40. Mission Failed

Ini bukan chapter terakhir, tenang dulu yak, awkwkw. Spesial malam ini, aku kasih 3500 kata. Puas-puasin deh bacanyaa~

-oOo-

SEORANG petugas laboratorium menarik lepas karung hitam dari kepala Heaven, sontak membuat Heaven menggeram murka menatapnya.

"Seharusnya aku tahu bahwa sifat ular itu seperti iblis," ledek sang petugas laboratorium. Sambil berlagak sombong, dia membuang ludah di kaki Heaven yang terikat pada kursi, menjambak rambutnya dengan kasar, lalu menarik kepala Heaven agar mendongak memperhatikannya. "Dengarkan baik-baik, rambut merah. Bagian mengerikannya akan dimulai sebentar lagi."

Heaven membuang ludah tepat ke kacamata sang petugas.

"Berengsek kau!" Plak! Tamparan keras menyasar pipi Heaven, tetapi wanita itu tidak menunjukkan wajah kesakitan. Ekspresinya dijaga begitu tenang, kecuali kedua mata hijau zaitunnya yang mengilat tajam. Dia kembali menatap petugas itu, lalu berkata dingin, "Kenapa kau menangkap dan membawaku kemari?"

"Kau terpantau sebagai pengkhianat," kata sang petugas seraya melepas kacamata dan mengusapkan kacanya pada saputangan. Seringai jijiknya menari-nari di hadapan Heaven. "Sejak tadi aku mengawasi apa yang kau lakukan larut malam begini di tengah hutan. Sudah kuduga kamarmu kosong. Kau bahkan meninggalkan anakmu yang menangis minta susu sendirian."

Sean. Astaga.

Bagaimana keadaan bayinya? Heaven merasakan jantungnya bergemuruh panik di balik rusuknya. Tidak pernah terpikir bahwa dia akan kecolongan semudah ini. Dan lagi, apa katanya? Dia mengawasiku? Apakah artinya bunker latihan di tengah hutan itu sudah ketahuan? Memikirkan hal itu membuat kepanikannya meningkat. River dalam bahaya, dan seluruh rencananya akan gagal total bila mereka tertangkap secepat ini. Ketika Heaven hendak angkat bicara, tahu-tahu pintu di belakangnya mengayun terbuka. Heaven mendengar bunyi ketukan sepatu yang mendekat. Dia hafal bunyi sepatu ini. Dia selalu bisa merasakan kehadirannya sejelas membedakan air dan lumpur. Lalu saat wanita itu mendongak untuk menatap sosok di hadapannya, tumpahlah seluruh perhatiannya pada sosok keji Janeth.

"Kalau kau ingin melakukan pemberontakan, seharusnya kau harus memahami siapa lawanmu," Janeth berkata datar. Sosoknya yang kurus terlihat rapuh dan mudah dipatahkan, tetapi wajahnya berkilat dengan kebencian yang begitu besar. "Coba ingat apa kata-katamu tadi pagi. 'Di luar sana hanya tersisa para perempuan dan anak-anak penyakitan yang tidak akan sanggup diikutkan dalam eksperimen,' begitu? Kau pikir aku terlalu bodoh dan percaya mentah-mentah dengan kesaksianmu?" Selepas mengatakannya, petugas yang berdiri di samping Janeth menyeringai kecil, seolah sudah mengetahui rencana sejak awal. Dasar idiot! Heaven merutuk dirinya sendiri. Tentu Janeth akan bertanya langsung kepada anggota regunya tentang apa yang terjadi selama mereka berpatroli di wilayah luar Bosevill. Mengapa tadi pagi dirinya malah enteng berbohong soal ini?

Tidak ingin merasa kalah, Heaven terpaku lama tanpa sekalipun berkedip atau memalingkan muka pada Janeth. Wanita tua itu lantas membungkuk sedikit, lalu menyeringai. "Bajingan jalang. Kau ini terlalu menganggap remeh musuh. Itulah mengapa sejak awal aku tidak memercayaimu sama sekali."

