16 - The Investigation [1]


PART 1

Pengusutan


.

.

.

Seakan ada sebongkah batu panas yang berpendar di dasar perutnya, Jimin bergumul dengan perasaan terguncang dan resah ketika dihadapkan fakta menyakitkan tentang betapa menyusahkan dirinya di mata semua orang. Terakhir kali dia berada dalam selubung depresi itu adalah ketika dia baru didebutkan sebagai penyanyi dan melihat sendiri komentar orang yang melandaskan benci pada dirinya. Hari ini, dia mengalami lagi kejadian itu, dengan situasi yang sama sekali berbeda. Meski bukan kebencian yang didapatkan, tapi ini lebih buruk. Anggapan yang keluar dari pikiran orang-orang yang dia sayang. Jimin tidak bisa sembunyi, dan akan terus menemukan perasaan bersalah itu setiap kali menatap ke dalam mata mereka.

"Kau seharusnya jangan mengunci diri di dalam kamar," kata Seokjin. Suaranya terdengar datar saja, tapi dia tampak begitu jelas enggan menatap Jimin ketika langkahnya bergerak memasuki dapur.

Jimin tidak menjawabnya dan hanya menatap makanan di atas meja dengan tidak berselera. Seokjin melirik Jimin dari sudut matanya selagi meletakkan sepanci sup daging sapi dengan asap mengepul. "Sarapan dulu, kau melewatkan makan malam kemarin," katanya.

Taehyung menarik satu kursi di sebelahnya untuk diduduki Jimin, tapi Jimin malah melengos pergi dan mengambil selembar roti untuk dinikmati di atas sofa. Seokjin memperhatikan hal itu. Dia berpura-pura tidak menyadarinya dan kembali sibuk di atas konter dapur. Taehyung terlihat agak tersakiti, tapi sebelum dia bisa berkata apapun, Jungkook dan Hoseok telah menghambur masuk ke dapur dan meruntuhkan senyap suasana.

"Loh, mana yang lain?" tanya Jungkook setelah menyambar roti bakar dari piring Taehyung.

"Mereka akan menyusul kalau sudah siap," kata Seokjin, kemudian beralih menatap punggung Jimin yang hampir terbenam sepenuhnya di sandaran sofa. "Jim, kemarilah, ayo kita makan bersama. Kau tidak akan kenyang kalau cuma ngemil roti saja."

"Ada apa dengan Jimin?" Hoseok bertanya ketika Jimin tidak memberikan jawaban apa-apa. Seokjin memberinya tatapan penuh arti yang memunculkan anggukan mengerti dari kepala Hoseok. Kemudian, Seokjin mendekat ke sofa. Tangannya dengan hati-hati menyentuh tengkuk Jimin, membuat anak itu mendongak menatapnya.

"Ayo makan bersama," ulang Seokjin. Jimin terpaku beberapa saat. Dia memalingkan wajah ke belakang bahunya dan melihat member yang lain juga menatap ke arahnya. Lagi. Perasaan seperti tertusuk itu menyerang ulu hatinya, selalu berhasil membuatnya merasa sedih dan malu. Sebaik apapun melawan keinginan untuk menatap, situasi tidak pernah berpihak kepadanya. Jimin tidak ingin melihat wajah mereka―bukan karena benci, tapi lebih pada kondisi hatinya yang sedang terluka.

"Aku tidak lapar," katanya jujur. Pagi ini dia menemukan masalah dengan perutnya. Alasannya hanya berarti satu hal; depresi membuat perutnya kacau.

"Hari ini jadwal kita sampai malam, Jim. Makan sedikit saja," bujuk Seokjin.

"Aku sudah ambil roti," kata Jimin sambil mengacungkan roti tawarnya yang tersisa setengah.

"Itu tidak bisa disebut sarapan."

"Yang penting makan, kan?"

