43. Forever Goodbye (END)

-oOo-

HEAVEN tidak ada di sungai.

Claude menghabiskan tiga puluh menit untuk mengitari lahan di sekitar sungai sambil memanggil-manggil namanya, tetapi usahanya tidak ada hasil. Wayne pasti berniat menggodaku, begitulah yang Claude pikir selagi dirinya kembali ke kawasan pemukiman dengan perasaan jengkel dan malu. Karena anak itu tahu aku menyimpan perasaan pada Heaven. Karena dia bisa membaca raut wajahku. Tuduhan ini terasa konyol. Setelah dipikir-pikir, Claude sadar bahwa dia hanya dongkol saja karena tidak bertemu Heaven, seharusnya tidak perlu berlebihan.

Dia baru saja sampai di kawasan pemukiman dan hendak masuk ke rumah tempat kawan-kawannya tadi mengadakan rapat. Namun saat hendak menaiki undakan teras, tidak sengaja atensinya mendarat pada rumah bercat putih yang terletak di paling ujung jalan. Dari jauh, gerbang rumah itu terbuka. Claude yakin kemarin mereka sudah menutupnya seusai menjarah barang-barang di dalamnya.

Apakah Heaven ada di rumah itu?

Pemikiran itu, entah bagaimana bagaikan sihir yang mendorong Claude menghampiri rumah tersebut. Dia melewati celah lebar pada pintu gerbang, lalu memasuki pintu yang sudah dibobol. Claude memanggil-manggil Heaven seraya mengintip kamar-kamar di lantai dasar, tetapi tidak ada yang menyahut. Pemeriksaannya beralih ke lantai dua, memanggil-manggil lagi. Tetap tidak ada suara.

Saat Claude pikir Heaven tidak ada di rumah itu, sesuatu menghentikan langkahnya.

Bukan. Bukan bunyi langkah kaki atau suara tipis yang menyahuti seruannya, atau bunyi kepakan sayap serangga dan cicitan tikus yang menggema dari sudut-sudut lantai. Claude tidak mendengarnya, tidak mencium, ataupun merasakan. Akan tetapi dia tahu ada sesuatu yang mendiami rumah ini. Alarm purba dalam kepalanya berdenyut ritmis. Insting monster.

Claude mengikuti ke mana firasatnya menuntun. Dia menuruni tangga, lalu berbelok ke sebuah lorong pendek yang diapit rak kayu dan kabinet susun. Di ujung lorong, ada sebuah pintu kecil yang menghubungkan lantai pertama dan ruang bawah tanah. Di dalam sana, benaknya berkata.

Bukan monster.

Tapi bukan pula manusia.

Pada satu titik, pria itu seakan tidak percaya dengan asumsi atas firasatnya. Bukan monster dan bukan manusia? Memang tidak bisa dijelaskan secara jelas, akan tetapi dia tahu ada sesuatu yang mendiami ruang bawah tanah. Barangkali binatang peliharaan yang dulunya ditinggalkan oleh pemiliknya, tetapi binatang macam apa yang bisa bertahan hidup tanpa makan dan minum sampai selama ini?

Tidak, belum lama, kok. Kemarin saat kawan-kawannya memeriksa rumah ini, Claude tidak merasakan firasat apa pun.

Tidak punya alasan untuk kabur, Claude akhirnya memutuskan memeriksa sendiri ruangan itu. Pintunya terdorong dengan mudah karena kuncinya telah dibobol, entah oleh siapa. Jauh di dasar hatinya, dia setengah berharap yang akan ditemuinya di bawah sana adalah Heaven. Namun di sisi lain, dia tidak mau menemukan Heaven di tempat lembab, bau, dan gelap seperti ini. Untuk apa pula wanita itu kemari, bukan?

Claude menuruni anak tangga sempit satu per satu. Semakin masuk ke dalam, cahaya semakin hilang. Akan tetapi ketika telah sampai di dasar, ventilasi-ventilasi kecil yang terpasang di dinding bagian atas memberi kesempatan cahaya untuk masuk. Claude menarik napas dalam-dalam. Dia menyusuri sepanjang lorong yang diapit rak-rak besi berisi perkakas dan mesin-mesin kendaraan yang tidak terpakai. Di ujung perjalanannya, langkahnya memelan. Ekspresinya terperenyak kaget saat melihat seseorang sedang duduk bersimpuh di sudut ruangan.

"Heaven?" Suara Claude bernada heran bercampur waspada.

