42. The Debate Between Reality and Ilussion

-oOo-

RIVER tidak ingat bagaimana persisnya sampai dia yakin pada keputusannya.

Satu-satunya hal yang terpikirkan di benaknya adalah dia harus menolong Heaven sebelum wanita itu remuk di tangan monster. Dan, begitulah yang terjadi pada pikiran orang nekat; otot-ototmu refleks mengumpankan diri. Segalanya terjadi begitu cepat―adegan itu bagaikan kilasan mimpi buruk yang menghantuinya; River menerjang sang monster.

Makhluk itu begitu besar dan kulitnya sepanas debu yang disinari terik. Siku kanan River menekan lehernya yang tebal, lalu dia memasrahkan diri bergulingan di pelataran semen yang gelap. Tanpa memberikan jeda pada bahunya yang menghantam beton, River menahan kejatuhan berikutnya dan langsung memijak dada makhluk tersebut, meninju wajah sang monster berkali-kali. Buku jemarinya mengenai rahang monster. Tulang bertemu tulang, dan seluruh lengan River berdenyut menyakitkan.

Dia merasakan dengkusan dan kepulan napas monster menerpa wajah dan lehernya. Monster itu membuka rahang tepat ketika River hendak melayangkan hantaman mentah. River menahan tinjunya agar tidak terperosok ke mulut monster yang mengaga, akan tetapi darah yang melumuri wajah monster begitu licin, menghambat pergerakannya; jemari River justru tergelincir dari rahang lalu terjepit di antara barisan giginya yang tajam.

Pemuda itu menggeram syok dan langsung menarik tangannya keluar dari mulut monster. Rasa sakit membakar sekujur tangannya yang berlumur darah. Gemetaran dan panik, River melompat mundur, meraih pistol di dekat kakinya dengan tangan kiri, lalu langsung menembak secara membabi buta. Pelurunya menghantam kepala sang monster. Pelataran di bawah sepatunya berguncang dan angin di sekitarnya menderu bagai empasan memuaskan ketika sosok monster itu roboh ke tanah.

River berdiri goyah seraya jelalatan ke sekitarnya. Heaven akhirnya berhasil masuk ke dalam Black Hawk, sementara monster semakin banyak bermunculan dari pintu atap. Sebetulnya River masih bisa menembak satu-dua monster lagi, akan tetapi yang paling penting di sini adalah waktu, bukan ketangkasan atau kenekatan untuk menghabisi lebih banyak musuh. Black Hawk di belakangnya segera mengudara, dan gedung ini akan meledak berkeping-keping.

Maka River berlari menuju helikopter dengan langkah terpincang-pincang. Di antara kepulan asap dan percikan peluru, Gareth melihatnya di ambang pintu palka. Dia mengulurkan tangan pada River, lalu menariknya dengan sekali pegangan. Tubuh River terangkat ke depan, hingga akhirnya dia berguling masuk ke lantai helikopter.

Sementara itu, pemandangan di hadapannya berkelebat dengan orang-orang yang menyerukan nama Claude seraya menembakkan peluru dari pintu palka; "Claude, Claude, cepatlah!" Berondongan senjata, bunyi jeritan dan letusan pistol yang berguncang. Raungan baling-baling Black Hawk yang memekakkan telinga. Heaven merebut pistol dari tangan Jasper, lalu membidik sesuatu di kejauhan sana. Nathaniel di sampingnya berteriak; "LIMA BELAS DETIK!"

Semua orang nyaris mengira Claude tidak akan berhasil, akan tetapi pada detik-detik akhir, helikopter berguncang hebat seolah ada sosok raksasa yang baru saja masuk. Rupanya itu Claude, yang langsung beralih ke wujud semula begitu dia merayap masuk melalui pintu. Kawan-kawan yang lain segera menyambutnya dengan suka cita luar biasa. Heaven memeluk Claude begitu erat, seolah wanita itu takut akan kehilangannya lagi.

"Kita berhasil," kata Heaven, bibir menempel di leher Claude.

Claude mengusap kepala Heaven seraya mengangguk lega, "Sean selamat?"

Dia merasakan kepala Heaven mengangguk. "Sudah usai."

