39. The Dead Bodies
-oOo-
HEAVEN berdiri menjulang di hadapan sekelompok tubuh monster yang terkapar mengenaskan. Para petugas tersebut telah dinyatakan tewas akibat kerusakan berat di bagian kepala dan cabikan-cabikan brutal yang mengoyak separuh tubuh. Darah dan subtansi organ bercecer di setiap bagian lahan yang telah hancur. Menempel di batang pohon, menyiprat di rumput dan bebatuan. Keadaan itu menunjukkan tentang betapa ganas pertarungan yang terjadi semalam.
"Siapa yang kira-kira melakukannya?" Heaven menggumam lirih selagi menatap seantero kawasan yang berubah menjadi neraka darah. Ketika tidak mendapat jawaban apa pun, wanita itu berputar menghadap satu regu petugas yang berdiri tegang di dekatnya. Mereka semua berwajah pucat dan terguncang melihat pemandangan tersebut.
"Ada yang mau berpendapat?" tanya Heaven.
"Kurasa yang membunuh mereka adalah binatang buas," kata salah seorang petugas markas di antara mereka. Pria itu memberanikan diri maju beberapa langkah dan melihat mayat terdekat, yang bagian dadanya sudah remuk lalu jantungnya dibetot keluar dari rongga, dan dibiarkan tersangkut di antara dahan-dahan pohon. "Mungkin beruang grizzly, atau serigala, karena lukanya begitu parah. Tidak ada manusia yang seganas ini dalam melakukan serangan."
Pernyataannya barusan segera disambut oleh gumaman setuju para petugas yang lain.
"Bersihkan mayat mereka," Heaven akhirnya memberi perintah, yang langsung dipatuhi oleh semua orang.
Tatkala mereka mulai mengumpulkan semua mayat ke satu tempat, salah seorang petugas mendatangi Heaven, lalu menanyainya dengan wajah muram dan gelisah, "Sersan, ini pertama kalinya ada sekelompok petugas markas yang ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan. Apakah benar pelakunya binatang buas?"
"Menurutku bukan binatang," kata Heaven. "Ketiganya ditemukan dalam keadaan kepala hancur. Tidak mungkin seekor binatang melakukan pola serangan yang identik."
"Aku juga berpendapat begitu. Organ tubuh mereka tidak dimakan, melainkan dikeluarkan dan dibuang sia-sia. Apa pendapatmu mengenai ini?"
"Mereka dibunuh manusia."
"Bukankah itu terlalu mustahil?" kata sang petugas.
"Mustahil, katamu?"
"Maksudku ... lukanya terlalu brutal bila disebabkan manusia. Mana ada manusia yang sanggup menghabisi monster begini banyak?"
Lalu Heaven mendekati salah satu mayat dan berjongkok di dekatnya. Wanita itu mengernyitkan kening sambil berusaha bernapas pelan-pelan, karena bau anyir darah begitu kuat tercium. Dia merogoh pistol dari celana lalu menyentuhkan moncongnya pada sepanjang tepian luka terbuka yang membelah dada sang monster, menyingkirkan serpihan jeroan yang melekat di kulit, lalu menyuruh petugas di dekatnya untuk ikut memperhatikan.
"Lihat pola robekannya. Kulitnya disayat dengan benda tajam―pisau pemburu, atau pedang. Bukan cakar milik binatang buas berkaki empat." Lalu Heaven membuka lebih lebar luka di bagian dada sehingga menampakkan lapisan daging merah gelap yang tersembunyi di balik sangkar rusuk yang remuk. "Lukanya terlalu rapi untuk ukuran cabikan atau gigitan monster, dan kau lihat sendiri―memang tidak ada bekas gigitan di dalamnya. Ini pasti ulah manusia yang bersenjata."
Sang petugas terperenyak, menelan gagasan masuk akal itu dengan tenang. "Siapa yang melakukannya?"
"Entahlah," kata Heaven. "Aku mencurigai ini ulah orang luar."
"Orang luar?"
"Atau bisa saja pelakunya ada di antara kalian yang sedang menyamar."
