6. Gushing Sorrow

-oOo-

ANGIN berderu kencang, melebur bersama derum mobil yang meraung membelah jalanan. Suara Juan yang terguling jatuh ke aspal dengan bunyi gedebuk menyakitkan membuat semua orang di dalam mobil membeku―saking terkejutnya dengan apa yang terjadi. Hanya perlu waktu kurang dari tiga detik bagi River sebelum dia memerintahkan dirinya untuk melompat keluar, menukik maju dan menerjang sang monster yang nyaris mencabik leher Juan dengan cakar-cakarnya yang setajam belati.

River menghajar rahang monster itu, tak memberinya waktu untuk pukulan kedua dan seterusnya. Satu tangannya berusaha merenggut ujung jaket adiknya, tetapi sang monster menangkap tindakannya sebagai sinyal ancaman bahwa santapannya hendak direbut. Makhluk itu meraung dan dengan ganas menggigit lengan atas Juan―menyebabkan anak itu melolong lantaran rasa sakit meledak memenuhi kepalanya. Sang monster yang hendak menyeret tubuh Juan mundur, praktis menajamkan rasa murka River berkali-kali lipat.

River menerjang kembali, menggamit tunggul tangan si makhluk terkutuk dan menendang lehernya dengan keras, sementara monster itu meraung, secara beringas menarik kerah jaket River dan menghajar kepalanya dengan tangannya yang berbonggol seperti kayu. Mereka berdua lantas bergulingan di aspal dalam belitan lengan dan kaki yang menggerapai. Mulut sang monster yang menganga menangkap lengan jaket River dan menariknya hingga robek. Cakarnya menyapu wajah River, menorehkan luka menganga di pipinya, membuat darah mengucur dan menenggelamkan pandangannya di balik tirai merah yang kental.

Sementara itu, peluru-peluru meletus di dekatnya―datangnya dari serangan berondongan yang dilepaskan oleh teman-temannya. River merasakan sebutir timah panas itu menembus ke sisi perutnya, mengundang pekikan perih yang membuatnya menggigit lidahnya sendiri, tetapi rasa sakitnya kalah oleh adrenalin yang membuncah. Dia memegangi lengan sang monster dengan satu tangannya yang bebas, sementara tangan yang satu sibuk menusuk mata sang monster dan mengoyak rongga di dalamnya―membuatnya hampir muntah saat merasakan gumpalan lembek kecil meletus dan mengucur melewati jari-jarinya.

Letupan senapan meledak kembali, kali ini berhasil mengenai sasaran di bahu sang monster. Lengan makhluk itu terkulai ke tanah, tetapi sama sekali tak memelankan hasratnya untuk mengoyak tubuh River. Sang pemuda mendesak mundur dengan kaki terentang lebar. Jaraknya dengan monster itu hanya bertaut sekitar dua meter. Satu tembakan dari belakang menyusul, menembus ke kaki si monster. River berharap makhluk raksasa itu sudah kehilangan tenaga untuk menerkamnya, tetapi rupanya sang monster masih cukup mujur untuk melompat ke arahnya.

Pemuda itu tak punya waktu untuk menggapai pistol di balik celana. Dia mendesis, sembari menghitung dalam hati, memasang ancang-ancang tinju dan menargetkannya pada muka sang monster.

Keberuntungan berada di pihak River hanya berselang satu detik setelah makhluk buas itu melompat ke udara dan menghunuskan cakar untuk menusuknya. Satu tembakan dari kawanannya meletus lagi tepat ketika River hendak mengayunkan pukulan, dan kali ini peluru tersebut berhasil menembus tengkorak belakang sang monster―dalam sekejap meruntuhkannya ke tanah dengan bunyi berdebum yang menyebabkan tanah bergetar. Monster itu menggelepar sekarat hanya beberapa detik sebelum tubuhnya tak bergerak lagi.

Darah dari lubang di kepalanya sesegera mungkin menggenang ke aspal, berwarna merah gelap dan berbau seperti sesuatu yang anyir bercampur cairan basi.

Tewas. Monster itu sudah tewas.

Sambil bersusah payah mendudukkan diri di aspal, River merasa jantungnya berdegup begitu cepat sampai-sampai rongga dadanya hampir meledak. Dia melihat ngeri ke arah bangkai monster, menatap kedua matanya yang mencalang kosong tak bernyawa.

Dirinya tak sanggup berbicara, ataupun berpikir. Bahkan dia tak menggubris saat teman-temannya berlari menghampirinya dan bertanya padanya dengan nada cemas, "Kau tidak apa-apa? River? Hei?" bahunya diguncang, dan River perlu waktu lebih lama sampai akhirnya dia merespons.