"Laboratorium sudah hancur. Mereka tidak akan bisa membuat serum itu lagi," kata Juan ketika Claude dan Heaven saling memisahkan diri. "Barangkali kita adalah monster berakal yang terakhir hidup."

"Semoga saja." Claude maju di antara kerumunan untuk memeriksa. "Omong-omong, apa semua lengkap? Berapa tawanan yang berhasil kita selamatkan?"

"Tiga wanita dan dua anak-anak," lapor Gareth sambil menunjuk bagian paling belakang kursi penumpang. Tampak beberapa orang asing duduk mengisi kursi-kursi. Wajah dan pakaian mereka begitu kumuh seolah tidak mandi berbulan-bulan lamanya. Gareth melanjutkan, "Sayangnya ada satu orang yang tewas di perjalanan kemari. Mereka berlari lambat, dan ada monster yang mengejar dari belakang. Saat kami lengah sebentar, monster itu sudah menerjang dan ... begitulah."

"Beatrice juga sudah tiada," Jasper menambahkan, ekspresinya kecewa dan lemas.

"Turut berduka, kawan. Dia sudah ada di tempat yang indah," hibur salah seorang anggota pemburu monster seraya menepuk-nepuk bahu Jasper, yang tampaknya tidak memiliki semangat sebesar tadi. Jasper akhirnya memilih menyingkir dari kerumunan lalu menghampiri Winter di bilik kemudi, kentara tidak ingin bertemu siapa pun dulu.

Sepeninggal Jasper, Isaac langsung mendekati Claude dan berbisik di dekatnya, "Si idiot Wayne lain kali harus tahu kapan harus tutup mulut. Belum-belum dia sudah memberitahukan pada Jasper kalau istrinya dimutilasi para petugas markas untuk dijadikan santapan monster."

Wayne tampaknya tahu bahwa Isaac sengaja membuat suaranya terdengar olehnya, jadi dia hanya mengedikkan pundak dan berkata enteng, "Aku hanya terbiasa jujur."

Tidak kaget mendengar perilaku Wayne, Claude hanya membuang napas. Pemuda itu kemudian menatap semua orang yang berdiri mengelilinginya satu per satu. Saat melihat Nathaniel di dekatnya, Claude menyeringai lebar sambil mengajak tos, "Benar-benar tidak bisa dipercaya, Bung. Aku senang kau hidup lagi."

"Aku hampir jantungan waktu melihatnya," Gareth menyundul bahu Nathaniel dengan keras, lalu menatap orang itu dengan luapan cemas bercampur jengkel. "Kau tahu, aku menangis semalaman karena mendengar berita kematianmu, dasar berengsek."

"Senang sekali kau perhatian padaku," Lalu Nathaniel merangkul pundak Gareth dan langsung mengecup kening adiknya sampai berbunyi mirip dengusan kerbau. "Mmh, adikku, kau harus keramas dan bercukur. Baumu seperti makanan yang difermentasi." Sementara Gareth secara risi mendorong-dorong pipi Nathaniel sambil memasang ekspresi pura-pura muntah.

"Tidak usah ikut campur. Baumu seperti ikan yang membusuk."

"River, kau baik-baik saja, kan?"

Juan menyela obrolan kawan-kawannya dan langsung menghampiri River yang duduk seorang diri di kursi penumpang. Dia merasa lega abangnya selamat, tetapi kekhawatirannya muncul lagi ketika melihat River tidak bertingkah seperti biasanya. Pemuda itu bersandar lemas di kursi. Tangan kanannya terlipat di depan dada, dibalut dengan jaketnya sendiri. Apa dia terluka? Saat Juan menyelidiki lebih cermat, jaket itu rupanya berlumur darah.

"Astaga, apa yang terjadi?" tanya Juan.

River mengambil waktu sejenak untuk berbicara, "Ulah monster."

"Ulah monster?" Nada tinggi itu menarik perhatian yang lain. Claude dan kawan-kawan langsung berhenti mengobrol dan menghampiri kursi River untuk mengetahui apa yang terjadi. Juan meraih lengan River yang tampak terluka, lalu membuka balutan jaketnya dengan hati-hati. Rautnya dipenuhi keterkejutan bercampur ngeri ketika menyaksikan kondisi tangan kanan River yang kehilangan jari manis dan kelingking.

"Digigit monster?"