Wanita itu duduk di lantai sambil bersandar di dinding. Sesuatu yang membuat Claude terkejut adalah fakta bahwa Heaven tampak tidak baik-baik saja. Cahaya dari ventilasi terpapar pada sebagian wajahnya. Rambut merahnya tergerai total dari ikatan dan begitu kusut, seperti bekas diacak-acak dan dijambak. Goresan luka dan memar-memar tampak di seputaran pipi. Lalu di lehernya ... ada bilur-bilur kehitaman yang tampak menonjol, bagaikan akar tanaman membusuk yang menyebarkan virus ke seluruh pembuluh darah.

Bukan monster.

Bukan pula manusia.

Tapi di antara keduanya; makhluk yang mengalami peralihan.

Claude menghampiri sosok itu dengan jantung berdebar-debar dan langkah ragu. Dia tidak mau percaya. Dia ingin salah mengira orang. Ini bukan Heaven. Ini bukan Rubah Api-nya.

Akan tetapi harapannya tidak terwujud.

"Claude?" Suara yang dikenalnya menyapa lirih.

Saat itulah Claude seolah terjun ke dasar jurang.

"Apa yang terjadi, Heaven?" Bagai tersentil kesadaran, Claude berlutut di dekat Heaven dan memeriksa kondisinya dengan cermat. Dia menangkup wajah Heaven yang panas membara, memiringkan lehernya untuk melihat bilur gelap yang telah menyebar hingga ke balik pakaian. Diliputi panik dan tidak berpikir panjang, Claude mengalungkan lengan kanan Heaven ke pundaknya, hendak memapahnya bangkit. Namun, sesuatu menghentikan aksinya, diikuti bunyi benturan logam yang keras.

Claude menunduk, lalu menyaksikan tangan kiri Heaven telah terborgol pada teralis ventilasi bagian bawah.

"Kau―apa yang kau lakukan?" Pria itu hendak menendang teralis hingga copot, akan tetapi Heaven menahan tungkainya. Wanita itu mendongak padanya dan menggeleng.

"Biarkan aku di sini."

"Kenapa kau memborgol tanganmu sendiri, bodoh!"

"Agar aku tidak menimbulkan masalah di luar sana...."

Claude, yang tercabik di antara terluka dan marah, berlutut lagi di hadapan Heaven dan mencekal kedua pundaknya. "Kita harus pergi dari sini. Kau akan sembuh."

"Tinggalkan aku, Claude," Heaven menyingkirkan tangan Claude dan sebagai gantinya mendorong pria itu agar menjauh. "Biarkan aku di sini ... aku tidak bisa bertahan."

"River bisa menyembuhkanmu!"

Heaven menggeleng. "Sudah terlambat."

"Sejak kapan kau menahan ini? Apa kau digigit monster saat kita masih di Bosevill?"

"Waktu aku ditangkap, petugas sialan itu ... menyuntikku dengan virus."

Jemari Claude yang mencengkeram pundak Heaven bergetar menahan murka. Seandainya petugas yang dimaksud Heaven ada di hadapannya, Claude tidak akan mengulur waktu barang sedetik untuk menghabisi orang itu.

"Kenapa kau tidak bilang padaku?" Protes Claude lebih terdengar seperti geraman putus asa.

"Aku pikir aku bisa menyuntik diriku sendiri."

"Jadi serum itu ... kau curi untuk dirimu sendiri?"

"Sebelum aku melihat River lebih membutuhkannya."

"Kenapa kau memberikannya?"

"Karena dia terluka karena aku," bisik Heaven, suaranya bergulung dalam potongan napas berdengih-dengih. "Dia terluka karena menolongku dari serangan monster ... aku merasa bersalah ... jadi aku memberikan serum itu untuknya...."

Claude rasanya ingin membenturkan kepalanya ke dinding.

"Heaven," Pria itu berkata menahan sakit di hatinya. "Ayolah, ikut aku. Aku yakin kau bisa bertahan satu dua hari lagi. Saat itu River bisa menolongmu."

"Virus yang ini ... persebarannya lebih cepat," kata Heaven. "Direkayasa khusus oleh laboratorium ... untuk para subjek...."

"Kita akan melihat hasilnya nanti."

"KUBILANG PERGI!" Heaven tahu-tahu mengempas bahu Claude amat keras. Kemarahan meruyap di wajahnya bagaikan parasit. Claude tercengang dan membeku saat mendapati gejala kebuasan mendadak saja mnuncul di mata Heaven. Akan tetapi kegilaan itu hanya berlangsung sebentar, sebab beberapa detik kemudian sorot matanya kembali jernih.

"Claude," kata Heaven, yang tampaknya sadar dengan tingkah kasarnya barusan. "Monster itu datang dan pergi ... aku tidak bisa menjelaskan ... kadang-kadang aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Ini membuatku marah ... kehilangan akal ... dia ada di dalam sini dan ingin memberontak keluar. Kau harus pergi ... sebelum dia murka...."

