15 - The Fault

Sebuah Kesalahan

.

.

.

Gerimis berkabut halus tengah turun ketika Taehyung memutuskan untuk membuka semua rahasia yang selama ini dia sembunyikan bersama Hoseok. Dirinya kini berada dalam kecemasan maksimal di mana keinginan untuk sekedar tersenyum mengantar kepulangan para staf syuting sama sekali tidak ada. Dia berjalan menyusuri lapangan yang melandai menuju tempat mobil diparkir dengan gontai. Hoseok yang berada di sebelahnya terus memeluk bahunya, berusaha menegarkan, seraya menipu semua orang dengan alasan kesehatan Taehyung yang sedang tidak baik. " ... yah maaf, wajahnya memang kelihatan masam karena dia sedang menahan muntah, iya kan Taehyung-ie? Kita akan segera pulang, sabar dulu oke?" kata Hoseok setiap kali berpapasan dengan para staf.

Manajer Sejin berdiri menanti mereka berdua di samping mobil, dengan tangan yang terlipat di dada memandang Taehyung dengan raut curiga. Pintu mobil telah terbuka, tetapi ketika Hoseok hendak mendorong Taehyung masuk ke dalam, tangan sang manajer lebih dahulu terentang untuk menahannya. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanyanya dengan curiga.

Hoseok cepat-cepat menjawab, "Eoh, tadi Taehyung-ie―"

"Ada yang ingin kusampaikan," potong Taehyung. Dia mendongak melihat manajer Sejin dan menambahkan dengan nada nyaris terdengar putus asa. "Dengan semua anggota―Hyung-nim juga, tanpa terkecuali."

Manajer Sejin hanya merapatkan bibir dan mengangguk samar sebelum membiarkan keduanya masuk ke dalam. Hoseok yang menutup pintu kala itu. Dia melihat semua anggota saling memandang dengan wajah bingung. Jimin yang berada di dekat jendela paling belakang sepertinya baru saja bangun tidur. Dia mengusap wajahnya yang merona merah jambu karena udara dingin, mengingatkan Hoseok dengan sosok anak kecil yang begitu lugu. Mirisnya, kenyataan itu malah menohok hati Hoseok saat dia ingat berita menyedihkan macam apa yang dia bawa kemari bersama Taehyung.

"Kupikir aku harus meminta maaf terlebih dahulu kepada beberapa pihak yang selama ini menentangku," Taehyung memulai dengan kepala sedikit menunduk. Manajer Sejin tidak menyalakan mesin mobil dan duduk di jok pengemudi dengan posisi menyamping, menatap Taehyung dengan serius. Semua orang sisanya seperti dihinggapi mual karena ketegangan yang mendadak tercipta.

Taehyung melanjutkan, "Aku tahu beberapa hari ini sikapku kelewat dingin, dan bahkan membuat orang salah paham," dia melirik Jungkook dari sudut matanya. Anak itu berkedip canggung dan memilih diam mendengarkan, "Sebetulnya itu karena aku terlalu tertekan dengan keadaan. Mulanya aku memang tidak ingin mempercayai diriku, tapi setelah mengalami berbagai tahap penyesuaian, ada suatu kendali yang membuatku sadar bahwa kunci masalah ini ada padaku, sehingga tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain bergantung pada petunjuk yang kupunya."

Taehyung menelan ludahnya sebelum berkata dengan tegar, "Ini tentang mimpi yang kualami."

Manajer Sejin hendak memotong, tetapi Hoseok langsung menyahut dengan cepat. "Biarkan Taehyung menjelaskannya dulu," katanya sebelum berpaling pada Taehyung.

"Aku mengetahuinya. Maksudku, setidaknya aku tahu sesuatu untuk membongkar identitas seseorang dibalik semua kekacauan ini."

"Kekacauan mana yang kau maksud?" Namjoon bertanya sebelum Hoseok sempat mencegahnya.

"Yang selama ini terjadi," kata Taehyung. "Bermula dari pembobolan di dorm kita, lalu semuanya menjadi sulit dikendalikan. Aku harus mengatakan bahwa ada seseorang di luar sana yang sedang merencanakan hal buruk, dan kecelakaan yang baru saja menimpaku adalah salah satu bukti yang hampir tak terbaca."

Dalam situasi yang tampak menguras kemampuan logika itu, Namjoon adalah yang paling pertama peka dengan perkataan Taehyung. Dia membalasnya dengan serangan pertanyaan. "Ada hubungan apa antara kasus pembobolan beberapa minggu lalu dengan kecelakaanmu? Kenapa kau bilang seseorang? Apa yang mau kau bahas sebenarnya?"