"Ya."

"Ini ... ini seharusnya bisa sembuh," Juan menatap wajah River, tetapi pemuda itu hanya memejamkan mata seraya berusaha menenangkan diri dari syok yang mulai datang. Tebakan Juan seketika jatuh pada hal lain, "Apa kau kena tembak pistol sampai tidak bisa memulihkan diri? Di mana? Di mana mereka menembakmu?"

Tangan Juan merambati tubuh River, tetapi River menyingkirkan tangan adiknya karena napasnya terganggu. Entah bagaimana dia merasa sesak dan jantungnya berdebar kencang. "Aku tidak kena tembak. Aku bukan monster lagi."

Kata-kata barusan mengirimkan dengung ketegangan di antara yang lain.

"Kau ... apa?"

Kerumunan orang-orang di sekelilingnya membuat River semakin sulit menenangkan diri. Darah dari tangannya tidak berhenti, justru menetes lebih banyak dari sebelumnya. Pemuda itu merasa gemetar kedinginan, lalu pandangannya mengabur beberapa tingkat. Heaven yang menyadari apa yang terjadi segera mengambil alih situasi; dia menyuruh semua orang menyingkir sejenak untuk memberi tempat, lalu membimbing River keluar dari jepitan kursi dan memindahkannya ke lantai.

"Berbaring, jangan banyak bergerak," kata Heaven seraya membebat kembali jemarinya yang telah buntung, berusaha sebisa mungkin agar darah tidak merembes lebih banyak. Heaven memberitahu kepada yang lain bahwa River mengalami syok akibat kehilangan darah.

Juan, yang tampaknya tidak terima dengan diagnosa itu, protes, "Apa yang dia katakan benar?"

"Aku kira River sudah memberitahukannya pada kalian," kata Heaven. "Ceritanya panjang. Pokoknya, beberapa waktu lalu dia muncul di hadapanku dan mengaku bahwa dia bukan lagi seorang monster."

"Hei, kawan, kau bisa mendengar kami?" Claude secara hati-hati berlutut di dekat River lalu mengguncang bahunya, tetapi River hanya menggeram menahan sakit seraya memejamkan mata. Apa yang tadi dia bilang? Digigit monster? Pada saat itu, sebuah fakta menghantam Clauce bagai godam. Pemuda itu mendongak pada kawan-kawannya, lalu berkata hampa, "Kita sudah tidak memiliki serum."

"Semuanya sudah hancur ... dalam ledakan," Gareth berkata lemah.

"Apa maksudnya?" Juan membentak protes, tiba-tiba merasa tidak terima dengan kenyataan itu. "Apa dia tidak bisa diselamatkan? Apa dia akan berubah menjadi monster? Apa dia akan segera tewas bila tidak ada serum?"

"Kita tidak bisa melakukan apa-apa." Seorang teman Jasper yang berdiri di dekat mereka menyahut terpaksa. Rautnya menekuk muram ketika mengusulkan, "Pilihannya hanya dua. Lakukan sekarang atau tunggu sampai dia berubah menjadi monster sepenuhnya."

"TIDAK!" Seperti bocah yang takut bila mainannya direbut, Juan beringsut maju dan mengangkat tubuh bagian atas River, lalu memeluknya erat seakan dunianya ikut runtuh bersama puing-puing sisa ledakan. Pemuda itu memohon kepada Claude tanpa memedulikan wajahnya yang kini telah banjir air mata. "Claude, kumohon, kumohon, kumohon. Selamatkan River ...."

Claude membeku dalam kekalutan baru. Tidak ada serum. Bagaimana cara menolongnya?

"Claude, katakan sesuatu!" Juan meraung dan mendorongnya dengan murka. "Katakan kau bisa menyelamatkannya! Dia sudah membantu kita keluar dari tempat itu!"

"Aku ...." Claude bergeming, terjepit dalam rengkuhan kebingungan. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi dia tidak ingin mengakuinya. Atau mungkin dia tidak bisa. Erangan Juan membuat hatinya sakit seperti dirobek-robek. Benaknya lagi-lagi mengutuk serapah pada dirinya yang tidak berguna. Mengapa aku terus-menerus gagal? Wajah River tampak dari lengan Juan yang terlipat; matanya terpejam, ekspresinya pucat dan gemetar. Bayang-bayang kematiannya kini akan menghantui Claude seumur hidup.

