5. Sudden Attack

-oOo-

PEKAT oleh keterkejutan yang mengentak jantung, River tidak mengira apa yang dilihatnya saat ini akan membawanya kembali ke masa lalu, saat dirinya pertama kali bertemu Paman Williamโ€•si pria yang menyelundupkan monster kecil di dalam mobil.

Pada detik ini River hanya mampu membuka mulut tanpa berkata-kata, seraya menyaksikan sosok berlumur darah dan lendir muntahan di hadapannya menggerung tersiksa seperti anjing yang kelaparan. Matanya, merah dan berpendar oleh tangis, menatap River dengan sorot memohon.

"Tolong," lirihnya dengan suara lemah. "Bunuh aku...."

River berjengit, ragu antara ingin melangkah maju atau mundur. Ujung-ujungnya dia hanya terpaku di ambang pintu toilet sambil menyaksikan gelagat pria malang itu. Sementara Claude yang mengantisipasi di belakangnya menyipitkan mata melalui pintu toilet yang terbuka.

"Apa-apaan itu?" Suaranya yang bernada bengis dia tujukan kepada si wanita yang berbaring tersekap di bawahnya. "Kau menyandera orang itu di dalam toilet?"

"Kalian tidak akan mengerti apa yang kulakukan," kata si wanita. Selagi berusaha memberontak dari kukungan Claude, dia mendengar langkah bergemuruh dari area depan kios SPBU. Rupanya Isaac, diikuti anak-anak yang lain, datang menghampiri mereka karena mendengar keributan. Eskpresi semua orang tercabik antara cemas dan waspada.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Isaac.

"Lihat dia," sahut River sambil menunjuk bilik toilet.

Isaac praktis menatap pria berlumur darah yang disekap di dalam toilet. Keterkejutan membayang di wajahnya hanya sesaat, lalu, "Sial! Siapa dia?" atensinya mendarat cepat pada wanita yang dilumpuhkan Claude, "Dan siapa pula wanita itu?"

"Entahlah. Itu yang dari tadi kutanyakan padanya," kata Claude. "Nona, apa tujuanmu menyekap monster di dalam toilet?"

"Lepaskan aku!" Si wanita memberontak lebih keras, tetapi Claude semakin menekan kepala dan pergelangan tangannya yang terluka sehingga dia merintih tersiksa.

"Tidak akan kulepaskan sampai kau mengatakan yang sebenarnya."

"Lepaskan atau kubunuh kau. Memangnya kau tidak tahu siapa aku?"

"Aku sama sekali tak peduli siapa kau."

"Hei, Claude," Suara Nathaniel tahu-tahu saja menginterupsi. Claude mendongak tepat saat Nathan muncul dari rombongan. Tatapan Nathan sejak tadi terpaku pada si wanita yang satu pipinya menekan lantai sementara kedua tangannya dicekal di punggung. Ada sejumput ingatan yang mekar dalam kepala Nathan saat menelisik paras itu. Terasa familier. Apakah mungkin...

Lalu jawabannya terbersit beberapa detik kemudian.

Nathan menebak hati-hati, "Sersan Heaven?"

Suaranya yang berbisik di tengah sunyi ruangan menyita atensi semua orang. Sang wanita berusaha mendongak walaupun kepalanya ditekan Claude. Dia tak mengatakan apa-apa, akan tetapi dari caranya menatap Nathan, semua orang di sana setuju dengan gagasan bahwa mereka berdua saling mengenal.

"Nath, kau tahu dia?" Claude bertanya.

Nathan mengangguk, "Dia sersan regu empat, Sersan Heavenโ€•" suaranya lebih mengecil kali berikutnya, "โ€•anak kesayangan instruktur pelatih resimen."

"Jadi dia prajurit?"

"Prajurit," kata Nathan.

"Sial. Ternyata kau bagian dari kelompok busuk itu, ya?" Claude mendesis. Cengkeramannya pada pergelangan tangan si wanita menguat, sontak mendengungkan alarm bahaya di kepala Heaven. Selain Nathaniel, seluruh prajurit yang mereka temui adalah musuh. Claude menanamkan konsep brutal itu dalam kepalanya sebagai alasan masuk akal untuk melukai siapa pun yang hendak menghalangi misinya. Jadi dia, dalam hitungan ketiga, bermaksud mematahkan lengan wanita ini dan meninggalkannya pergi. Sebelum rombongan tentara lainnya datang dan menyerang mereka habis-habisan, begitu pikirnya. Namun Heaven lebih cerdas dan berpengalaman dalam tawar-menawar. Wanita itu tahu apa yang salah.

