12 - The Accusation

Sebuah Tuduhan



.


.


.


.

Ada sesuatu dalam mata Taehyung yang membuat Hoseok mempercayainya, dan air mata yang turun ke pipi Taehyung malam itu menegaskannya.

Hyung, i―ini memang terdengar tidak masuk akal,” Taehyung memberitahunya dengan suara seperti tersedak lendir di tenggorokan. Terdengar getir keraguan dalam nadanya, seakan dia sendiri bahkan tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

“Taehyung-ie,” Hoseok menelan ludah dengan gugup. “Tenang dulu. Sepertinya aku mulai percaya padamu, tapi aku perlu tahu ….”

“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Hyung!” Taehyung memotong cepat. Dia mendongakkan wajah sedikit untuk menghapus jejak basah di pipi menggunakan punggung tangan, membiarkan sinar lampu di atas kepalanya mengecup kulit dan membuat Hoseok menahan napas melihat sepasang mata Taehyung yang tampak bengkak. “Semua itu―mimpiku, kecelakaan yang kualami, dan peristiwa beberapa minggu lalu yang melibatkan insiden dorm―terlihat berhubungan. Aku tak tahu mengapa hal-hal demikian menuntunku pada semacam kesimpulan seperti itu.” Taehyung kelihatannya sangat frustasi dan kehilangan kendali atas dirinya. Dia gemetar dan menangis, seakan ketakutan dan kemarahan yang meliputinya sepanjang hari ini telah meledak.

Hoseok ingin sekali memberitahukan pada Taehyung bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa barangkali mimpi yang dialaminya memang terkesan nyata. Namun, bukan berarti hal itu menjadi jawaban atas persoalan yang mereka alami sebab semuanya masih berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Melihat jemari Taehyung yang tak bisa berhenti gemetar di balik kain piyamanya mengingatkan Hoseok betapa tak berdayanya dirinya, betapa payah dirinya yang tidak memiliki apapun untuk mengurai misteri dibalik semua ini.

Dia tidak bisa menjamin apapun untuk keselamatan Taehyung, bahkan dirinya sekalipun.

Sebab itulah, saat ini penjelasan dari Taehyung barangkali menjadi satu-satunya petunjuk yang bisa Hoseok andalkan.

“Aku tahu, Tae. Aku tahu,” kata Hoseok dengan hati-hati. “Kau bisa menceritakan padaku pelan-pelan. Aku akan mendengarkan.”

Taehyung menutup matanya seolah tengah menyusun penjelasan secara sederhana pada Hoseok. Kemudian setelah memastikan dirinya tenang, dia berkata dengan pelan, “Hyung, entah bagaimana, firasat yang kurasakan begitu kuat. Aku bisa memberitahumu beberapa kesamaan tentang dua sosok itu.”

Hoseok merespon dengan gumaman lirih, lalu Taehyung melanjutkan setelah mengusap hidungnya. “Kumulai dari jalan masuk yang dipakainya menyelinap. Menurutku, orang yang kukejar kemarin pasti bertubuh kecil, atau paling tidak dia cukup kurus untuk keluar masuk ruangan melalui celah jendela yang sempit.”

Hoseok mengangguk samar. “Ya. Kau bilang dia menyelinap lewat jendela di tempat parkir,” katanya. “Sekarang, apa yang membuatmu berpikir dia adalah orang yang sama dengan yang membobol dorm kita?”

Hyung, ingatkah kau dengan kata-kata manajer Kim?” Taehyung bertanya. “Stalker yang membobol dorm kita tidak terlalu bodoh untuk membiarkan dirinya terekam CCTV jalan yang dipasang di depan dorm, sebab kenyataannya dia memang tidak lewat sana. Kemana kau pikir dia lewat?”

Hoseok berpikir sebentar. Kemudian, ekspresinya tiba-tiba berubah ketika dia mengingat sesuatu, “Dia lewat pintasan gang sempit yang tembus ke kawasan belakang dorm.”

“Ukuran tubuh menjadi poin penting di sini. Dia mengandalkan ukuran tubuhnya yang kecil―atau kurus, terserah―untuk melintasi jalan rahasia seperti celah sempit dan gang kecil,” kata Taehyung membenarkan.

