4. A Bloody Man Who Turned into a Monster
-oOo-
FAYETTEVILLE terlihat begitu lembab siang ini.
Uap tipis keperakan mengepul dari aspal bolong-bolong yang mereka injak, sementara pohon-pohon di sekitar tampak teduh tetapi lesu. Butiran embun menetes dari ujung daun dan jatuh menghunjam tanah lembek yang berbau agak busuk, membuat semua orang mengerutkan hidung dalam-dalam karena aroma tajam mayat yang terdekomposisi tercium terbawa angin.
River, bersama keenam temannya yang lain, menyongsong diri ke dalam kemuraman awan kelabu yang berarak pelan. Mereka menyusuri bagian luar median jalan yang memisahkan jalan selatan dan jalan utara, berhenti setiap beberapa kilometer untuk memastikan keadaan terkendali dengan baik. Rumput-rumput menyembul di antara aspal yang retak-retak, sementara hamparan tanah gosong, dipenuhi bangkai serangga seperti belatung dan kecoa. Mobil-mobil di sekeliling mereka banyak yang hancur dan terbengkalai, dibiarkan terparkir sembarangan di tengah jalan karena peristiwa-peristiwa kekacauan setahun silam. Keriut logam penyok, mesin-mesin terbakar dan hancur, serta pecahan kaca berkilauan samar ditempa matahari. Sesekali kepala mereka terjulur untuk memeriksa kendaraan, berharap bisa menemukan satu yang masih layak pakai.
"Hei, kita mungkin bisa memakai ini," Euros mendadak saja berceletuk, sontak membuat semua orang yang terpisah beberapa meter darinya menghampiri sebuah Toyota Venturer yang terjejal di antara semak dan pepohonan. Claude melompati beberapa rongsokan mobil dan secara gesit berdiri di sebelah yang lain.
Euros mendorong pintunya yang sudah terbuka dan memeriksa keadaan di dalam. Dia lantas berpaling pada teman-temannya, "Tidak ada kunci, tapi sepertinya bisa dinyalakan dengan manual."
"Agak kecil untuk kita bertujuh," komentar Claude sambil menepuk-nepuk kap mobilnya. Pandangannya cukup terkesan saat memeriksa mobil yang masih bagus tanpa cela. "tapi kurasa lebih baik sempit-sempitan daripada memaksa diri menaiki mobil mewah yang jendelanya sudah pecah semua."
"Ayo masuk," Gareth tiba-tiba membuka pintunya dan duduk di bangku sopir.
Nathaniel terkejut dengan sikapnya, "Hei, kau belum punya SIM."
"Di keadaan begini kau menanyakan hal itu?" Alis Gareth mengernyit jengkel. "Tidak sekalian saja kau tanyakan apa kita semua punya lisensi untuk menyimpan semua senjata ini?" Telunjuknya mengarah ke bawah, ke tempat dua pucuk pistol tersimpan rapi di selipan celananya.
Bermaksud meningkahi kekehan teman-teman di sekelilingnya, Nathaniel memutuskan masuk ke mobil itu tanpa protes.
"Dasar prajurit kaku," gumam Gareth sambil mendengkus meledek, tetapi Nathan tak membalas apa-apa.
Selepas mereka semua masuk ke mobil, Euros yang duduk menyempil di antara Isaac dan Nathaniel di kursi belakang berceletuk, "Hei, kalau kita pakai mobil, bukankah nantinya bakal ketahuan monster?"
"Tidak akan," balas Isaac. "Aku sudah mengatakannya padamu bahkan sejak kau pertama kali ikut kami. Monster hanya bereaksi dengan aroma darah segar manusia normal."
Euros mendengkus sinis, "Oh, ya? kalau monster hanya bereaksi dengan darah segar, kenapa kemarin kalian dikejar monster sekembalinya dari butik?"