-oOo-


Cuaca semakin tidak terkendali ketika Taehyung melepas semua beban di dalam benaknya kala itu. Hujan memercik jendela seperti ketukan-ketukan jarum yang rapat dan cepat. Kegelapan tiba dan lampu-lampu sepanjang jalan berkedip-kedip lemah sebelum akhirnya menyala dengan sinar redup. Taehyung menenggelamkan wajahnya pada permukaan tangan yang bertumpu pada kedua sikunya. Hatinya bernapas lega setelah mengatakan semuanya, tetapi dia tidak bisa berhenti memikirkan hal buruk seperti apa yang sebentar lagi menghunjamnya.

Dan, seakan semua telah disetel sedemikian mirip dengan dugaan Taehyung, Yoongi mengeluarkan suaranya dalam desisan rendah yang sarat kesedihan. "Aku tidak menyangka kalau kau benar-benar membongkar semuanya." Dia menatap Taehyung ketika mengatakannya.

Taehyung menghembuskan napas dengan letih. Dia baru saja bercerita tentang kasus pemukulan seorang ARMY yang seharusnya dirahasiakan baik-baik dari Jimin. Baru saja. Malam ini. Di depan Jimin yang kini tengah menatap kosong lantai di depannya. Taehyung tidak yakin dengan isi kepala anak itu―kecuali bila yang diperkirakannya adalah benar―Jimin pasti sedang merasa takut setengah mati sekarang.

"Maaf, tapi aku harus mengatakannya demi mendapat kepercayaan kalian," kata Taehyung. "Dan lagi, Hoseok Hyung bilang semuanya akan menjadi lebih buruk kalau aku tetap merahasiakan apa yang ada di dalam pikiranku. Aku hanya ingin kalian mengerti, masalah ini jauh lebih buruk dari kelihatannya."

"Aku tahu cepat atau lambat semuanya pasti akan terbongkar," sahut Seokjin yang duduk di sebelah manajer Sejin. Wajah pucatnya berseri dalam cahaya suram yang berasal dari penerangan lampu mobil. "Tidak akan ada gunanya bila kita terus-menerus menyembunyikan sesuatu dari Jimin." Seokjin menatap Jimin yang masih bergeming dalam kesadaran kosongnya. "Jimin-aa, maafkan kami. Tapi kau pasti bisa memaklumi alasan yang membuat kami merahasiakan semua itu darimu."

"Jadi inilah alasan sikap kalian yang begitu posesif kepadaku," Jimin memulai dengan muram. Dia bersandar gelisah pada bangkunya saat sesuatu membuatnya berpikir. "Oh, tentu saja, seharusnya aku sadar lebih cepat. Setelah malam itu kalian terus-terusan menguntit keberadaanku, menanyakan kabarku setiap satu jam sekali, dan bahkan mengira kepergianku bersama Mijin Noona adalah jejak terakhir sebelum aku diculik oleh seseorang. Seharusnya aku bisa menduga setelah mengetahui suasana hati Yoongi Hyung yang buruk pada malam itu ... Kau mendapat laporan itu, kan Hyung?" Jimin berpaling pada Yoongi dengan tatapan tidak berdaya.

Yoongi mengangguk camggung di tempatnya.

"Demi dirimu, dan kami menyesal setelah tahu semuanya berakhir rumit seperti ini." Taehyung berkata sembari menatap hujan dengan mata melamun. Dia kemudian melanjutkan dengan nada putus asa ketika Jimin tidak bereaksi apa-apa. "Aku akan baik-baik saja bahkan kalau kau marah kepadaku soal ini. Aku tahu semua ini tidak mengubah apapun. Aku hanya mengumpulkan kalian semua di sini dan berkata suatu hal yang justru membuat keadaan semakin buruk. Maafkan aku, tapi ..." Taehyung menatap satu persatu wajah di dalam mobil dengan penuh arti, " ... aku tidak bisa memendam semuanya seorang diri."

"Tidak ada yang patut untuk disesali," Jungkook menguatkan Taehyung dengan memeluk bahunya. "Aku sama sekali tidak berpikir kalau semua ini bahkan berhubungan dengan kecelakaan yang menimpamu, Hyung. Kau pasti sangat tertekan melewati masa-masa sulit ini seorang diri."

"Benar. Kau tidak seharusnya menahan semua ini seorang diri." Namjoon menyahut menguatkan, selagi member yang lain mengangguk setuju.

Sementara itu, manajer Sejin yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba saja membuka suara. "Taehyung-aa,"

Taehyung mendongak.

