14 - The Hesitation
Keraguan
.
.
.
Efek dari perkataan manajer Sejin meresap perlahan-lahan dalam atmosfir mobil, tergambar jelas dari ekspresi orang-orang setelah mendengarkannya, mulai dari gelisah, takut, hingga keheranan.
"Ditembak? Pria yang tadi?" Hoseok berusaha meredamkan gejolak mualnya.
"Yang baru saja menabrak mobil kita," manajer Sejin menegaskan, selagi matanya berpindah-pindah mengawasi situasi riuh di luar dan para member. "Kulihat dia hendak kabur lagi setelah polisi berhasil menggusurnya dari mobil kita. Lalu terdengar tembakan, dan orang itu sudah terkapar di aspal."
"Hendak kabur, eh? Sudah kuduga," kata Namjoon. "Awalnya kukira ada orang jahat yang mengincar kita. Aku sudah keringat dingin membayangkan orang itu menekan pelatuk pistol saat berada di depan kaca mobil. Rupanya dia hanya terlalu panik untuk kabur hingga tidak melihat sesuatu di depannya."
Jungkook menatap Namjoon untuk beberapa detik sebelum beralih kepada manajer Sejin dan bertanya, "Apakah dia pelaku pembunuhan?"
"Sepertinya begitu," jawab manajer Kim. "Kau tidak punya gagasan lain lagi setelah melihat wajahya yang belepotan darah, bukan? Itu mungkin darah korbannya yang sudah mengering."
Jungkook memejamkan matanya sesaat. Bayangan pria yang belepotan darah kering tadi melintas di benaknya. Noda merah di mulutnya, apa itu benar adalah darah korbannya? Jungkook membatin. Dia tidak bisa membayangkan cara membunuh seperti apa yang telah dilakukan pria itu―karena terlalu janggal. Apakah dia memakan daging korban seperti dalam film zombie? Tapi bagaimana mungkin? Jungkook mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa menit lalu, mencari-cari sesuatu yang lebih menggaruk rasa ingin tahunya. Ingatannya berhenti pada satu potongan kejadian; Pria itu sempat menggedor-gedor jendela sambil megap-megap, seakan ia sedang bersusah payah mengais udara ....
Tetapi apakah benar itu yang diinginkannya? Apakah pria tersebut memang sedang kehabisan napas? Ataukah ada alasan yang lebih penting daripada itu?
Bagaimana jika ....
"Bagaimana jika dia sedang berusaha meminta tolong?" Jungkook sama sekali tak sadar ketika kata-kata itu meluncur sendiri dari mulutnya.
"Apa maksudmu?" tukas Yoongi.
"Ada yang aneh dengan pria itu," kata Jungkook berusaha tenang. "Dia tampak kehabisan napas, tapi reaksinya terlalu aneh. Orang yang panik sampai sesak napas tidak punya banyak tenaga untuk kabur dari serangan polisi seperti tadi. Aku berprasangka dia sedang berusaha memberitahu sesuatu, mungkin dia mencoba ... minta tolong?" kalimat yang diucapkannya berakhir lirih, seakan sebetulnya butuh lebih banyak bukti untuk meyakinkan orang-orang di sekelilingnya. Tapi Jungkook tidak punya―nyaris, dan dia juga mempertanyakan mengapa asumsi itu muncul di dalam benaknya. Mengapa harus minta tolong? Dia terdengar seperti sedang membela orang asing.
"Aku tidak mendengar suara minta tolong," sahut Namjoon.
"Minta tolong tidak harus lewat kata-kata, 'kan?" kata Jungkook. "Dia menggedor-gedor jendela."
Kemudian Namjoon membalas dengan tidak sabar, "Dia menggedor jendela untuk memberitahu kita agar segera menyingkir supaya dia bisa lari. Bukankah itu yang biasanya dilakukan orang ketika sedang panik? Mereka tidak bisa berpikir dengan baik. Tak ada hubungannya dengan sesak napas."
"Ah, tapi Hyung ...."
