor.

Taehyung melirik petugas di sebelahnya yang terus mengawasi monitor dengan teliti. "Jadi," katanya sambil menunjuk gambar sebuah pilar besar di tayangan rekaman. Taehyung kenal pilar itu. Dia juga tidak asing dengan toilet dan jendela berjeruji besi yang ada di depannya. "Inikah tempat yang anda maksud? Penyusup itu sembunyi di sini?"

Taehyung mengangguk, "Ya."

Petugas itu mengeklik tombol mouse beberapa kali, mempercepat laju rekaman, lalu berhenti pada saat monitor menunjukkan Taehyung yang muncul dari balik dinding di area parkir. "Lihat. Anda datang, lalu masuk ke toilet," katanya.

Taehyung memperhatikan dirinya di dalam rekaman masuk ke toilet. Dia menunggu beberapa saat, tetapi tidak ada tanda-tanda wanita yang akan muncul dan bersembunyi di pilar. Jantung Taehyung mulai berdebar kencang di bawah ekspresi kakunya. Kenapa lama sekali? Kenapa tidak ada orang selain dirinya di toilet? Di mana wanita itu?

Taehyung terlalu memikirkan banyak hal sehingga tidak sadar bila dirinya di dalam rekaman telah keluar dari toilet. Dia memperhatikan lagi. Area parkir itu tetap kosong. Hanya ada dia dan bayangan mobil-mobil yang diparkir di latar belakang pilar itu. Rekaman kemudian menunjukkan dirinya yang sedang melambai-lambaikan tangan di depan jendela berjeruji. Taehyung sungguh malu karena banyak orang yang sedang melihatnya saat ini. Petugas di sebelahnya terbatuk-batuk kecil, dan Taehyung berasumsi dia sedang menahan tawanya agar tidak meledak.

"Ah! Lihat itu!"

Song Chaewong, kepala penyelidik yang sedari tadi berdiri di sebelah petugas, menunjuk-nunjuk sesuatu di dekat pilar dengan telunjuknya yang gemuk. Jantung Taehyung berpacu seiring matanya yang intens mengawasi titik tunjuk polisi itu.

Pilar itu hanya tampak separuh saja di monitor, tapi Taehyung yakin melihat sekelebat bayangan―seperti kibasan sesuatu yang berwarna hitam―muncul dan menghilang kembali di dekat pilar. Kemudian, Taehyung di dalam rekaman membalikkan badannya dari jendela. Tubuhnya tiba-tiba menegang, seperti melihat sesuatu. Taehyung memperhatikan mulutnya di dalam rekaman bergerak-gerak. Dia lupa apa yang sedang dikatakannya waktu itu. Tapi dia pikir itu tidak penting, karena yang dirasakannya sekarang adalah gemuruh kemenangan di dalam dadanya.

"A―ada orang, Hyung-nim lihat kan?" kata Taehyung, menengadahkan kepala ke belakang untuk mencari dukungan manajernya, tercabik di antara perasaan senang dan ngeri. "Aku benar-benar melihat seseorang waktu itu!"

Song Chaewong memerintahkan petugas itu untuk kembali pada detik-detik terakhir, saat sekelebat bayangan itu muncul. Lalu, pada ketukan yang tepat, petugas itu menghentikan rekamannya. Dia melakukan zooming dan mengutak-atik sesuatu untuk memperjelas gambarnya.

Kemudian, semuanya memperhatikan dengan serius sosok yang tampak di monitor. Itu bukan sekedar bayangan hitam. Itu adalah sebentuk kepala manusia yang tengah mengintip seorang laki-laki di depannya. Tubuhnya tidak terlihat di monitor karena bersembunyi di bagian pilar yang tidak terlihat. Hanya wajah, tapi itu sudah cukup memberikan jawaban terhadap pertanyaan besar yang selama ini berpusing dalam benak Taehyung.

Di balik kusut masai rambut berwarna hitam, tersembunyi wajah seorang wanita yang memperjelas mimpi buruk Taehyung selama ini. Lebih terang dan sangat kontras dengan warna kulit Taehyung, dengan mata lebar seperti kolam jelaga, sangat pucat dengan garis wajah yang tajam, mirip sebuah patung yang dipahat dengan begitu kasar ....