"Aku tidak apa-apa," katanya, lalu Nathaniel membantunya berdiri. Dia bertanya untuk meyakinkan dugaannya, "Monster itu sudah tewas, iya, kan?"

"Tentu, Heaven menembaknya tepat di kepala." Nathan menuntun River yang terhuyung-huyung kembali ke mobil. Namun, sesuatu mencegah kakinya melangkah lebih jauh.

Dia melihat tubuh Juan tergeletak tak jauh darinya, dikerubungi beberapa kawannya yang berusaha membebat luka menganga di lengan Juan menggunakan kemeja. Sontak saja, keterkejutan menguasai benak River. Pemuda itu tak memedulikan kondisinya sendiri dan malah berlari terhuyung-huyung menghampiri Juan untuk memeriksa sendiri keadaannya. "Juan! Juan!"

Juan tak meresponsnya. Kedua matanya terpejam, tetapi alis dan keningnya berkerut seperti menahan siksaan. River melihat darah yang begitu banyak merembes dari sela kemeja yang dibebatkan rapat di lengannya. Baunya sangat menusuk. Pada titik tertentu, aroma darah adiknya mengirimkan denyar aneh di pangkal lidah River sehingga dia memaksa diri untuk tenang. Kondisi Juan saat ini menguras kecemasannya lebih dari apa pun. Rona terbasuh dari wajah River, dan tubuhnya sepucat kertas. Pemuda itu membeku sejenak dan membiarkan bayangan ketakutan melumpuhkannya.

"Kita harus membawanya pergi. Bau darahnya bisa mengundang monster lebih banyak," kata Claude, lalu mengangkat tubuh Juan seolah anak itu seringan kapas. Dia lantas cepat-cepat membawa Juan masuk ke dalam mobil, setengah cemas membayangkan gerombolan monster terkutuk mengejar lagi.

Sementara itu, Gareth melihat River yang menatap aspal dengan sorot suram dan khawatir. Sambil bernapas berat, kawannya melewati River, lalu menepuk punggungnya dengan pelan;

"Kalau kau ingin Juan tetap hidup, kita tahu apa yang harus dilakukan," lirih Gareth sambil lalu.

River terdiam sejenak membiarkan kalimat itu merembes dalam benaknya. Saat dia berputar dan menatap punggung teman-temannya di kejauhan sana yang hampir dilalap cahaya senja, dia sadar bahwa saat ini nasib Juan terjebak dalam dua pilihan; kematian sia-sia sebagai monster atau kebangkitan kembali menjadi monster.

Di dalam kepala River, ingatan tentang suara Juan memantul-mantul suram.

"Apa pun lebih baik ketimbang berdiam saja di sini dan melihat dunia runtuh di hadapanmu. Setidaknya menjadi monster memberiku kekuatan."

Menjadi monster.

River mengepalkan tangannya dengan erat. Kata-kata Gareth mengusiknya jauh lebih menyakitkan dari cabikan yang dia terima di pipinya.

"Kalau kau ingin Juan tetap hidup, kita tahu apa yang harus dilakukan."

Dia tahu. Dia tahu tak ada jalan lain lagi.

-oOo-

Saat semua orang sudah di dalam mobil, Heaven merasa ini adalah waktu terbaiknya untuk menuntut jawaban.

"Mengapa kalian membiarkan dua orang itu masuk ke mobil?" Yang dia maksud sudah pasti River dan Juan.

"Mengapa, katamu? Mereka harus ditolong!" Isaac membetulkan posisi Juan yang menunduk agar dia bisa bersandar tenang di bangku. Sementara River menutupi lengan Juan dengan lebih banyak kain dan agar aroma darah tidak terlalu menyengat.

Heaven mengencangkan rahangnya. Sambil menunjuk River dengan tatapan sinis, dia membalas tanpa berbelas kasihan, "Mereka akan berubah, cepat atau lambat. Aku melihat sendiri Noah―maksudku monster tadi―sudah menggigit keduanya!"

Jawaban Heaven barusan memicu kebekuan di antara semua orang.

"Kau tadi menolongku," kata River dengan mendadak. Suaranya dingin, seperti batu-batu sungai yang dihantam arus. Atau barangkali dia hanya menyembunyikan perasaan kecewanya. "Nathan bilang kau yang menembak kepala monsternya sampai dia terbujur tewas. Kupikir kau memang mau menolongku."