Hoseok berjengit sedikit dari seberang tempat duduknya, tampak dicabik antara keterkejutan dan rasa tidak bahagia mendengar informasi itu. “Oke,” katanya, kemudian dia menambahkan dengan nada ragu. “Soal ukuran tubuh memang masuk akal, tapi ada banyak orang di dunia ini yang bertubuh kecil dan kurus.”

“Memang benar,” kata Taehyung. “Tapi tidak banyak orang yang bisa melewati celah sesempit jendela di arena parkir dan masuk ke kawasan belakang dorm lewat gang sesempit itu. Kau pernah memastikan sendiri ke sana, Hyung?”

Hoseok menggeleng dan bergumam, “Tidak pernah.”

“Aku juga tidak pernah memeriksa sendiri gang itu, tapi kata manajer Sejin memang sangat sempit. Orang dewasa tidak akan muat masuk lewat sana, tapi tidak mungkin kan kalau pelakunya anak kecil?” Taehyung kembali bertanya meminta dukungan. Suaranya semakin kuat sekarang.

“Baiklah, aku percaya padamu bagian itu,” Hoseok memberitahunya. “Jadi, kau mendapatkan satu bukti besar bahwa orang yang berada di gedung itu adalah orang yang sama dengan yang membobol dorm kita. Lalu, bagaimana dengan ciri-ciri yang lain?”

Taehyung membutuhkan waktu berpikir menyusun kata-kata apa yang akan dia gunakan untuk menggambarkan hubungan abstrak di dalam benaknya. Dia kemudian melanjutkan bicara ketika ingat sesuatu. “Yang ini mengenai Jimin,” katanya. Hoseok menaikkan alisnya, dan Taehyung melanjutkan. “Sesaat sebelum konser dimulai, Jimin mengaku melihat hantu. Dia yakin sekali bilang kalau hantu itu ada di dalam aula, menatap ke arah dirinya sambil tersenyum, lalu menghilang begitu saja. Hal yang sama juga terjadi padaku.”

“Kau juga melihat hantu?” tanya Hoseok.

Nada suara Taehyung terdengar lebih tajam di kalimat berikutnya. “Kupikir dia adalah hantu sebelum aku melihatnya lari dengan kedua kakinya menuju lorong yang gelap,” katanya dengan suram. “Tetapi, bukan itu masalahnya, Hyung. Aku jelas-jelas ingat kalau Jimin mengatakan hal seperti ini; dia seperti sengaja menampakkan diri padaku.

Sepertinya Hoseok harus mengakui kemampuan mengingat Taehyung yang benar-benar detail. Dia bahkan tidak ingat kalau Jimin pernah mengatakan hal semacam itu. Oh, tetapi ini tidak penting. Sebab penasaran sekali, Hoseok memutuskan menjadi pendengar yang baik untuk cerita Taehyung. Dia memasang wajah yang menyampaikan betapa dirinya ingin agar Taehyung terus menggali informasi dan membuatnya percaya.

Hyung,” Taehyung berujar dengan berbisik, “Kalau dia memang seorang staf, tak mungkin dia sengaja bersikap seolah menunggu Jimin di tengah kegelapan seperti itu,” katanya dengan tegang. Hoseok menyipitkan matanya dan mulai merasa curiga. “Dan, kau tahu? Ketika aku melihatnya juga, dia tidak bersikap seperti itu padaku. Maksudku, sengaja menampakkan diri dan tersenyum. Dia justru kabur dariku, Hyung. Karena itu kupikir, sejak awal, dia memang sengaja menyelinap ke gedung pertunjukkan untuk bertemu Jimin. Jelas sekali bahwa orang ini punya incaran yang sama dengan kriminal yang membobol dorm kita, bukan?”

Hoseok mengorbit pandang ke seluruh penjuru dapur, memeriksa apakah keheningan ini sama menyeramkannya dengan kenyataan bahwa mereka hanya berdua saja. Temaram suasana ruangan yang terimbas cahaya lampu entah bagaimana membuat tengkuknya meremang. Barangkali kegelisahan yang membuatnya demikian.