"Kau seharusnya bercerita masalah itu dari awal. Aku sudah hampir memanggil seorang terapis untuk memeriksa kondisimu yang akhir-akhir ini mengkhawatirkan," kata manajer Sejin. "Aku bersumpah, sepulang dari lokasi syuting ini hendak kuminta persetujuanmu untuk membuat jadwal check up."

"Maafkan aku karena telah membuat kalian semua cemas," kata Taehyung, menarik napas dalam-dalam selagi penghangat mobil membuatnya berkeringat di bagian punggung. Matanya terasa panas dan dia ingin menangis, entah bagaimana hatinya rapuh. Mengapa dirinya menjadi korban? Dia berpikir menderita. Rasa sakit menusuk ulu hatinya ketika melihat wajah Jimin yang begitu merana. Apa yang harus dilakukannya ketika bahaya yang lebih besar mengancam anak itu? Taehyung tidak sanggup untuk memikirkan nasib buruk seperti apa yang menunggunya di depan sana.

"Aku akan membicarakan masalah ini dengan Bang PD-nim," kata manajer Sejin memecah sunyi. "Kasus seperti ini sangat sulit diatasi tanpa memancing perhatian publik. Mungkin aku akan mengadakan pertemuan dengan beberapa staf kantor sesegera mungkin, dan akan kuberitahukan hasilnya pada kalian, oke?" manajer Sejin memandang raut wajah para member yang tampak begitu pias ditelan keremangan lampu mobil.

Taehyung seakan hendak berharap bahwa setidaknya ada bantahan atau sanggahan dari orang-orang. Tapi semua yang terlibat malam itu hanya diam. Sementara hujan di luar sana semakin bengis mengirimkan percikannya ke jendela hingga membuatnya buram dan kotor. Awan gelap menggantung berat di atas langit dan menyembunyikan apapun yang seharusnya bisa dinikmati ketika petang tiba. Di dalam mobil, semua orang tampak murung dan gelisah, sama seperti bulan yang tampaknya enggan muncul untuk menyaksikan malam.

-oOo-


Pagi itu Jimin terbangun di atas tempat tidurnya. Dia tidak ingat jam terakhir ketika matanya mulai memberat dan mengantarnya pada mimpi-mimpi yang buram, karena seingatnya, sepanjang malam yang menggelisahkan itu dirinya hanya berbaring terlentang dan menatap nanar langit-langit kamarnya, selagi depresi membuat perutnya menegang dan kepalanya sesak dengan gagasan-gagasan mengerikan yang silih berganti masuk ke dalam benaknya.

Apakah selama ini dia memang menjadi incaran seseorang? Jimin bertanya pada dirinya ketika dia membuka matanya. Dia menatap debu-debu yang berputar dalam berkas cahaya dengan merana, mencoba meraih jawaban dari pertanyaan yang menggantung di benaknya. Apakah kasus pemukulan siswi dan kecelakaan Taehyung benar adalah akibat dari seseorang yang sedang mengincarnya? Dia bertanya lagi, kemudian merasa jengkel setengah mati ketika jawaban yang dia cari hanya berporos pada satu kata; benar. Ucapan Taehyung semalam telah membuktikannya, bukan?

Jimin rasanya begitu marah dan sedih. Di satu sisi dia merasa terkucilkan pada kenyataan tentang semua member yang merahasiakan hal besar seperti itu darinya, tapi di sisi yang lain dia merasa sedih dengan segala kekacauan yang terjadi sampai pada level di mana darahnya menggelegak penuh keputusasaan.

Jimin tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengembalikan semuanya. Dia merasa bersalah pada anak perempuan yang dipukuli itu. Dia merasa turut bersalah pada kecelakaan yang dialami Taehyung. Mengapa saat itu dia tidak percaya kepadanya? Jimin merenung dan pikirannya kembali berputar pada kejadian semalam, ketika Taehyung melayangkan tatapan penuh arti kepadanya.

Itu adalah tatapan putus asa yang begitu menyakitkan, sekaligus memuakkan.

Jimin benci melihat Taehyung rapuh, tetapi dia tidak bisa menolak kenyataan tentang kegelisahan yang selama ini menggerogoti ketenangan Taehyung. Kenyataan bahwa anak itu mengalami masa-masa yang sulit, semua itu menghantam dirinya bagaikan dilempar sebongkah batu besar. Mengapa Taehyung menyimpan luka sedalam itu sendiri? Mengapa Taehyung tidak berusaha membuatnya mengerti tentang arti mimpinya? Mengapa justru kepada Hoseok dia berkeluh kesah? Jimin menjerit di dalam hati, merutuk dirinya yang seakan selama ini hanya diam saja melihat kesengsaraan orang lain. Semua itu karena dirinya ... Korban berjatuhan karena dirinya ... Orang-orang tidak bisa bernapas tenang karena dirinya ...