"Kau mau membunuhku?" Heaven mendengkus.

"Apa untungnya bila aku membunuhmu?" Janeth kembali menegapkan tubuh, lalu menatap Heaven lamat-lamat, seperti cara seekor hering yang menilai bangkai buruannya. "Daripada membunuh, aku memilih untuk melibatkanmu sebagai subjek dalam eksperimen serum terbaruku, Vivy. Kau punya fisik dan ketahanan yang lebih kuat dibandingkan para tawanan wanita lainnya. Kuyakin serum perubahan itu pasti berfungsi lebih baik di tubuhmu."

"Kau mau menjadikanku subjek eksperimen fertilisasi?"

"Eksperimen fertilisasi?" Janeth memberinya seringai kecut. "Tidak, tidak. Terlalu berisiko bila harus menempatkanmu di satu ruangan bersama tawanan lain. Ditambah lagi, aku tidak mau menghabiskan waktu mengawasi kehamilanmu selama berbulan-bulan. Kau tidak cukup berharga untuk itu, tapi kau cukup layak mendapat hukuman yang lain."

Sebelum Heaven sempat meresapi jawaban itu, Janeth berpaling pada petugas markas di sampingnya dan berbisik sesuatu. Pria itu mengangguk, lalu keluar melewati pintu. Di jeda waktu itulah Heaven menatap lokasi tempat dia disekap. Sepertinya ini bukan ruangan yang dipakai untuk eksperimen pembuahan. Tempat ini lebih mirip ruang operasi. Ada sebuah ranjang bedah di dekat Heaven, beserta peralatan-peralatan medis yang meresahkan―komputer yang tersambung pada panel berkabel di dinding, EKG denyut jantung, rak dorong yang penuh instrumen bedah, beserta tabung-tabung berisi cairan asing. Di seberang kanan ruangan, ada cermin dua arah yang kemungkinan di baliknya dihuni oleh para petugas laboratorium lain.

Heaven merasakan jantungnya berpacu melihat pemandangan aneh ini. Keringat merembes di belakang leher dan punggungnya. Dia menatap Janeth dengan getir kepanikan yang subtil. "Apa yang mau kau lakukan padaku?"

Bukannya menjawab pertanyaannya, Janeth malah memberinya pertanyaan lain, "Kau tahu bagaimana awal mula Claude menjadi monster?" saat Heaven tidak membalas, wanita tua itu melanjutkan, "Ayahnya―Marcus―meminta, ah tidak, maksudku menipu Claude agar dia mau menjadi subjek percobaannya untuk uji coba serum perubahan. Mula-mula, pemuda malang itu mendapat suntikan virus Kureji, lalu saat kegilaan mulai menggerogoti otaknya, Marcus menginjeksinya dengan serum kedua―serum perubahan, yang membuat Claude menjadi seperti sekarang. Dahulu hanya para pria saja yang mampu melewati fase perubahan, dan mereka semua bersaksi bahwa rasa sakitnya seperti dicelupkan ke dalam neraka terdalam. Namun sekarang, aku sudah merangkai ulang formula serumnya sesuai catatan Marcus. Siapa tahu serum ini sudah cukup sempurna untuk diujikan kepada para wanita."

"Apa maksudmu―"

"Kau belum juga mengerti, Vivy?" Janeth menatap Heaven sambil menyipitkan mata tidak habis pikir. "Aku akan membuat nasibmu sama seperti Claude. Aku akan menyuntikmu langsung dengan virus Kureiji, agar kau dibuat gila dengan kekejaman monster yang mencabik-cabik kepalamu, lalu akan kuberi kau serum perubahan sehingga kau merasakan siksaan seperti dicelupkan ke dalam neraka. Setelah uji coba ini berhasil, kau tidak lagi berguna. Aku akan mengeksekusimu dengan cara terkeji yang bisa kubayangkan. Hanya butuh paling lama lima hari untuk melihatmu perlahan berubah dari manusia, menjadi monster, lalu seonggok bangkai. Waktu yang relatif singkat untuk hukumanmu. Kau suka, bukan?"