River yang duduk bersandingan dengan Juan di baris kursi depan tak sengaja berpaling pada adiknya yang sedang menerawang pemandangan di luar jendela dengan raut datar tanpa minat. Atensinya diam-diam merambat ke bawah, pada sepasang tangan Juan yang dihamparkan begitu saja di pangkuannya sendiri. River mendapati plester yang kemarin direkatkan di jari-jemari Juan sudah ganti lagi. Padahal seingatnya ... plester itu baru dipakai satu kali kemarin, saat mereka pergi ke butik pakaian dan bertemu kawanan monster.
Seharusnya tak ada alasan untuk menggantinya lagi kecuali bila plester itu sebelumnya telah robek karena sesuatu.
Robek karena sesuatu.
"Entahlah. Di antara kami tidak ada yang terluka, jadi mereka bisa saja melihat hal lain malam itu," jawab Isaac.
"Tapi kalian monster juga, kan? Seharusnya kalian bisa mencium bau darah itu juga."
"Aku tidak mencium bau apa-apa," kata Isaac, tetapi rautnya kelihatan tak yakin. "Atau mungkin memang ada bau darah, tapi aku lupa. Saat berada dalam wujud manusia, indra penciuman monster kami berkurang beberapa persen. Kau mencium darah juga kemarin?" tanyanya pada River, yang buru-buru dibalas gelengan.
Isaac menaikkan bahu lalu kembali merosot di kursinya. Tidak ada di antara mereka yang membalas atau bahkan menimpali kalimat Isaac. Euros pun berhenti untuk bertanya karena kepalanya sudah cukup pusing setelah dibuat berjalan setengah hari penuh di bawah sinar matahari. Pria itu mendesaukan napas dan kembali bersandar di kursi.
Sementara itu, tatapan River pelan-pelan kembali pada wajah Juan. Sejak perbincangannya semalam, adiknya sama sekali belum mengatakan apa-apa sampai pagi ini. Seandainya bisa, dia ingin menghibur Juan atau setidaknya mengatakan sesuatu hanya agar pemuda itu menampakkan semangatnya yang biasa. Akan tetapi, suasana hari ini tak begitu mendukung. Orang-orang diliputi kegelisahan dan ketegangan karena perjalanan panjang menuju High Point. Euros mungkin saja masih bertanya-tanya tentang alasan mengapa monster mengejar mereka, dan River sendiri sepertinya mulai menaruh kecurigaan pada jari-jemari Juan yang diplester.
Selang beberapa detik, Gareth berhasil membuka dek kecil di dekat lubang kunci dengan obeng. Dengan cekatan dia mengeluarkan komponen soket kabel dengan warna berbeda-beda, namun gerakan tangannya kelihatannya ragu saat memilih kabel lubang starter.
Claude yang duduk di sampingnya mendesah, "Kau bisa menyalakan mesinnya, kan?"
"Tenang saja. Aku pernah mencuri mobil waktu SMA," kata Gareth. Nathaniel yang duduk di baris belakang tiba-tiba terbatuk kecil, entah karena apa. Tapi Gareth yang mengabaikan hal itu terus mengoceh sambil mengutak-atik kabel. Dia menarik selongsong kabel berwarna kuning dan menyambungkannya dengan kabel arus. Beberapa detik kemudian, mesin mobil berhasil menyala.
Perjalanan kali ini diperkirakan akan berlangsung selama enam sampai tujuh jam tanpa hambatan, kecuali bila di tengah perjalanan mereka bertemu monster yang berusaha mengoyak atap mobil dan mengacaukan rencana dengan membantai orang-orang di dalamnya. Paling-paling perjalanan ini bisa meleset beberapa jam dari perkiraan. Semestinya itu bukan masalah besar. Akan tetapi, Claude menjadi satu-satunya orang yang berasa dikejar-kejar waktu.
"Ini akan menjadi perjalanan yang biasa-biasa saja, oke?" Isaac berusaha melunturkan raut semua orang yang tampak gelisah dan tegang. Mobil mereka telah memasuki Summerfield, 19 kilometer dari pintu masuk ke High Point. "Ayolah, berhenti memasang ekspresi seperti orang yang mau buang air besar, terutama kau, Claude. Kita perlu sesuatu di sini. River, kau bawa makanan?"