"Aku membunuhnya karena ingin menyelamatkan nyawa kami semua yang ada di sini," Heaven berkata lugas dan berterus terang. Prioritasnya yang utama adalah membantai sang monster, tetapi dia tak bisa mengelak fakta bahwa dua pria yang terjun dalam pertarungan barusan telah menjadi bagian dari makhluk terkutuk itu juga. Heaven ingat bahwa dia sempat melayangkan peluru kepada River, hanya agar pemuda itu tewas dengan cepat setelah dia ketahuan digigit oleh monster. Namun, perkelahian di antara keduanya sangat sengit dan gerakannya begitu cepat. Dengan kondisi tangan Heaven yang cedera (dia juga telah membebat lukanya dengan kain), genggamannya pada pistol menjadi tidak semantap dulu. Peluru itu berkali-kali meleset, entah mengenai siapa. Barangkali meletus sia-sia di aspal.

Wanita itu menggerutu nyaris membentak, "Kalian berdua sudah terkontaminasi, aku sangat yakin itu. Kalian tidak boleh ada di mobil ini!"

"Hei, Nona, mengapa kau ini egois sekali?" Gareth yang bertugas menyetir membalas Heaven dengan pahit. Tatapannya tak bergerak dari jendela di bagian depan mobil ketika kendaraan itu dilajukan mengarungi lintasan jalan tol yang sangat sepi. "Kau ini sudah diselamatkan oleh kami. Seharusnya, kau yang berterima kasih, bukannya malah mengusir teman kami dan bersikap seolah-olah mobil ini milik rombonganmu."

Kata-kata Gareth membuat Heaven sedikit terpojokkan, terutama karena tidak ada orang di dalam mobil itu yang memihaknya. Namun, wanita itu terlalu dibasuh oleh kepanikan atas ancaman keberadaan River dan Juan.

"Mereka bisa membunuh kita semua," katanya. "Cepat atau lambat mereka juga akan berubah menjadi seperti Noah."

"Kalau kau tidak menerima keberadaan mereka, kau saja yang keluar dari sini," Claude berbicara dari bangku paling depan sambil menatap kaca spion di atasnya, terang-terangan memperhatikan Heaven yang memasang raut waspada.

"Apa?" Heaven berjengit seolah tidak percaya.

"Kau tidak salah dengar," kata Claude. "Keluar dari sini atau aku yang akan menendangmu sekarang."

"Kau tahu siapa yang sedang terjebak bahaya di sini?"

"Itu kau."

"Itu kalian semua!" Heaven nyaris berteriak. Dia menatap wajah para penumpang satu-satu, lalu merasa semakin murka karena tidak kunjung mendapat pemahaman. Ada apa dengan orang-orang ini? Apakah otak mereka sudah bergeser? "Ada dua orang yang terinfeksi di dalam mobil ini dan kalian semua akan menjadi mangsa dari kebiadaban mereka selanjutnya!"

"Sersan," Nathaniel menyerobot kaku. Secara otomatis dia menangkap pergelangan tangan Heaven agar wanita itu tenang, "Kami semua yang ada di sini tahu apa yang sedang kami lakukan. Mereka tidak bahaya."

"Mereka tidak bahaya?" Heaven mengulang sambil melongo.

"Mereka tidak akan melukai kita barang sedikit pun."

Mula-mula, kalimat itu membuat Heaven mengernyit, lantaran dia tidak bisa menangkap apa mau orang-orang ini. Sambil membuang napas kesal, wanita itu menampik wajah dan tak sengaja melihat River. Kemudian, dia terpaku. Ekspresi kekecewaan yang tadinya terpilin di wajahnya perlahan-lahan mencair, tergantikan dengan kedua pasang mata yang menyipit heran dan bibir yang mengerucut kaget, seolah-olah dia menyaksikan sesuatu yang aneh dan gaib.

Tadinya Heaven yakin bahwa monster itu sudah mencabik pipi River hingga robek dan berdarah. Namun sekarang, luka itu hilang tak berbekas.

Nyaris seketika, pemahaman itu menumpahi benak Heaven laksana selubung hujan yang berderai di atas kepalanya. Wanita itu menunjuk River dan berkata dengan gugup, "Orang itu monster."

Tak seorang pun menjawab Heaven. Kenyataan ini membuat Heaven semakin yakin bahwa tebakannya benar.

"A-apakah kalian semua monster?" Suaranya tercekat ketika dia menatap wajah di dalam mobil satu per satu. Selagi keheningan menyeruak bagai kabut, tangan Heaven diam-diam merambat ke sabuk celana, hendak mencabut pistol yang bersemayam rapi di sana. Wanita itu tidak tahu apakah situasi ini akan berakhir buruk saja atau malah lebih buruk dari bayangannya.

Dia terjebak bersama gerombolan monster.

Nathaniel yang melihat gerak-gerik Heaven berkata dengan cukup waspada, "Sersan, hanya beberapa di antara kami yang menjadi monster. Aku sendiri masih normal."