"Hei―"

Suara bel yang dibunyikan menghentikan perdebatan Seokjin dan Jimin. Jungkook yang berdiri paling dekat dengan lorong pintu tanpa ditugaskan sudah melangkah lebih dulu untuk membukanya. Beberapa saat kemudian dia kembali bersama manajer Sejin yang tampangnya terlihat resah, atau marah, atau barangkali keduanya―tak seorangpun yang bisa menebak ekspresinya. Dia berjalan mendahului Jungkook, menuju meja makan, mencomot roti bakar terakhir di piring Taehyung dan menggumamkan sesuatu.

"Aku baru saja melalui pagi yang melelahkan," katanya sebelum mendesahkan napas letih. Mengunyah, menelan, kemudian berbicara lagi dengan antusias. "Kujelaskan panjang lebar kepada Bang PD-nim tentang semuanya. Beliau akhirnya, yah, percaya dengan ceritaku―ceritamu, maksudku," menatap Taehyung yang sedang menyeruput sup dari sendoknya, "Beliau berpesan agar kita tetap waspada, terutama dalam urusan jadwal yang akhir-akhir ini makin merepotkan. Akan ada beberapa staf yang bergiliran jaga dorm selagi kalian pergi, sisanya, di jalan dan lokasi syuting, aku yang bertanggung jawab menjaga kalian."

"Kenapa harus ada yang menjaga dorm?" Jungkook berceletuk.

"Nah, kalian tidak mau insiden pembobolan itu terjadi lagi, bukan?" manajer Sejin menjawab dengan kernyit dalam di dahinya.

"Kami tahu, tapi mengapa harus dijaga oleh staf?" tanya Jungkook lagi. "Menurutku itu berlebihan."

"Kami sudah pasang CCTV di pintu depan, mengganti password kunci luar dan dalam, dan alarm pemberitahuan bahkan akan berbunyi kalau ada orang lain yang membobol pintu." Seokjin berkata dengan gusar selagi kembali ke meja makan. "Apa yang masih kurang dari penjagaan seketat itu?"

"Kau tidak bisa menerka dia akan datang dari mana," kata manajer Sejin. "Kalau kau yakin teknologi keamanan rumah bisa menjamin keselamatan kalian, maka kecelakaan Taehyung tidak akan pernah terjadi. Tahu maksudku? Dari mana kau pikir dia menyusup ke gedung pertunjukkan sebesar itu dengan puluhan petugas yang berjaga di setiap pintu masuk? Meretas id access? Sepertinya dia akan ketangkap duluan bahkan sebelum jarinya bisa menyentuh detektornya."

Taehyung menyuarakan gagasannya di dalam hati; keparat itu masuk lewat jendela di lahan parkir bawah tanah. Dia tidak tahu apakah itu benar atau tidak, tapi firasatnya berkata demikian; tidak ada jalan yang lebih aman selain melipat-lipat tubuhmu supaya cukup untuk melewati celah sempit di jendela. Kecuali kalau dia seorang profesional, pelakunya pasti punya tubuh sekurus tiang dan seelastis karet.

Kemudian, suara derap langkah yang asalnya dari tangga muncul. Namjoon dan Yoongi turun dengan sedikit tergesa. "Hyung-nim sudah datang?" kata Namjoon. Dia melihat manajer Sejin berdiri di tengah ruangan antara dapur dan ruang tamu. Namjoon berjengit beberapa sekon melihat ekspresi manajer Kim yang seakan siap menelan roti di tangannya bulat-bulat, sementara Yoongi hanya memasang wajah setenang air dan berkata, "Ada apaan, sih?"

"Manajer Sejin bilang mulai sekarang dorm kita akan dijaga bergiliran oleh para staf," Seokjin menyahut dengan nada kentara jengkel. "Aku bukannya tidak menghargai keputusan Bang PD-nim, tapi kupikir ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan membuat staf berada di wilayah privasi sepanjang hari."

"Kalian tahu kami tidak akan melakukan hal yang melanggar hukum," kata manajer Sejin. "Bang PD-nim membuat ini menjadi bagian dari pekerjaan."

"Oh, tapi tetap saja," Jungkook mengerang dari posisinya yang kini berpindah duduk di sebelah Taehyung. "Rasanya seperti memperkerjakan satpam yang mondar-mandir di dalam rumah."