"Tidak. Kutinggalkan semuanya di hutan Fayetteville."
"Bagaimana mungkin? Seharusnya kau bawa untuk bekal kita!"
"Ada lebih dari dua puluh orang di sana yang butuh asupan makan. Claude sudah menyuruh mereka agar tidak berburu selama beberapa hari untuk menghindari drone yang mondar-mandir."
Isaac mendesau jengkel, "Tapi mereka tidak terjepit bahaya seperti kita."
"Mereka semua dalam perlindunganku dan ada di bawah tanggung jawabku," Claude tahu-tahu menyahut, praktis membuat Isaac berpaling padanya. Nada suaranya yang dingin dan tidak berperasaan membuat Isaac agak tersinggung. "Tidak ada yang bisa membantahku di sini, Isaac. Lebih baik kau rapatkan bokongmu di jok mobil dan lakukan apa saja untuk membunuh waktu. Jangan bahas makanan."
"Kita bisa mampir ke minimarket," Euros mendadak berkata. Dan saat Claude memberikan tatapan sinis padanya, dia buru-buru membalas, "Bukannya aku membela Isaac, tapi, sumpah, apa kalian semua tidak kelaparan?"
"Oke, aku akan mencari minimarket," Gareth menekankan cengkeramannya pada kemudi dan mobil mereka melaju lebih kencang membelah jalanan.
Pada sore hari, sekitar pukul setengah empat, mobil memasuki perbatasan pintu masuk 16 menuju distrik utama High Point. Pemandangan yang sebelumnya berupa kawasan rata dengan tanah, kini mulai berubah menjadi lokasi bekas kebakaran. Mereka belum mencapai pusat kota, tetapi lingkungan ini sudah padat dengan asap yang berputar-putar malas di udara, menyelingi reruntuhan bangunan-bangunan kecil yang dibangun sepanjang pemukiman perbatasan, tempat yang dulunya berdiri sebagai kantor dinas para pengawas tentara pemerintah.
Sekitar 2.9 kilometer dari pintu masuk, saat mobil mereka telah melintasi jalan raya utama, semua orang mulai merasakan kegelisahan merambat di sekujur muka. Claude tak berhenti bersikap waspada dengan menengok titik-titik mencurigakan. Bukan, bukan karena dia takut bila sekonyong-konyong ada tentara Forbs yang muncul, melainkan karena hal lain.
Di hadapannya, jalan raya. Di belakangnya, jalan raya.
Hanya saja, kali ini jalanan dipenuhi dengan mayat-mayat yang baru setengah membusuk.
Mereka semua tewas secara bergerombol. Terkapar di tengah jalan bagai boneka busa yang baru saja dicabik-cabik binatang buas. Burung gagak dan serangga kecil seperti lalat dan belatung mengitari tubuh-tubuh yang sudah menghitam dan lembek seperti buah apel yang membusuk. Bekas darah kecokelatan masih berceceran di aspal, menggenangi mayat, menyiprat pada palang jalan dan rongsokan mobil yang penyok, membuat tempat itu bagaikan sebuah mimpi buruk.
Semua orang di dalam mobil memandangi kondisi di sekeliling mereka dengan prihatin.
"Ada yang aneh. Kalian juga merasakannya, bukan?" River tahu-tahu bertanya pada siapa saja di dalam mobil.
Nathaniel, yang duduk di belakangnya, menyahut sambil terpaku menatap jalanan yang digelimpangi mayat, "Mereka semua belum lama tewas."
"Apa yang terjadi di kota ini?" tanya Euros.
"Mungkin ada serangan," tebak Juan yang menjulurkan leher tinggi-tinggi melalui jendela yang tertutup. "Kalau kita mendekat, kita bisa tahu apa yang menyebabkan mereka tewas."