Seakan tidak memedulikan gelagat Heaven yang terguncang, Janeth melengos dan maju ke ranjang operasi. Disusul, beberapa detik setelahnya, pintu yang terayun terbuka. Dua orang petugas pria bersenjata masuk ke dalam. Seorang petugas laboratorium yang tadi diludahi Heaven juga turut masuk sambil membawa kotak kecil berisi tabung dengan cairan kehijauan.

"Kau sialan!" Heaven memprotes murka sambil mengguncang kedua tangannya yang terikat kencang di kursi. "Lepaskan aku! Aku akan membunuhmu sekarang juga!"

Tanpa memedulikan raungan dan jeritan Heaven, Janeth mengomando para pria tadi agar melepaskan ikatan Heaven dan membawanya ke ranjang operasi. Wanita itu berusaha memberontak, tetapi dua petugas yang bertubuh lebih besar darinya mengapit kedua lengan dan kakinya begitu rapat, mengangkat Heaven dengan kasar. Dia melonjak dan melawan, lalu salah seorang pria menindih tubuhnya dan mengunci kedua lengan Heaven di sisi tempat tidur. Sementara Janeth mengutak-atik sabuk pada tangan kanannya agar Heaven tidak terlepas.

Di jeda waktu tersebut, Heaven melihat seorang petugas laboratorium sedang berdiri santai sambil menunggu semuanya siap. Pada tangannya, ada sebuah kotak berisi cairan virus. Rasa panik dan kemarahan membebaskan adrenalin Heaven. Kekuatannya tahu-tahu melampaui daya cengkeram para pria. Saat Janeth baru selesai mengikat tangan kanannya, Heaven menyentak tangan kirinya dari belitan petugas lalu mengayunkan sikutnya ke wajah pria itu. Petugas itu tersungkur ke lantai, kaget.

Saat petugas yang berjaga di kakinya hendak menyerang, Heaven menendang perutnya lalu menyambar pisau bedah di dekat kasur dan melemparnya hingga ujung pisau menembus mata sang petugas. Pria itu berkelojotan di lantai, berteriak syok. Sementara satu petugas laboratorium yang lebih lemah hanya memandangi Heaven dengan sorot ketakutan.

Janeth, yang redam dari keterkejutan, lekas menyambar leher Heaven dan mencekiknya ke pembaringan, dengan mata bergetar penuh kemarahan. Ludah menetes dari mulutnya ketika wanita itu berkata mengancam pada Heaven, "Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Vivy. Kau adalah tawananku. Matilah, matilah."

Rasa sakit di tenggorokannya menjalar hingga ke kepala, akan tetapi Heaven tidak membiarkan ini menjadi malam terakhirnya. Satu tangannya yang bebas menggerapai rak dorong di samping kasur yang berisi peralatan bedah. Dia menyambar baskom logam dan langsung menghantamkannya ke kepala Janeth. Wanita itu tersungkur jatuh, dan kelihatan butuh waktu lama untuk pulih. Heaven lekas membuka sabuk di pergelangan tangan kanannya, lalu akhirnya berhasil meloloskan diri. Dia turun dari ranjang dan bergegas ke pintu keluar. Akan tetapi, saat langkahnya hendak mencapai ambang, sebuah pukulan menghantam bahunya dengan keras. Wanita itu kehilangan keseimbangan, dan jatuh berlutut. Dia berusaha mendorong dirinya bangkit dengan tumpuan kedua tangan, tetapi sebuah sodokan menyakitkan menimpa punggungnya. Heaven jatuh kembali ke ubin lantai yang dingin, napasnya terampas keluar dari paru-parunya. Sedetik kemudian, lutut seseorang menekan tengkuk Heaven. Dia bisa mendengar suara petugas laboratorium bergema di telinganya.

