13 - The Shot

Sebuah tembakan

.

.

.

Ketika malam tiba, hujan deras kembali turun. Para member yang tampak kelelahan setelah seharian berpose di depan serangan kilat kamera kini tengah berada di mobil, hendak dalam perjalanan pulang ke dorm.

Taehyung menjadi satu-satunya yang terlihat lesu dan tidak bersemangat malam itu. Dia tidak bisa berhenti memikirkan segala hal yang telah terjadi seharian ini. Apa Noona-nya tidak apa-apa? Taehyung tak tahu bagaimana baiknya untuk bersikap setelah tanpa sengaja membuat Mijin menangis. Dia merasa bersalah, tapi bila mengingat betapa tidak berperasaannya Mijin ketika menuduhnya mengidap trauma dan halusinasi parah setelah kecelakaan, amarah jauh lebih kuat mencabik dirinya. Benaknya secara tiba-tiba dipenuhi oleh setumpuk hal yang memusingkan. Keanehan atas apa yang terjadi dengan pola pikirnya, mimpi buruknya yang selalu menghantui, serangan rasa gelisah karena Mijin, penyakit Gong Joo ….

Taehyung tersentak ketika merasakan sebuah sentuhan di pundaknya. Dia berpaling, dan melihat Jungkook tengah memandangnya cemas.

Hyung baik-baik saja?”

“Ya.” Taehyung bergumam lirih, kemudian atensinya beralih pada kaca jendela mobil di sebelahnya.

“Makan dulu Hyung, nanti kau sakit lagi.” Jungkook menyodorkan sepotong pai apel―sisa kue yang dibawa Mijin tadi―kepada Taehyung.

“Tidak lapar,” jawab Taehyung pendek.

Jungkook hanya diam memperhatikan Taehyung yang tampak muram luar biasa. Sepanjang waktu bersamanya, sekalipun dalam suasana hati yang tidak baik, Taehyung tak pernah tega mengabaikan dirinya. Kenyataan bahwa Taehyung bersikap dingin kepadanya entah bagaimana membuat patah hatinya. Jungkook menyadari ada sesuatu yang menjadi alasan dibalik perubahan sikap Taehyung. Sesuatu yang tidak biasa, yang lebih besar pengaruhnya dari yang sanggup Taehyung kontrol.

Kecelakaan. Semenjak kecelakaan itu, Taehyung tak pernah lagi mau repot-repot untuk tertawa. Bahkan tersenyum saja Jungkook jarang melihatnya. Jungkook ingin sekali menghibur, tapi dia tak bisa menciptakan alasan untuk membuatnya tertawa―barangkali karena dia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Taehyung. Oh, kenapa dia baru sadar sekarang? Jungkook bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang Taehyung dengan merana, seakan-akan semua waktu yang dilewatkannya belakangan berubah menjadi rasa sesal.

“Aku cuma ngantuk, tidak perlu berlebihan seperti itu,” kata Taehyung tiba-tiba. Jungkook mengerjapkan matanya, baru sadar kalau yang dilakukannya sedari tadi hanyalah memandangi Taehyung saja.

“Kalau Hyung mau bercerita tentang masalahmu, senang hati akan kudengarkan. Mungkin juga aku bisa membantumu,” kata Jungkook. Dia menunggu jawaban mengesankan dari Taehyung, tapi yang dilakukan pemuda itu malah menyandarkan kepalanya di bahu Jungkook. “Kalau begitu bantu aku tidur. Bahumu sangat nyaman,” ujar Taehyung sambil memejamkan matanya. Jungkook hanya menghela napas kecewa tapi tak melakukan apa-apa untuk menolaknya.

Sepanjang perjalanan, beberapa member yang masih sanggup mempertahankan kesadarannya memilih tenggelam dalam hiburannya masing-masing. Hoseok membagi earphone dengan Namjoon, tampak hikmat mendengarkan alunan musik dan hampir terseret kantuk. Seokjin sibuk dengan kamera ponsel, sepanjang perjalanan mengambil foto pada sudut-sudut yang membuat pesonanya paling terpancar. Jimin dan Yoongi tertidur bersebelahan di bangku tengah, sementara manajer Sejin sibuk menyetir membelah jalanan di tengah cuaca yang buruk.

Keadaan di luar tampaknya jauh lebih buruk dari kelihatannya. Hujan badai mengguyur kota. Sampah-sampah ringan berterbangan, menabrak dahan pohon dan jatuh. Segelintir orang yang memaksa keluar di bawah lindungan mantel susah payah melangkahkan kakinya untuk maju, seakan-akan genta angin menimbulkan tekanan yang cukup untuk membuat mereka terbang seperti bulu-bulu ayam. Meski populasi manusia yang berjalan di trotoar sangat sedikit, kondisi sebaliknya terjadi di jalanan beraspal. Macet kendaraan. Mobil-mobil bergerak amat pelan. Suara klakson yang bersahut-sahutan dan sirine mobil polisi juga terdengar di tengah redam suara hujan yang begitu deras. Ada sesuatu di depan sana yang menghambat perjalanan mereka.

