10 - The Delusion

Khayalan


.

.

.

Malam itu Taehyung berjalan sendiri di tengah padang rumput yang membentang luas sejauh jarak pandangnya. Kakinya seakan ditelan oleh dedaunan berbentuk jarum yang basah dan licin, tetapi setiap langkahnya terasa ringan dan kosong. Dia mengerjapkan matanya, menyesuaikan diri pada kegelapan yang menyelimuti seperti kabut, sama sekali tak memberi terkaan di mana dia berada sekarang. Yang dilihatnya hanya padang rumput gelap yang berayun-ayun suram dan sebatas langit tak berujung yang berwarna kelabu, nyaris mirip pusaran angin topan yang membeku.

Walau terasa tak masuk akal, Taehyung tetap melangkahkan kakinya, seakan sebagian dari dirinya tahu tentang sebuah alasan di balik keberadaanya. Dia membawa tubuhnya menelusuri padang rumput itu, kemudian mematung ketika melihat sesuatu di depannya.

Ada seorang perempuan yang berdiri membelakanginya, memakai pakaian yang mirip seperti gaun pengantin dengan rok menjuntai menyapu rerumputan. Kain bagian bawahnya basah, kotor dan penuh lumpur. Rambutnya sepanjang bahu, sekelam malam, berayun ke samping saat angin dingin menyentuhnya. Taehyung menatapnya dengan kernyit di dahi, bergerak gelisah dalam posisi berdirinya karena merasakan sesuatu yang aneh. Lantas dia tak tahan lagi dan memutuskan berbicara.

"Anda siapa?" tanyanya dengan suara rendah.

Perempuan itu bergeming selama beberapa saat. Kemudian, kepalanya perlahan menoleh ke samping, memberi kesempatan bagi Taehyung untuk melihat wajahnya meski hanya sebatas pipi. Warna pucat kelabu yang bisa dipastikan sebagai jaringan kulit membungkus tulang-tulang yang menonjol di balik wajahnya. Belah bibirnya berwarna merah, entah bagaimana mengundang suatu ingatan di dalam benak Taehyung. Walau tidak yakin dengan memori kaburnya, melihat kontur wajah dari samping itu tak pelak membuat Taehyung bergidik, dan tanpa sadar membiarkan dirinya bergerak mundur.

Suara keretak kecil terdengar ketika Taehyung menjatuhkan langkahnya. Dia menunduk, dan melihat sebuah cangkir putih terbenam di antara rerumputan. Rupanya dia baru saja menginjak benda itu. Tanpa perlu membungkuk, Taehyung bisa melihat retakan melintang di sepanjang permukaannya. Ada noda seperti darah kering yang membercak di bagian dalamnya. Taehyung membeku selama beberapa saat. Dahinya mengernyit ketika serangan rasa pening di kepalanya melanda.

Dia ingat sesuatu tentang cangkir itu.

Akan tetapi, Taehyung belum sempat memastikan memorinya ketika tahu-tahu sebuah cengkeraman kuat mendarat di bahunya.

Dia mendongak, dan hampir saja menjerit saat melihat wajah buruk rupa perempuan itu kini ada di depan matanya. Begitu dekat, hingga Taehyung bisa melihat bintik-bintik mirip keropeng di wajahnya yang pucat. Mata perempuan itu hanya berupa dua lubang besar berwarna hitam. Bibirnya tipis, berwarna merah. Bau amis darah tercium dari sana.

Taehyung meronta untuk melepaskan diri dari cengkraman orang asing itu, namun kekuatannya tak sebanding, meski ukuran tubuh mereka mengatakan hal sebaliknya. Kepalanya semakin pening dan dia terengah-engah. Taehyung memekik dan menendang-nendang, merasa ketakutan setengah mati saat dirasanya wajah mengerikan itu semakin dekat. Pandangannya tak bisa lepas dari dua lubang hitam milik perempuan itu, seakan-akan terowongan kelam itu ingin menghisap jiwanya, menyeretnya ke dalam kegelapan tak berbatas yang mengerikan.