Tapi untuk sementara ini mereka lebih memilih untuk terus melintasi jalanan tanpa melakukan penyelidikan macam-macam. Bahaya, kata Claude saat Nathaniel meminta untuk turun dari mobil. Mereka harus tetap pada rencana awal; pergi ke hutan yang dulu, menuju penginapan Rowansky tempat Claude menyimpan berbotol-botol serum berbahaya. Pokoknya tidak boleh ada gerak-gerik sembrono yang mendorong mereka ke sumur permasalahan yang lebih besar.
"Kita jadi mencari makanan?" Setengah jam kemudian, suara Gareth tahu-tahu memecahkan hening. Jarinya menunjuk sebuah titik di luar jendela depan, "Lihat, di sana ada SPBU. Pasti ada kios makanan juga." Ketegangan di dalam mobil mulai melonggar ketika mereka hampir memasuki kawasan pertokoan yang kosong. Tidak ada mayat bergelimpangan di jalan, tetapi keadaan di luar sana masih sama kotornya seperti kekacauan yang tak pernah dibereskan selama berbulan-bulan.
"Claude, kita boleh berhenti sebentar, kan?" tanya Euros dengan wajah kelaparan.
Claude sebenarnya ingin mengeluarkan opini bijaknya agar teman-temannya menahan lapar sedikit sebelum sampai ke hutan perbatasan, akan tetapi dia tahu sejak pagi tadi dirinya sudah terlalu banyak protes. Lagi pula, sebagian orang memang kelaparan, termasuk Claude. Dia bisa melihat Isaac yang biasanya mengomel dan mengomentari apa pun dengan enteng kini hanya terdiam sambil meratapi jalanan.
Jadi tak ada salahnya untuk mampir sebentar.
"Yeah, ayo mampir saja. Aku juga perlu rokok," kata Claude, kemudian mobil mereka menepi di lahan parkir kosong yang dipenuhi dedaunan kering dan sampah kekacauan masa lalu.
Saat pintu mobil dibuka, aroma daging busuk yang terbawa angin menerpa penciuman mereka.
"Sial, baunya sungguh busuk!" protes Euros. Lantaran tidak tahan dengan bau tajam mayat yang baru membusuk, pria itu langsung menempelkan kain pakaiannya ke hidung dan membekapnya dengan tangan. "Ini jauh lebih buruk daripada Fayetteville!"
"Tempat ini benar-benar aneh," kata River sementara dia jelalatan memandang kawasan di sekitar sambil melilitkan secarik kain untuk menutupi mulut dan hidungnya. "Terakhir kali kita datang kemari, baunya tak seburuk ini."
"Sudahlah, berhenti mengoceh dan laksanakan tugas kita. Aku mau cepat-cepat keluar dari sini!" Gareth mengeluh. Dibandingkan yang lainnya, matanya kini panas dan berair. Perutnya seperti diaduk-aduk saat mencium aroma memuakkan seperti daging yang membusuk dan diselimuti larva binatang. Sambil berusaha tak protes lagi, mereka lantas menuju kios makanan yang tampaknya telah nyaris dijarah oleh peradaban lama.
Di dalam kios, kekacauan masif menyambut mereka semua. Nyaris tidak ada makanan yang tersisa selain beberapa kemasan makanan instan dan dua-tiga kaleng minuman yang tergeletak di dalam lemari es kaca. Etalase di bagian kasir jungkir balik. Mesin penyimpanan uangnya hancur dan dijarah sampai habis.
"Betapa anehnya, padahal di zaman sekarang nominal uang sudah tidak berarti lagi. Memangnya apa yang orang-orang pikirkan saat monster datang dan hendak menyerang diri mereka? 'Tolong, ada monster yang mau memangsaku hidup-hidup! Kita harus rampas semua uang ini!'" Isaac berkomentar sambil mengguncangkan mesin kasir dengan pelan.
Nathaniel dan Juan yang ada di dekatnya hanya tertawa kecil meningkahi kata-katanya.
"Cobalah berpencar. Barangkali masih ada makanan yang lebih banyak di bagian belakang," perintah Claude, kemudian seperti barisan prajurit yang patuh, mereka semua masuk dan langsung menghambur menuju sudut-sudut ruangan terjauh.