Ujaran itu membuat sang petugas membeku terkejut seolah baru saja dituduh melakukan kejahatan. Dia berkedip salah tingkah dan jelalatan ke kanan dan kiri, menatap anggota lainnya yang seliweran sambil kasak-kusuk memunguti potongan jasad. Tatapan resahnya kembali ke Heaven. "Tidak mungkin ada pengkhianat di antara kami."
"Aku juga meragukan ada orang sekuat ini yang bersembunyi di antara kalian, para petugas lembek."
Bibir sang petugas melengkung ke bawah karena tersinggung. "Kita akan laporkan ini pada markas, bukan?"
"Tentu. Kau sajalah yang memberitahu Janeth." Heaven melengos dari wajah sang petugas lalu menyarungkan kembali pistolnya ke dalam kantong. Dia mengamati wajah monster yang mendongak menatap langit kelabu. Setengah wajah pria malang ini ikut remuk bersama kepalanya. Akan tetapi, rahangnya yang sedikit terbuka masih utuh, menampakkan deretan geligi monster yang ketajamannya serupa taring harimau. Heaven mencondongkan tubuh sedikit untuk memeriksa sesuatu.
"Tunggu sebentar," katanya, lalu dengan tangan kosong, wanita itu memegang dagu sang monster dan membuka rahangnya lebih lebar. Dia melongok ke dalam mulut sang monster untuk memastikan keganjilannya. "Giginya hilang satu."
Petugas di sampingnya memberengus bingung. "Ada masalah?"
"Bagian rahang dan mulutnya masih utuh, tetapi kenapa giginya hilang satu?"
"Mungkin ... patah terkena benturan."
Heaven terdiam sejenak. Bukan karena patah. Namun, dia tidak mengatakan asumsinya kepada si petugas karena sebuah alasan yang meragukan.
"Kau benar. Benturan. Sepertinya yang membunuh mereka memang binatang buas. Mustahil ada manusia yang bisa menang mengeroyok pasukan monster begini mudah." Setelah menelurkan opini mengada-ada itu, Heaven melepaskan jemarinya dari dagu sang monster, lalu bangkit berdiri. Dia mengomando semua rekan satu timnya untuk kembali ke markas dan melaporkan bangkai temuan ini kepada Janeth. Di tengah perjalanan menyusuri hutan, Heaven sengaja membiarkan timnya maju terlebih dahulu, sementara dirinya bergabung bersama barisan belakang karena sibuk berpikir sesuatu.
Sayatan benda tajam. Gigi yang hilang.
Manusia bersenjata.
Pemburu monster.
-oOo-
"Aku sudah mendengar beritanya dari regumu."
Janeth melepas masker dari mulutnya dan berputar ke pintu keluar laboratorium, memberi gelagat pada Heaven agar ikut masuk ke kantornya yang sempit dan berbau seperti gudang penyembelihan. Dia mempersilakan wanita itu duduk sementara dirinya menuangkan air panas dari termos ke dalam cangkir berisi bubuk kopi. "Kau menemukan bangkai empat orang prajurit monster di dalam hutan. Apa kau sudah menyelidiki siapa pelakunya?"
"Beruang," dusta Heaven.
"Beruang kalah melawan prajuritku?"
"Beruang itu tidak datang sendirian. Dia bersama koloninya."
Janeth duduk di kursinya sendiri lalu mengaduk-aduk kopi di dalam cangkir dengan wajah berpikir serius. "Lalu apa yang timmu lakukan?"
"Aku menyuruh para petugas markas memasang jebakan beruang di hutan," kata Heaven. "Setidaknya itu bisa mencegah insiden berikutnya datang."
"Kau yakin pelakunya adalah beruang?"
"Apa Anda punya asumsi lain?"