"Apa kita masih tidak cukup menyusahkan mereka?" timpal Seokjin dengan nada menuduh. Jimin merasakan batu bara jatuh menghantam dadanya ketika mendengar Seokjin berbicara hal itu. Dia berbalik pelan dan menghadap manajer Sejin yang kini dipojokkan oleh penolakan para member.

"Anak-anak," manajer Sejin membalas lelah. "Ini tidak selamanya. Hanya sampai polisi berhasil menyelidiki siapa pelakunya dan semuanya akan kembali seperti semula."

"Kapan semuanya akan kembali seperti semula?" Jimin berceletuk ketika tidak ada seorangpun yang menyanggah. "Kapan tepatnya polisi akan berhenti menyelidiki? Dan setelah mereka pikir semuanya beres―dengan tidak atau sedikitnya bukti yang terkumpul―apakah mereka benar-benar akan menemukan pelakunya? Apakah mereka akan berhasil? Apakah teror ini akan berhenti? Oh, pertanyaannya bukan apakah lagi, tapi kapan. Kapan semua ini selesai?" Jimin bisa merasakan suaranya bergetar di ujung kalimatnya. Dia duduk dengan memeluk kakinya dan mencengkeram sejumput kain celananya dengan tangan yang berkeringat, berusaha keras melawan cekikan amarah yang hampir meloloskan seluruh napasnya.

"Jimin-aa ...," Manajer Sejin memilih kata-kata yang keluar dari mulutnya dengan hati-hati. "Aku bisa mengerti perasaanmu, sangat, sangat mengerti. Kau pasti gelisah setengah mati karena sampai sekarang pelakunya belum tertangkap. Tapi, kita juga tidak bisa membiarkan semuanya berjalan normal seperti biasa. Harus ada sesuatu yang kita lakukan untuk mencegah bencana yang lebih besar terjadi di masa depan, salah satunya dengan ini."

Kemudian manajer Sejin menatap wajah para member bergantian. Fokusnya jatuh pada Namjoon ketika dia melanjutkan kalimatnya, "apapun keputusannya terimalah. Kami sudah mati-matian memikirkan berbagai cara untuk menutupi masalah ini dari publik. Kalau kalian ngotot tidak ingin menerima perlakuan kami, silahkan pikirkan cara untuk mengusut kasus ini sendiri, tapi aku tidak bisa menjamin apapun yang bisa menyelematkan kalian dari gangguan media nantinya."

Tidak butuh waktu lama bagi Namjoon untuk mengerti maksud manajernya. Dia merespon tawaran yang kedengarannya buruk dari manajer Sejin dengan gelengan cepat sembari berkata, "Tidak―oke, maksudku oke, kami akan menerimanya. Kami akan mencoba untuk menerimanya."

Manajer Sejin memandang Jimin yang masih kelihatan murung di sofa. "Jimin-aa, kau bisa mengerti?"

"Ya," jawab Jimin.

"Bagus," kata manajer Sejin dengan nada bulat yang puas. Dia tidak tahu harus mengancam dengan cara apa lagi bila para member tetap kukuh dengan egonya.

Taehyung yang sedari tadi hanya menatap manajer Sejin dari kursinya akhirnya menyahut juga. "Hyung-nim," katanya dengan canggung. "Jadi apakah kita akan memanggil polisi lagi untuk mengusut kasus ini?"

"Oh, aku sudah melakukannya bahkan sebelum kalian bertanya," jawab manajer Sejin. Dia melangkah mendekat ke meja makan dan meneguk teh hangat dari samping piring Taehyung sebelum mendaratkan duduknya di atas salah satu kursi, kemudian berceletuk dengan tidak sabar. "Aku sudah mendatangi kantor kepolisian pagi ini, lalu meminta waktu untuk bertemu kepala penyelidik kasus pembobolan tempo lalu."

Taehyung tidak bisa membohongi dirinya untuk tidak kelewat penasaran dengan berita itu. Dia menarik kursinya mendekat hingga dadanya membentur tepi meja, memerhatikan manajer Sejin yang duduk di depannya dengan tatapan lapar informasi.