River terpisah dari kawan-kawannya dan menyusuri bagian belakang toko seorang diri. Saat hendak menghampiri lemari pendingin bir untuk memeriksa minuman kaleng, mendadak saja dia dikejutkan dengan suara erangan tipis.
Suara lirih, seperti dengking anjing yang kelaparan.
River berhenti sejenak dan membiarkan telinganya waspada.
Dia melihat sebuah bilik toilet yang tertutup beberapa meter di hadapannya. Pada celah di antara pintu dan lantai, ada kelebat bayangan hitam yang bergerak, seolah-olah ruangan itu ditempati sesosok makhluk.
Dipenuhi jantung yang berdebar-debar, River mengangkat pistol dari selipan celananya dan menodongkan ujungnya ke pintu yang tertutup. Di suatu sudut dalam kepalanya, tempat persembunyian jiwa kecilnya yang sembrono dan cerewet, ada suara kecil yang membisikinya untuk memeriksa lekas-lekas apa yang ada di balik pintu itu, tetapi River tidak menghiraukannya. Dia tidak memeriksa bilik itu karena tahu bahaya seperti apa yang sedang menunggunya.
Monster.
Ada monster di dalam toilet.
Kaki River pelan-pelan mundur. Tangan masih mengacungkan pistol menghadap muka pintu. Tidak boleh menunggu lagi. Dia harus memberitahu teman-teman tentang apa yang ditemukannya di toilet belakang.
Dan, tepat saat dirinya berputar, sebuah moncong pistol yang dingin langsung menyentuh keningnya.
"Diam di situ atau kepalamu akan kutembak," kata wanita itu, lirih dan mengancam.
River memilih untuk diam. Matanya menatap paras sang wanita dengan cepat.
Usia orang di hadapannya masih muda, tetapi pasti lebih tua darinya tiga atau empat tahun. Sang wanita memiliki rambut merah yang diikat tinggi di belakang kepala, dengan anak rambut yang terurai dan jatuh lepek di dahinya yang berlumur keringat serta debu. Mata wanita itu berwarna hijau kekuningan, seperti buah zaitun yang baru matang dari pohon. Satu lagi fakta yang jelas tak terelakkan; dia adalah manusia normal.
"Taruh pistolmu di lantai, lalu angkat tangan ke atas kepala. Ikuti perintahku atau kau akan kutembak."
River mengikuti perintahnya.
"Berapa orang yang kaubawa bersamamu?" tanya wanita itu.
"Enam."
"Di antara kalian ada yang terinfeksi?"
River melirik ke samping, berharap ada salah satu teman yang melihatnya sedang terjebak bersama seorang wanita berbahaya di sini.
"Jawab pertanyaanku, sialan!" Pistol wanita itu menekan kening River lebih keras.
"Tidak ada yang terinfeksi," kata River cepat. Pemuda itu berusaha tak terlihat panik dan mencoba membantunya lewat saran, "Nona, dengarkan aku. Ada monster yang sedang bersembunyi di dalam bilik toilet. Kau harus cepat keluar dari tempat ini."
"Tidak ada apa-apa di dalam sana."
"Kau bilang begitu karena belum memeriksanya."
Pistol semakin menekan kening River, membuat pemuda itu meringis karena rasa sakitnya.
"Di dalam sana tidak ada apa pun." Suara sang wanita terdengar bengis dan tegang.
"Aku bersumpahโ"
"Diam!" Tangan wanita itu terangkat ke atas, hendak menghantam River dengan popor pistol. Namun, bentakan seseorang membuat gerakan ayunannya berhenti;
"Lepaskan dia," Claude memerintah dengan dingin.
River menarik napas lega, sementara wanita itu langsung bersikap lebih tegang dan waspada. Dia mundur selangkah dengan pincang, tetapi tetap mengarahkan moncong pistol secara bergantian pada River dan Claude.
"Pergi kalian," kata wanita itu. Suaranya kini terdengar pecah. River bahkan bisa melihat larik-larik nadi kemarahan menyembul di dahi wanita itu. "Pergi kalian semua dari sini!"