"Tidak, tidak, jangan melukaiku!" Heaven mencicit memohon tepat saat Claude hendak membengkokkan pergelangannya ke dalam, "A, aku memang dulunya prajurit, tapi sekarang tidak. Aku sudah jadi gelandangan selama beberapa minggu. Aku kemari karena kelaparan dan butuh makanan!"

"Kau mantan prajurit juga?" Nathan mengerutkan kening. "Sersan, mengapa sekarang kau jadi gelandangan? Ke mana regumu?"

Claude berpaling menatap Nathan dan menuntut keterangan asli darinya. "Apa menurutmu wanita ini berbohong?"

"Dia tidak mengenakan seragam tentara," kata Nathan tatkala menangkap satu keganjilan yang seharunya dia sadari sejak tadi. "Menurutku dia betul-betul gelandangan."

"Lepaskan aku, dan akan kujelaskan semuanya pada kalian," pinta Heaven, tetapi nadanya seperti memerintah.

"Tidak, sebelum kau menjelaskan siapa pria di dalam toilet itu," kata Claude yang mengalihkan topik. "Kalian pasti juga saling mengenal, iya, kan?" Claude menatap Nathan dan berkata, "Nath, cobalah mendekat ke toilet. Kau mungkin bisa mengenali wajah pria itu."

Nathan segera mematuhi perintah Claude. Dia maju mendahului River dan melongok ke dalam toilet yang beraroma busuk memualkan. Keningnya berkerut menahan muntah ketika dirinya memeriksa sosok lemah yang tergeletak dalam kubangan darah dan kotorannya sendiri. Pria di dalam sana sejak tadi hanya menundukkan kepala tak berdaya. Mulutnya menceracau tak jelas seperti anak kecil yang sedang mengigau karena mimpi buruk.

"Dia tak sadarkan diri?" tanya Nathan lewat mulutnya yang sengaja ditutup lengan. "Apa dia manusia?"

River membalas, "Aku mencium aroma monster dalam dirinya."

"Aku perlu melihat wajahnya," kata Nathan, kemudian River celingukan dan kebetulan menangkap bayangan tongkat pel yang disimpan di ujung lorong bilik toilet. Pemuda itu bergegas mengambilnya, lalu memberikan tongkat itu pada Nathan, yang langsung mengarahkan ujungnya yang berjumbai pada dagu si pria yang tampak rapuh. Dia mendorong tongkat ke atas dan memeriksa wajahnya.

"Dia Noah, salah satu anggota reguku," kata Heaven sebelum Nathan sempat mengenalinya.

Barangkali Nathan memang tak bisa begitu saja mengenalinya, sebab wajah Noah yang sekarang telah babak belur. Satu matanya tertutup karena kelopaknya robek dan bengkak, sementara hidungnya, bengkok dengan bentuk ganjil seperti baru saja dipatahkan. Ada benjol yang bersemu kehitaman di bagian rahang lalu menjalar sampai ke telinga, dan Nathan menebak itu akibat dari luka infeksi bernanah yang sudah membusuk selama berhari-hari.

"Ya, aku yakin pernah melihatnya saat masih di Forbs," kata Nathaniel, yang pelan-pelan menghadap kembali pada Heaven. "Dia satu regu denganmu. Mengapa bocah ini disekap?"

"Itu yang sejak tadi aku tanyakan," timpal Claude. "Tapi orang ini sama sekali tidak mau membalasโ€•"

"Karena dia adalah temanku satu-satunya," potong Heaven dengan nada berat dan terpaksa.

Dari caranya yang enggan menatap Noah, Heaven kelihatannya menanggung malu dan rasa sesal. Semua orang di tempat itu menebak-nebak apa yang berikutnya akan wanita itu dikatakan, tetapi dia tak mengatakan lanjutannya.

River, yang dicabik oleh perasaan kebingungan dan tak habis pikir, akhirnya bertanya, "Kau menyekap manusia yang sudah terinfeksi di dalam toilet SPBU? Tapi mengapa?" Dia memandang si pria yang berlumur darah sebelum kembali pada Heaven, lalu kali berikutnya protes; "Kau ini seorang prajurit. Kau pasti tahu kalau orang ini tak bisa disembuhkan dan jalan satu-satunya adalah dengan membunuhnya."

"Ya, dia seharusnya tahu," Gareth melempar persetujuan. Entah bagaimana, pembuluh darahnya kini menyala oleh amarah yang meletup-letup. "Prajurit tidak mengenal harapan pada korban yang terinfeksi wabah. Kalau kau tahu dia tak bisa diselamatkan lagi, mengapa harus repot-repot menyekapnya? Apakah kau bemaksud menyiksanya sampai dia menjadi monster seutuhnya, lalu baru akan menembaknya di kepala?"