Sosok itu membuatnya membeku dalam kengerian yang hebat. Taehyung merasakan napasnya tercekat di tenggorokan. Kedua tangannya tergenggam kaku di bawah meja ... terengah-engah seakan semua napas telah disentak keluar dari paru-parunya. Kepalanya berputar, membuatnya pening dan mual. Taehyung merasa tidak berada di dalam ruangan itu lagi, dia seperti dilempar kembali ke dalam mimpi terburuknya, lalu dimuntahkan di padang rumput yang sama, dan dipaksa untuk mengulang setiap nano detik pertemuannya dengan sosok itu ....

Wajah yang dilihatnya di monitor telah menyingkap sebuah tirai buram yang selama ini menghalangi benaknya untuk mengingat-ingat keaslian sosok itu di dunia nyata.

Taehyung tidak pernah lupa, dia tidak pernah lupa sosoknya.

Dia pernah bertemu dengan wanita itu, jauh sebelum takdir mempertemukan mereka di dalam mimpi.

-oOo-

Mobil melaju, berderum di bawah hujan lebat yang kini telah berubah menjadi badai. Duduk di bangku kemudi, melawan keinginan untuk membanting ponselnya karena panggilan yang tidak kunjung diangkat, manajer Sejin tampak kalut. Alisnya berkerut resah. Dia membuang napas penuh kejengkelan ketika operator lagi-lagi mengalihkan sambungan teleponnya. "Ada apa sih dengannya?" katanya keras, mencuri perhatian Taehyung yang duduk di bangku belakang. "Kenapa ponselnya mati lagi?"

"Masih belum bisa dihubungi?" Taehyung bertanya lirih. Manajer Sejin hanya mengedikkan bahu, lalu ganti bertanya kepadanya, "Kau sendiri bagaimana?"

Taehyung melirik ke ponselnya sebentar, kemudian menggeleng sedih. "Jimin tidak bisa dihubungi."

Setelah mendengar jawaban Taehyung, manajer Sejin melawan semacam desakan bengis untuk tidak menghantam setir kemudinya dengan tinju mentah. Alih-alih, kedua tangannya mencengkeram begitu erat sehingga jari-jarinya memutih. Dia menahan napas, melihat refleksi wajah Taehyung yang begitu kacau dari kaca spion, lalu membuang desah napasnya dengan selepasan yang dalam. Suara yang keluar setelahnya jauh lebih aman untuk didengar dari pada tadi. "Taehyung-aa, kau tidak apa-apa?"

Taehyung melirik manajer Sejin sekejap, kemudian pandangannya turun ke ponsel, tidak benar-benar memperhatikan layarnya yang telah menghitam, atau melihat bayangan wajahnya sendiri yang tampak berantakan. Dia tidak menjawab pertanyaan manajer Sejin dengan jawaban seharusnya. Dia justru mengatakan hal lain.

"Jimin ...," katanya lirih. Matanya tiba-tiba memanas ketika menyerukan nama Jimin dari mulutnya. "... anak itu dalam bahaya,"

"Aku sudah menghubungi yang lain. Mereka juga dalam perjalanan sekarang," kata manajer Sejin. Suaranya terdengar tenang, tapi bukan berarti keadaan telah membaik. Kenyataannya malah tidak merubah apapun. Mereka masih gelisah, dan sepanjang detik yang berlalu, kegelisahan itu makin membengkak.

"Aku tidak percaya kalau orang itu adalah pelakunya," kata manajer Sejin dengan getir. Dia menekan gigi gas di bawahnya makin dalam sehingga mobil melaju lebih kencang di bawah badai. "Selama ini, aku mendengarkan Mijin dengan baik. Benar-benar baik. Aku percaya dengan semua ceritanya."

Taehyung terpaku beberapa saat dalam mencerna perkataan manajer Sejin. Mulutnya terasa kering tiba-tiba ketika dia menyadari sebuah fakta baru yang didengarnya. "Apa yang dia ceritakan pada Hyung-nim?" tanya Taehyung hati-hati.

"Banyak hal, banyak sekali. Sesungguhnya, aku tahu masalah yang terjadi di antara kalian berdua. Aku memberinya nasihat, dan dia menangis tersedu-sedu. Aku menghiburnya saat itu, mengatakan akan melakukan sesuatu untuk membuatmu berhenti berpikir yang tidak-tidak," manajer Sejin melambatkan laju mobilnya ketika mereka berbelok ke sebuah tikungan.