Dia mengerang di antara tarikan napasnya yang begitu berat, merasakan remasan di bahunya merengkuh hingga mengimpit paru-paru, membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Bayangan di kepalanya hanya berupa kabut samar yang melolongkan suara panik. Memanggil-manggil seseorang.

"Tae!"

"Taehyung!"

Dicabik oleh kesadaran bahwa dirinya tak akan selamat, Taehyung merasakan seluruh harapannya telah hancur lebur. Oh, kini, tak ada gunanya untuk melawan, pikirnya menderita. Dia memilih untuk menyerah pada apapun yang dihadapinya, dan membiarkan terowongan gelap itu merampas kesadarannya sepenuhnya ....

"Taehyung-aa!"

Dia tahu dirinya tak mampu lagi bertahan, dan memasrahkan jatuh ke dalam kegelapan, jatuh ... makin dalam ....

"KIM TAEHYUNG!"

Taehyung tiba-tiba membuka matanya.

Dia mengerjap bingung dalam temaram lampu yang memeluk dirinya. Secara perlahan, seiring detik yang mengalir, Taehyung melihat wajah seseorang yang memandang dirinya dari atas. Itu adalah Park Jimin yang hampir putus asa memanggil namanya. Dia merasakan bahunya kebas―bekas cengkeraman perempuan itu, lalu segera menyadari kalau sedari tadi Jimin menekan kedua bahunya.

"Tae, tenanglah, sudah selesai!" ujar Jimin, selagi mengusap keringat dingin di wajah Taehyung dengan punggung tangannya. Dia menatap Taehyung yang masih terlihat linglung di atas kasur.

Sementara Taehyung merasakan segalanya kini tampak lebih normal dan jauh lebih aman daripada yang dihadapinya tadi. Dia sedang berada di dalam kamarnya. Lampu padam, namun jendela besar di sebelahnya samar mengirimkan pendar biru pucat dari luar. Butuh beberapa saat baginya untuk sadar bahwa Jimin bukanlah satu-satunya orang yang menemaninya. Taehyung menoleh ke kanan kiri dan melihat wajah seluruh member BTS tengah memperhatikannya.

"Hyung, kau mimpi buruk ...," kata Jungkook cemas. "Kau berteriak kesakitan dalam tidurmu."

"Kau baik-baik saja, Tae?" tanya Seokjin, tampak lebih cemas.

"Aku baik-baik saja," jawab Taehyung tanpa memandang wajah para member. Dia tahu tatapan matanya tak bisa berbohong.

"Kau ingat apa yang terjadi padamu?" tanya Hoseok.

Taehyung mengerutkan alisnya. Gelenyar tidak nyaman karena mimpi buruk itu masih sedikit terasa, barangkali menjadi alasan kebingungannya kini. "Apa yang terjadi?"

"Kemarin malam kau ditemukan di lantai aula gedung pertunjukan, pingsan karena shock," kata Namjoon.

Taehyung menatap Namjoon tanpa berkedip. Keheningan merayap selama beberapa saat. Kemudian, entah bagaimana, ingatan seluruh kejadian yang ditimpanya tiba-tiba meledak masuk ke dalam benak Taehyung, seperti sebuah bom yang merobek kulit. Taehyung membeku ketika seluruh kepingan memori muncul, menyalurkan friksi pening yang membuat kepalanya sakit, sehingga tanpa sadar tangannya bergerak untuk menyentuh pelipisnya.

"Ku―kupikir aku sudah mati ...," bisiknya.

Hal terakhir yang diingatnya adalah dirinya tertimpa lemari kayu besar, lalu kegelapan seakan menyapu penderitaannya. Taehyung tak ingat tentang segala macam rasa nyeri bekas hantaman lemari atau apapun. Satu-satunya pikiran yang membuatnya lega adalah Tuhan telah mencabut nyawanya tepat sebelum dia merasakan sakit. Tapi ternyata dugaannya salah. Dia masih hidup, dan terbangun dalam keadaan sehat―paling tidak setelah memastikan tak ada anggota tubuhnya yang harus diamputasi.

