11 - The Vision
Penglihatan
.
.
.
Tiga hari kemudian, Taehyung mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Walau terkadang identitas sosok mencurigakan di balik kecelakaan itu masih menjadi buah pikirnya (dan barangkali tetap menjadi kasus omong kosong di kalangan teman-temannya), tapi dia tak berniat memberi perhatian untuk masalah itu―setidaknya untuk beberapa hari ke depan, sampai semua urusan tentang persiapan comeback sudah mencapai titik di mana dirinya bisa bernapas tenang dan punya banyak waktu untuk meributkan hal sepele.
Sungguh, andai bukan karena profesionalitas kerja, Taehyung pasti sudah kepalang marah kepada siapapun, termasuk Jimin, yang dengan bodohnya membantah tuturan Taehyung, padahal dia adalah satu-satunya alasan Taehyung mengejar sosok mencurigakan itu sampai masuk ke dalam aula tanpa ijin.
Untuk ukuran orang sabar seperti dirinya, usaha berpura-pura tenang seperti ini sudah cukup menguras tenaga. Taehyung tak punya pilihan selain memilih menerima diagnosa konyol tentang dirinya yang mengalami halusinasi. Bila dia memaksa orang-orang agar percaya kepadanya, ceritanya akan lain lagi. Taehyung sudah mendapat cap buruk di mata publik karena telah sembrono memasuki wilayah privasi tanpa ijin. Dia tidak mau menambah masalah lagi dengan menyebarluaskan pengakuan tentang sosok mencurigakan itu (lagipula, tak ada saksi mata kecuali dirinya saat kecelakaan terjadi, bukan?) Orang-orang pasti akan menganggapnya sampah bila dia berani berucap tanpa bukti yang jelas.
Kendati demikian, memilih untuk pasrah dengan keadaannya saat ini masih belum cukup untuk membuat hidupnya tenang. Belakangan Taehyung jadi sering susah tidur, tapi malas untuk melakukan sesuatu yang bisa memancing kantuknya. Ya Tuhan, padahal sebelumnya dia adalah maniak game. Terjaga semalaman bukanlah masalah besar bila dia sudah menggenggam mouse dan bermain sepanjang malam di depan monitor. Tapi kali ini rasanya berbeda. Taehyung benar-benar tak punya keinginan untuk bangkit dari tempat tidur dan nongkrong di depan komputernya. Rasanya ... semangatnya seperti menghilang, ditarik begitu saja oleh benang tak terlihat.
Jarum jam telah bergeser ke angka dua, tapi Taehyung masih tetap berteguh diri menatap pemandangan di balik jendela kamarnya. Malam inipun dia terjaga, dan mungkin akan berlangsung selama beberapa jam ke depan sampai kelopak matanya mulai menyerah. Dia sedang mendengarkan suara dengkur Namjoon yang tidur sama pulasnya dengan gajah dibius, ketika disadarinya ada suara berisik lain yang muncul dari luar pintu kamarnya.
Taehyung membeku selama beberapa saat, sebelum akhirnya memutuskan untuk membuang selimut dan keluar mengeceknya.
Ketika pintu kamar dibuka, suara itu terdengar semakin jelas. Seperti bunyi kelontang logam yang dibenturkan ke bahan kayu. Dia mengikuti suara itu sampai ke bawah tangga, menyipitkan mata dalam kepekatan ruangan tanpa nyala lampu. Menoleh ke samping, tepat ke arah dapur, dan mendapati siluet seseorang yang sedang membungkuk di depan laci bawah konter dapur.
Dengan perlahan dan hati-hati, Taehyung berjalan ke sisi yang berlawanan. Tangannya bergerak meraba-raba dinding di sebelahnya. Dia menemukan sebuah tonjolan―sakelar lampu, kemudian secepat kilat langsung menekannya ....
... dan membuang napas lega di detik berikutnya.
"Hyung! Kau sedang apa tengah malam begini?" sentak Taehyung pada Hoseok yang langsung menoleh dengan terkejut.
"Ah, brengsek! Aku hampir saja jantungan dengar suaramu!" kata Hoseok sambil mengelus dadanya.
"Kau yang membuatku hampir panik! Kukira ada pencuri," Taehyung memberitahunya. "Apa yang kau lakukan, Hyung?"