“Pe―penjelasanmu masuk akal, ya, benar …,” kata Hoseok. Dia bisa merasakan suaranya agak bergetar ketika mengatakannya. “Ngomong-ngomong, berdasarkan pemeriksaan polisi, penjahat yang membobol dorm kita adalah perempuan. Lalu bagaimana dengan orang yang kau kejar?  Bisa kau jelaskan lebih spesifik mengenai ciri-cirinya?”

“Sudah kukatakan aku tidak ingat dengan ciri-ciri orang yang kukejar kemarin!” desis Taehyung menahan emosi. “Aku mengatakan demikian sebab semua petunjuk mengenai penyusup di gedung itu, entah bagaimana bermuara pada mimpi buruk yang kualami.”

“Kau belum menceritakan mimpimu secara detail,” kata Hoseok.

Hyung, di dalam mimpi, aku benar-benar melihat seorang perempuan,” Taehyung memberitahunya dengan nada frustasi. “Dia berbadan kurus dan punya tatapan yang mengancam, lalu kulihat ada banyak jejak darah juga. Kemudian aku berpikir sebentar, dan ingat kalau beberapa minggu lalu ada orang yang menulis pesan berdarah di cermin kamar mandi kita,  dan … bibir merah perempuan di dalam mimpi itu barangkali adalah petunjuk bahwa dia adalah orang yang sama dengan yang meninggalkan bekas lipstiknya di cang―oh, astaga, aku juga lihat cangkir di mimpiku! Cangkir putih, yang sama persis dengan milik kita! Sudah jelas orang di mimpi itu adalah pembobol dorm kita, Hyung!”

Hoseok hanya mematung di tempat duduknya sambil melongo.

Kemudian Taehyung melanjutkan dengan nada baritonnya yang berdesis rendah, sarat emosi. “Apakah ada kemungkinan lain untuk menjatuhkan bukti pelaku pada orang asing selain perempuan itu? Maksudku, aku tidak tahu siapa dia. Tapi semua petunjuk, entah itu dari mimpi yang membawa ingatanku pada stalker keparat itu, atau orang yang kukejar di malam itu, mereka memiliki ciri-ciri yang sama. Terutama bentuk tubuhnya yang kurus tidak wajar dan tatapan penuh ancamannya! Mengapa harus menampakkan diri pada Jimin? Mengapa harus kabur dariku? Semuanya mengarah pada orang yang sama. Perempuan di gedung pertunjukan itu, dia adalah orang yang selama ini mengincar Jimin!”

Taehyung memandang Hoseok dengan mata bengkak, dengan sorot yang begitu sayu sekaligus penuh ketegasan. Napasnya terengah, dan titik-titik keringat terlihat mengucur dari dahi dan lehernya. Sementara Hoseok hanya bisa terhenyak di tempat duduknya, seakan kalimat yang dikeluarkan Taehyung menyentuh telak dirinya untuk percaya.

“A―aku percaya padamu, Tae,” kata Hoseok setelah mencoba tenang kembali. “Penjelasanmu cukup masuk akal. Aku bisa mengerti bila berada di posisimu … dengar Tae, ini sudah larut sekali,” katanya sambil mengecek jam dinding di dekat bingkai foto ruang tamu. Hoseok tiba-tiba saja merasa pusing setelah mendengar keseluruhan cerita Taehyung. “Kita akan tidur, dan segera memikirkan rencana untuk memberitahu para member yang lain soal ini. Besok sepertinya akan menjadi hari yang panjang.”

Lalu kemudian keduanya naik ke tempat tidur masing-masing. Minuman hangat yang diracik Hoseok ternyata cukup ampuh untuk membuat kelopak mata Taehyung memberat. Pemuda itu sudah tertidur kelelahan sesaat setelah menghempaskan kepalanya ke bantal. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Hoseok. Kepalanya justru penuh. Dia sama sekali tidak mengantuk. Matanya justru terbuka lebar, menatap cemas langit-langit kamarnya yang gelap. Apa artinya ini? Sepanjang jam yang tersisa Hoseok memikirkan kata-kata Taehyung. Mengapa semuanya terlihat masuk akal? Bagaimana dia bisa mengatakan semua ini pada member yang lain? Hoseok bolak-balik di atas ranjangnya dengan perasaan campur aduk dan kepala yang begitu pusing. Tak ada apapun yang bisa membuatnya tidur sekarang.