"Claude, tolong saudaraku. Kumohon ...."

Juan menempelkan pipinya pada puncak kepala River, terisak dan merengek putus asa. Sekalipun dia harus bersimpuh dan bersujud, tidak ada yang bisa menjawab permohonannya. Semua orang hanya mematung dalam ketidakberdayaan. Paras mereka terbingkai penyesalan, padat oleh rasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Juan tahu yang akan terjadi selanjutnya, dan dia tahu dia harus merelakannya. Kau pilih salah satu. Sekarang atau nanti. Kematian yang cepat atau menyiksa.

Ketika akhir segalanya semakin jelas, Juan memeluk River lebih erat. Dia memejamkan mata dan membisikkan permohonan maaf. Namun, pada saat itulah Juan merasakan seseorang di antara kawannya datang dan menyentuh pundaknya dengan lembut.

"Juan," kata Heaven. "Aku membawa sesuatu."

Pemuda itu membuka mata dan menatap Heaven merogoh sesuatu dari balik kantong celananya, lalu dia mengeluarkan sebuah tabung suntikan serum yang sejak tadi tersimpan di sana. Juan terhenyak tidak bisa berkata-kata.

"Heaven ... sejak kapan?" Claude bertanya tidak percaya.

"Sebelum bertemu kalian di markas laboratorium, aku menyempatkan diri pergi ke ruang penyimpanan dan mencuri satu."

"Misi kita adalah untuk menghancurkan seluruh markas dan laboratorium. Mengapa kau berani-beraninya menyelundupkan benda terkutuk itu?" kata seorang rekan Jasper yang kini menatapnya dengan raut skeptis. Kecurigaannya berakar dari ketakutannya bila ada salah seorang di antara mereka yang berkhianat, misalnya punya akal bulus untuk menggandakan lagi serum itu.

"Aku bisa membaca kekhawatiranmu," kata Heaven sungguh-sungguh. "Aku hanya mengambil satu untuk jaga-jaga. Tidak ada maksud lain."

"Bagaimana aku bisa percaya padamu?"

Pria itu hendak maju untuk menghadang Heaven, tetapi Nathaniel buru-buru menahannya. "Jangan memanas-manasi situasi. Sekarang ada yang lebih penting untuk dilakukan."

"Cepat berikan serumnya pada River," Heaven mendesak.

Juan merebahkan kembali abangnya ke lantai, lalu meminta yang lain untuk membantunya memegangi tubuh River. Claude mengambil serum dari tangan Heaven, membuka tutup tabung, lalu memosisikan jarum suntik pada sisi leher River yang terbuka. Selepas hitungan ketiga, jarum itu melesak masuk. River mengerang pilu, disertai geliat dan berontakan cukup keras. Juan menekan lengan abangnya kuat-kuat, begitu juga dengan Gareth dan Isaac yang memegangi kakinya. Beberapa saat kemudian, gerakan River melemah, dan pemuda itu kembali tidak sadarkan diri.

Setelah Claude meletakkan tabung yang telah kosong di atas lantai, Juan berpaling pada Heaven. Dia sempat menangkap ekspresi Heaven yang tidak seperti biasanya. Seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, entah apa. Seandainya Juan memiliki akal yang panjang, dia akan bertanya kepada Heaven tentang apa yang terjadi―barangkali alasan sebenarnya mengapa Heaven mencuri serum yang telah mereka niatkan untuk dimusnahkan. Akan tetapi, kelegaan dan rasa terharu yang tumpah ruah dalam kepalanya menghalangi Juan untuk berpikir jernih. Satu-satunya hal yang justru dilakukannya adalah memeluk Heaven dengan erat.

"Heaven," kata Juan di ceruk lehernya, "Terima kasih."

Heaven tersenyum seraya menepuk punggung Juan. Suaranya berirama kesedihan ketika berkata; "Jaga abangmu baik-baik."

-oOo-

Black Hawk telah terbang mengitari langit North Carolina selama hampir tujuh jam. Demi kesehatan pilot, dan karena kebutuhan tempat yang lebih wajar untuk mengarantina River, Winter yang mulai pegal dan terkantuk-kantuk akhirnya mencari lahan terbuka di sebuah kota lain untuk mendaratkan kendaraannya.