"Wow, Bung, aku tahu hari-hari kita sudah sangat buruk. Tapi sepertinya opini itu terlalu kasar," Nathan mengangkat tangannya seolah mencegah Gareth agar tidak kelepasan menyinggung seseorang. Namun, adiknya hanya membalas dengan tatapan sinis.

"Menurutku," lanjut Gareth tanpa memedulikan abangnya, "orang seperti dia lebih keji dibandingkan mereka yang membunuh para korban untuk bertahan hidup. Dia membiarkan orang itu tersiksa dengan virus yang menggerogoti otaknya, padahal dia punya pilihan untuk membunuhnya di tempat. Bagaimana bisa seorang prajurit tempur yang sudah hafal dan terbiasa dengan pembantaian malah mati kutu saat disuruh membunuh rekannya sendiri?"

Pernyataan dari Gareth entah bagaimana menaburkan sedikit garam pada luka masa lalu yang dirasakan Nathan. Semua prajurit Forbs adalah pasukan pembunuh yang dididik untuk menggarap eksekusi manusia tanpa pandang bulu. Algojo neraka, begitu julukan mereka di kalangan penghuni barak penyelamatan. Namun saat Nathan mengingat-ingat betapa cengeng dirinya yang selalu menangis diam-diam selepas melakukan pembunuhan masal, dia sadar bahwa pendapat Gareth ada benarnya. Sejak dulu pembantaian tak pernah bisa membuat dirinya bermental kuat, terutama bila itu menyangkut keluarganya sendiri. Nathan hanyalah sampah pengecut rendahan yang memohon kembali pada Gareth begitu dia tahu bahwa adiknya masih hidup, padahal dulu dia sendiri yang berniat menanamkan peluru di kepala Gareth.

"Gareth," kata Nathan, berusaha agar suaranya tak terdengar penuh belas kasihan, "Sersan Heaven pasti memiliki alasan penting."

Sementara itu, Heaven tampaknya tak ingin membalas ocehan Gareth. Dia tahu tindakannya ini akan disalahpahami sebagai sesuatu yang luar biasa keji, tetapi Heaven benar-benar tak bisa meninggalkan Noah sendirian. Dia tak membunuh Noah bukan karena terlalu mati kutu untuk menarik pelatuk. Dia tak membunuh Noah karena jauh di dalam benaknya dia tahu bahwa Noah masih bisa disembuhkan.

Dan Heaven tak bisa mengatakan motif sesungguhnya pada pria-pria mencurigakan ini.

"Sekarang lebih baik kita bunuh saja pria itu," usul Claude.

Heaven langsung membentak, "JANGAN! JANGAN BUNUH DIA!"

"Diam saja, Nona setan. Kau tak tahu iblis macam apa yang kau ciptakan kalau kau membiarkan orang itu berada di sini. Lagi pula dia sudah cukup tersiksa. Nathan, maukah kau melakukannya?"

Nathan mulanya ragu, tetapi saat dia melihat sosok di dalam toilet, dia merasa kematian memang merupakan nilai yang sepadan untuk membuatnya bebas. Lantas pemuda itu menarik sepucuk pistol dari celananya. Selagi keributan Heaven kembali mengudara, River berbisik-bisik gelisah pada Gareth, "Tunggu, Gareth, apa orang itu benar-benar tak bisa diselamatkan? Maksudku, kita bisa memberikannya serum perubahan."

"Dengan kondisinya yang seperti ini, sudah sangat terlambat," kata Gareth. "Kalaupun kita menyuntiknya sekarang, dia tidak akan kuat. Dia akan keburu tewas."

"Nathan, cepatlah," perintah Claude, lalu Nathan membuka kunci pelatuknya.

Namun, kejadian selanjutnya berlangsung secepat kilatโ€•Heaven mendadak saja merasakan adrenalinnya membuncah karena kemarahan. Dia menjegal kaki Claude dengan bengis, membuat pemuda itu terjungkal karena tidak siap dengan serangannya. Belum Sepenuhnya sadar dari apa yang baru saja terjadi, Claude menerima tendangan di dada, yang memaksanya agar tetap berbaring, sementara pistolnya yang tergelincir dari genggaman langsung ditangkap dengan gesit oleh Heaven.

Wanita itu dalam sekejap mengambil alih situasi dan berdiri menghadap mereka semua. Moncong pistol diarahkan lurus ke depan, ke tempat Claude yang masih berlutut sambil terengah-engah.

"Jangan bergerak," perintah Heaven tegas. "Bergerak sedikit saja dan aku akan menembak kepala kalian semua."