"Dia akan memberi surat perintah pengusutan ke gedung pertunjukan kemarin. Dia bilang akan mengecek semuanya―CCTV, aula dan tempat-tempat yang mencurigakan, termasuk mewawancarai staf yang bertanggung jawab pada acara lalu. Semuanya untuk membuktikan ucapan Taehyung; polisi akan menggali identitas pelaku dari bukti yang mereka dapatkan di sana."

Taehyung merasakan desakan rasa terima kasih terhadap manajer Sejin. Dia ingin mengucapkannya, tapi terlampau sulit bagi bibirnya yang secara tidak sadar kini sedang menyungging senyum. Para member yang lain juga tampak puas dengan pilihan itu, meski tidak mengatakan apa-apa. Jungkook tersenyum dalam diam, Hoseok terkekeh kecil, Seokjin berdehem untuk menyembunyikan kedutan di sudut mulutnya, Yoongi dan Namjoon memiliki ekspresi yang paling tenang, dan Jimin, meski gelisah masih menghunus dalam beban pikirannya, dia tidak bisa mengelak pada kelegaan yang membuatnya nyaris seperti melayang di udara.

-oOo-

Sore itu diawali dengan mendung yang suram dan hembusan angin dingin seperti hari-hari sebelumnya. Jungkook menguap lebar-lebar ketika kantuk yang menjemukkan datang menyerang waktu istirahatnya di ruang latihan. Seokjin datang mengagetkannya dari belakang dengan menempelkan minuman kaleng panas di tengkuknya. "Awwh Hyung! Jangan usil begini!" protesnya sambil menyambar kopi panas dari tangan Seokjin. Hyung-nya mengedikkan bahu dan beralih mengitari lima anggota lain yang tengah beristirahat sambil membagikan minuman.

"Jim, terima ini," kata Seokjin kepada Jimin yang berbaring di sudut menghadap dinding cermin. Seokjin melihat bayangan Jimin yang tertidur dan menyadari titik-titik keringat muncul di sekitar pelipisnya. Secara reflek tangannya bergerak mengguncang bahu Jimin; perutnya serasa dipelintir ketika dia tidak menemukan tanda bila anak itu akan bangun. Seokjin berlutut di belakang bahunya, mengguncangnya lebih keras, lalu melihat kelopak mata Jimin berkedip-kedip pelan sebelum terbuka.

"Hei, baik-baik saja kau, Bung?" Seokjin bertanya dengan nada yang lebih terdengar mendesak daripada khawatir.

Jimin menjawab dengan linglung, "Eh, apa? Sudah selesai latihannya?"

"Jangan ngawur. Ada apa denganmu, Jim?" kata Seokjin, kali ini ketinggian sentakan pada nadanya berhasil merenggut perhatian yang lain.

Yoongi yang berada tak jauh datang menghampiri Jimin. "Kau kenapa?" tanyanya cemas.

"Sepertinya mag-ku kambuh," jawab Jimin. Rasa sakit seperti ditusuk pisau langsung merambat hingga ke dadanya ketika dia mencoba untuk bangkit duduk.

Jimin mengerang tertahan sampai tubuhnya tertekuk. Tangannya menekan perut yang sekarang terasa seperti diaduk-aduk dengan spatula logam yang tajam.

"Tenang dulu, akan kuambilkan air mineral," kata Yoongi sebelum menghambur ke sisi ruangan yang berlawanan. Member lainnya yang berdatangan berkumpul mengitari Jimin.

"Kau segera pulang saja," kata Namjoon yang tampaknya tidak bisa bersikap tenang ketika melihat Jimin yang menahan nyeri. Matanya jelalatan melihat sekitar, mencari apapun yang bisa mengalihkannya dari keterpakuan menatap Jimin. Dia melihat bayangan sepatu yang dikenalnya berada di depan pintu kaca ruang latihan yang tertutup: pelatihnya. Namjoon langsung beranjak beberapa langkah ke depan saat pintu itu mengayun membuka. "Sabeum-nim!" panggilnya mendadak. Pelatihnya yang bernama Son Sungdeuk menoleh cepat karena tamparan suara Namjoon.