"Tenang, Tae, kau belum mati," kata Seokjin, mendorong rambut coklat Taehyung ke belakang dan meraba dahinya.

"Beruntungnya, reflekmu bagus," sahut Yoongi dari sisi sebelah kanan kasur. "Sepertinya kau berhasil mengelak sebelum lemari itu menimpamu, tapi kau tetap jatuh menghantam lantai. Apa punggungmu sakit?"

Taehyung menggeleng, selagi berusaha mengabaikan sengatan ngilu di punggungnya.

"Manajer Sejin marah sekali kemarin," kata Jimin memulai penjelasannya. "Dia menghubungi pihak manajemen gedung yang bertanggung jawab untuk acara lusa depan, dan mengancam akan membawa kasusmu ke pengadilan dengan tuduhan kelalaian penyimpanan properti berbahaya."

"Untungnya Mijin Noona beserta staf yang ikut konser kemarin langsung mendinginkan emosinya," sahut Jungkook. "Pada akhirnya, kita sepakat untuk berdamai."

Hoseok menambahkan, "Sebenarnya itu karena pihak manajemen gedung yang sempat tak terima ketika dituduh lalai. Diluar kesalahan mereka yang membiarkan pintu aula tertutup tanpa kunci, mereka juga mempertanyakan alasanmu yang bertidak ceroboh dengan masuk ke sana sembarangan."

"Aku tidak masuk ke sana tanpa alasan!" kata Taehyung sedikit emosi. Matanya melirik tajam wajah-wajah di depannya. "Aku sedang mengejar seseorang. Dia masuk ke dalam aula dan bersembunyi di dalam lemari."

"Kau bicara apa, sih?" kata Seokjin. "Siapa yang kau kejar, hah? Kenapa dia harus bersembunyi di dalam lemari?"

Taehyung secara spontan menutup matanya rapat-rapat. Kepalanya terlalu sakit, bahkan untuk bicara saja rasanya sulit. Dia mengangkat tangannya, mengisyaratkan Seokjin untuk berhenti mengoceh, lalu memaksakan diri untuk bicara pelan-pelan.

"A―ada seseorang yang gelagatnya mencurigakan ... aku mengejarnya sampai ke aula, lalu dia sembunyi di dalam lemari ... hendak menangkapnya, tapi dia malah kabur lagi ... lemari itu juga jatuh karena ulahnya ...."

"Lemari itu bukannya jatuh karena berdirinya tidak seimbang? Banyak properti lain yang ditata asal di sekelilingnya. Karena itulah kami pikir mereka tidak memperhatikan faktor keamanan!" Namjoon memotong seakan merasa ragu dengan alasan Taehyung.

Tetapi Taehyung hanya menggeleng lemah.

"Dan lagi, untuk apa kau mengejarnya, Hyung?" Jungkook menatap Taehyung heran.

"Aku mengejarnya karena kupikir ...," jeda sebentar, Taehyung mengerling pada Jimin. "Dia ... adalah orang yang sama dengan yang dilihat Jimin sebelum konser dimulai ... dia adalah sosok hantu yang diceritakan Jimin."

Taehyung buru-buru melanjutkan ketika melihat ekspresi para member yang mulai menatapnya seakan tak percaya. "Ternyata dia bukan staf ataupun petugas keamanan!" imbuh Taehyung cepat, tak mau kalah. "Aku coba memanggilnya dan orang itu langsung kabur ... berlari masuk ke aula ... sembunyi di dalam lemari ... lalu aku ...."

"Hei, tenang," kata Namjoon, menepuk selimut di dadanya dengan pelan. "Apa kau lihat wajahnya?"