Janeth menyesap kopi dalam beberapa kali isapan, lalu menjilat bibir atasnya sambil mendesah. "Begini," katanya sambil menyandarkan punggung pada kursi. "Beberapa waktu lalu aku mendapat kabar bahwa ada penemuan kapal motor di tepi pantai. Kapal itu persis seperti milikmu ketika datang kemari bersama Claude, tapi kali ini mesinnya masih hangat seolah baru saja dipakai. Anehnya tidak ditemukan jejak apa pun tentang pemilik kapal itu. Ada yang berasumsi bahwa kapal motor itu adalah milik penyintas yang baru datang, dan mereka bersembunyi entah di mana. Atas alasan tersebut, aku punya kecurigaan bahwa yang membunuh para prajuritku adalah si penyintas baru ini, bukannya beruang."
Heaven merasakan ujung-ujung jarinya yang ditumpangkan di pangkuannya terasa berkeringat dan kesemutan. Dia menatap mata biru Janeth lurus-lurus. "Aku sudah memeriksa mayat para prajurit. Dari bekas lukanya, tidak ada alasan yang meyakinkanku bahwa yang membunuh mereka adalah manusia biasa."
"Bagaimana bila yang membunuh adalah monster?"
"Bisa saja, meskipun kemungkinannya kecil," kata Heaven.
"Satu persen kemungkinan tetaplah risiko yang harus diwaspadai."
"Anda benar." Lalu Heaven mengusulkan gagasan baru, "Anda bisa menambah penjagaan di malam hari kalau itu perlu. Aku akan pastikan tidak ada orang mencurigakan yang berkeliling di sekitar markas."
Lalu Janeth menunduk seraya memijat tengah keningnya. "Baiklah. Di samping itu, kita juga harus mempercepat eksperimen sebelum ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Serum itu sudah hampir sempurna, tinggal diujikan saja kepada para perempuan dan anak-anak."
"Kita ... sudah hampir kehabisan tawanan," kata Heaven. "Dalam satu minggu ini sudah ada dua perempuan dan satu anak yang tewas karena sakit."
"Betul, dan kalau kau lupa, aku sudah menyuruhmu untuk mengumpulkan tawanan baru, tapi kau selalu beralasan bahwa tidak ada lagi orang-orang di luar sana yang bisa kau ambil." Janeth tahu-tahu menunjukkan wajah kecewa bercampur berang. "Katakan, Vivy, apa selama ini kau sungguh jujur padaku? Ataukah hatimu terlalu lembut untuk menculik orang-orang tidak berdosa di luar sana?"
"Anda bisa tanyakan kepada para anggota yang bertugas denganku. Di luar sana memang hanya tersisa para perempuan dan anak-anak penyakitan yang tidak akan sanggup diikutkan dalam eksperimen," Heaven berkata datar. Tidak kelihatan apakah dia berbohong atau tidak. Akan tetapi, ekspresi Janeth yang sedang memperhatikannya terlihat seperti menyimpan sesuatu.
"Baiklah, Vivy," kata Janeth, lalu bangkit dari meja. "Aku memintamu untuk memisahkan tawanan kita menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari gadis usia belasan dan anak-anak, yang akan diujikan langsung dengan serum perubahan terbaru. Kita akan melihat apakah formula kali ini cukup resisten untuk mengubah tubuh mereka menjadi monster. Lalu kelompok kedua ... adalah para wanita yang telah siap diujikan untuk eksperimen pembuahan."
"Kapan eksperimen pembuahan itu dilaksanakan?"
"Besok pagi," kata Janeth, lalu menunduk menatap buih tipis di cangkir kopinya. "Dan orang pertama yang akan menjadi subjek eksperimennya adalah Claude."
-oOo-
River mendorong pintu bunker―tempat persembunyiannya yang baru―ke arah luar, lalu mempersilakan Heaven masuk ke dalam. Kegelapan malam dari hutan belantara terangkat, terganti dengan kesuraman redup dari beberapa kandil lampu minyak yang digantungkan di sepanjang dinding bunker.
"Apa yang terjadi?"
"Mulai besok, seluruh kawanmu akan digilir menjadi subjek dalam eksperimen pembuahan." Heaven menegaskan.
River merasakan gelombang panas membanjiri perutnya, membuatnya gugup dan panik sekaligus. "Ki-kita harus membatalkannya."