-oOo-

Jadwal photoshoot yang mengharuskan mereka bangun di pagi buta membuat Hoseok dan Taehyung merasa lesu dan tidak bersemangat. Meski pada akhirnya berhasil tidur, sisa jam yang tersisa dini hari kemarin rupanya tak banyak membantu mereka untuk memulihkan tenaga. Percakapan semalam masih membayang di benak masing-masing sepanjang jadwal mereka hari ini. Taehyung tiba-tiba saja menjadi lebih sering ceroboh karena selalu salah fokus, dan Hoseok menjadi lebih pendiam dari biasanya.

“Oh, kenapa hari ini rasanya sulit sekali mendandanimu, ya?” kata seorang perias yang memandangi Taehyung dengan wajah tidak puas. “Kau membutuhkan banyak riasan di bagian mata untuk menutup bengkakmu itu.” Tangannya terjulur menyibak poni di dahi Taehyung.

Sementara Taehyung menatap refleksi dirinya di cermin. Memang benar. Seakan hasil kali ini tak membawa perbedaan besar kepadanya. Selain warna rambutnya yang dicat abu keperakan dengan aksen bergelombang, riasan wajah dan pelembab bibir yang dipakainya ternyata tak cukup berpengaruh untuk menutupi tampang pucatnya.

Sudah hampir dua jam Taehyung berada di ruang tata busana bersama seorang Noona yang bertugas meriasnya. Ruangan itu sepi. Hanya ada mereka berdua dan satu orang perias laki-laki yang sibuk menata sesuatu di meja paling ujung. Para member yang lain sepertinya tengah mempersiapkan foto individual di studio yang berbeda. Lama waktu ketika perias tersebut menotolkan krim tambahan di bawah mata Taehyung, tahu-tahu ada suara decitan pintu terbuka di belakang mereka. Mereka berdua mendongak sebentar untuk memeriksa.

Kim Mijin memasuki ruangan dengan anggun.

Noona, tumben sekali kau datang!” kata Taehyung, dengan senyum yang agak dipaksakan. Belakangan ini dia tidak bisa menyembunyikan suasana hatinya yang buruk.

“Oh, kukira yang lain sudah selesai,” gumam perias tersebut setelah merapikan riasan Taehyung, tampak tersenyum sopan menyambut Mijin. “Tunggu di sini, Tae. Aku akan mengambilkan busana kalian di mobil. Yeohwan-ssi, bantu aku sebentar!” katanya sembari menoleh pada seorang perias laki-laki yang merapikan botol-botol kosmetik di ujung meja. Mereka berdua kemudian beringsut keluar meninggalkan Taehyung dan Mijin di kamar rias.

Sementara Taehyung mengamati refleksinya di cermin, Mijin memutar kursi rias di sebelah Taehyung dan mendudukkan diri. “Aku menyelesaikan jam kerjaku lebih awal siang ini.” Mijin berkata. “Tak ada kerjaan juga di rumah, jadi kupikir waktuku akan lebih bermanfaat bila kupakai untuk bertemu kalian.”

“Oh, manis sekali,” kata Taehyung, yang kemudian menangkap sesuatu di dekat bangku Mijin.

Mijin ikut memperhatikan ketika Taehyung memberinya tampang bertanya. Kemudian secara cepat meraih kotak hijau pastel di atas meja dan mendorongnya ke arah Taehyung. “Aku membawa ini juga karena sepertinya kalian jadi ketagihan makan setelah kubawakan kue ini untuk pertama kalinnya waktu itu. Ingat kan? Saat Jimin membuat agensi heboh karena disangka hilang.”

Taehyung mengangguk sambil tersenyum. “Noona tidak perlu repot-repot sebenarnya. Tapi, terima kasih banyak.”