"Jimin-aa, kau sudah bangun?"

Jimin tersentak kecil mendengar suara itu. Dia mengangkat kepalanya sedikit dan melihat Taehyung di ambang pintu.

"Kau harus cepat bersiap untuk pergi. Hari ini jadwal kita padat sekali," kata Taehyung sementara dia melangkah mendekat ke ranjang Jimin. Kulit wajahnya bersinar keemasan dikecup oleh cahaya matahari yang menembus jendela. Taehyung terlihat sangat letih, dan hal itu entah bagaimana malah memantik emosi Jimin.

"Aku akan segera turun. Kalian tunggu saja di bawah." Jimin mengatakan dengan nada ketus yang tidak disengaja. Dia membalikkan tubuh memunggungi Taehyung yang telah berdiri di sisi ranjang.

Kemudian Jimin merasakan setengah bagian ranjang di belakangnya mengempis. Taehyung duduk di atasnya, menepuk pinggul Jimin yang tertutup selimut dengan pelan. "Aku akan menunggumu di sini, sekarang cepatlah cuci muka."

Tetapi Jimin justru tetap pada posisinya. Matanya menatap bantal krem di depannya dengan sorot sayu, penuh kesedihan, sebaliknya, alisnya berkerut berang dan dia bisa merasakan jantungnya berdegup menahan sesuatu yang hendak meledak. Jimin merasa ingin marah, tapi begitu sulit baginya untuk menatap wajah Taehyung yang tampak terluka setiap kali bertemu pandang.

"Jimin-aa, kau sudah bersembunyi dari kami semenjak kemarin. Kau bahkan melewatkan makan malam dan tidur tiga jam lebih awal dari biasanya. Kenapa kau seperti itu, hm?" Taehyung bertanya dengan hati-hati.

"Kau ... apa tidak cukup peka untuk menanyakan hal seperti itu padaku? Kau memang tidak tahu apa-apa atau hanya menguji kesabaranku?" Jimin berbalik bertanya dengan tajam, tidak mau repot-repot memalingkan muka untuk menatap Taehyung.

"Aku sudah mencoba menjelaskan kepadamu semalam, dan kusangka kau sudah mengerti. Semua yang kubicarakan kemarin adalah langkah berat yang harus kuambil. Aku memikirkan semuanya. Aku tahu tentang resiko kemarahan yang akan kudapat bila aku mengatakannya kepadamu. Tapi ... untuk saat ini saja, mari lupakan semua itu dan menghadapi masalah ini bersama-sama. Aku mohon."

Jimin tampak luluh sejenak. Dia ingin sekali berbalik dan memeluk Taehyung, meluapkan segala hal yang menjadi beban di dalam pikirannya, meminta maaf sepenuhnya atas ketidaksadaran perilaku yang selama ini menganggap omongannya hanya sebuah delusi, memohon untuk tidak menggantungkan diri pada orang lain selain dirinya. Tapi Jimin tidak bisa melakukan semua itu dibawah kenyataan yang membuat dirinya merasa terkucilkan, tidak berdaya, dan terlalu lemah. Semua orang susah karena dirinya. Apa lagi yang lebih buruk dari itu?

"Jimin-aa ...."

"Aku tidak tahu seberapa lama lagi waktu yang harus kita lalui bersama untuk bisa membiasakan diri bicara jujur satu sama lain," kata Jimin tiba-tiba.

Taehyung melihat punggung Jimin dari balik bahunya. Dia membuka mulut, hendak menanggapi nada perkataan Jimin yang terdengar begitu tertekan, tapi ada sebuah dorongan di dalam dirinya yang membuatnya urung.

Jimin melanjutkan setelah keheningan merayap beberapa saat. "Berapa orang yang kau pikir sudah kulukai selama kalian memendam rahasia itu padaku? Aku melukai siapapun. Sadar ataupun tidak, yang kulakukan selama ini adalah berlari dari kenyataan dan bermain dengan dunia yang seakan tidak berbahaya untuk kupijak. Aku membiarkan kalian berpikir berbagai macam cara untuk bisa melindungiku, aku membiarkan seorang anak sekolah dipukul secara brutal karena kesalahan yang bahkan tidak dia perbuat, aku membiarkan dirimu nyaris mati kedinginan di tempat itu. Berapa dosa yang sudah kuperbuat tanpa kusadari selama ini?"