"Kau tidak akan lolos kali ini, dasar iblis."

Kemudian Heaven merasakan sesuatu yang tajam menusuk lehernya.

Dia menjerit menerima suntikan itu. Seluruh leher dan kepalanya seakan terbakar. Akan tetapi tiada waktu untuk meresapi rasa sakit. Setelah jarum suntik itu terlepas, tekanan di tengkuknya melonggar. Heaven mendorong tubuhnya sehingga membuat petugas itu terjerembab ke lantai. Dia menyatukan kedua tangan membentuk kepalan, mengayunkannya di udara, lalu menghantamkan tinjunya pada wajah sang petugas. Darah dari hidungnya yang remuk menyiprat di lengan pakaian Heaven. Pria itu tergolek tidak bergerak sembari terbatuk-batuk darah, sementara Heaven berdiri. Dia tidak memikirkan apa-apa lagi selain rasa sakit yang menusuk-nusuk leher dan kepanikan untuk kabur.

Ketika wanita itu keluar dari ambang pintu, alarm di atas kepalanya tiba-tiba saja meraung―bel peringatan darurat. Sialan.

Heaven melupakan Janeth. Dia langsung berputar untuk menghadapi wanita itu. Janeth rupanya telah berdiri di dekat ranjang operasi sambil mengacungkan moncong pistol tepat ke arahnya.

Tidak ada waktu. Lantas bersamaan ketika peluru pertama diletuskan, Heaven melompat ke sisi luar pintu dan berguling menghindar satu kali. Sambil berusaha bangkit, mengutuk serapah serta terlunta-lunta maju. Dia tidak bisa melawan Janeth karena seluruh senjatanya dirampas. Maka wanita itu memutuskan keluar dari gedung terlebih dahulu. Di belakangnya, Terdengar teriakan dan komando Janeth yang menyuruh seluruh prajurit untuk mengejarnya.

Heaven mengabaikan rasa takut yang berdentum-dentum di jantungnya dengan berlari.

Berlari, mencari jalan keluar.

-oOo-

Lampu minyak di bunker telah dipadamkan total. River berjinjit di salah satu petak jendela agar dapat memandang kegelapan hutan di luar. Nyaris tidak ada suara kecuali gesekan berisik sayap serangga dan derak lembut cabang pohon yang menggaruk daun. Keheningan terasa mengerikan, membutakan, meresahkan. River tidak tahu apa yang menantinya di dalam belantara yang luas. Apakah itu makhluk monster, ataukah petugas markas mengetahui tempat persembunyiannya?

Dia berharap Heaven akan segera muncul dan memberinya stok senjata untuk kawan-kawannya, karena itulah yang Heaven janjikan kepadanya. Namun, sejak berjam-jam lalu, batang hidung Heaven tidak kelihatan. Apa yang terjadi? Tidak mungkin Heaven melupakan rencana yang dibuatnya sendiri, bukan?

Sambil berpikir resah, River menarik napas dalam-dalam, kemudian berpaling dari jendela dan menghampiri pintu. Waktunya sudah terkuras lebih lama dari perkiraan. Bila tidak segera bergerak untuk membebaskan Claude dan kawan lainnya, dia akan melewatkan segala-galanya. Namun River tidak bisa begitu saja menyelinap ke penjara, sebab kamera pengawas pasti masih menyala. Bukankah Heaven juga bertanggung jawab untuk mengambil alih ruang kendali?

Sial, sial, sial. Sekarang River terjebak di antara keinginan untuk maju atau tinggal. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus tetap menunggu, dan membiarkan cahaya matahari merampas malam hanya dalam beberapa jam lagi? Waktu mereka untuk kabur hanya saat ini. Malam ini juga. Bila dia tidak segera pergi ... besok nasib kawan-kawannya akan hancur.