"Apa kalian bermaksud menjebakku agar ikut ke mobil ini?"

"Tidak, kami tidak menjebakmu," Nathan berkata yakin. "Kami menolongmu."

"Apa kalian akan membunuhku?"

"Demi Tuhan, tidak akan."

Claude yang duduk di samping Gareth sudah mempersiapkan diri dengan mencengkeram senapan kesayangan di pangkuannya. Di dalam kepalanya berputar berbagai macam skenario tentang bagaimana wanita bernama Heaven ini akan membantai mereka habis-habisan dengan pistol di tangannya. Dia menghitung dalam hati. Sebentar lagi, setelah dia mendengar suara kunci peluru yang dibuka, Claude akan memasang ancang-ancang untuk bangkit, menyentak pistol di tangan Heaven, lalu menodongkan mulut senjatanya pada kepala si wanita.

Namun, semuanya tidak terjadi sesuai dugaan.

Heaven rupanya berkata hal lain, bahkan kali ini terdengar bersekongkol;

"Apa kalian memiliki serum perubahan juga?"

Semua orang sontak menatap Heaven dengan raut bertanya-tanya, kecuali Claude, yang kini merasakan perutnya bergejolak nyeri seolah seseorang baru saja menonjoknya tanpa ampun. Dia berpaling pada Heaven di barisan belakang dan berkata menuntut, "Apa yang baru saja kaubicarakan?"

"Serumnya! Kalian pasti punya serum itu, kan?"

Tanpa mereka ketahui, Euros yang duduk sambil memeluk sebuah tas ransel hitam menekan tasnya agar lebih terpendam ke dadanya.

"Dari mana kau tahu soal serum itu?" Claude bertanya penuh selidik. Heaven, atau bahkan orang lain di muka bumi ini, tidak seharusnya tahu tentang cairan terkutuk itu. Kalau tentara Forbs mengetahuinya, ini artinya serum tersebut sudah jatuh ke tangan yang salah.

"Jadi kalian punya serumnya," Heaven mengangguk afirmatif.

"Jawab pertanyaanku, dari mana kau tahu soal serum itu?"

Heaven menatap Juan yang bersandar tak berdaya di bangku belakang, lalu berkata lirih, "Dan orang yang terluka ini, nantinya akan kalian beri serum perubahan agar dia bisa menjadi monster secara permanen."

"Sersan, bagaimana kau tahu soal itu?" Nathan membalas dengan kening berkerut.

"Bagaimana kau bisa tidak tahu apa yang terjadi di kota ini?" Heaven membalas emosional. Matanya menyala-nyala dengan kemurkaan yang semakin membengkak, "Kehancuran ini sudah kita alami selama lebih dari setengah tahun!"

"Kehancuran apa?"

"Kota ini. Negara bagian ini. Semua orang sekarang sedang berperang untuk mendapatkan serum perubahan itu!"

Mata Heaven yang mulanya berpendar dengan kepanikan dan ketegangan, sekonyong-konyong luruh dengan kesedihan dan kekecewaan. Lengan wanita itu terjatuh gontai di sisi tubuhnya seakan tak sanggup berteriak atau melayangkan protes lagi. Pelan-pelan dia merosotkan diri ke bangkunya, dalam sekejap menutup wajahnya dengan tangan dan bersikap seperti orang depresif yang sudah lelah hidup. Sementara itu, semua orang saling menatap satu sama lain, bertanya-tanya apa yang baru saja mereka saksikan.

Heaven, seorang prajurit Forbs, mengetahui soal serum perubahan itu. Dan sekarang sang wanita tampak seperti bunga yang layu. Kesedihan telah menggerusnya ke titik paling rendah.

Nathaniel bertukar pandang dengan Claude, seolah dia bisa membaca pikirannya.

"Sersan," kata Nathaniel hati-hati, "Kita perlu bicara lebih banyak mengenai apa yang kau ketahui."

Heaven pelan-pelan menegakkan diri, lantas menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengumpulkan kewarasan. Dia membalas permintaan Nathan dengan bisikan persetujuan yang sarat kepasrahan;

"Sepertinya aku juga perlu berbicara dengan kalian."[] 

-oOo-

.




.




.





Jadi, Mbak Heaven ini nantinya akan jadi kunci kekacauan gais awokwowkowk. Tapi kalean jangan benci dulu sama Mbak Heaven, karena dia pun punya kondisi sendiri yang enggak bisa dielakkan. Yah, pokoknya tokoh-tokoh dalam novel ini bakalan mengantar kalian ke sumur petualangan yang penuh kebohongan dan penyesalan. Semoga aku kuat menyelesaikannya dalam waktu enam bulan huhuhuhuuu 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top