“Ada apa? Kenapa ramai sekali?” Hoseok bertanya dari kursi sebelah manajer.

“Sepertinya ada kecelakaan,” jawab manajer Sejin.

“Apa tidak bisa lewat jalan lain?” Hoseok memberi usul.

“Kau tidak lihat mobil kita terjebak di sini?” manajer Sejin menyahut dengan kesal.

“Mungkin pohon roboh atau apa,” kata Namjoon. “Kena sambar petir, barangkali? Hujannya deras sekali, sih.”

Tiba-tiba saja terdengar suara klakson yang memekik nyaring, membuat siapapun yang mendengarnya tersentak kaget (Hoseok berteriak kencang sekali) termasuk para anggota yang tadinya masih tidur nyaman di dalam mobil harus terpaksa bangun juga.

Taehyung mengerjap tersadar dari tidurnya. Mulanya dia pikir mobil telah sampai di dorm, tapi suara ramai di sekelilingnya menggeser perkiraannya. Ada pendar cahaya lampu kota warna-warni yang samar menembus lewat kaca gelap jendela mobil. Dia merasakan mesin mobil menyala, tapi pemandangan di luar jendela tidak bergerak. Macet, pikirnya.

“Sudah macet dari tadi?” tanyanya.

“Kira-kira sepuluh menit,” kata manajer Sejin. “Kita terjebak di tengah-tengah dan tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.”

“Oh, bagus. Malam ini kita tidur di luar,” sahut Yoongi dengan nada berdesis rendah.

Yoongi merapatkan jaket yang dikenakannya dan kembali bersandar pada jendela mobil di sebelahnya. Kelopak matanya masih perih karena dibangunkan dengan paksa oleh suara melengking tadi, tapi entah bagaimana dia tak bisa terlelap lagi. Suara riuh klakson yang muncul setelah dia bangun lebih parah efeknya untuk membuatnya terjaga. Yoongi mendekatkan wajahnya pada jendela, memasang wajah kecut ketika melihat beberapa mobil di luar juga bernasib sama.

“Sialan, apa yang terjadi di depan sana sebenarnya?” suara Yoongi terdengar kesal sekali sekarang. “Kenapa mereka tidak bisa mengatasi macet dengan sabar, sih?”

“Kau juga sepertinya harus sabar untuk menahan marah,” Seokjin menimpali.

Selama sekitar lima belas menit kemudian mobil baru benar-benar bisa berjalan, walau dengan kecepatan rendah―lebih cepat sedikit dari kura-kura. Manajer Sejin tak hentinya bergumam sesuatu sambil menggeleng-gelengkan kepala, sementara anggota yang lain tak punya kegiatan apa-apa selain memandangi hujan badai di luar.

Sementara Jungkook diam-diam masih memperhatikan Taehyung yang menatap kosong titik entah di luar sana. Apa yang terjadi padanya? Jungkook bertanya dalam hati. Dia menjelajah ekspresi Taehyung yang sayu, dan menemukan sebuah percikan perasaan sedih yang membayang di mata hazel Taehyung ketika keduanya bertemu pandang.

“Apa?” cetus Taehyung, agak dingin, atau barangkali hanya pura-pura tidak peduli.

“Tidak,” Jungkook menjawab cepat, lalu langsung memfokuskan pandang pada kaca jendela di sebelah Taehyung.

Kenyataannya, Jungkook merasa teramat canggung ketika menyadari sisi lain dari Taehyung. Dia ingin melakukan sesuatu, membuka percakapan atau apapun yang bisa memancing perhatian Taehyung, tapi yang dilakukan Jungkook justru menatap titik-titik air yang menempel di kaca jendela seakan hal itu adalah sesuatu yang jauh lebih menarik ketimbang mendiskusikan masalah dengan Taehyung.

Tetapi, semua itu tak berlangsung lama. Pemandangan yang dilihatnya di jendela pada detik berikutnya berhasil mengambil alih perhatian Jungkook, bahkan Taehyung juga langsung bereaksi dengan mendekatkan wajahnya pada kaca jendela.

“Apa? Ada apa?” Hoseok yang duduk di bangku depan juga sibuk mencari celah untuk mengintip, karena sepertinya ruang visualnya terhalang mobil-mobil yang melintas dan curah hujan yang memercik tak berperasaan di permukaan jendela.