Mereka menemukan sebuah aliran sungai kecil di dekat pemukiman yang sudah lama ditinggalkan. Hanya ada empat sampai lima rumah yang berjarak di sepanjang lahan yang kosong dan rimbun. River digotong dan dimasukkan di salah satu kamar di dalam rumah, dan Claude memastikan beberapa orang dari mereka mengunci dan mengawasi ruangannya.

Sementara itu, para korban yang dulunya tertawan kini merasa lebih lega setelah berhasil keluar dari markas. Mereka mulanya memeriksa dan menjelajah setiap rumah, bergotong royong mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk meredakan lapar. Akan tetapi setelah lebih dari satu tahun, tidak ada lagi yang tersisa di pemukiman itu selain sampah masa lalu dan bangkai-bangkai tikus. Akhirnya Jasper dan Claude memutuskan berburu sesuatu di dekat sungai. Mereka meninggalkan pemukiman, sementara para wanita dibebani tugas untuk menyiapkan api, merebus air, dan mengumpulkan pakaian bekas untuk menghangatkan badan.

Selewat beberapa jam berikutnya, pagi telah merekah dan nyaris menyentuh siang. Beberapa orang yang sudah merasa lebih baik, kini berkumpul di teras sebuah rumah untuk berdiskusi tentang rencana selanjutnya. Ada perbedaan pendapat yang muncul setelah Winter menanyakan harus ke mana mereka setelah ini. Jasper dan beberapa wanita mengusulkan untuk kembali ke Domehall, tetapi Claude dan yang lain tidak setuju lantaran Domehall tidak akan sudi menerima kaum monster seperti mereka.

"Kita bisa memastikan kepada orang yang bertugas di sana bahwa kalian tidak jahat," kata Jasper.

Claude menggeleng. "Jumlah kami ada enam. Itu jumlah yang terlalu berisiko bagi Domehall. Lagi pula, mereka pasti masih trauma setelah kedatangan Janeth di sana."

Nathaniel mengusulkan, "Kurasa lebih baik kita mencari tempat baru yang seperti Domehall. Winter, kau bisa melacak tempat aman lewat radio?"

"Ya, ada beberapa kota yang sepertinya masih berpenghuni. Aku bisa menghubungi beberapa orang dan bertanya apakah mereka bisa menerima kita di sana."

"Kalau Domehall saja tidak menerima kita, bagaimana dengan kota lain?" Gareth menyahut. "Sepertinya keadaan di sana akan sama saja, atau mungkin lebih buruk."

"Menurutmu bagaimana? Apa kita mengasingkan diri saja dan tinggal di kota ini?"

"Itu pilihan yang paling aman sementara waktu," Claude menyetujui. "Di dalam Black Hawk ada banyak peralatan dan senjata. Kita bisa bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan. Dengan perangkat komunikasi milik Winter, kita bisa mencaritahu apa yang terjadi di luar sana dan terhubung lagi dengan orang-orang di luar lingkaran kita."

"Hei," Jasper berseru, "Itu ide bagus, sungguh. Tapi sekarang kita sudah tidak memiliki serum, dan ada banyak orang yang belum terinfeksi di sini." Kemudian pria itu melirik para wanita korban tawanan yang duduk bergerombol sambil memangku anak-anak kecil di salah satu lajur sofa. Suara Jasper melirih, "Mereka mungkin ketakutan bila dipaksa tinggal bersama kalian."

Tiba-tiba saja keadaan menjadi hening bagai diliputi kabut ketidaknyamanan. Claude mendekati sofa, lalu bertanya pada para tawanan, "Apa kalian mau kembali ke Domehall?"

"A-apa?" Seorang wanita berambut gelap mendongak ragu. Di pangkuannya ada Sean yang sedang asyik mengulum ibu jari seperti permen. Wanita itu melirik kawan satunya seolah sedang berbagi pesan rahasia, kemudian berpaling lagi pada Claude, "Kurasa ... kami akan ikut kalian."

"Kalian serius? Kami ini monster."