"Heaven, tenanglah."

"Enyahlah, Claude." Setetes air mata mengalir di pipi Heaven. Nada suara wanita itu berubah seperti memohon. "Aku tidak ingin kau melihatku seperti ini."

Claude tidak pergi. Dia tidak membalas apa pun dan terus meminta kesempatan untuk menolong Heaven. Namun, sekalipun dia membujuk sampai mulutnya berbusa, Heaven tetap teguh pada keinginan awal untuk mengakhiri segalanya di sini. Wanita itu menatap Claude dengan sorot kegilaan bercampur kubangan rasa sakit. Suara-suara jahat di benaknya tiba-tiba kembali lagi, merobek kepalanya. Kali ini, monster itu menjerit-jerit menginginkan Claude.

Bunuh, bunuh dia. Dia hanya pengganggu!

"Aku tidak mau, Claude," Heaven bernapas terengah-engah seolah hendak meledak. "Aku tidak mau membunuhmu."

Bunuh dia. Bunuh dia. Gigit lehernya hingga putus!

"Heaven...."

Heaven menggeleng keras. "PERGI DARI SINI, DASAR KEPARAT!"

"Ini aku!" Claude mencengkeram kedua bahu Heaven dan berusaha sekuat mungkin menahan pergerakannya. Wanita itu memberontak dan menggeliat, lalu mulai mengatup-ngatupkan rahang seakan hendak menggigit lehernya. Claude menjauhkan wajahnya dari terkaman Heaven, tetapi dia terus memanggil namanya dan berharap Heaven segera sadar.

"Heaven, aku tahu kau bisa mendengarku. Kau masih baik-baik saja di dalam sana!"

Heaven semakin memberontak dan menggeram. Liur bercampur darah berjatuhan dari lidahnya yang menjulur, tampak lebih panjang dan tebal. Bagian putih matanya nyaris terisi oleh iris kekuningan yang melebar. Dengan sekuat tenaga, Claude mengempas Heaven hingga wanita itu berbaring telentang. Sambil menjepit kedua bahunya di lantai, pria itu berkata frustrasi, "Kau bisa melawan monster itu, Heaven. Kau juga bisa mendapat keajaiban!"

"ENYAHLAH!" Heaven meracau dan kehilangan akal untuk berpikir jernih. "KAU MAKHLUK TERKUTUK! PERGILAH DARI SINI ATAU AKU AKAN MEMANGSAMU!"

Tiba-tiba saja Claude menarik Heaven dalam pelukan erat. Dia menguburkan bibirnya pada ceruk leher Heaven yang membilur hitam, lalu menggeram pedih di dekat telinganya. "Heaven, Vivy-ku yang malang. Kau Rubah Api-ku. Aku tidak akan membiarkanmu tersiksa."

Kata-kata tersebut entah bagaimana membuat Heaven tersadar. Raut wajahnya berangsur normal. Kejernihan pada matanya kembali bagaikan kabut yang terangkat. Sejenak saja, wanita itu membiarkan dirinya dipeluk oleh Claude. Wajah Claude di lehernya. Napas hangatnya di sana. Jejaknya yang manis.

"Claude," kata Heaven, lemah.

Claude mengangkat kepalanya dan menatap Heaven dengan sorot kesedihan. Jemari pria itu menyusuri pipinya, berputar-putar di dekat bibirnya. "Aku tahu kau ada di dalam sana." Lalu dia merunduk pelan, mencium bibir Heaven dengan lembut, mereguknya bagai menggilas buah anggur di antara gigi. Wanita itu memejamkan mata ketika merasakan dunianya menyala lagi. Seterang rembulan, sehangat matahari. Claude di bibirnya. Lembut dan manis.

Dan ketika ciuman itu usai, mata Claude terpancang pada Heaven. Kolam madu segar, yang tercabik dengan perasaan kasih yang muram dan sayu. Cintanya tidak akan kekal, keduanya tahu itu.

"Claude." Suara Heaven berubah menjadi desisan lirih penuh tekad. "Akhiri aku dengan cepat."

Kata-kata itu menghunus Claude bagaikan tombak. "Tidak."

Lalu Heaven merogoh dari kantong pakaiannya dan memberikan sesuatu kepada Claude. Pria itu menatap pistol di tangannya dengan jantung berdebar bercampur keterkejutan.

"Aku tidak mau berubah menjadi monster," kata Heaven, menangis dan kacau. Air mata menjejak di bibirnya yang disentuh Claude. Dia ingin ciuman manis itu kelak menjadi ingatan terakhirnya sebelum mati, bukannya kebrutalan sebagai monster. "Tolong aku mengakhirinya."