Suara tajam milik Yoongi memotong, "Jungkook-aa, sebetulnya aku tidak peduli untuk mengurusi siapa pria itu, tapi kekacauan ini membuat kita semua terguncang. Tidak hanya kita dan polisi di luar sana, tapi hampir seluruh pengguna jalan―mereka yang tidak tahu apa-apa, yang seharusnya tidak melewatkan malam di tengah guyuran hujan dan suara tembakan. Panik atau tidak, pria itu tetap bersalah. Keadaannya membuat orang salah sangka. Siapa yang peduli dia pembunuh atau bukan? Kau melihat darah dan berpikir kalau dia baru saja terlibat sesuatu yang mengerikan, memang ada alasan yang lebih masuk akal dari itu? Jungkook-aa, kau mungkin punya hati yang baik, tapi kurasa saat ini bukan saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Kau tahu maksudku?"
Jungkook terhenyak, ingin membantah namun merasa kecil dan lemah. Dia tidak bisa memungkiri perasaan aneh di dalam dadanya, tapi orang-orang di sekelilingnya bertingkah seakan tidak mau merepotkan diri untuk berpikir masalah itu. Jadi dia hanya memilih diam dan mengikuti perkataan Yoongi. "Ya, Hyung," katanya mengakhiri.
Setelah beberapa saat keheningan menyapa, Taehyung yang sedari tadi terlalu gelisah untuk duduk diam dan ikut terlibat dalam ketegangan diskusi pada akhirnya angkat bicara setelah matanya mengintip keadaan jalanan lewat permukaan jendela.
"Macetnya sudah selesai," kata Taehyung yakin. "Kita bisa pulang sekarang."
Di luar sana, riuh teriakan yang merobek hening malam sudah benar-benar berhenti. Polisi-polisi entah sejak kapan sudah mengambil alih lalu lintas dan membuka celah untuk semua kendaraan agar bisa beroperasi kembali. Dalam beberapa menit, keadaan kembali seperti semula, meski semua orang yakin masalah sebenarnya masih belum tuntas―setidaknya untuk para polisi yang harus memindahkan tubuh laki-laki itu dari hadapan publik.
"Benar, sekarang kita pulang dulu," kata manajer Sejin sambil menyalakan mesin. Suara klakson yang bersahutan dari belakang mulai meraung kembali di udara, seakan orang-orang sudah tidak sabar untuk pergi dari lokasi itu. "Kalian harus cepat istirahat dan mempersiapkan diri untuk shooting besok," tambahnya sebelum melajukan mobil.
"Aku ingin segera melupakan malam ini," Hoseok bergumam di tempat duduknya. "Benar-benar menguras pikiran. Tapi setidaknya kita bisa bernapas lega karena masalah ini tidak ada hubungannya dengan kita."
-oOo-
Semua orang bangun terlalu siang pada keesokan harinya. Ruang makan kini telah dihuni oleh para member BTS yang hendak mengisi perut. Namjoon membuka obrolan pagi dengan kronologi berita penembakan semalam yang menjadi alasan insomnianya kambuh, dan reaksi yang dikeluarkan para member ketika mendengarkannya tak jauh berbeda dengan yang dialami Namjoon sendiri ketika membaca warta berita itu.
"Ajaran sesat?" Jimin melotot tidak percaya kepada Namjoon.
Namjoon mengangguk sambil menguap malas. "Polisi menduganya demikian."
"Lalu bagaimana? Ceritakan kepada kami!" desak Jimin.
"Ada saksi yang mengatakan semalam melihat pria itu berjalan seperti orang mabuk dalam keadaan kacau seperti yang kita lihat kemarin. Dia berlari ke tengah jalan dan bertingkah agresif seperti orang gila―berteriak-teriak dan mencoba menghentikan kendaraan yang sedang melintas. Pejalan kaki yang ketakutan langsung memanggil polisi dan ... yah, lanjutannya kita tahu sendiri."