“Oh, ini bukan apa-apa, kok.” Mijin berkata tenang, lalu menggosok matanya sambil menunduk. Ada cairan bening yang terlihat di sudut matanya ketika dia mendongak lagi. Sepertinya Mijin baru saja menunduk untuk menyembunyikan kuap.

Taehyung tiba-tiba merasa perlu berpendapat soal ini, “Noona, kalau merasa lelah, sebaiknya jangan memaksakan diri kemari.”

“Oh, jangan khawatirkan aku, Tae,” kata Mijin, sambil menatap Taehyung dengan penuh arti. “Justru seharusnya keadaanmu lah yang harus dicemaskan. Apa kau baik-baik saja setelah insiden itu? Kau masih tampak pucat dan lemas sekali waktu aku kemari.”

“Aku sudah baik-baik saja,” Taehyung menegaskan pelan, meski ujung bibirnya tampak berkedut ketika mengatakannya. Dia harus menahan semua ini dan berpikir bagaimana cara yang tepat untuk memberitahu member yang lain mengenai kegelisahannya semalam. Keliru satu langkah akan membuat dirinya tampak bodoh dan semakin tidak dipercaya, sebab itulah Taehyung memilih diam ketika Mijin menangkap gelagatnya yang tidak seperti biasa.

“Aku suka kue-kue ini!” kata Taehyung, mencoba mengalihkan topik. Dia membuka bingkisan di depannya dan menyambar sepotong pai apel yang dilapisi krim stroberi, lalu mulai memakannya dengan suapan besar.

“Oh, syukurlah kalau kau merasa sehat.” Mijin bergumam, sambil menghela napas lega ketika melihat Taehyung yang tampak lahap memakan kue. “Aku menceritakan keadaanmu pada temanku, dan dia menitip salam supaya kau cepat sembuh dan berakivitas seperti biasa.”

“Theman Huuna?” kata Taehyung dengan mulut penuh.

Mijin menganggukkan kepala, “Temanku, Gong Joo.”

Taehyung langsung tersedak dan menjatuhkan kuenya pada saat yang bersamaan. Sejumlah besar krim stroberi muncrat dari mulutnya ketika dia batuk-batuk tak jelas sambil memukul-mukul dadanya.

“Makan pelan-pelan, Tae!” Mijin membantu Taehyung dengan menepuk-nepuk tengkuknya, ketika anak itu menangkap sebotol air mineral di sebelah kursi yang ditempatinya dan langsung meraih botol itu lalu meneguk isinya begitu saja. Setelah agak baik, Taehyung menatap Mijin yang duduk dengan tampang khawatir di depannya. Tidak. Taehyung bukan tersedak karena kaget dengan nama yang disebut Mijin. Melainkan Taehyung kaget karena persoalan lain. 

“Taeyung-ie baik-baik saja?” Mijin bertanya.

Noona?” kata Taehyung dengan suram. “Tentang temanmu, mengenai dia ….”

“Ada apa?”

Taehyung mematung selama beberapa saat. Matanya terpejam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Sebenarnya dia memang sedang mencari permulaan yang tepat untuk kalimatnya. Taehyung tahu dia sungguh tak pantas untuk berpikir demikian. Taehyung merasa kurang ajar sekali ketika mendadak saja mengingat tampang Gong Joo dan mengaitkannya dengan sosok yang selama ini memburu pikirannya, yang muncul dalam mimpi terburuknya sepanjang masa. Perempuan kurus kering yang punya wajah buruk rupa? Oh, astaga, tetapi … mana mungkin? pikir Taehyung dengan kalut. Dia berulang kali memaksa dirinya untuk lebih tenang, namun seakan sesuatu dalam kepalanya tidak mau melakukan apa yang dia perintah. Taehyung hanya menatap wajah cantik di depannya dengan ekspresi ngeri yang kentara. Membuat Mijin berjengit dan semakin tidak mengerti.

“Kenapa Tae? Apa yang mau kau katakan?” Mijin mendesak dengan pelan.

“Teman Noona, dia …,” Taehyung menjilat bibirnya yang tiba-tiba serasa kering. Kemudian kalimat berikutnya yang meluncur dari mulut Taehyung adalah sesuatu yang disumpahinya bukan sebuah kehendak. “Dia mirip seperti seseorang yang kulihat di mimpi pada malam aku kecelakaan.”