Hoseok menunjuk sebuah petak lantai, tepatnya ke arah celah kecil yang gelap di antara tembok dan konter dapur. "Memasang jebakan," ujarnya. "Aku tidak tahan dengar suara cicit mereka." Kemudian dia bangkit berdiri dan berbelok ke arah kulkas, mengambil sebotol air mineral dari dalam dan hampir meneguknya ketika suara Taehyung menginterupsi lagi.
"Tikus, maksudmu?"
"Memangnya apa lagi?" kata Hoseok.
"Ah, ya, memang akhir-akhir ini semakin banyak saja," kata Taehyung sambil memperhatikan jebakan tikus yang dipasang Hoseok. Jebakan itu berbahan logam, berukuran sedikit lebih besar dari kotak kacamata miliknya, tapi kelihatan jauh lebih berat. Taehyung tahu itu semacam jebakan elektrik yang akan menjepit tikus di dalamnya dan menyetrumnya sampai mati.
"Kalian tidak percaya padaku waktu itu," kata Hoseok seraya menghempaskan tubuh ke kursi meja makan. Dia ingat dengan begitu jelas, malam ketika dirinya menjadi bahan tertawaan semua orang. Tak ada yang percaya padanya karena dia adalah satu-satunya yang melihat binatang kotor itu menghilang di balik lemari. "Sekarang kau bahkan bisa mendengar suara cicit mereka, bukan? Menyebalkan sekali, hampir setiap malam aku tidak bisa tidur karena membayangkan tikus menjijikkan itu masuk ke dalam selimut dan menggigiti jempolku."
Taehyung menarik satu kursi di depannya dan duduk berseberangan dengan Hoseok, sontak melapas gelak tawa mendengar keluhan Hyung-nya. Oh, astaga, entah bagaimana semua ini membuat dirinya merindu. Sudah berapa lama ya dia tidak tertawa seperti ini?
"Kau sendiri sedang apa, Tae? Kenapa belum tidur malam-malam begini?" Hoseok tahu-tahu bertanya.
"Belum ngantuk," jawab Taehyung pendek.
"Masih tidak enak badan?" tanyanya lagi.
Taehyung mengangkat bahunya.
"Hei, besok kita sudah mulai pemotretan tahap pertama," Hoseok memberitahunya, berusaha tampak sabar. "Kau harus jaga kesehatan, Tae. Paling tidak sampai proses syuting kita selesai."
"Aku tahu," kata Taehyung.
Mereka berdua kemudian bergeming dalam senyap ruangan. Taehyung menatap botol mineral di depannya dengan tak minat, tidak betul-betul sedang memikirkan sesuatu. Sementara Hoseok justru menyadari keanehan dari jawaban Taehyung yang terkesan tidak acuh dan pendek. Dia menatap wajah Taehyung yang agak tertunduk, kemudian berujar sesuatu dengan nada cemas ketika menangkap lingkaran hitam mirip panda di bawah matanya.
"Kau kesulitan tidur ya akhir-akhir ini?"
Taehyung mendongak, menyahut dengan malas. "Hm, begitulah."
"Apa kau ada masalah?" kata Hoseok. Dia bangkit berdiri menuju konter, mengambil sebuah cangkir dari dalam rak dan mulai meracik sesuatu. "Kubuatkan coklat hangat. Kau mungkin bakalan mengantuk setelah meminumnya," kata Hoseok, setengah melirik pada Taehyung, selagi dengan cekatan mengaduk cangkir.
"Banyak hal yang sedang kupikirkan," kata Taehyung ketika Hoseok meletakkan coklat panas mengepul di hadapannya. Dia menoleh sekilas pada Hoseok yang sudah duduk di tempatnya lagi. Alis Hoseok berkerut, menerka-nerka ke mana arah pembicaraan ini sebelum sesuatu menyentil kepekaannya.
"Oh ... apakah masalah itu? Apakah kau masih tidak terima ketika orang-orang di luar sana menuduhmu macam-macam?" katanya hati-hati.
"Tidak juga," kata Taehyung, tanpa melirik pada Hoseok. "Untuk masalah itu aku sudah tidak peduli. Terserah mereka mau menganggapku apa. Aku hanya akan tutup kuping dan mataku saja."