"Claude, ada monster di balik pintu toilet. Kita harus bawa wanita ini pergi," River memberitahu dengan sabar, tetapi sebelum dia mendapatkan jawaban, wanita itu membalasnya murka;
"KUBILANG TIDAK ADA APA PUN DI DALAM TOILET!"
Lalu serangan terjadi secepat kilatโkaki wanita itu terayun di udara dan menghantam sisi kepala River dengan keras, sekonyong-konyong membuat pemuda itu terperosok ke lantai dan mengalami pening selama beberapa saat. Clude, yang tak sempat berpikir apa-apa lagi, segera menghambur ke depan dan menyikut rahang si wanita. Tumpahlah pertarungan mereka ke dalam tendangan dan pukulan yang bengis. Wanita itu sangat gesit dan kuat. Gerakannya nyaris setara seperti prajurit berpengalaman yang ahli melumpuhkan musuh dalam sekejap waktu. Namun, sepertinya dia sedang terluka, sebab kaki kirinya pincang dan tangan kanannya tak pernah dipakai untuk memukul. Claude yang menangkap keganjilan itu langsung mengubah strategi bertarungnya. Dia berkelit dari pukulan berikutnya dan langsung menangkap pergelangan tangan kanan wanita itu.
Si wanita menjerit hebat saat tangan kanannya dipuntir. Claude mendorong punggungnya hingga orang itu terkapar di lantai. Dia mengunci tangan si wanita dan langsung menendang pistolnya jauh-jauh.
"Jangan bergerak," katanya.
"River, periksa toilet itu," kata Claude pada River yang sedang terhuyung-huyung bangkit dari lantai setelah menerima pukulan mengerikan di kepalanya. Pemuda itu lebih ingin mengabaikan perintah Claude, akan tetapi dia tetap menyambar pistol yang tergeletak di lantai dan maju ke toilet.
"Jangan! Jangan dibuka!" Wanita itu memberontak protes di bawah kukungan Claude. "Di sana tidak ada apa-apa!"
Jelas ada sesuatu yang salah. Bukan tentang siapa atau apa yang bersembunyi di dalam toilet, tetapi karena reaksi sang wanita. Mengapa dia bersikeras mengatakan bahwa toilet ini kosong, seolah-olah ingin menyuruh mereka untuk melupakan apa yang ada di dalamnya?
Claude tampaknya bukan menjadi satu-satunya yang menangkap keganjilan ini. River pun memutuskan mendekati pintu toilet yang masih tertutup rapat. Suara geraman dan dengkingan makhluk yang sejak tadi terdengar rupanya telah berhenti entah sejak kapan. Namun, sebagai gantinya ... dia malah mendengar rintihan yang lebih manusiawi.
Erangan tangis seorang pria.
River memutar kenop pintu dan menariknya hingga membuka lebar. Matanya membelalak terkejut saat melihat sosok di dalamnya.
Pria itu bersandar loyo di dinding toilet dalam keadaan telanjang bulat. Sekujur tubuhnya berlumuran darah yang masih basah. Kakinya yang dipenuhi luka membusuk terbujur lurus di lantai, sementara kedua tangannya diikat dan digantungkan ke atas. Pada lantai di bawahnya, tergenang bekas sapuan darah dan bau yang memualkan seperti campuran air seni dan muntah.
Napas terengah-engah. Erangan tangis. Tubuh berlumuran darah.
Pria itu menatap River dengan mata merah berkaca-kaca.[]
-oOo-ย
.
.
.
.
.
Hiyaaaaa, siapa yang kangen cerita ini?ย
Kagak ada ya? Awkwkwkwย
Anyway, terima kasih buat teman-teman yang sudah mau mampir dan meninggalkan komentar, huwaaaaa. Aku bikin chapter ini sambil memikirkan kalean semua loh. LAMA PULA BIKINNYA SAMPE 3 HARIAN ๐ญ๐ญ๐ญ
Aku sayang kalian pokoknya, chu chu chuuuuu (^ะท^)-โChu!!
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top