Jungkook meletakkan sumpit di tangannya dengan bunyi denting keras. Ada perasaan tidak puas ketika dia mendengar tutur Namjoon mengenai kejadian semalam. "Jadi dia bukan pembunuh? Lantas kenapa harus ditembak?"
"Aku tidak bilang kalau dia bukan pembunuh," Namjoon membantah dengan tegas. "Polisi masih belum bisa menyelidiki lebih lanjut karena orang itu kini masih belum sadar. Dia masih koma di rumah sakit."
"Wah, syukurlah, kupikir polisi benar-benar menembak mati orang itu," Seokjin menambahkan dengan lirih.
"Lalu darimana mereka tahu kalau orang itu terlibat ajaran sesat?" Taehyung bertanya.
"Polisi mengambil data dari lokasi tempat tinggalnya," kata Namjoon. "Dia pria lajang berumur empat puluhan, menyewa kamar di sebuah mansion kumuh dekat perkotaan. Para tetangga bilang dia ikut sebuah komunitas rahasia yang membuatnya jadi semakin aneh. Dugaan itu diperkuat dengan saksi anak-anak kecil yang mengaku pernah tidak sengaja melihat patung-patung anjing dan kertas-kertas mantra di rumahnya."
"Uhh, ngeri sekali," Hoseok berdesis sambil mengusap tengkuknya.
"Darah yang ada di wajahnya," Jungkook menanggapi dengan ragu, "Apakah ada alasan yang bisa menjelaskannya?"
Namjoon menggelengkan kepala. "Entah, tetapi mungkin itu adalah salah satu indikasi yang menjadi bagian dari ritualnya."
"Eh? Ritual?" Jimin menghentikan kunyahannya.
Namjoon memejamkan matanya seakan berusaha merangkai kalimat. Dia kemudian berbicara di tengah deru hening yang meresap. "Yang kutahu, penyembahan berlebihan pada sesuatu yang bukan bersifat sakral dan historis merujuk pada ilmu nujum. Itu sebangsa seperti paham ajaran sesat yang belakangan menjamur di kalangan masyarakat. Mereka bisa saja melakukan ritual aneh dengan membunuh binatang tertentu dan meminum darahnya untuk dalih penyucian diri―babi, atau ayam bulu hitam, semacam itu."
"Ewh," Hoseok mengerang jijik sambil mengerucutkan bibir, dan Seokjin tidak jadi meneguk minumannya yang sudah terangkat di depan mulut.
"Bagus. Sekarang aku kehilangan selera" katanya sarkas.
Sementara butuh beberapa saat bagi Jimin untuk menyerap kalimat Namjoon. Alisnya berkerut penasaran ketika Namjoon selesai mengutarakan maksudnya. Ilmu nujum? Sesuatu berputar di dalam benaknya. Jimin seperti pernah mendengarnya, tapi dia sama sekali bukan tipe orang yang yakin dengan ingatannya.
"Ah, tapi kalian jangan percaya padaku dulu," kata Namjoon seraya melambaikan tangan bermaksud mencairkan suasana tegang. "Aku juga tidak seberapa tahu tentang hal-hal seperti itu. Karena ada banyak sekali kontroversi teori di bidang spiritualisme, persepsi yang membahas paham ajaran sesat juga berbeda-beda. Kita tidak bisa hanya percaya kepada satu teori saja. Makanya, kalau kalian masih penasaran, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membuktikan benar tidaknya teori, salah satunya adalah menjadi bagian dari kelompok itu sendiri."
"Pantatmu bicara seperti itu!" Yoongi menyambar kesal. "Mau dibayar semahal apapun aku tak bakal mau ikutan ajaran aneh seperti itu. Apalagi meminum darah babi!"
"Dan kenapa kita membicarakan hal seperti itu saat sedang makan, eoh? Astaga, aku mual sekali. Wajah pria yang kemarin jadi terbayang lagi, 'kan," Seokjin berbicara mengeluh sambil menutup mulutnya, seakan sedang menahan makanannya untuk tetap berada di dalam perut.