"Kami percaya kalian tidak akan memangsa kami," seorang wanita yang lebih muda menyahut yakin. "Kami justru takut bila kembali ke Domehall. Di sana tidak ada jaminan aman, maksudku ...." Dia menatap Jasper dan rekan-rekannya yang berdiri di ambang lorong ruang tengah. "Di Domehall, yang hebat dalam menggunakan senjata adalah mereka. Kalau tidak ada mereka, Domehall hanya jadi tempat penampungan yang rawan."

"Bilang saja kalian mau dilindungi oleh mereka," Gareth yang mendengarnya mendengkus meledek. "Jasper, kurasa nantinya kalian punya tugas baru untuk mengajari nona-nona ini cara memegang senjata. Supaya mereka tidak manja," lanjutnya, yang langsung dibalas Jasper dengan gestur tubuh terserah-kalian-saja.

Selepas itu, diskusi melebar ke penyusunan tugas-tugas rumah tangga yang akan dibagi ke kelompok-kelompok. Claude menyerahkan urusan itu pada Winter, sementara dia akan menurut saja pada hasil akhir. Saat hendak menyingkir dari rapat, dia melihat Wayne yang hendak keluar meninggalkan ruangan juga. Lantas Claude mengajak Wayne ke teras rumah untuk bicara.

"Terima kasih sudah membantu kami, Wayne."

Duduk di undakan teras yang berdebu, Claude merogoh kantong celana dan mengambil wadah rokok yang didapatkannya dari hasil menjarah rumah-rumah, lalu mencabut dua batang untuk dirinya dan juga Wayne. Sebagai bentuk ketulusannya, Claude menyulutkan api pada ujung rokok Wayne. "Kita sudah lama tidak mengobrol akrab, iya kan adikku?"

Wayne menyesap rokok itu dengan satu tarikan napas panjang. "Kau tidak marah padaku?"

"Buat apa?"

"Aku banyak mengecewakanmu."

"Aku tahu kau hanya berusaha membuat dirimu berguna di mata orang lain." Claude mengembuskan kepulan asap rokok di udara, lalu menatap Wayne sambil tersenyum. "Dan kau sudah berhasil melakukannya. Aku senang akhirnya kau berada di pihak yang benar."

"Maafkan aku karena sempat mengacau di awal," Wayne mengatakan sungguh-sungguh. Hatinya padat dengan rasa senang karena melihat Claude untuk pertama kalinya tersenyum lebar seperti itu. "Dan ... terima kasih karena sudah menerimaku sebagai keluarga."

"Apa maksudmu? Sejak awal kau itu adikku, dasar bodoh."

"Aku akan mengubah sikapku lebih baik lagi kedepannya. Aku merasa tidak enak karena sejak di Bosevill, Janeth selalu mencekokiku kata-kata untuk membuatku membencimu."

"Kau tenang saja, sekarang dia tidak punya mulut untuk memprovokasimu." Lalu Claude celingkukan di sekitar di kawasan rumah dan bertanya-tanya, "Omong-omong sejak pagi tadi aku tidak ketemu Heaven. Di mana dia?"

"Aku tidak tahu, tapi palingan dia mandi di sungai."

Claude langsung menoleh dengan cepat. "Mandi―apa?"

"Kenapa? Kau nafsu mau melihatnya mandi?"

"Sial," Claude berdecak, tapi telinganya memerah. Tidak mau terlihat seperti mencari kesempatan, pria itu bertanya hal lain, "Hei, kau tahu bagaimana keadaan River? Karena sejak kemarin sibuk berburu, aku jadi tidak sempat memeriksa keadaannya."

"Yeah, soal River ... aku sempat menanyakannya kepada Juan." Wayne menggaruk-garuk kepala seperti kebingungan. "Ada yang berbeda dari respons tubuhnya setelah mendapat serum perubahan itu. Dia tidak menunjukkan gejala-gejala monsterisasi―maksudku, seperti keinginan ingin memangsa atau membunuh orang di dekatnya. Orang itu sempat sadar kemarin, tapi katanya dia hanya merasa seperti demam dan perlu tidur lagi."

"Kau serius? Tidak ada gejala lapar atau tanda-tanda kebuasan?"

Wayne menggeleng.

"Bagaimana dengan jarinya yang buntung? Apa tumbuh lagi?"

"Tidak tumbuh."