Taehyung bergeming selama beberapa saat. Dia menyeka lebih banyak keringat dari wajahnya,  berkedip linglung. Seluruh ingatannya seperti pecah. Dia entah bagaimana tidak bisa memastikan jawaban Namjoon, tapi setiap kali membayangkan wajah orang yang bersembunyi di dalam lemari itu, sosok seram di mimpinya langsung muncul. Mengapa wajah perempuan itu terus terbayang di benaknya? Taehyung tak menemukan hubungan di antara keduanya, namun sesuatu di dalam dirinya berkata sebaliknya.

Rasanya ... seperti ada yang salah ....

"Hyungie-Hyung,"

Apa alam bawah sadarnya melihat sesuatu yang tidak ia sadari selama ini?

"Taehyungie-Hyung, apakah masih pusing?" Jungkook menginterupsi. Tangannya menyentuh pipi Taehyung. Membuyarkan lamunannya.

"Kau sedang tidak baik-baik saja," timpal Seokjin, kemudian matanya menyapu wajah para member satu persatu sebelum kembali lagi ke Taehyung. "Bagaimana kalau kita biarkan dia istirahat lebih lama? Bocah ini sepertinya masih shock," seraya menaikkan selimut Taehyung sampai sebatas dagu, "Kasihan, sepertinya dia masih kacau untuk berbicara. Tidur yang baik, Tae. Aku akan memasak sesuatu untuk mengisi perutmu."

Sementara Taehyung tak bisa mengingat-ingat lagi. Dia masih belum puas sebab penjelasannya tak diterima baik oleh para member, namun tak ada daya untuk melanjutkan. Kepalanya berdentum-dentum mengerikan. Pandangannya juga memburam. Dia seperti sedang meracau sesuatu, entah apa―tetapi suara yang didengarnya seperti dengung serangga. Sepertinya dia akan pingsan lagi. Jadi, sebelum membuat khawatir yang lain, Taehyung memutuskan untuk mengikuti perintah Seokjin. Dia menutup matanya.

Dan, dalam beberapa detik kegelapan benar-benar menyeretnya kembali.

-oOo-

Taehyung terbangun di sore harinya dengan perasaan campur aduk; kepayahan karena lelah, gundah karena mimpinya, dan sedikit lebih banyak perasaan bersalah karena telah membuat semua orang mengkhawatirkannya, termasuk keluarganya di kampung (untuk masalah ini para Hyung-nya sudah memastikan kalau keluarganya di Daegu mendapat kabar cukup baik tentang kondisinya).

Kasus kecelakaan itu menjadi topik hangat pembicaraan di media sosial maupun warta berita televisi. Semua orang mengucapkan kata-kata penghibur yang membuat Taehyung merasa jauh lebih tenang, meski tak sedikit di antara mereka yang mengundang kontroversi karena tidak terima dengan keputusan damai di antara pihak agensi dan pihak manajemen gedung. Orang-orang yang memicu pertengkaran bersikeras menyalahkan agensi yang lalai dalam mengawasi artisnya. Mereka mempertanyakan alasan Taehyung (yang sayangnya tidak bisa ia jelaskan pada publik) tentang kecerobohannya memasuki wilayah privasi.

Sementara Taehyung tak bisa lagi menyisihkan ruang di dalam benaknya untuk memikirkan semua itu. Tentang alasan yang sengaja dia tutupi, adalah satu dari sekian banyak teka-teki yang belum terpecahkan, dia masih dilanda kebingungan dengan identitas orang yang membuatnya nyaris digencet lemari.

Saat ini, pikirannya masih berkelana di momen sebelum dirinya pingsan. Karena gelap, Taehyung tak bisa melihat wajahnya. Dia bahkan tak bisa memastikan ciri-ciri sederhana seperti tinggi badan dan postur tubuh orang itu. Lalu, bagaimana semua itu bisa memberinya asumsi kalau sosok di dalam mimpinya adalah orang yang sama dengan yang dia temui di aula itu?