"Benar," kata Hoseok, menghirup udara dalam-dalam. "Sebenarnya sejak beberapa menit yang lalu aku sudah berusaha untuk menahannya ... bayangkan, siapa yang tidak kepikiran sedang meminum darah babi saat ini?" Hoseok menunjuk sebotol besar sirup berperisa anggur yang berdiri di tengah-tengah meja makan. Warna cairan di dalamnya merah pekat, cocok sekali bila dianalogikan sebagai darah.
-oOo-
Pada suatu sore, Taehyung mengalami tidur yang tidak lelap. Di mimpinya, dia melihat perempuan itu lagi, tapi kali ini wajahnya tidak ditampakkan. Satu hal yang membuatnya yakin kalau itu adalah perempuan yang sama seperti di mimpi sebelumnya adalah gaun putih yang dikenakannya. Taehyung berlari menghindar sebelum perempuan itu mendekat, kemudian dia menemukan dirinya berjalan di sebuah lorong panjang. Lalu ada Hoseok yang berdiri menyambutnya di ujung lorong sambil tersenyum lebar. Tangannya melambai menyuruhnya mendekat, tapi ketika Taehyung sudah ada di depannya, Hoseok malah berubah menjadi kuda hitam raksasa yang kelihatan marah sekali. Kakinya menghentak-hentak lantai dengan berang. Taehyung memejamkan mata dan menutup kedua telinganya karena takut.
Tepat setelah itu, Taehyung mendengar bisikan di dalam kepalanya yang menyuruhnya untuk segera bangun.
"Tae, bangun!"
"Emh ... pergi kau dasar kuda edan!" Taehyung merengek dalam tidurnya.
"Hei! Bangun kau biadab brengsek!"
Kelopak mata Taehyung terbuka lebar ketika suara sentakan Hoseok menggema di telinganya. Dia mengerjap dengan ekspresi terkejut, merasa bingung setengah mati tentang keberadaannya. Beberapa saat kemudian terdengar hingar bingar orang-orang yang berbicara di sekelilingnya. Ada deru angin yang menyibak rambut Taehyung, suara mesin mobil, dan gelak tawa yang timbul tenggelam di tengah kebisingan. Taehyung baru ingat kalau dia tertidur di lokasi syuting.
"Oh, astaga, aku tidur ayam rupanya," Taehyung berkata lirih di sela kegiatannya mengubah posisi. Dia menatap sehamparan wilayah kecil pertokoan yang siang ini terasa sangat sepi karena jalan masuk ditutup untuk keperluan syuting. Kamera dan peralatan perfilman sudah ditata sedemikian rupa mengelilingi beberapa titik untuk pengambilan gambar. Taehyung masih memijat lehernya yang kaku ketika disadarinya suara Hoseok tidak terdengar lagi. Dia mendongak dan menemukan Hyung-nya itu tengah menyipitkan matanya sambil memasang muka jengkel. Bibirnya tertekuk tajam ke bawah, khas seorang Hoseok.
"Puas kau menyebutku kuda edan?" kata Hoseok sambil menghempaskan tubuhnya di sebelah Taehyung. Mereka duduk di atas karpet empuk yang digelar di bawah tenda besar. Taehyung membutuhkan beberapa detik untuk mencerna maksud dari Hoseok, kemudian mimpi yang menjadi biang keladinya membuatnya sadar. Dia cepat-cepat minta maaf karena sudah secara tidak sengaja mengatai Hoseok seperti itu. " ... benar-benar tidak tahu kalau kau sedang membangunkanku," katanya membela diri.
Hoseok rupanya datang untuk mengajaknya makan bersama. Keduanya kemudian melewatkan sisa waktu dengan perbincangan ringan. Setelah beberapa saat, angin sejuk berubah menjadi dingin yang menggigit kulit. Warna biru pucat di atas langit telah berganti menjadi gumpalan awan seperti permen kapas yang berwarna kelabu. Sore yang mendung tiba, tapi syuting masih terus berlangsung setidaknya selama hujan belum turun. Dari kejauhan, Taehyung bisa melihat Seokjin yang tengah berakting sesuai arahan sutradara. Dia sedang berdiri di tepi jalan dalam setelan jas berwarna baby blue. Ada buket bunga cantik di tangannya. Seokjin terlihat menawan sekali ketika bergaya dengan pose seperti itu.