Tidak membutuhkan kata-kata banyak ketika pelatih Son mulai menggunakan intuisinya untuk membaca situasi. Dia melihat Jimin yang meringkuk di lantai dengan wajah merah padam. Teman-temannya―dengan wajah gugup seolah tidak menemukan harapan―mengitarinya; jelas anak itu tumbang. Pelatih Son mendekat dan memeriksa keadaan Jimin; mengajukan beberapa pertanyaan seperti "Perutmu sakit?" dan "Kau telat makan lagi?" yang dijawab anggukan samar. Dia berdiri tegak dan menghadap Namjoon dengan wajah datar, menyuarakan perintahnya dengan nada datar pula, seolah insiden seperti ini sudah menjadi rutinitasnya semenjak melatih BTS.

"Dia perlu minum obatnya dan makan banyak, bawa saja dia pulang untuk istirahat sementara waktu."

Yoongi tiba-tiba saja datang dengan sebotol mineral di tangannya.

"Beruntung aku menemukan tablet pereda mag di kantong tasku―tidak tahu sih kadaluwarsanya kapan, tapi sepertinya tidak berpengaruh kalau yang minum Jimin," katanya selagi berjongkok di depan Jimin.

Hoseok langsung menepis tangan Yoongi yang tampak serius hendak memberikan obat misterius itu kepada anak yang tengah sakit. "Kita bawa pulang saja," katanya. "Atau dia akan cepat mati kalau minum benda itu."

-oOo-

Gerimis telah turun ketika Jimin mulai merasakan kesembuhan dalam perutnya. Dia menatap jendela besar di sebelah kasur tempatnya berbaring dan mengamati titik-titik hujan mengalir membentuk ceruk kecil di permukaannya. Kemudian, suara pintu yang ditarik terbuka membuatnya menoleh. Yoongi dan Taehyung menghambur masuk ke dalam kamar.

"Perlu selimut lagi?" kata Yoongi selagi tangannya sibuk memaparkan selimut tebal menutup badan Jimin. Jimin bergumam tidak, dan Yoongi terpaku diam sejenak untuk menatapnya.

Kata-kata yang seharusnya keluar untuk menghabisi anak itu sudah menggantung di lidahnya. Yoongi hampir bisa merasakan kemarahan yang bergolak di rongga dadanya. Kelelahan, tekanan berat, mogok makan ... apa yang sedang dipikirkan Jimin? Yoongi membatin dalam hati, tidak sabar untuk mengomeli Jimin atas semua kebodohan yang dia lakukan. Tapi, saat ini dia bersama Taehyung, dan seandainya ketika di dapur tadi Taehyung tidak menahan lengannya dan memohon sesuatu untuk tidak memperparah depresi yang dialami Jimin, detik ini juga Jimin sudah habis di tangan Yoongi.

"'Makasih," kata Jimin.

"Jangan menyiksa dirimu lagi," kata Yoongi selagi mendudukkan tubuhnya di sisi Jimin. Sementara Taehyung menghempaskan tubuhnya di atas kasur serupa yang terletak di sebelah milik Jimin; tempat tidur Hoseok.

"Maaf," kata Jimin dengan cepat. "Aku tidak tahu kalau kondisiku bisa turun begini."

"Kau bukan tidak tahu. Kau memang tidak mau tahu," Yoongi berkata lirih, datar, dan terasa seperti duri yang menusuk telinga Jimin. Taehyung memalingkan muka menatap Yoongi. Dia terlihat santai ketika mengatakannya, tapi Taehyung tahu dari berbagai macam pengalaman kalau Yoongi sedang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Dia tahu, selalu tahu.