Dalam kesunyian yang membuat telinga berdenging itu Taehyung berbicara dengan lirih, "Kau sama sekali tidak bersalah, Jim." Tangannya terangkat menyentuh serat selimut Jimin yang lembut. Pada saat itu Taehyung merasakan getaran tidak menyenangkan di dalam suaranya, tapi dia berusaha keras untuk menyembunyikan hal itu.

"Aku merasa hancur saat mengetahui rahasia itu dari mulutmu, seakan-akan aku dipaksa menelan sebuah mimpi buruk. Mengapa semua orang memperlakukanku seperti anak lemah yang tidak bisa apa-apa? Mengapa kau menanggung semua kesakitan itu sendiri? Mengapa kau tidak pernah berusaha untuk membuatku percaya kepadamu?" Jimin beringsut menarik selimutnya hingga sebatas kepala. Kepalanya pening karena berbagai macam emosi yang meluap-luap. Apa yang akan Taehyung jawab untuk semua pertanyaan itu? Jimin menunggu dengan ragu. Keheningan merayap selama beberapa waktu. Dia tidak kunjung mendapat jawaban, sehingga pada akhirnya Jimin memutuskan untuk bangkit duduk menghadapnya.

"Kau tidak bisa menjawab pertanyaanku," katanya lirih, sementara kedua matanya mendesak anak laki-laki di depannya agar bicara. Taehyung enggan menatapnya. Dia hanya beralih menatap lantai di bawah kaki tempat tidur.

Lalu ketika Jimin hendak melanjutkan, Taehyung lebih dulu bersuara.

"Aku pikir ... kau akan marah kepadaku karena aku membuatmu mengingat lagi soal ancaman itu."

"Apa?" Jimin mengerutkan alisnya. "Tidak―tunggu, aku memang terkejut soal itu. Aku jelas merasa takut, tapi yang lebih kucemaskan adalah kenyataan kalau kalian menyembunyikan masalah sebesar itu dari hadapanku. Terutama kau. Aku tidak tahu kebodohan apa yang merasukimu hingga bisa bertahan menghadapi orang-orang yang mengiramu sedang mabuk delusi! Kau melewati masa-masa sulit seorang diri, padahal selama ini aku ada di depanmu. Mengapa kau sama sekali tidak melihatku? Apa kau juga mulai berpikir kalau aku terlalu lemah untuk menghadapi seorang wanita gila di luar sana?"

Taehyung mendongak menatap Jimin. Dia bisa melihat sorot kecemasan yang bercampur dengan perasaan tersakiti di mata anak itu. Taehyung tahu dirinya salah, dan mendengar sendiri pengakuan Jimin justru membuatnya jauh lebih bersalah lagi. "Aku benar-benar minta maaf soal itu," kata Taehyung yang mencoba jujur. "Aku tidak memikirkan dampak yang lebih besar dari perkataanku semalam―yang kukhawatirkan hanyalah keselamatanmu saja. Aku sama sekali tidak ingin kau terluka, jadi aku berusaha untuk menjauhkan segala sesuatu yang bisa memancing kecemasanmu timbul."

Untuk sejenak kesunyian menyelubungi ruangan itu. Melihat reaksi Jimin yang hanya terpaku diam menatapnya, Taehyung hendak mengatakan sesuatu lagi untuk meyakinkan anak itu. Dia sudah membuka mulut untuk berbicara ketika suara berbisik Jimin yang terdengar begitu putus asa menghentikannya.

"Kalau begitu selamat, kau berhasil membuatku berpikir semuanya baik-baik saja. Sekarang, karena kau sudah berbaik hati membuka rahasia, aku jadi tidak bisa berhenti memikirkan betapa menyusahkannya diriku di mata kalian semua."[]




















Selamat malam :)

Pada chapter ini, entah bagaimana aku bikin Jimin jadi sensitif banget. Aku cuma menduga-duga bagaimana karakter Jimin yang asli akan bersikap kalau dia ada di kondisi ini, dan malah sikap dia yang terlalu pencemas ini yang muncul :')

Nah, jadi, apakah kamu punya pendapat sendiri mengenai karakter para member di ff ini? Atau kamu punya tanggapan tertentu tentang adegan di chap ini? Puaskah? Jenuhkah? Kuharap kamu bisa berkomentar sesuatu agar aku tidak dihantui kecemasan yg aneh2 saat aku membuat next chapnya nanti. Mari meramaikan ff ini.

Jangan lupa vote juga, kawan2 :)

Aku sayang kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top