"Taehyung-aa," Hoseok memulai hening dengan suaranya yang lirih. Taehyung menoleh ke samping dan menyahuti panggilan Hoseok dengan deheman.
"Apa kau masih memikirkan mimpi itu?"
Taehyung tahu kemana arah pembicaraan ini. Dan, dia sebetulnya tidak berminat untuk membahas masalah mimpinya, terutama setelah kejadian dua hari kemarin yang mengakibatkan air mata Mijin turun karena tuduhan asalnya. Tapi, Taehyung tahu pertanyaan itu cepat atau lambat pasti akan datang dari mulut Hoseok, jadi sebisa mungkin dia memikirkan jawaban yang tepat untuk menutupi rasa bersalah di hatinya.
"Tidak terlalu kupikirkan lagi," kata Taehyung akhirnya.
"Loh, kenapa? Kau tidak mau memberitahu member yang lain tentang sosok sebenarnya wanita di dalam mimpimu itu?"
Taehyung memikirkan jawaban sambil beralih menatap Jimin di kejauhan. Di bawah sebuah tenda serupa yang digelar, Jimin tengah menghapal gerakan tarian bersama seorang gadis yang akan ikut muncul di dalam adegannya. Mereka berdua loncat, berputar, dan meliuk-liuk dengan indah. Wajah Jimin terlihat sangat bahagia, seakan-akan masalah tak pernah menyentuhnya walau hanya setitik. Entah bagaimana, membayangkan senyum itu menghilang dari wajah Jimin membuat Taehyung merasakan nyeri di dadanya. Rasanya seperti ada sebuah batu besar yang menghimpit jalur pernapasannya.
"Hoseok Hyung ...," panggil Taehyung lirih.
"Hm?"
"Karena aku tidak bisa melihat masa depan secara pasti, aku jadi berpikir kalau mimpi aneh yang kualami mungkin adalah petunjuk yang bisa kuandalkan untuk menemukan pelakunya," Taehyung berkata dengan sengsara. Dia menarik napas untuk mengontrol kegelisahannya dan berusaha bersikap tenang untuk melanjutkan kalimatnya.
"Tetapi, seberapa keras aku menyusun petunjuk yang kudapatkan, aku tetap tidak bisa menangkap pelakunya. Aku murka dan ingin balas dendam, tapi aku tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Aku terlalu sibuk untuk percaya kepada mimpi sehingga tanpa kusadar sebuah luka telah kugoreskan pada seseorang. Aku terlalu terpaku pada mimpi yang belum jelas kebenarannya, dan hampir saja melukai perasaan seseorang yang lain. Aku takut bila mimpi itu membawaku pada pilihan yang buruk. Aku takut bila dia mempercayaiku lebih dari yang seharusnya."
Hoseok menatap Taehyung tanpa berkedip. "Tae, aku tidak mengerti maksudmu ... siapa yang kau bicarakan? Siapa orang yang kau maksud? Siapa yang kau lukai hatinya?"
Atensi Taehyung beralih kepada Hoseok. Dia merasakan rasa nyeri yang berlipat ketika melihat wajah Hoseok yang menatapnya sendu bercampur bingung, seakan ada sebuah pertanyaan besar yang menunggunya, sementara dia tidak memiliki apapun untuk menjelaskan semua hal yang dirasakannya. Taehyung membuka mulut, tapi tak ada kata-kata yang keluar dari sana. Antara terlalu lelah dan merasa sia-sia. Taehyung ingin sekali mengakhiri percakapan ini dan melanjutkan tidurnya, kabur dari kenyataan yang membuat penat pikirannya. Tapi, sorot mata Hoseok benar-benar mendesak jawaban darinya, sehingga Taehyung menyadari tak ada celah baginya untuk melarikan diri.