“Apa maksudmu bicara begitu, Tae?” tanya Mijin, tampak tidak mengerti. Dia memicingkan mata curiga dan Taehyung tiba-tiba merasa menyesal setengah mati setelah mengatakannya.

“Tidak, bukan apa-apa,” kata Taehyung, mencoba mengelak.

“Kau menyembunyikan sesuatu!” seru Mijin, mulai merubah nada bicaranya menjadi dingin dan penuh desakan. “Manajer Sejin pernah berbicara kepadaku bahwa kau seringkali mengeluh tanpa sebab setelah mengalami kecelakaan. Apa ini ada hubungannya dengan mimpi yang kau katakan barusan?”

Taehyung menggigit bibirnya dan tidak berani berkata apa-apa.

“Jawab aku, Tae!”

“A―aku memimpikannya!” kata Taehyung dengan gugup. Rasa malu dan tidak enak hati memilin-milin perutnya sehingga membuatnya mual. Dia ingin sekali berbohong dan menutupinya dengan sesuatu, akan tetapi tatapan Mijin terlalu kuat untuk membuatnya bertindak demikian. “Aku hanya merasa kalau teman Noona mirip dengan sosok yang kulihat di mimpi, tidak ada yang lain lagi.” Dia berkata lirih, seakan tidak ingin potongan kecil informasi itu mendorong Mijin untuk terus mendesak.

“Lalu mengapa kau menyebut nama Gong Joo seolah terdengar menakutkan di telingaku?” Mijin menyambar dengan wajah tersinggung, tampak tidak percaya dengan kata-kata Taehyung. “Kau mengatakan soal mimpi di malam kecelakaan, sementara sampai saat ini kau tak pernah bisa menjawab pertanyaan siapa yang mencelakaimu pada hari itu. Apakah kau … berniat mengatakan kepadaku bahwa Gong Joo ada hubungannya dengan kecelakaan yang kau alami?”

Taehyung merasakan jantungnya seperti jatuh ke perut. “Noona, mengapa bisa berpikir sampai sejauh itu? Aku ….”

“Apakah ada alasan lain yang membuatku percaya bahwa hal itu tidak terjadi?” kata Mijin, sementara dia mulai menampakkan ekspresi marah yang tak pernah Taehyung lihat sebelumnya. “Wajahmu mengatakan semuanya, Tae. Aku tahu kau merasa sedih sebab tidak ada orang yang percaya bahwa kau mengejar seseorang di malam pertunjukan itu. Tapi ini tidak lantas membuatmu mengarang suatu hal baru yang tidak masuk akal.”

“Aku tidak mengarang apapun!” Taehyung menjawab dengan panas, merasa tersakiti dengan kata-kata Mijin. “Aku tidak mengaitkan soal kecelakaan di gedung pertunjukan itu, mengapa Noona tiba-tiba berpikir bahwa aku telah menuduh Gong Joo-ssi terlibat?”

“Tidak usah berbohong, Tae! Kau jelas-jelas mengatakan bahwa kau memimpikan orang yang mirip dengan Gong Joo di malam kau kecelakaan!” sambar Mijin dengan emosi. Dia bangkit berdiri dan mulai menggosok dahinya dengan frustasi. “Itu secara tersirat mengungkapkan bahwa mimpi yang kau ceritakan bukanlah mimpi yang pada umumnya. Kau bahkan tersedak setelah mendengar namanya, apa yang lebih mencurigakan dari itu semua?”

Taehyung merasa kemarahan, rasa malu, dan martabat buruknya menggelegak di dalam darah. Dia tidak bisa menyangkal kata-kata Mijin sebab memang persis seperti inilah hal-hal yang dicurigainya terhadap Gong Joo. Dia tidak bisa mengelak lagi. Tatapan matanya memang tidak bisa berbohong. Sekarang pasti Mijin mencapnya sebagai orang yang buruk … dia harus berbuat sesuatu agar semua ini tidak semakin membuatnya kelihatan bodoh sekali dan seperti sampah ….