"Aku akan intropeksi diri," Jimin bergumam. Dia berpaling dari wajah Yoongi, menjejalkan tangan di balik selimutnya dan berbalik menghadap tembok. Perutnya serasa kembali dipelintir, tapi bukan karena mag yang menjangkitnya beberapa menit lalu; lebih seperti sensasi menyakitkan yang timbul ketika kau dituduh melakukan suatu kesalahan. Jimin menekankan wajahnya ke bantal, berusaha mencari kenyamanan yang bisa mengalihkannya dari rasa sakit itu.

"Tidak," kata Yoongi, tegas. "Kami yang seharusnya intropeksi diri."

Jimin agak tersentak ketika mendengarnya.

"Aku tahu semua member pasti sudah meminta maaf kepadamu soal rahasia itu," lanjut Yoongi. "Tetapi, aku berpikir kalau minta maaf tidak akan cukup untuk menebus kesalahan kami kepadamu. Aku akan menjadi orang berengsek bila tidak mengatakan yang sejujurnya. Kami semua menyayangimu, dan kau tahu itu. Tidak ada dari kami yang menganggapmu sebagai pengganggu, meski kau kerdil dan kadang menyebalkan. Aku menganggapmu sebagai adik kandung yang harus kusayang dan kujaga."

Taehyung mendengarkan saksama dari kasur sebelah. Dia mendudukkan tubuhnya dan menyisirkan jari pada rambutnya sembari menunduk, menyembunyikan wajahnya yang terasa panas.

"Taehyung-aa," Yoongi menyerukan nama Taehyung dengan lembut, meski hal itu lantas tidak menarik perhatian Taehyung untuk mengangkat muka.

"Maafkan aku karena sudah menjadi Hyung yang bodoh. Aku menyesal, sangat menyesal hingga rasanya setiap kali membayangkan wajahmu, dadaku terasa sakit. Kupikir aku sudah melakukan kesalahan terparah di dunia dengan tidak mau mencoba mengerti keadaanmu. Yang kau lalui selama ini adalah kekejaman yang nyata. Bagaimana mungkin kau sanggup menghadapi berbagai macam tekanan dari sisi manapun tanpa sedikitpun mengeluh? Bagaimana mungkin kau sanggup menahan perasaan ingin menyerah di dalam dirimu tanpa sekalipun protes? Bila menjadi kamu, aku akan memberontak dan menyalahkan siapapun yang membawa-bawa kebohongan tentang diriku. Tapi kau tidak. Kau justru menghadapai semua ini dengan berani. Aku ...," Yoongi memikirkan kata-kata yang tepat, "aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendiri lagi."

Seluruh pertahanan Taehyung telah terkuras sampai pada titik di mana dia tidak lagi bisa membendung air matanya. Dia menatap lantai sambil terisak. Kedua bahunya naik turun menahan senggukannya yang parah. Yoongi menepuk pelan bahu Jimin yang pada detik itu juga menenggelamkan wajah menangisnya di bantal. Dia beranjak pelan dari kasur, berjalan ke luar ruangan, menutup pintu di belakangnya dengan suara keriat pelan dan turun ke bawah tangga.

Pada saat itu, tak ada yang tahu bahwa Yoongi juga sedang mati-matian menahan sesuatu yang hendak keluar dari pelupuk matanya.[]














Part ini entah bagaimana terasa sentimentil banget. Aku coba baca part2 sebelumnya, dan baru sadar kalo selama ini the stalker sudah berubah haluan jadi drama. Ada apa ini? Adakah dari kalian yg sadar? Atau cuma aku yg mikir begitu?

Oh oh tapi, tenang saja. Mereka tidak akan selamanya berjalan di jalur yang penuh drama sedih seperti sekarang. Sebentar lagi semuanya akan terungkap, sabar yaa

Untuk kamu yg membaca, kuharap kamu masih bisa menikmati the stalker sama baiknya seperti kamu menikmati waktu santai bersama pacar. Aku tidak bisa janji untuk menyajikan thriller yang terbaik, tapi aku akan berusaha untuk membuat apa yg menurutku terbaik.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalian mengenai chap ini. Terima kasih banyak :)

Aku sayang kalian.

[edited]
10/11/2018

Kok aku jadi sedih baper baca part ini :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top