Jantungnya berpacu di balik rusuk. Pemuda itu sudah hampir mencengkeram pegangan pintu ketika, tiba-tiba saja, terdengar bunyi ketukan lirih namun cepat, seperti panik. Dia lekas menekankan telinga di permukaan dan memberi tanggapan, lalu menunggu kode balasan dari luar. Dua ketukan-tiga ketukan-satu ketukan. Bagus, ini pasti Heaven. River lekas mendorong pintu, lalu membeku sejenak.

Sebab yang dia lihat bukanlah Heaven, melainkan Wayne, yang balas menatapnya dengan paras tegang.

"Wayne, apa yang―"

"Cepat keluar!" bisik Wayne, kemudian menarik tangan River agar pemuda itu menyelinap melewati pintu. Tiba-tiba saja mereka sudah meninggalkan bunker latihan dan berlari menembus hutan belantara yang suram dan gelap―hanya dibantu cahaya dari berkas keperakan bulan. River menahan protes karena Wayne menyuruhnya lari mengikutinya. Langkahnya tersandung-sandung. Satu kali dia nyaris saja terperosok ke parit apabila Wayne tidak menggiringnya ke rute yang benar. Akhirnya, mereka mendarat dengan selamat di belakang markas penjara utama. Sambil meraup napas terengah-engah, River melihat dari balik tembok yang menjorok menutupinya. Beberapa petugas markas mondar-mandir di sekitar gedung laboratorium di seberang sana sambil mengayun-ayunkan senter ke sekitaran hutan. River lekas merapat ke dinding ketika seberkas sinar nyaris mengenai wajahnya.

"Kenapa ada operasi malam-malam begini?" desis River pada Wayne, yang juga turut merapatkan diri di sampingnya.

"Aku mendengar gosip dari rekan sekamar," Wayne berkata cepat dan agak panik, "―namanya Raul. Dia bilang beberapa saat lalu seorang petugas berhasil menangkap Heaven yang keluyuran di dekat hutan. Mereka menyekapnya di markas laboratorium―entah sebelah mana. Dan kabarnya semua orang kini tahu tentang pengkhianatannya. Lalu penyelidikan berlanjut ke kecurigaan bahwa Heaven menyembunyikan komplotan di suatu tempat. Petugas markas sekarang dibagi menjadi kelompok-kelompok ... ada yang menyisir hutan, ada yang menjaga kawasan dalam ... dan ada yang menjaga penjara. Kita tidak bisa menyelamatkan Claude dan kawan-kawan, setidaknya kalau kita pakai rencana lama. Di sana terlalu berbahaya―tidak ada senjata atau ...."

"Kita akan tetap menyelamatkan mereka," River memotong agak gusar. Dia lantas mengintip dari balik dinding untuk memeriksa situasi. "Rencana B; improvisasi."

"Kita akan langsung tertangkap, dasar bodoh!" Wayne menyembur panik. "Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk melakukan kenekatan. Para petugas itu jelas tidak akan diam saja melihatmu. Mereka akan berubah menjadi monster, lalu menghabisi―"

"Aku punya kau," River merenggut kerah pakaian Wayne, lalu menarik anak itu hingga wajah mereka hanya terpaut jarak beberapa sentimeter. Di bawah pecahan sinar bulan, Wayne dapat melihat sorot mata River yang berkilat-kilat tajam. "Begini rencana barunya; lakukan sesuatu untuk mengusir mereka, lalu aku akan menyelinap masuk."

"A-aku ...." Suara Wayne bergetar gelisah. "Kenapa harus aku?"

"Kau di pihak kami, bukan?"

"Mereka bisa saja curiga."

"Lalu kau ingin aku yang melakukannya sendiri?" Saat Wayne tidak menjawab, River menyentak kerahnya dengan kasar. "Sadarlah, Wayne. Kita ini tim. Lakukan tugasmu!"