Noona, aku bisa menjelaskan semuanya perlahan-lahan,” kata Taehyung, yang langsung meraih lengan Mijin dan membuatnya tenang.

Akan tetapi Mijin langsung menepisnya. Alih-alih, wanita itu justru menyambar dahi Taehyung dan berkata dengan nada panik, “Kau jelas masih demam, Tae. Kau terlalu ditekan oleh reputasimu di mata publik sehingga semua ini membuat delusimu semakin parah!” Mijin mencengkeram kedua bahu Taehyung hingga anak itu berjengit kesakitan, namun dia tetap mengabaikannya. “Aku tahu khayalan sosok dalam mimpimu itu membuat keyakinanmu makin kuat ketika kau mengingat bagaimana kondisi Gong Joo di dunia nyata! Maksudku, dengan penampilan seperti itu orang-orang pasti berpikir yang tidak-tidak. Itu yang kau mau, kan? Kau berpikir bahwa perempuan seperti Gong Joo adalah representasi yang tepat dari gambar-gambar mengerikan di mimpimu, itulah sebabnya kau bicara melantur dan mengaitkan kecelakaanmu ada hubungannya dengan perempuan itu!”

“AKU TIDAK BICARA MELANTUR!” Taehyung berteriak nyaring. Dia merasakan emosi menggelegak dalam kepalanya, sementara bahunya kejang oleh rasa sakit yang mencekam. Kemudian dia mengerang sakit dan menyebabkan Mijin seakan tersentak dengan tindakannya.

Sadar dengan apa yang terjadi, Mijin melepas kedua bahu Taehyung dan bergumam minta maaf. Wajahnya menjadi tegang dan wanita itu tampak begitu pucat, seakan-akan dirinya baru saja kehilangan kendali dan menyadari perbuatan buruk macam apa yang telah dilakukannya. Mijin kembali duduk, kemudian mengusap wajahnya dengan frustasi. Terdengar napas memburu di antara keduanya, seakan mereka berdua tengah berusaha mengembalikan kontrol atas diri masing-masing.

Kemudian suasana tiba-tiba berubah canggung. Tak ada yang bicara di antara keduanya. Taehyung masih terlalu terkejut karena dikagetkan dengan perbuatan Mijin yang mendadak kasar. Sementara Mijin hanya membeku di tempat duduknya sambil terus menunduk.

Lalu Mijin tahu-tahu berceletuk. “Semenjak aku mengenal Gong Joo, dia sama sekali tidak pernah lepas dari bahan hinaan orang-orang di sekitar.”

Taehyung mengerutkan alis, tapi dia merasa tak berhak untuk memotong pembicarannya.

“Pada awalnya aku tidak peduli. Tetapi setiap kali aku melihatnya menerima perlakuan buruk dari orang-orang, entah bagaimana rasa sedih ini semakin kuat,” lanjut Mijin. “Dia sebenarnya adalah orang yang mulia, aku bersumpah. Dia selalu berbuat baik dan bersikap ramah, akan tetapi balasan yang didapatkannya tak pernah sejalan dengan apa yang telah dia korbankan.”

Taehyung tiba-tiba saja merasa tidak enak hati saat mendapati Mijin mulai mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya.

“Oh, aku pasti kedengaran berlebihan sekali,” kata Mijin dengan pipi memerah. Dia menghela napas dalam-dalam selagi menundukkan muka. Jelas merasa enggan sekali menatap Taehyung.

“Tidak ada yang menginginkan kondisi seperti Gong Joo,” kata Mijin dengan lirih. “Keberadaannya tidak diinginkan di manapun sebab dia tampak berbeda dengan kita semua. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa menghakiminya secara buruk, dan tidak sedikit di antara mereka yang secara terang-terangan berbuat kejam kepadanya. Sebab itulah aku meragukanmu pula, Tae. Aku takut kau berpikir sama seperti orang-orang kejam itu. Aku hampir putus asa sebab kau adalah orang yang kuberikan perhatian sama besarnya seperti orang-orang yang kusayang, tetapi aku tidak ingin kau melakukan hal yang tidak adil kepada Gong Joo hanya karena penampilannya membuatmu teringat dengan sesuatu yang buruk dalam pikiranmu.”