"Ini aneh," Claude menggosok-gosok dagunya sambil berpikir. "Apa setelah disuntik serum dia malah berubah menjadi manusia?"

"Kurasa jawabannya bukan itu," kata Wayne.

Claude menggeleng. "Tidak, tidak. Katanya serum yang terbaru ini formulanya memang telah diubah sehingga cocok digunakan untuk semua gender―baik pria ataupun wanita. Bagaimana kalau saat proses pembuatan itu malah terjadi kesalahan? Bagaimana kalau ...."

"Claude, tidak mungkin Janeth melakukan kesalahan pembuatan. Jawabannya hanya satu," Wayne menahan napas saat mengatakannya. "Kurasa sejak awal River sudah kebal."

Claude memandang Wayne dengan tatapan tidak percaya.

"Kau tidak tahu cerita River, ya?" Wayne bertanya.

"Apa yang terjadi padanya?"

"Katanya, saat Janeth mengurungnya di penjara untuk dijadikan subjek eksperimen, River sempat mengalami ... perdebatan dengan dirinya sendiri, semacam perenungan, perjalanan spiritual, atau apalah―yang mengantarnya pada jawaban akhir tentang siapa dirinya dan apa arti virus itu untuknya. River bilang dia memilih dan yakin untuk menjadi manusia, lalu keesokan harinya, keajaiban itu datang begitu saja. Kupikir serum yang kemarin kita berikan telah membuktikannya sendiri. Rupanya dia sudah kebal terhadap virus."

Claude terdiam lama untuk mencerna cerita itu. Kemudian, entah bagaimana dia mengingat kembali tentang apa yang terjadi padanya tatkala sang ayah menyuntiknya dengan serum perubahan. Beberapa jam setelah peristiwa penyuntikan itu terjadi, Claude dilanda halusinasi bertemu monster. Ada sosok raksasa yang selalu menerornya di lapisan-lapisan malam setiap kali dia terbangun maupun tidur―menagihnya tubuh untuk dimangsa dan memaksanya untuk membunuh. Diilhami atas kenyataan ini, Claude menjadi yakin bahwa apa yang dialami River mungkin saja benar terjadi.

"Serum itu," kata Claude, "saat masuk ke tubuh seseorang, dia akan berubah wujud menjadi sosok delusif yang menawarkan hidup baru kepada kami. Dia seperti parasit yang pelan-pelan tumbuh di dalam kepala dan menetap di sana, menata ulang gen, sehingga kami menjadi makhluk yang sama seperti yang diinginkan pembuatnya. Prajurit monster yang berakal. Serum itu mengambil alih otak kami."

"Mungkin bukan mengambil alih," kata Wayne.

"Menipu," koreksi Claude. "Dan River adalah yang pertama sadar tentang tipuan itu."

Mereka termenung lama memikirkan hal itu.

"Claude," kata Wayne, menepuk lutut abangnya dengan yakin. "Kurasa sekarang kita benar-benar berhasil untuk menangani wabah. River pasti bisa membimbing kalian untuk sembuh."

"Yeah," kata Claude. "Saat dia bangun nanti, aku akan menginterogasinya sampai mampus." Wayne tergelak seraya mengangguk setuju. Beberapa saat kemudian, Claude mencabut rokoknya dari mulut, membuangnya ke pelataran semen, lalu melindasnya dengan sepatu. Dia bangkit berdiri seraya menepuk-nepuk pantatnya.

"Kalau begitu aku harus pergi dulu."

"Mau ke mana?"

"Mencari Heaven."

"Mau melihatnya mandi?"

Claude menatap Wayne dan nyengir geli. "Tidak, dasar cabul. Aku mau merayakan keberhasilan kita atas perjalanan ini."[]

-oOo-


.

.

.


Hai gais. Puyeng nggak baca chapter ini? Yang nulis puyeng soalnya awkwkwk 😆

Ini belum tamat yaak. Masih ada satu chapter lagi 🙂👍🏼

Aslinya sih chapter terakhir udah selesai, tapi kuputuskan ku-upload besok pagi karena takutnya pas ku-upload sekarang, kalian masih overwhelmed sama chapter yang sedang kalian baca ini sehingga sulit fokus ke chapter berikutnya.

Jadi yaa gitu aja deh!

Sampai jumpa beshoooqqqq 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top