Taehyung tak mau mendusta kalau dia merasa familiar dengan wajah wanita dalam mimpinya.

Tetapi ... siapa?

Siapa wanita itu?

"Jangan memaksakan dirimu."

Taehyung mengerjap sadar dari lamunannya. Dia mendongak, dan menemukan sorot caramel Mijin yang memandangnya lembut. Sekejap saja dia nyaris lupa kalau beberapa menit lalu Mijin datang untuk menjenguk.

"Aku tidak," kata Taehyung, entah kenapa bersikap lebih dingin dari biasanya.

Mijin hanya membalasnya dengan senyum singkat, lalu duduk di sisi kasur Taehyung. Dia memberikan secangkir teh hangat untuk Taehyung. Asapnya masih mengepul. "Minumlah," katanya singkat.

Tapi Taehyung tidak meminumnya. Dia justru memandang cangkir itu dengan tatapan berbeda―ada sedikit kernyitan di dahinya, seakan dia sedang terkejut atau apa. Mijin yang melihatnya jadi ikutan cemas. "Kau kenapa?" katanya. "Ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Mmh, tidak ...," kata Taehyung dengan sedikit ragu. Mulanya Mijin sudah ingin mengabaikannya, tapi rupanya Taehyung tergerak untuk sedikit mengaku. "Cangkir ini ... mengingatkanku pada sesuatu."

Mijin ikut memperhatikan cangkir putih itu sejenak. Kemudian, memori merambat masuk di dalam kepalanya seperti sulur tanaman yang tumbuh melawan gravitasi. Ah, benar juga. Mijin memahami apa yang dimaksud Taehyung. Cangkir putih itu memang mengingatkannya pada sesuatu, tepatnya beberapa minggu yang lalu, ketika seseorang berhasil membobol masuk ke dalam dorm dan meninggalkan jejak lipstik merah di sana.

"Itu bukan cangkir yang sama, Tae," kata Mijin, mengira Taehyung merasa jijik karena menyangka cangkir itu adalah yang serupa dengan bekas sasaeng. "Memang warnanya sama, tapi yang ada bekas lipstiknya sudah dibuang Seokjin waktu itu."

Sebenarnya, bukan hal itu yang Taehyung pikirkan sekarang. Lebih tepatnya, cangkir itu mengingatkannya pada sepotong adegan di dalam mimpi buruknya―ketika dia menemukan cangkir serupa dan ... ada sesuatu yang membekas di dalamnya ....

"Darah."

"Apa?" Mijin menyahut saat mendengar Taehyung berkata sesuatu.

"Tidak," kata Taehyung cepat-cepat. Dia menggeleng pelan mengenyahkan memorinya. Sepertinya kecelakaan kemarin membuat kepalanya terbentur sangat keras.

"Kau ini, kalau ada sesuatu, katakan saja," kata Mijin. "Apa kau cemas dengan berita itu?"

"Berita apa?"

"Berita tentangmu," jawab Mijin. "Orang-orang menuduhmu macam-macam karena sudah masuk ke dalam aula yang seharusnya sudah diprivasi."

"Aku punya alasan untuk itu," kata Taehyung, kemudian menyesap teh di dalam cangkir beberapa teguk.

"Ya aku tahu, mereka sudah cerita," kata Mijin sambil menelengkan kepala sedikit ke arah pintu. "Tetapi, apa kau yakin dengan apa yang kau bicarakan?"

Taehyung mengernyit. "Maksud Noona?"

"Kau ditemukan oleh salah seorang staf. Sendirian," kata Mijin, berusaha mengontrol suaranya. "Maksudku, staf itu tidak melihat orang lain selain dirimu yang berkeliaran di dekat aula. Apa perempuan gila yang kau maksud itu benar-benar ada?"

"Noona menganggapku berbohong?" Taehyung memicingkan matanya curiga.