"Kita akan bergerak esok pagi. Kita selamatkan Claude dan kawan-kawan yang lain, lalu kabur dari pulau ini."
"Menaiki Black Hawk?"
"Berenang."
"Kau gila?"
"Kita tidak punya pilihan," Heaven nyaris mengerang. Wanita itu berdiri gelisah di depan pintu seraya menggigiti kukunya. "Tidak bisa mengulur waktu lebih lama untuk memikirkan rencana. Kita akan menjelajahi tempat ini dengan cara apa pun. Bila harus berenang, kita berenang. Bila harus merangkak, kita merangkak."
"Mereka bisa menjatuhkan bom di atas kita dengan Black Hawk."
"Percayalah, mereka tidak akan punya waktu untuk mengendarainya bila kita sudah membuat situasinya sekacau mungkin di awal. Kalau soal melempar bom, situasinya bisa kita balik."
"Caranya?"
"Kita akan mencuri persediaan bom dan senjata sebelum mereka bisa menggunakannya."
"Cerdas sekali kau. Baiklah, kita maju dengan rencana seadanya," kata River. Ketika dia hendak berbicara sesuatu, pintu bunker tahu-tahu saja diketuk satu kali dari luar. Pemuda itu buru-buru menempelkan telinga di daun besi tersebut, mendengarkan kode irama ketukannya; dua kali-tiga kali-satu kali. Kemudian, River membuka pintu. Munculah Wayne yang datang dari kegelapan sambil memasang tampang waspada sekaligus tegang.
"Aku tidak telat, kan?"
"Kemari kau, bocah ingusan," Heaven menarik pakaian Wayne dan langsung menyodorkan telapak tangan di hadapannya. Wayne, seperti anjing yang patuh, merogoh kantong pakaian dan mengeluarkan sejumlah kunci duplikat, menuangkan semuanya ke telapak tangan Heaven hingga memunculkan bunyi bergemerincing kecil.
"Yang ini kunci penjara tawanan perempuan dan anak-anak, lalu ini kunci penjara kawan-kawanmu," kata Wayne seraya menjelaskan masing-masing fungsinya. "Dan ini kunci ruang kendali. Semuanya sesuai perintahmu, Kepala Merah. Sekarang beritahu aku rencananya."
River menatap Heaven dan Wayne secara bergantian, berpikir bahwa keduanya mungkin telah berdiskusi sebelumnya.
"Aku akan segera memindahkan persediaan senjata ke bunker ini. Besok pagi, semua tawanan harus segera dikeluarkan dan dilarikan ke tepi pantai. Ada kapal motor di sana―cukup untuk diisi delapan sampai sepuluh orang. Prioritaskan wanita dan anak-anak, sementara kita akan berenang di belakang."
Memikirkan kata berenang membuat Wayne digigiti kengerian. Akan tetapi anak itu berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Baiklah. Siapa yang membawa tawanan pergi?"
"River. Kau bisa memandu mereka semua, kan?"
River mengangguk. "Pastikan kamera pengawasnya mati."
"Di bawah tanggung jawabku," kata Heaven. "Kita akan melakukannya di pagi hari, saat laut mulai surut. Lalu Wayne, kau ...."
"Aku akan berpura-pura terkejut dan berteriak kepada para petugas markas."
Heaven dan River sama-sama mengernyit. "Apa?"
"Akan kupancing mereka untuk mengejar di arah berlawanan."
River menggeleng, "Menurutku akan lebih baik bila kita menahan musuh di dalam markas, lalu meledakkannya saat mereka semua tengah berkumpul. Kalau markas ini punya bom waktu, kita bisa menyempatkan sebentar untuk menanam di titik-titik tersembunyi. Lalu esok hari, ketika waktunya tiba ... bum!" River membuat gestur ledakan dengan kedua tangannya.
Heaven mengangguk sambil menuding River dengan jarinya. "Kau benar. Aku melihat bom rakitan di gudang senjata. Wayne, kau bisa membantuku memasangnya, bukan?"