"Hyung, pernahkah kau memikirkan bagaimana reaksi Jimin bila aku menceritakan mimpiku kepadanya?" tanya Taehyung.
"Tentu dia akan cemas, sama seperti aku ketika mendengarnya darimu," jawab Hoseok setelah menghela napas. "Tapi, kau tak perlu khawatir. Perasaan itu hanya akan berlangsung sebentar saja. Buktinya, sekarang aku ada di sini bersamamu. Aku menjadi satu-satunya yang percaya kepadamu. Aku yakin pelakunya akan segera tertangkap kalau kita menyelidiki baik-baik petunjuk yang kau lihat di mimpimu. Jimin―tidak, semua orang akan percaya kepadamu, aku yakin. Kau tak perlu lagi merasa lemah."
Taehyung mendengus di sela perkataan Hoseok. "Jadi Hyung benar-benar percaya kalau pelakunya akan tertangkap ...," dan menambahkan penekanan di kalimat berikutnya, "... hanya dengan mengandalkan mimpi?"
Lalu Hoseok kehilangan kata-kata selama beberapa saat.
"Bukan begitu," katanya mencoba tenang. "Berkat mimpimu, sekarang kita tahu bahwa pelakunya adalah orang yang sama dengan yang mengincar Jimin. Setidaknya informasi itu bisa memberi kita kekuatan untuk tetap waspada."
"Aku tidak melihat adanya perbedaan antara bersikap waspada dan merasa takut," kata Taehyung. Terdengar nada gusar di dalam suaranya yang lirih. "Yang kutahu, kalau aku menceritakan semuanya kepada Jimin, dia akan kembali merasa takut dan tertekan, dan yang lebih parah, dia bisa saja membenciku karena sudah berusaha memperdaya pikirannya dengan sesuatu yang seharusnya dia lupakan."
Hoseok memandang Taehyung lama. "Tae, jangan bilang kau ... berencana untuk merahasiakan semua ini kepada Jimin?"
Taehyung mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Tae, apa yang kau pikirkan? Sudah jatuh korban, dan kau masih mau tutup mata tentang kenyataan yang kau lihat di dalam mimpi?" nada kepanikan di dalam suaranya jadi terdengar begitu nyata. Hoseok melanjutkan dengan panas, "Ini masalah serius, Tae. Kau tidak seharusnya memikirkan perasaan Jimin saja. Bagaimana bila suatu saat insiden yang lebih besar terjadi? Kau sudah hampir mati malam itu, dan kau masih mau memberi kesempatan si pelaku untuk memperparah hidup kita dengan mengorbankan orang lain?"
"Aku tidak bermaksud seperti itu!" Taehyung membalas tak kalah panas. "Aku hanya berpikir kalau semua ini mungkin sia-sia!"
Hoseok memandang Taehyung dengan raut tidak mengerti. Rahangnya mengatup rapat. Alisnya mengkerut kaku.
"Mimpi itu sudah berakhir, Hyung. Tak ada petunjuk lagi. Kau pikir semua akan lebih baik kalau aku bilang orang yang berkeliaran di dalam gedung pertunjukan malam itu adalah wanita yang selama ini mengincar Jimin? Semua itu tidak akan mengubah apapun! Tak ada bukti kuat yang menunjukkan siapa wanita itu sebenarnya!" Taehyung berkata dengan cepat sambil menahan napas, seakan-akan dia sedang berusaha keras menahan dirinya agar tidak meledak.
Taehyung tahu yang diucapkannya sungguh terdengar egois dan plin-plan. Taehyung tidak menyangkal kalau beberapa hari yang lalu dia begitu ingin pendapatnya didengar, tapi dia juga tidak bisa menduga kalau saat ini keinginan untuk merahasiakan segalanya justru mendominasi. Taehyung terlalu takut untuk memulai sesuatu yang diyakininya akan membawa dampak buruk dalam persahabatannya dengan Jimin. Dia tidak bisa lagi berpura-pura dengan kecemasannya yang akhir-akhir ini melanda.