Wayne bergerak gelisah, lalu ikut mengintip keadaan di luar markas. Senter para petugas masih berkelebat di dekat pintu. Tidak kelihatan ada berapa orang yang menjaga pintu masuk, tetapi dari suara kasak-kusuk dan obrolan yang terdengar, pasti ada lebih dari dua orang. Sambil bernapas gelisah, Wayne berputar menghadap River dan meratap seperti anjing merana. "Apa ... apa yang harus kulakukan untuk mengusir mereka? Aku ini tidak pandai improvisasi."

"Entahlah, pikir saja dengan otak pintarmu itu."

Lalu tanpa aba-aba, River mendorong Wayne ke depan hingga anak itu tersingkir dari dinding yang melindungi keduanya. Bedebah! Wayne kepalang ingin menendang bokong River karena orang itu memperlakukannya begitu agresif. Rasa-rasanya dia ingin mengakhiri misi ini dengan berlari terbirit-birit ke dalam kamarnya. Wayne tahu dia bisa saja melakukannya, tetapi tidak bisa. Mereka berdua telah menjanjikannya kebebasan, ditambah lagi, di dalam penjara itu ada abangnya yang menunggu pertolongan.

Maka Wayne memberanikan diri maju menghadap para petugas itu. Dia melompati semak-semak dan bersiap menyusun strategi. Saat keberadaannya menjangkau berkas lampu senter salah satu petugas, dia mendengar seorang laki-laki berseru-seru kepada kawanannya.

"Hei, di sini ada orang!"

"Tenang, tenang, ini aku!" Wayne berlari kecil-kecil untuk menghadap komplotan petugas, yang berjumlah tiga orang. Salah satu di antara mereka menodongnya dengan pistol.

"Sedang apa kau sendirian di sini?"

Wayne menunjuk sesuatu di dalam hutan, "Ka-kalian harus pergi ke sana ... aku menemukan sebuah bunker!"

"Kau sedang apa, kutanya?" Seorang petugas yang bertubuh paling besar menatap Wayne dengan mencalang.

"Aku bergabung menyisir hutan dengan yang lain, lalu terpisah. Di tengah jalan aku melihat bunker yang tertutup. Sepertinya di dalamnya ada orang, karena kulihat ada lampu yang menyala ... kalian harus cepat memeriksanya!"

"Bunker?"

"Aku sungguh-sungguh!" Wayne mulai digigit panik. Rasanya dia ingin mengompol saking tegangnya. "Err, eh, moncong pistol itu bisa disingkirkan dulu, tidak? Serius, aku bisa pingsan kalau melihatnya terus-menerus."

"Yang mana regumu?"

"Entahlah. Aku tidak kenal banyak orang seperti kalian. Keseharianku lebih sering mondar-mandir mengawasi para tahanan dan mengikuti Janeth."

Begitu mendengar kata "Janeth", salah satu petugas langsung menurunkan pistol dari wajah Wayne. Pria itu lantas bergumam sesuatu kepada dua kawannya, lalu mereka bertiga kelihatan berdiskusi serius. Wayne, yang menganggap kesempatan ini sebagai sebuah celah, akhirnya menawarkan diri, "Pergilah memeriksa. Kuduga di dalam bunker itu ada empat sampai lima orang mencurigakan, makanya aku lari kemari untuk meminta bantuan."

"Lalu bagaimana denganmu?"

"Aku berjaga di sini. Aku bukan monster seperti kalian. Satu sabetan pisau di tanganku bisa membuat nyawaku melayang dalam sekejap."

Ketiga petugas saling bertatapan. Kemudian mereka menyetujui bujukan itu. Wayne memberitahu lokasi bunker dengan lebih jelas, lalu mengawasi para petugas berlari masuk ke dalam hutan sampai punggungnya hilang ditelan kegelapan. Anak itu berlari lagi ke belakang markas dan memanggil River, yang rupanya masih setia bersandar di dinding sambil menggaruk-garuk lehernya yang digigit nyamuk. Mereka berdua kemudian melangkah ke depan markas, mengawasi keadaan sekitar, lalu masuk melewati pintu utama.