Semua orang bahkan tak memiliki waktu untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Gerakan Heaven sungguh cepat, seperti ninja yang menyerang dalam bayangan. Isaac maju selangkah dengan panik, hendak menolong Claude, tetapi Heaven langsung mendesis marah, "Aku tidak akan mati kutu untuk menembak siapa saja yang ada di sini, aku bersumpah."

"Sersan Heaven, tolong sudahi semua ini," Nathaniel memohon hati-hati. "Kita ada di pihak yang sama."

"Jangan panggil aku seperti itu," kata Heaven. "Aku bukan lagi seorang sersan."

Saat mereka masih bergeming memikirkan rencana, Claude yang berlutut di dekat Heaven tahu-tahu mengerutkan kening lantaran mencium bau yang familier. Dia merasakan aroma itu bagai sengatan berduri yang menusuk penciumannya, memicu sesuatu di dasar perutnya bergejolak, mengirim letupan sensasi pada pusat jantungnya yang kini menyala-nyala oleh kabut energi.

Kepanikan menghantam kepala Claude bagai godam.

"Hei," Pria itu berbicara lirih. Atensinya merambat pada Heaven, memindai tubuh wanita yang berdiri di dekatnya dengan cepat. Saat dia menemukan darah menetes satu demi satu dari luka terbuka di telapak tangan Heaven, Claude berbicara dengan nada gemetar, "Kau ... kau berdarah."

Heaven mengangkat tangannya di depan wajah dan tampak dua kali lipat lebih cemas. Napasnya tersengal saat memikirkan musibah macam apa yang bisa saja terjadi sebentar lagi.

"Oh, astaga." Kata-kata River adalah alarm yang membangunkan seluruh monster di tempat itu.

Beberapa detik selanjutnya, suara itu kembali terdengar dari bilik toilet. Peringatan yang disiratkan oleh bunyi semacam itu tidak dapat ditampik begitu saja. Tawanan di dalam sana menggeram dan mendengus seperti binatang kelaparan, menciptakan ketegangan baru yang memicu ledakan ketakutan pada ekspresi setiap orang. Dalam gerakan lambat, tubuh sang pria mulai menerima aroma darah itu bagai sinyal untuk perubahan.

Kakinya mendadak terkujur. Kepalanya tersentak ke belakang, membentur dinding toilet dengan bunyi gedebuk menyakitkan. Matanya bergulir ke dalam rongganya, dan jemari tangannya mengejang seiring kuku-kukunya memanjang. Otot pada lengannya menggelembung seperti balon, mengeluarkan asap panas yang berbau memualkan seperti susu basi, dan tahu-tahu saja, borgol yang melingkari tangannya hancur berkeping-keping.

Transformasi monster itu terhitung cepat, sampai-sampai River yang berdiri paling dekat di bilik toilet terlambat bereaksi ketika dia merasakan udara di belakangnya berguncang. Tepat saat dia menghadap belakang, monster itu menerjang dan menerkamnya.

"Fuck!" River melompat mundur dan mendorong pelatuknya tepat waktu, akan tetapi bidikannya meleset. Sang monster terjungkal ke depan karena peluru yang menghujam bahunya, lalu menabrak barisan rak makanan hingga jatuh terguling. Di antara timbunan papan-papan yang hancur dan debu yang membubung, dia melenguh dan meronta-ronta bagai anjing yang berusaha melepaskan diri dari kerangkeng.

Heaven hanya berdiri gemetaran di tengah-tengah ruangan seraya menyaksikan kekacauan di hadapannya dengan sorot terguncang. Dia tak pernah melihat Noah berubah total menjadi monster seperti ini.

Ini bukan Noah. Ini bukan Noah.

"APA YANG KAULAKUKAN? CEPAT PERGI DARI SINI!" Claude menyambar lengan Heaven sehingga gadis itu terseret. Dilanda panik dan takut, Heaven pun berlari bersama gerombolan penyintas melewati lorong toko.

Sedetik kemudian terdengar suara kaca pecah yang asalnya dari bagian samping toko, diikuti dengan raungan memekakkan dan gemuruh langkah yang menggebuk bumi. Monster dari luar rupanya mulai berdatangan dan mengejar mereka. Euros berlari paling lambat di antara yang lain. Dia melihat bayangan hitam meruyak cahaya di samping kirinya, lalu saat kepalanya mendongak, sesosok monster melompat ke arahnya sambil memamerkan mulutnya yang dipenuhi gigi-gigi setajam harimau.

Nathaniel menembakkan peluru tepat ke kepala sang monster hingga makhluk itu terbanting jatuh.