"Taehyung-aa, dengarkan aku." Hoseok memulai, "Apakah saat ini memikirkan perasaan sahabat lebih penting daripada keselamatan orang banyak?"
Taehyung bungkam. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Terlalu banyak yang dia rasakan saat ini sehingga rasanya dia tidak bisa memilah sesuatu yang menjadi alasan logisnya satu-persatu.
"Kau ingat malam ketika Yoongi Hyung pulang dari kantor polisi? Kau masih ingat berita menyedihkan apa yang dia bawa?" tanya Hoseok. Tangannya berada di dalam kantongnya selagi dia memandang langit yang tampak lebih gelap dari sebelumnya.
"Tentu. Yoongi Hyung bilang ada seorang penjahat di luar sana yang ingin merenggut Jimin dari kita." Taehyung menyahut dengan cepat, seakan mengatakannya tidak butuh berpikir dua kali.
"Oke, kau benar. Tapi bukan itu yang kumaksud."
Taehyung terdiam. Matanya menelisik wajah Hoseok yang tak sedikitpun menoleh kepadanya.
"Darimana menurutmu kesimpulan tentang adanya orang yang mengincar Jimin itu datang? Beritanya, Tae. Kau tidak mungkin melupakan kata-kata Yoongi Hyung tentang berita pemukulan anak SMA, itu kan? Siapa menurutmu yang bertanggung jawab atas luka dan trauma parah pada siswi itu?"
Taehyung terdiam sementara pengaruh kata-kata itu menghantamnya.
"Kau terlalu diributkan oleh masalah hati, sehingga tidak sadar kalau keselamatan orang lain juga terancam. Hanya karena dirimu saja yang terluka, bukan berarti kau bisa menyimpan rahasia itu dari Jimin. Keselamatan orang-orang di sekeliling kita juga penting untuk dipertimbangkan. Kalau kau tidak mau menukar rasa cemas Jimin dengan informasi mengenai sosok wanita mengerikan di dalam mimpimu, itu artinya kau sedang menyia-nyiakan petunjuk dari Tuhan," jelas Hoseok yang semakin marah.
"Aku benar-benar lupa masalah itu ..." Taehyung akhirnya berkata.
"Taehyung-aa, tiga insiden mengerikan sudah terjadi," Hoseok menggunakan jarinya untuk menegaskan perhitungannya. "Yang pertama, seorang ARMY yang dipukuli dengan brutal. Kedua, pelecehan nama Jimin di cermin kamar mandi kita. Dan ketiga, kau yang ditemukan sekarat di atas lantai aula gedung pertunjukan. Semuanya adalah perbuatan orang yang sama! Tidak menutup kemungkinan insiden itu akan terulang lagi di masa depan. Walau hanya sedikit yang bisa kita simpulkan dari mimpimu, petunjuk tetaplah petunjuk. Saat ini mungkin orang-orang berpikir kalau pelaku yang mengincar Jimin sudah tidak berkeliaran, tapi dengan adanya bantahan itu dari dirimu, setidaknya orang-orang akan mengerti kalau ancaman yang sesungguhnya masih menunggu di luar sana."
Hoseok kemudian menambahkan dengan dingin. "Dia tidak akan berhenti membuat kekacauan sebelum mendapatkan Jimin."
Taehyung hampir tidak berani untuk mempercayai Hoseok, namun walau begitu jantungnya berdegup keras di balik tulang rusuknya. Udara dingin sama sekali tak dirasakannya. Denyar panas justru terasa membakar di wajahnya, seakan hal itu membuatnya sadar tentang sesuatu yang selama ini menjadi mimpi buruknya.[]
Aku jatuh cinta banget sama Hoseok di sini. Bagaimana dengan kalian? :)
Saranghae ❤❤
Hani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top