River berlari cepat menuruni rangkaian anak tangga yang agak lembab dan berbau tidak enak. Sambil terengah-engah, dia berkata pada Wayne yang mengikuti di belakangnya, "Wayne, kamera pengawas belum mati ... setelah membebaskan mereka, kau harus membawa mereka pergi ke pantai ...."

"Sebetulnya rencana ini sungguh kacau, kau tahu, kan?" Semakin turun ke bawah, Wayne merasa semakin dijebak paranoia dan ketakutan. Dalam bayangannya, kamera pengawas yang bersembunyi di setiap sudut lorong ini bisa saja mengeluarkan senapan rahasia dan menembaki mereka satu per satu.

"Apa pun yang terjadi, kita membawa mereka pergi dari pulau ini," kata River.

"Bagaimana dengan Heaven?"

"Aku akan menjemputnya."

Wayne berhenti sejenak, dan River yang mengetahui hal itu langsung berputar menghadapnya. "Dia sudah menyelamatkan nyawaku," katanya lirih.

"River, tidak. Janeth pasti sudah membunuhnya."

"Tidak akan semudah itu," geram River, membayangkan kekejian Janeth selama ini ... wanita itu membuat semua orang berduel dengan monster di arena, mengurung dan memasangi implan untuk menyiksa mereka sewaktu-waktu, memaksa mereka menyantap daging manusia, mengobrak-abrik sisi manusiawi dan insting monster di pikiran mereka hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya memiliki kuasa untuk mempermainkan. Bila ada sesuatu yang bisa disandingkan dengan eksistensi Janeth sendiri, maka itu adalah kebiadaban.

"Bergegas, Wayne," River melangkah lebih cepat, sementara Wayne membuntutinya. Akhirnya mereka tiba di penjara kawan-kawan. Gareth adalah yang pertama melihat mereka muncul dari kejauhan. "River!"

"Aku akan membebaskan kalian," kata River seraya mengutak-atik kunci gembok pada pintu sel. Dia tidak pernah merasa selega ini bertemu kawan-kawannya. "Maaf tidak memberitahu tentang rencana kabur ini."

"Wayne?" Claude melirik Wayne yang berdiri di dekat River. Untuk sekilas, ekspresinya tidak bisa dijelaskan. Barangkali ada kemarahan pada parasnya, atau semacam kelegaan bercampur keterkejutan. "Kenapa kau di sini?"

"Dia ada di pihak kita sekarang," kata River, sementara Wayne tidak berani berkata sesuatu lantaran takut sikapnya mengundang kecurigaan lain. Semua orang tentu tidak mudah percaya dengan apa yang mereka lihat. Wayne, si bocah sok tahu yang belakangan ini menyiksa mereka tanpa merasa bersalah. Mengapa tiba-tiba anak ini membelot dari Janeth dan memihak mereka?

"Kau pasti mata-mata pengkhianat!" Isaac mendesiskan tuduhan itu pada Wayne, yang kini mengerut takut. "Hei, River, kuyakin dia punya rencana di balik―"

"Aku bisa menjamin kalau dia ada bersama kita. Kau harus percaya pada kami sekarang."

Belum sempat Isaac membalas, Juan menyerobotnya. "Bagaimana cara kita kabur?"

"Setelah pintu ini kubuka, larilah duluan ke pantai. Di sana ada kapal kecil yang cukup untuk delapan sampai sepuluh orang, tapi rencananya kapal itu akan diisi oleh tawanan perempuan dan anak-anak. Kita akan berenang, kalian sanggup?"

"Apa pun, yang penting keluar dari neraka ini."

"Kalau begitu, selagi kalian kabur, aku dan Wayne akan menyelamatkan yang lain dulu." Lalu terdengar bunyi klik kunci yang terbuka. River mendorong pintu lebar-lebar.

Sementara semua orang berduyun-duyun keluar, Claude menarik tangan River agar mendekat padanya, "Di mana Heaven?"