"Apa dia mati?" tanya Euros seraya berlari terengah-engah.

"Sama-sama!" kata Nathaniel, kemudian dia menarik pakaian Euros agar pemuda itu berlari lebih cepat. Pada akhirnya mereka berhasil keluar dari toko SPBU, praktis menuju mobil yang terparkir di tengah-tengah lahan kosong.

"Bangsat! Siapa yang memarkir mobilnya sejauh itu?" Euros meraung protes, akan tetapi semua orang tetap berlari dan satu per satu mencapai mobil.

"Sudah masuk semua?" Gareth yang akhirnya memasuki bangku sopir berpaling ke belakang seraya menghitung siapa saja yang telah masuk. Dengan jantung yang masih berpacu, semua orang berjejalan dan saling berimpitan dengan panik. Namun di kejauhan sana, Juan dan River masih berlari. Di belakang mereka, monster Noah mengejar dengan beringas. Sosoknya mirip serigala tanpa moncong dan bulu, dengan dua mata besar kekuningan dan rahang yang terbuka lebar memamerkan gigi-gigi sepanjang tujuh sentimeter. Kedua tangannya yang bercakar terjulur ke depan, seperti hendak menggapai dua pemuda yang berlari menjauh.

Beberapa orang berusaha membantu dengan membidik sang monster, akan tetapi ledakan pistol meleset.

"Berhenti menembak! Pelurunya bisa kena mereka!"

River sendiri bersumpah dapat merasakan peluru-peluru milik kawan-kawan meletus melewatinya, nyaris mengenainya, namun semuanya melesat menghantam pelataran semen sehingga mengeluarkan percikan api. Dia berlari lebih cepat, dengan jantung bertalu-talu, kemudian melompat ke dalam mobil.

River mengulurkan tangan ke arah Juan, "Cepat lari!"

Juan membuat langkah lebih lebar. Napasnya tercekat di tenggorokan ketika dia melontarkan dirinya maju. Pada detik-detik terakhir, pemuda itu berhasil menggapai tangan River.

Mereka semua yang ada di dalam mobil membantu menarik Juan masuk. Saat semua sudah berkumpul, River hendak menutup pintu di belakangnya, akan tetapi monster yang tadi mengejarnya mendadak saja sudah di depan mata dan mengayunkan tangannya yang sebesar bonggol pohon ke arah engsel, sontak membuat pintu mobil copot dan terbanting jatuh.

"PERGI SEKARANG!" Isaac memerintah, lalu Gareth menekan pedal gas dan membawa mobil mereka melaju membelah jalanan.

Monster itu masih mengejar mobil mereka dengan beringas, menggerung-gerung bagai serigala buas yang kelaparan. Dengan kondisi sisi mobil mereka yang terbuka lebar. Juan yang duduk paling pinggir lantas berpegangan pada bagian atas mobil dan menjulurkan kepalanya keluar. Dia menembaki monster yang mengejar mereka dengan pistolnya.

River berteriak panik, "Juan, masuk ke mobil!"

"Aku harus menembaknya!"

"Kau tak akan berhasil!"

Lalu pada tembakan terakhir, peluru itu berhasil mengenai sang monster sehingga makhluk raksasa itu tersentak ke belakang dan jatuh berguling di jalanan beraspal.

Juan menarik napas, terengah-engah seperti kelelahan sehabis berlari. Dia berpaling seraya tersenyum puas menatap River.

"Lihat, kan? Tembakanku kena," katanya dengan nada pongah, lalu dia membungkukkan badan dan kembali masuk ke mobil. River membantu menarik Juan agar dia bisa duduk lebih dalam, semata-mata mencegah kemungkinan adiknya terseret genta angin yang melecut-lecut tak terkendali dari luar. Walau begitu, ekspresi kecut pada wajah River sama sekali tak berkurang.

"Lain kali kau patuhi ucapanku," desis River.

"Maaf, tapi setidaknya kita sudah aman," jawab Juan.

"Apa monsternya sudah tewas?" Gareth bertanya lewat kaca spion depan.

"Ya, Juan sudah menembaknya," kata Nathan, lalu ketika dia berpaling ke barisan belakang untuk memastikan keadaan, mendadak saja pandangannya dikejutkan dengan wajah buas sang monster yang hanya berjarak sejengkal dari wajah Juan.

Nathaniel bahkan tak sempat memperingatkan ketika monster itu menyambar pakaian Juan dari lubang pada pintu mobil, lalu menariknya hingga pemuda itu terjatuh ke jalanan.[]

-oOo-

.

.

.

Aku udah bilang belum kalau season 2 ini bakalan lebih brutal? ๐Ÿ˜”

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top