"Lantas apa kalau begitu? Katakan padaku, mungkin aku bisa membantu," kata Hoseok dengan enteng, yang entah bagaimana membuat Taehyung menjadi makin sedih.
Sebenarnya, yang selama ini menganggu pikirannya adalah sikap para member sendiri yang terkesan tidak percaya terhadapnya, menyamakan kejujuran yang dikatakannya dengan racauan orang sakit belaka, menganggapnya omong kosong. Sebuah halusinasi. Taehyung tak pernah merasa dikecewakan sedemikian hebat hingga mampu membuatnya merasa sesendiri ini menghadapi seluruh cobaan. Dia hanya ingin, satu orang saja, percaya kepadanya, dan membantunya untuk mengungkap identitas penjahat itu, bukan malah membiarkannya terombang-ambing dalam ketidaktahuannya.
"Tae?" Hoseok menginterupsi.
Taehyung kemudian mendongak. Entah dari mana asal kenekatan itu ketika lidahnya tiba-tiba saja berujar sesuatu tanpa diperintah. "Aku masih penasaran dengan sosok perempuan yang kukejar kemarin, Hyung."
Lalu Hoseok mendesah berat selepasnya, menggeleng kecewa. "Ya ampun, Tae, Kukira masalah apa," katanya sambil menggosok pelipis. "Sudah kami bilang, hentikan memikirkan―"
"Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal," Taehyung memotong tajam.
Hoseok menyahut, "Oke," lalu dengan raut agak tersinggung membiarkan Taehyung untuk bicara lagi.
"Maksudku, tentang sosok yang kupercaya adalah seorang perempuan, padahal aku sama sekali tak tahu tentang ciri-cirinya," kata Taehyung dengan gelisah. "Tapi, Hyung, bila kukatakan semua ini ada kaitannya dengan mimpi yang kualami, apa kau akan percaya?"
"Mimpi?" Hoseok mengernyit heran.
"Mimpi," kata Taehyung, kemudian melanjutkan lagi. "Sebelum aku sadar dari pingsan, aku bermimpi tentang seorang wanita," Taehyung memberitahunya. "Wajahnya mengerikan. Dua rongga mata gelap, kulit pucat kehijauan, dan ...," Taehyung terdiam sejenak. Tiba-tiba saja dia menatap cangkir di depannya dengan berlapis-lapis perasaan takut di dalam dada.
"... bibir semerah darah."
Taehyung membayangkan warna merah pekat bibir wanita itu menempel pada tepi cangkir di depannya, sama persis seperti yang pernah dilihatnya beberapa minggu lalu. Gejolak mual mendadak menyerang perutnya. Ingatannya seperti kembali diseret ke masa lalu. Bekas bibir di tepi cangkir, pesan berdarah di permukaan cermin kamar mandi ....
"Lalu, kenapa?" Hoseok menginterupsi dengan nada yang terdengar memuakkan. "Itu cuma mimpi, Tae. Tak ada yang harus kau khawatirkan dari itu."
"Ini bukan hanya sekedar mimpi, Hyung!" Taehyung menyahut dengan setengah emosi. Dia menggulirkan pandang pada suasana dapur yang kosong, mengantisipasi kemungkinan bila seseorang mendengar percakapan mereka, lalu fokusnya kembali pada Hoseok. "Ini seperti sebuah petunjuk. Seperti potongan teka-teki yang perlu disusun agar gambar utuhnya terlihat! Hyung, setiap kali aku mengingat-ingat sosok yang sedang kukejar di malam pertunjukan, yang justru muncul adalah wajah wanita yang kutemui di dalam mimpi!"
"Apa maksudmu?" kata Hoseok. "Kau mau bilang kalau sosok mengerikan yang ada di dalam mimpimu adalah orang yang sama dengan yang mencelakaimu di gedung pertunjukan?"
Taehyung mengangguk mantap. "Tak ada kemungkinan lain lagi."
"Tidak masuk akal, Tae," kata Hoseok seraya mengibaskan tangannya di udara. "Kalau ada orang dengan wajah mencolok seperti itu, pasti dia tak akan luput dari pengawasan petugas. Nyatanya, tak ada yang bersaksi melihatnya, kan?"
"Dia bisa lewat jalan rahasia," sahut Taehyung.