Samar, Jungkook melihat bayangan mobil polisi dengan sirine merah yang berpendar-pendar. Suara klason yang bersahutan makin kepalang riuh ketika mereka mendekat. Mobil-mobil yang berjarak kira-kira tiga meter dari posisi mereka tampak membentuk sebuah pola melingkar, seakan ada sebuah insiden yang terjadi di tengah-tengahnya, entah apa, tetapi besar kemungkinan itu adalah penyebab kemacetan ini. Orang-orang, yang memakai mantel ataupun yang tidak, berkumpul di beberapa titik, berdiri dengan kaku dalam tingkat kesadaran waspada. Jungkook menyadari beberapa di antara mereka berpakaian polisi dan semuanya berwajah serius.

“Ada kecelakaan?” Taehyung bertanya tanpa mau repot-repot menoleh pada Jungkook. Atensinya masih terpaku pada keadaan kacau di luar sana.

“Entah,” kata Jungkook. “Tetapi aku tidak lihat ambulan.”

Mobil agensi tiba-tiba berhenti lagi. Jalanan kembali macet. Semua orang di dalam kini mengunci fokusnya pada sesuatu yang menguras perhatian di balik jendela, tak terkecuali manajer Sejin yang kini mulai mengerut-ngerutkan alisnya penasaran.

Karena semakin penasaran, Jungkook dengan sengaja menempelkan dahinya pada kaca jendela. Matanya menangkap pergerakan seorang polisi yang berdiri tak jauh dari posisinya. Polisi itu berteriak sesuatu, kemudian tiba-tiba jalanan menjadi ramai dengan suara orang yang menjerit-jerit. Jungkook menyipitkan matanya. Polisi itu kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan, dalam posisi siaga. Satu tangannya tersampir ke belakang sabuk, hendak mengeluarkan pistol. Jungkook mencurahkan seluruh perhatiannya pada gerakan tangan polisi itu dan tak sadar pada sosok seseorang yang tiba-tiba muncul dan berlari mendekat ke arahnya.

“JUNGKOOK AWAS!”

Debum suara benturan dan guncangan yang amat keras membuat Jungkook berteriak kaget hingga terlempar ke lantai mobil. Kedua matanya melotot menyaksikan sosok seorang lelaki yang basah kuyup, menabrakkan sisi wajahnya pada permukaan jendela mobil agensi. Matanya merah dan berkilat penuh kemarahan. Wajah lelaki itu dipenuhi darah di bagian gigi dan mulutnya, belepotan sampai ke telinga.Mata lelaki itu tidak fokus, bergerak gelisah dalam rongganya. Tangannya menggedor-gedor kaca jendela mobil agensi dengan brutal. Mulut pria itu bergerak mengatup-ngatup, seperti meminta pasokan udara ….

Kemudian terlihat tangan-tangan dari belakang tubuhnya yang memeluk dada pria itu―polisi―dua atau tiga, saling berusaha keras menarik tubuh pria itu agar menjauh dari mobil. Tapi rupanya mereka agak kesulitan karena pria itu terus meronta-ronta. Satu hentakan kuat kemudian berhasil membuat pria itu melepaskan diri dari kaca jendela, meninggalkan noda sapuan darah yang sekejap kemudian nyaris luntur karena tersiram air hujan.

Saking terkejutnya, tak ada waktu bagi semua orang yang menyaksikannya berteriak takut atau muntah karena melihat darah sebegitu banyakya. Jungkook bahkan baru bereaksi beberapa detik setelah sosok di depan matanya lenyap digusur polisi. Dia merasakan renggutan keras di bahunya. Taehyung menariknya untuk kembali duduk di samping, menenangkannya dengan pijatan di tengkuk. Jungkook agak menggigil ketika mendapat sentuhan Taehyung yang dingin dan bergetar, tapi dia tak memiliki banyak kesempatan untuk mengomentari soal itu karena benaknya masih tak bergerak pada kejadian barusan.

“A―apa itu tadi?” Jungkook berhasil berbicara.

“Ti―tidak tahu … aku juga tidak tahu ....” Taehyung menjawab dengan suara panik.

“Kalian tidak apa-apa?” manajer Sejin menginterupsi, berbalik panik ke belakang dan memeriksa keadaan Jungkook yang tampaknya masih terkejut sekali.

“Apa yang baru saja kulihat?” Hoseok berdesis tidak percaya di tempat duduknya sambil menjambak rambut frustasi. Wajahnya berubah pucat, seperti baru saja melihat zombie pemakan daging.

Jungkook masih menatap jendela di depannya dengan kengerian yang luar biasa. Tiba-tiba saja dia merasa tidak enak badan. Dia masih mengunci pandangannya pada jendela, tetapi matanya berkunang-kunang.