Angin dari balik atap mobil menggempur dengan deru yang kencang. Tetes hujan saling bersahutan dalam ritme ketukan yang tajam dan murka. Taehyung merenung sebentar, agak kaget dengan sesuatu yang dia dengar. Pantas saja tadi manajer Sejin memandangnya curiga ... ternyata dia sudah tahu soal penuduhan itu ....

"Mijin?"

Suara manajer Sejin nyaris tenggelam dalam deru badai yang mengguncang. Mobil berangsur memelan, kemudian berhenti di depan dorm. Bukannya bergerak cepat membuka pintu mobil, kedua laki-laki itu justru membeku saking herannya.

Mijin berada di luar sana, berjarak beberapa meter dari posisi mereka berdua. Yang membuat aneh, dia baru saja melangkah keluar dari mobilnya sendiri dan berlari kecil menuju halaman dorm. Ada apa ini? Taehyung bercetus bingung di dalam hati. Noona baru saja sampai? Bukannya tadi mengatakan akan datang dalam lima belas menit?

Taehyung merasakan rasa gelisahnya sudah mencapai ubun-ubun, menyatu dalam riak ketakutan yang menggelegak di dalam setiap sel darahnya. "Cepat turun!" dia tidak sadar meneriakkan kata-kata itu pada manajer Sejin. Taehyung langsung membuka pintu mobil dengan terburu, gemetar, berjalan keluar dalam siraman badai yang membuat tubuhnya basah kuyup, berlari melewati pintu gerbang, menapak halaman berkerikil dengan setiap hantaman kakinya.

"Noona!" Taehyung menyerukan nama itu ketika dia melihat Mijin, dalam balutan mantel panjang berwarna coklat, tengah berdiri di depan pintu teras. Wanita itu menoleh ke belakang bahunya, melihat Taehyung dan manajer Sejin yang berlari dalam kuyup hujan. Raut wajahnya langsung berubah kaget.

"Ap―kenapa? Kalian―" Mijin seperti kesulitan memilih kata-kata di dalam benaknya. Matanya turun dari atas ke bawah, melihat dua orang laki-laki bertampang kacau dan memberi respon yang jauh lebih kacau lagi. Manajer Sejin langsung menyahut tersengal. "Ada―banyak hal―harus kita bicarakan, Mijin," katanya. Dia menggapai napas dan membuat gerakan 'tunggu sebentar' dengan tangannya.

Taehyung tidak menerima itu sebagai tindakan diam. Biarkan saja dua orang itu menyelesaikan masalahnya, batinnya. Dia membuka jalan dan menyenggol bahu Mijin agar menyingkir dari depan pintu. Tangannya bergetar ketika menekan nomor password―entah karena udara dingin atau rasa takutnya yang memuncak, dia tidak sempat memikirkannya. Pintu berbunyi klik pelan. Taehyung langsung menghambur masuk ke dalam dorm, meneriakkan satu nama yang semenjak tadi meraung-raung dalam benaknya.

"JIMIN-AA!"

Sayangnya, pada saat itu harapannya telah lebur dalam kenyataan pahit yang dia temukan.

Park Jimin telah hilang, dan tidak ada yang tahu di mana dia berada.[] 










Nah, pada akhirnya, aku sampe juga di scene ini nih. Gimana nih perasaan kalian? HUAAHH AKU PUAS BIKIN JIMIN AKHIRNYA ILANG JUGAA!!

Eh, bukan, maksudku aku ga niat buruk kok, aku cuma lega karena akhirnya adegan yg kutunggu2 bisa ketulis juga. Sebenarnya inti cerita ini di sini. Si jimin ilang. Udah, thrillernya begitu doang, sayangnya selama proses pembuatan kebanyakan bumbu, jdinya ya begini ini.

Anyway, ayo salurkan tanggapan kamu tentang chap ini. Siapa yg kamu tebak jadi pelakunya? Dimana u pikir jimin berada? Siapa yg bakalan nolong? Berharapkah ada korban lain?

Terima kasih udah mampir baca. Jangan lupa vote :)

Aku sayang kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top