"Dia baru saja ditangkap, makanya aku menyelamatkan kalian dahulu. Bergegas, bokong babon." River menendang pelan pantat Juan dan menuntun mereka keluar ke lorong sebelumnya. Akan tetapi mereka semua tidak ada yang mengikuti perintahnya. Keheningan sejenak ini membuatnya diliputi canggung dan jengkel. River menuntut protes, "Ada apa dengan kalian semua?"

Juan menyela tegas. "Pokoknya aku ikut denganmu."

"Aku juga," kata Gareth, diiringi anggukan persetujuan dari Isaac dan Claude.

"Dasar bodoh―"

"River, katakan dimana Heaven disekap. Aku akan menolongnya." Claude menyela, tetapi kecemasan semakin merambati benak River. Ada banyak hal yang harus dilakukan sekaligus, dan mereka semua seperti sekumpulan tikus yang hilang petunjuk. River menatap Wayne, yang sepertinya tidak bisa membantu apa-apa. Tampangnya terlalu putus asa untuk diajak berdiskusi di saat-saat seperti ini. Akhirnya dia menyimpulkan singkat;

"Kalau begitu kita bagi menjadi dua tim. Aku, Claude, dan Juan akan menyelamatkan Heaven. Sementara Wayne, Isaac dan Gareth menyelamatkan tawanan anak-anak dan perempuan."

"Bagus. Kita bertemu di pantai?" Gareth memisahkan diri dari barisan dan bergabung dengan Wayne, sementara River merogoh saku dan menyerahkan kunci sel kepadanya.

"Ya. Tapi hanya Wayne yang punya senjata," katanya. Lalu River menepuk pinggulnya sendiri. "Senapanku sendiri sudah hilang entah ke mana. Heaven tidak sempat memberiku pistol karena dia keburu ditangkap."

"Kau sih tidak perlu senjata. Kita semua kan monster," Juan mengangguk yakin pada Claude dan River. Sang abang tidak berani mengatakan apa-apa soal kondisi dirinya sekarang, jadi dia hanya mengangguk enteng dan mengajak kedua kawannya pergi ke lorong berlawanan. Mereka lantas berpisah. Wayne menggiring Gareth dan Isaac ke sel kurungan para perempuan dan anak-anak, sementara River memimpin jalan menuju pintu keluar.

River merasakan keringat membanjiri tubuh dan jantungnya bergemuruh ketika dia menaiki tangga ke atas. Mudah-mudahan saja mereka tidak akan bertemu dengan petugas markas. Claude, yang mengikuti tepat di belakangnya, berkata, "Kau tahu di mana Heaven disekap?"

Kaki River sedikit tergelincir saat menapak tangga. Pemuda itu membungkuk untuk membetulkan posisi selagi menjawab Claude bahwa dia memiliki beberapa tebakan di mana Heaven ditawan. Sementara itu, seberkas cahaya mulai tampak dari celah pintu di atas. River kembali tegap, lalu maju lebih cepat. Dia baru saja menjejak anak tangga terakhir ketika tahu-tahu saja pintu di di atasnya terbuka lebar.

Sosok petugas bertubuh jangkung muncul dari balik pintu dan langsung memblokir jalannya.

"Sialan," desis River.

Sang petugas menodongkan pistol tepat di kening pemuda itu. Hampir saja dia menekan pelatuk, akan tetapi gerakan jemarinya terhenti saat mengamati wajah River di antara kegelapan yang berbayang.

"River?" Suara itu berseru lemah, tercabik antara keterkejutan dan rasa tidak percaya.

Dan River bersama kedua temannya yang lain mendongak menatap petugas itu. Claude bergumam terperangah seakan sedang melihat hantu;

"Nathaniel?"[]

-oOo-

.

.

.

.

.

Hehe, gimana perasaan kalian? Ketebak nggak sampai sini?

Kenapa Nathaniel kemari yaakkk

Kok dia masih hidup?

Hmmm, emang kalian beneran lihat dia meninggoy? 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top