Noona, maafkan aku,” lirih Taehyung. “Aku tidak bermaksud menuduhnya, sungguh. Aku hanya ….”

“Aku tahu,” potong Mijin. “Aku tahu Tae. Kau hanya trauma saja. Aku tidak bisa menyalahkan orang sepertimu karena nyatanya kau mengalami benturan yang cukup parah ketika mengalami kecelakaan.”

“Tidak, bukan begitu maksudku,” kata Taehyung. Tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan kalimatnya. Taehyung merasa sangat bodoh dan tidak berperasaan sekali ketika mengutarakan tuduhan pada orang seperti Gong Joo. Namun, dia juga tidak bisa diam begitu saja mendengarkan Mijin mengatakan sesuatu tentang trauma dan semacamnya. “Aku―aku hanya …”

“Dia sedang sakit, Tae,” potong Mijin lagi. Taehyung langsung menahan hasratnya untuk berbicara.

“Gong Joo mengalami kelainan genetik sejak lahir. Ada delesi pada salah satu kode DNA di kromosomnya sehingga membuat perkembangan fisiknya tampak tidak normal,” kata Mijin sambil menguatkan genggamannya di paha. “Penyakit itu membuatnya berbeda dari orang-orang kebanyakan. Dia terlahir dengan kondisi tubuh yang lebih tua dari usia sebenarnya. Dia selalu kesulitan tidur, dan beberapa bagian syarafnya tidak bekerja baik sehingga hal itu mempengaruhi gerak motoriknya. Hidup sendiri, tanpa orang tua dan sanak saudara, siapa yang begitu tega menyuruhnya mati? Kudengar darinya, kehidupan mudanya begitu menyakitkan. O―orang-orang sungguh kejam. Mereka tidak segan melayangkan penghinaan dan kekasaran secara langsung, tapi entah bagaimana selalu tak ada hukum yang adil untuk menjerat keparat-keparat itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain membuatnya nyaman untuk berteman denganku.”

Taehyung merasa seperti dihempaskan dari langit-langit gedung. Hatinya serasa diremas-remas ketika mengetahui kenyataan menyedihkan itu. Taehyung merasa sangat bodoh, kurang ajar, dan kecewa berat pada dirinya. Apa yang membuatnya bisa berpikir demikian? Taehyung melihat ke dalam dirinya, dan ingat sesuatu yang jauh lebih buruk lagi. Semenjak pertemuannya dengan Gong Joo, Taehyung memang merasa ada yang aneh. Mulanya dia pikir Gong Joo lah yang aneh karena penampilan luar biasanya itu. Tetapi sekarang Taehyung baru sadar. Barangkali, sebenarnya dirinya lah yang aneh. Barangkali, selama ini dirinya hanyalah salah satu dari orang-orang kejam itu.[]
















a/n

terima kasih untuk para readers tersayang yg sudah berkenan mampir :)

fyi, penyakit yang diderita goong joo itu beneran ada, ya. namanya progeroid syndrome, dimana penderitanya punya ciri2 yang hampir sama seperti yang disebutkan. aku bukan ahli patologi juga, sih, jadi keadaan bagaimanapun yg terjadi sama penyakit itu di rl tetap disesuaikan sama cerita ini. dan aku berusaha bikin supaya enggak terkesan manipulasi sekali ato enggak masuk akal. tetapi aku minta maaf kalo suatu saat kalian googling dan menemukan fakta baru tentang penyakit itu yg gak sesuai sama cerita ini, soalnya kan inti ff ini bukan tentang penyakit gong joo, tapi lebih ke brothership bts nya ehe

untuk para pembaca baru yg identitasnya masih tersembunyi, senang sekali bila kalian ikut menikmati cerita ini. mari berkenalan :) mulailah vote dan komentar di chap ini, bagaimana tanggapan kalian ketika pertama kali membaca? mengapa kalian tertarik untuk membacanya pula? yuk saling berkomentar, kenalan denganku dan para pembaca setia lainnya! ❤❤

udahan deh, banyak bacot akunya :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top