Mijin menggeleng berat. "Aku hanya ingin kau memastikan ingatanmu saja, Tae. Kau sedang dalam kondisi tidak sehat dan mungkin semua itu membuat pikiranmu kacau. Petugas bahkan sudah memeriksa semua pengunjung gedung, tetapi mereka tak menemukan orang mencurigakan seperti yang kau maksud."

"Noona, tentu saja orangnya tak akan ketemu, sebab dia sudah kabur!" Taehyung merasakan gelombang kemarahan membanjiri perutnya. "Aku tidak bohong, kemarin memang ada orang aneh yang kukejar!"

Mijin menghela napas berat dan menggosok keningnya seakan merasa tertekan.

"Tae," kata Mijin, dengan nada yang menekankan rasa sedih. "Seandainya kemarin staf itu tidak datang memeriksa aula dan menyalakan lampunya, kau mungkin sudah ... oh, tahulah ... kau baru ditemukan satu jam setelah menghilang, suhu tubuhmu sudah menurun drastis karena dibiarkan tergeletak begitu saja.. Kalau kau terlambat ditemukan ...," Mijin tak berani meneruskan kalimatnya. Dia memandang Taehyung dan mencoba sepenuh cara agar anak itu bisa memahami tatapannya.

"Orang itu kabur setelah mencelakaiku begitu saja!" Taehyung menyela marah.

"Apa kau masih mau bilang kalau ada seseorang di luar sana yang tega melakukan hal seperti itu padamu?" Mijin memicingkan mata kepada Taehyung. "Maksudku, membiarkanmu pingsan di atas lantai aula yang dingin dan tidak mencari pertolongan?"

"Tapi bagaimana bila aku benar?" kata Taehyung, yang kali ini merasakan tangannya bergetar karena emosi. "Bagaimana bila orang itu benar-benar ada? Bagaimana kalau dia memang sengaja untuk membiarkan aku mati di dalam sana? Aku melihatnya Noona, mengapa kau masih saja tidak percaya?"

Mijin merasakan pelipisnya berdenyut. Dia memijat dahinya pelan seraya bergumam, "Taehyung-aa, maafkan aku, tapi ...," menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "sangat tidak mungkin bila kata-katamu benar. Para petugas sudah memastikan tidak ada seorangpun yang masuk ke dalam gedung pertunjukkan tanpa izin." Mijin menekankan diri di nada terakhir perkataannya, "Tidak ada orang mencurigakan seperti katamu."

Taehyung terhenyak mendengar kalimat Mijin. Rasanya harapannya sudah dihempaskan begitu saja dan terabaikan. Dia yakin bahwa tak ada yang salah dengan ingatannya, tak ada yang salah dengan penglihatannya pula. Lalu mengapa tak ada yang percaya dengannya? Apa semua orang menganggap perkatannya omong kosong karena dia baru saja kecelakaan, sehingga asumsi yang paling masuk akal adalah benturan keras di kepalanya membuatnya berhalusinasi?

"Noona ...,"

"Taehyung-aa, kau masih sakit, dokter bilang kau mungkin akan mengalami demam pasca kecelakaan, jadi ...," Mijin mengelus punggung tangan Taehyung dengan perlahan, seakan ia merasa begitu iba melihat kondisi Taehyung yang kacau. "Kumohon, jangan berpikir yang macam-macam dulu, ya?"

Dan Taehyung, untuk pertama kalinya merasa kecewa pada semua orang.[]










































a/n

Aku masih belum siap untuk memberi tahu siapa sosok sebenarnya yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini 🙈🙈 Adakah di antara kalian yang penasaran?

Bagaimana tanggapan kalian tentang chap ini? Adakah yang belum puas dengan kondisi Taehyung? Maksudku, apa beban yang kuberikan padanya masih jauh dari kata ngenes?

Ku sebenarnya tak tega untuk menyakitinya, karena dia biasku ... 😭😭

Jangan lupa votes, kawan2
Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca chap ini ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top