"Heaven, aku tidak bisa ...." Claude menggeleng dan merasa semakin takut.

"CEPAT LAKUKAN!" Heaven berteriak tepat di wajahnya, dan kegilaannya mulai kembali lagi. Wanita itu memberontak melawan desakan kejam di kepalanya; Bunuh! Bunuh dia! Bunuh pengganggu terkutuk itu! Sekujur tubuhnya gemetar dan berkeringat. Benak Heaven tersangkut di antara realita dan ilusi, pandangan matanya menjadi tidak fokus. Claude nyaris saja mendapat gigitan apabila dia tidak melompat ke belakang tepat waktu. Pria itu menyeret tubuhnya mundur dan memandang Heaven dengan luapan rasa sakit dan depresi.

"Heaven, kumohon jangan seperti ini...."

"Kalau kau mencintaiku, bunuh aku," Heaven berkata lemah, menggeliat di lantai sambil menjambak rambut dan memukul-mukul kepalanya sendiri. Suara-suara di kepalanya semakin keras; Bunuh! Bunuh! Bunuh!

"KUMOHON CLAUDE!" Dia merangkak di lantai dan menjangkau tungkai Claude dengan satu kali ayunan. Wanita itu memeluk kakinya dan menekankan keningnya pada sepatunya. "Claude, kumohon ... hentikan penderitaan ini...."

"Heaven, ini tidak―"

Heaven menyambar pergelangan tangan Claude yang memegang pistol, lalu langsung menempelkan ujung pistol itu pada keningnya sendiri. Claude begitu terkejut sehingga ingin menarik lepas tangannya, akan tetapi cengkeraman Heaven sangat kuat. Dia bisa merasakan tubuh Heaven gemetar lebih parah daripada tadi. Tangisannya membanjiri wajahnya yang merah padam karena kesedihan.

"Claude," bisik Heaven, menatap lurus-lurus. "Tolong jaga Sean buatku."

Kemudian Heaven menyelipkan jarinya pada senjata itu, menekan pelatuknya.

-oOo-

Gerombolan burung gagak terbang bersamaan dari sebuah atap rumah bercat putih yang berdiri di ujung jalan. Matahari mulai lenyap ke balik awan yang berarak lembut, dan sinarnya memancarkan warna merah yang membakar. Menyala terang, bagaikan api abadi yang tidak pernah padam.

Nathaniel baru saja keluar dari pintu ketika sebelumnya dia mendengar suara letusan senjata dari kejauhan. Dia meniti undakan teras, menyipitkan mata memandang titik terang yang membakar di sebelah barat jalan. Di belakangnya, langkah-langkah yang lain mengikuti jejaknya. Semua orang berbondong turun ke tengah jalan dan menyaksikan cahaya yang menyusut terbenam di langit yang muram.

Di antara api senja yang mulai redup, tampak sosok seseorang berjalan menghampiri mereka. Semakin lama sosok itu membesar, menampakkan wujud asli.

Itu adalah Claude.

Namun dia tidak sendirian.

Di pelukannya, Claude menggendong seseorang yang bagian wajahnya diselimuti kain putih berlumur darah.

Mula-mula semua orang tidak mengetahui apa arti semua ini. Akan tetapi, saat Claude semakin mendekat, mereka menjadi tahu apa yang terjadi. Letusan pistol yang tadi mereka dengar rupanya adalah penanda.

Dan jasad Heaven adalah jawabannya.[]

TAMAT

.

.

.

Halloohh, kawan-kawan semua.

Dengan ini universe The Pioneers telah tamat. Terima kasih karena telah menemani hari-hari River DKK dan membaca cerita mereka sampai habis 😃

Untuk terakhir kalinya, aku memohon kepada kalian agar dapat memberikan komentar akhir mengenai cerita ini. Bagian mana dari cerita ini yang paling kalian suka, yang paling bikin deg-degan, yang paling menguras emosi, serta saran/kritik membangun untuk aku kedepannya 😘

Buat kalian yang menyukai cerita ini, tolong jangan dihapus dulu dari library yaa. Masukkan ke reading list atau share di sosial media agar lebih banyak orang dapat mengetahuinya 😆👍🏼

Dan, jangan lupa juga membaca ceritaku yang lain. InshaAllah di awal tahun 2024 nanti aku masih akan merilis novel fantasi apocalypse yang topiknya berbeda dari The Pioneers. Dijamin lebih seru, tegang, dan nagih!

Ya sudah, sampai sini saja ocehanku. Sekali lagi terima kasih, kawan-kawan!

Jangan lupa follow instagram-ku yang ini

Salam sejuta cinta,
Honeymenu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top