“Jungkook-aa, hei, kau masih di sini?” Taehyung di sebelahnya menepuk pipi Jungkook pelan, khawatir bila pemuda itu tiba-tiba pingsan karena saking kagetnya.

“Eh, aku … tidak. Maksudku, ya, cuma pusing―yang tadi mengerikan sekali,” Jungkook menjawab dengan suara tidak jelas.

Yoongi yang duduk di sisi Jungkook yang satunya langsung dengan cekatan mengambil sebuah botol mineral di kotak makanan yang tersimpan di bawah jok. Dia membuka tutupnya terlebih dahulu sebelum memberikannya pada Jungkook. Sementara member yang lain, yang masih sama terkejutnya, berusaha untuk menguasai diri seiring detik yang bergulir. Suara sirine dan gema samar teriakan orang-orang di luar sana terdengar makin riuh, merobek udara malam, membuat siapapun berpikir bahaya yang besar sedang mengancam mereka.

“Perlukah diperiksa?” Namjoon bersuara. Dia ingin sekali memeriksa apa yang sebenarnya terjadi di luar sana, tapi kemungkinan tentang apa yang dia lihat nanti jauh lebih mengerikan dari dugaannya menghantui.

“Dan meninggalkan kalian di sini tanpa pengawasan? Kalian tidak keberatan?” manajer Sejin menanggapi sambil mengusap wajahnya yang pucat dan berkeringat.
“Tidak―Hyung-nim, jangan tinggalkan kami!” Hoseok hampir menangis sekarang.

Hyung-nim pergi saja, kami akan menjaga yang lain,” Yoongi berkata sebaliknya seraya merangkul bahu Namjoon. Dia menegaskan dengan suara lantang, “Kami akan kunci pintunya dari dalam, kalau sesuatu yang buruk terjadi aku akan mengambil alih menyetir,”semacam jawaban tidak berperasaan yang muncul di tengah kekacauan situasi.

Manajer Sejin bergegas keluar dari mobil selepas mengatakan pada para member untuk tidak membuka jendela apapun yang terjadi. Semua melihat punggung manajer Sejin yang menghilang ditelan guyuran hujan. Taehyung dan yang lain segera siaga di posisi masing-masing, mengawasi lewat sisi jendela yang berlawanan. Mobil-mobil tidak ada yang bergerak di luar sana. Polisi-polisi yang semula berdiri menjaga beberapa titik kini telah hilang. Semuanya berkumpul pada lokasi yang diduga adalah TKP. Suara sirine, pendar lampu sen, dan teriakan tidak jelas membaur dalam suasana malam yang riuh.

Sampai suara tembakan yang dilepaskan ke udara menjadi puncaknya.

Pulang! Pulang! Ayo kita pulang!” Hoseok meraung di bangkunya, tertekan dalam keadaan yang semakin memburuk. “Panggil Hyung-nim kemari!” teriaknya lagi.

“Ja―jalanan sedang macet parah!” Jimin menyahut tidak kalah panik.

“Kita tetap tidak bisa pulang!” Seokjin menimpali.

Untuk beberapa saat Yoongi membeku di tempat duduknya. Bingung untuk melakukan sesuatu. Dia sudah mencengkeram jok pengemudi dengan erat, sampai kuku-kuku jarinya memutih. Pikirannya bertarung di tengah ricuh suara teriakan dan klakson dan sirine yang menggema-gema. Meski mobil mereka tidak bisa bergerak, setidaknya keadaan akan jauh lebih menenangkan bila semua orang berkumpul di dalam mobil. Tapi dia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda manajer Sejin akan kembali.

“Kita harus menjemput Hyung-nim.”

Yoongi sudah menyentuh pintu mobil dan hendak menggesernya terbuka ketika suara geretan pintu pengemudi tiba-tiba saja terdengar.

HYUNG-NIM!” semua orang berteriak bersamaan.

Manajer Sejin, dengan keadaan basah kuyup masuk ke dalam mobil dan langsung menghempaskan tubuhnya ke jok.Wajahnya yang dipenuhi sentuhan lembab tampak pucat dan begitu kaku. Tubuhnya tidak bisa berhenti bergerak gelisah. Dia memandang semua member dengan rasa takut, cemas, dan kengerian yang begitu besar. Bibirnya bergetar ketika mengucapkan sesuatu.

“Polisi menembak laki-laki yang menabrakkan diri ke mobil kita tadi,” desisnya.

Jantung para member langsung mencelos saat itu juga.[]


















a/n [edited]

6 November, 2018.

Dulu tuh pas aku bikin chap ini, ide plotnya tiba2 muncul bersamaan ketika ada hujan badai di rumahku. Jadi, ini chapnya enak dibaca pas ujan2. Kuputuskan repub chap ini sekarangpun karena di rumahku saat ini lagi hujan, hehe. Gimana dengan kalian?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top