"Oke," kata Wayne. "Lalu bagaimana cara kita mengumpulkan mereka ke satu tempat?"
"Itu mudah," kata River. "Kita bakar arena pertandingan agar mereka berbondong-bondong memadamkan api."
Kemudian ketiganya saling bertatapan seolah bertelepati menyatakan persetujuan. Heaven adalah yang pertama memukul dinding di sebelahnya sambil mendesau puas, diiringi gelagat meyakinkan dua anggota yang lain. Mereka secara alami melakukan tos untuk merayakan perumusan rencana ini.
"Baiklah," kata Heaven, "saat mereka semua berlari ke arena, aku akan menjemput Sean lalu pergi dari markas secepatnya. Wayne, sebaiknya yang menyulut kebakaran adalah kau, agar bisa sekalian mengalihkan mereka dari para tahanan yang kabur."
"Laksanakan," kata Wayne.
Kemudian untuk sejenak, suasana menjadi sunyi. River menyarankan yang lain untuk segera kembali ke markas dan melaksanakan pekerjaan masing-masing. Heaven berpesan bahwa dia akan kembali dalam beberapa menit untuk menyerahkan persediaan senjata, tetapi River langsung memperingatinya, "Hati-hati kepada para petugas yang patroli."
"Mereka tidak akan curiga padaku," Heaven mengibaskan tangan di udara dengan enteng.
Kemudian mereka berdua keluar dari bunker, meninggalkan River. Di tengah perjalanan menuju markas, Wayne memisahkan diri dan pulang terlebih dahulu agar para petugas yang berjaga di kejauhan sana tidak mencurigai dirinya yang muncul dari rute hutan bersama sersan berkepala merah, sementara Heaven sengaja berlama-lama sejenak di tengah-tengah belantara hutan yang hanya dibanjiri sinar perak rembulan. Sambil menatap langit, tangannya merambat masuk ke saku celana.
Heaven mengambil kantong kumal yang pernah dia perlihatkan kepada Claude. Di dalamnya berisi fotonya yang sedang mendeprok di lantai bersama Sean, Toby, dan juga Gina. Dia membuka lagi foto yang terlipat itu lalu memandanginya penuh kasih sayang.
Sebentar lagi, semuanya usai.
Sabarlah sebentar, Sean.
Namun mendadak saja, terdengar suara berisik di belakangnya. Heaven berputar secara panik. Dia tidak sempat melakukan perlawanan kepada seorang petugas laboratorium yang tahu-tahu membungkus kepalanya dengan karung hitam.[]
-oOo-
.
.
.
Note author kali ini agak ott
Jujur pas nulis chapter ini aku agak ketrigger sama kata-kata bom dan ledakan. Mengingat apa yang selama ini terjadi pada saudara2 muslim di Palestina, dan ngelihat videonya berseliweran di mana-mana, entah kenapa mengirimkan semacam emosi yang bikin aku ikut ngeri, takut, dan merasa bersalah tiap dengar atau melihat kata2 yang mengarah ke peperangan. Aneh, padahal bukan aku yang ngerasakan, tapi efeknya bisa nembus sampai ke layar hape.
Aku minta maaf ke teman-teman sekalian kalau ada yang merasa ketrigger juga setelah baca kata-kata buruk di sini. Bukan maksudku mengingatkan kembali genosida yang digarap para kaum laknat tersebut. Aku harap kalian tahu itu. Dan jangan sangkut pautkan final battle yang terjadi di sini dengan keadaan di dunia asli yah 🙏
Oh, ya. Mau mengingatkan tipis-tipis. Bagi teman-teman sesama muslim, setiap habis solat, selalu sempatkan untuk mendoakan saudara kita di Palestina yaa. Semoga mereka yang masih hidup bisa dapat minum dan makanan kenyang setiap hari, listrik dari aki dan air yang cukup, sementara yang ditakdirkan meninggal bisa meninggal tanpa merasa sakit 🙏
Btw, 2-3 episode lagi The Pioneers tamat. Siap2 yaaak 👍🏼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top