Hoseok mengernyit bingung. "Kau pikir dia lewat mana? Seluruh pintu masuk ditutup dan dijaga dengan ketat. Ke mana kau pikir dia bisa lari?"
Taehyung memutar otaknya dengan cepat. Urutan kejadian yang di alaminya kemarin malam mengalir memenuhi benaknya, saling tarik ulur, tumpang tindih. Taehyung mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan Hoseok untuk menunggunya sementara dia mencari-cari satu momen paling masuk akal dari insiden yang menimpanya.
Sampai kemudian, ingatannya mendarat pada tempat itu.
"Toilet di tempat parkir," lirih Taehyung.
Hoseok menatap Taehyung dengan wajah tidak mengerti. "Dia masuk lewat lubang di toilet?"
"Tentu saja bukan!" sembur Taehyung, merasa bodoh mendengar jawaban Hoseok. "Aku bertemu dengan wanita itu di depan toilet tempat parkir." Dia mencoba menjelaskan. "Di sana ada sebuah jendela berpagar besi dengan celah cukup lebar. Orang dewasa sepertinya tidak muat. Maksudku, aku tidak menuduh pelakunya anak-anak, tapi ... bagaimana bila wanita itu punya ukuran tubuh yang kecil? Kurus, misalnya?"
"Tae, tunggu dulu, aku belum paham maksudmu ...."
Tapi Taehyung tidak mendengarkan lagi kata-kata Hoseok. Kalimat terakhir yang diucapkannnya barusan sepertinya telah membuka sebuah asumsi lain di dalam benaknya. Taehyung menunduk, berpikir keras. Jalan pintas lewat jendela, tentu! Itu sudah benar! Wanita itu barangkali hendak menyeliinap keluar melewati jendela itu setelah konser usai, tetapi dia justru bertemu dengan Taehyung dan malah kabur karena takut ketahuan. Oh, tentu, kini semuanya jelas. Tapi, entah bagaimana semua itu belum cukup.
Taehyung yakin dia sedang melupakan sesuatu yang penting, sesuatu yang menjadi kunci dari kegelisahannya selama ini ... Apa yang kurang? Apa yang dia lewatkan?
"Tae, kau baik-baik saja?"
Sepertinya Taehyung pernah mendengar kasus yang sama. Kasus yang melibatkan sesuatu seperti jalan pintas dan pintu rahasia. Tapi, di mana ....
"...dia tampak mengawasi keadaan sekitar sebelum masuk kedalam gang sempit dan menghilang."
Taehyung mengernyitkan dahi dengan bingung. Suara manajer Sejin tiba-tiba saja terngiang di kepalanya, menyalurkan gelombang terkejut yang tidak biasa. Sebuah kilas balik.
" ... mengecek gang sempit itu, dan yang kami dapatkan adalah jalan pintas menuju kawasan belakang dorm ..."
Taehyung menatap cangkir di depannya lagi. Perasaan aneh itu masih terus bergelayut di dalam benaknya. Bibir merah, cangkir putih, jalan pintas, gang sempit, jendela di toilet parkir, tubuh kurus yang menyelinap masuk ke suatu tempat ... Taehyung hampir menemukan sebuah benang tipis yang menghubungkan seluruh potongan kejadian masa lalunya. Dua buah kejadian yang membentuk suatu pola. Satu mimpi. Orang yang sama. Wanita yang sama. Bau amis darah yang sama.
Taehyung merasakan kengerian yang menjalar di tengkuknya. Matanya melebar ketika dia menatap Hoseok. Dia merasakan suaranya bergetar, sarat akan ketakutan, ketika lidahnya dengan hati-hati menggumamkan sesuatu yang terlampau mengerikan.
"Hyung, orang yang kutemui di dalam gedung pertunjukan, adalah orang yang sama dengan yang menulis pesan berdarah di cermin kamar mandi kita."
Hoseok membeku saat itu juga.[]
a/n
Selamat siang ❤
Untuk sekedar informasi (barangkali kalian lupa karena aku terlalu lama upnya), kata-kata manajer Kim yang kumunculkan ulang di chap ini pernah ada di chap sebelumnya (The Clue). Kalau berkenan, kalian bisa membaca kembali, siapa tahu kalian bisa lebih mudah untuk mengikuti chap2 selanjutnya :)
Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk mampir. Jangan lupa vote yaa ❤ it'll be so much appreciated :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top