37. A Dog Who Formulates a Plan

-oOo-

HEAVEN menggambar garis vertikal kecil di samping garis vertikal lain yang berbaris di halaman buku catatannya; Hari ke-9.

Oh, rasanya konyol menghitung berapa lama dia terjebak di dalam markas Janeth dengan cara klasik begini. Namun toh dia tidak peduli. Di tempat terdampar ini, tiada kalender ataupun ponsel untuk menyusun jadwal rencana. Semuanya kembali ke praktik manual yang melelahkan dan penuh percobaan sia-sia, hanya demi melancarkan misinya untuk kabur dan meledakkan seluruh markas.

Heaven membuka halaman berikutnya, lalu melanjutkan menggambar denah lokasi yang selama ini telah disusurinya diam-diam. River yang sejak tadi bermain bersama Sean di ranjang berceletuk, "Apa yang kau lakukan?"

"Mempelajari lokasi," kata Heaven.

Kemudian terdengar derit ranjang, diikuti suara langkah mendekat. Heaven tak perlu menoleh untuk tahu bahwa River menghampiri dan berdiri di belakangnya. Pemuda itu ikut menunduk menatap buku catatan yang terbuka di atas meja. "Kau dapat sesuatu?"

"Ya. Lihat ini." Heaven menunjuk satu bidang kecil yang terletak di luar garis tepi yang dibuatnya. Kelihatannya ruangan itu dibangun terpisah dan berada jauh dari markas pusat. Sambil menekan halus, wanita itu melanjutkan, "Kemarin saat menjelajah hutan, aku menemukan bunker kosong yang ditinggalkan di dekat rute timur menuju pantai. Tidak ada petugas yang berkeliaran di dekat sana. Kurasa tempat ini pas untuk tempat persembunyian sementaramu. Kau bisa menimbun lebih banyak senjata dan pertahanan di sana seorang diri."

"Kau mengusirku dari sini?" River menodonginya pertanyaan tanpa basa-basi.

"Aku tidak mau suatu saat Janeth masuk ke kamarku saat kau sedang tidur di dalamnya."

River menunjukkan raut kecewa seolah tidak rela meninggalkan ranjang hangat dan kamar mandi bersih yang bisa digunakan untuk bercukur. Lantas dia meledek lembut, "Kukira kau senang karena akhirnya menemukan pengasuh untuk anakmu selagi kau berpatroli."

"Anakku cukup tenang untuk ditinggal, dan aku tidak pernah keluar lama-lama. Jadi aku tidak butuh bantuanmu," kata Heaven ketus, lalu menunjuk area lain di halaman buku catatannya. "Nah, aku belum selesai bicara, River. Coba lihat kemari. Kalau kita ingin kabur, kita harus menyelamatkan tawanan yang lainnya pula. Kabarnya, Janeth mengurung para tawanan perempuan di sini," katanya sambil menekan titik denahnya dua kali. "Lokasinya tidak jauh dari tempat Claude dan kawan-kawanmu ditahan. Bahkan tidak hanya perempuan saja. Mereka juga menculik anak kecil di rentang usia tujuh sampai sepuluh tahun, entah apa yang akan mereka lakukan kepada anak-anak malang ini, tetapi itu pasti sesuatu yang mengerikan. Aku belum sempat mengecek bagaimana keadaan para tawanan karena Janeth selalu sibuk menerjunkanku ke wilayah di luar perbatasan untuk mencari penyintas yang selamat. Maka dari itu, River, aku meminta bantuanmu untuk melihat mereka malam ini. Hitung berapa jumlahnya, dan pastikan seberapa mungkin kita bisa memindahkan mereka. Kita tidak bisa membawa yang sedang sakit atau terinfeksi."

Pernyataan Heaven barusan membuat River terpaku sebentar. "Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang?"

"Markas ini akan diledakkan. Aku dan Claude sebelumnya sepakat bahwa kita tidak akan menyisakan serum barang satu pun. Jadi menurutku, menolong mereka yang sakit sama artinya menyambung rantai penyebaran wabah baru." Saat River masih memproses informasi mengejutkan itu, Heaven melanjutkan, "Tidak perlu merasa bersalah. Pemusnahan masal ini pada akhirnya hanya akan meninggalkan hasil akhir yang sama. Kita membunuh demi perubahan."

"Tidak perlu merasa bersalah? Egomu tinggi sekali untuk hal satu ini." River meringis tidak percaya.

Heaven melengos dari wajah River dan kembali membereskan buku catatannya. "Kau masih mau mengajakku debat soal moral? Aku tidak punya waktu untuk itu."

"Memang susah kalau berdebat dengan orang yang sudah membuang kawannya di penjara demi menyelamatkan anaknya sendiri."

Heaven yang sedang menjejalkan buku catatan ke balik laci langsung terdiam. Dia mendongak pada River. Mata zaitunnya seketika bergetar dilapisi amarah. "Aku melakukannya atas kesepakatan bersama. Kalau aku pengkhianat, untuk apa repot-repot mempertahankan kalian semua di dalam sel?"

"Apa maksudmu berkata seperti itu?" River mengernyit, dan Heaven berekspresi seolah dia baru saja mengatakan hal yang tidak perlu. Akhirnya wanita itu mengaku dengan jengkel.

"Janeth kepikiran untuk mengeksekusi teman-temanmu setelah dia berhasil mendapatkan catatannya. Tapi aku membujuknya untuk mengganti hukuman mati itu dengan memasukkan kalian ke eksperimen fertilisasi berikutnya, secara bergiliran."

Napas River hampir tercekat. "APA?"

Seruan lantang itu mendorong Heaven bangkit dari kursi dan membekap mulut River erat-erat. Dia mendesis murka, "Pelankan suaramu, bedebah!" Lalu setelahnya menarik lepas tangannya sendiri. "Ini masih lebih baik ketimbang hukuman mati, oke? Aku sudah melakukan yang terbaik untuk mengulur waktu."

"Kalau begitu mereka harus cepat diselamatkan!"

"Aku tahu, aku tahu. Kau kira sejak awal kedatanganmu kemari aku hanya diam saja? Kau bisanya hanya menyuruh dan santai-santai saja di kamarku, bukan?"

River tersinggung dengan kata-katanya, tetapi dia memutuskan tidak mengatakan apa-apa karena merasa bahwa perkataan Heaven benar. Sejak pulih dari demam dan infeksi, dia hanya dua kali mengunjungi sel kawan-kawannya untuk memberi daging curian dan menyalurkan perkembangan rencana saja. Sementara Heaven bekerja lebih banyakโ€•dia meyakinkan loyalitasnya pada Janeth, mencari informasi ke sana-kemari, menimbang mana rencana yang potensial dan tidak. Dia juga menyelamatkan kawan-kawannya dari kematian sia-sia. Seharusnya River tidak perlu seemosi ini menghadapi Heaven.

Atas fakta ironis ini, River mengangkat kedua tangannya dan berlagak seperti penjahat yang menyerahkan diri. "Baiklah, aku minta maaf karena mengganggu rencanamu. Berikutnya aku akan setia dan patuh seperti German shepherd."

Heaven menyembur tawa kecil mendengar kalimat terakhir River. "Kuharap itu bukan sarkasme saja."

"Aku serius. Daripada harus menjadi kaki tangan Janeth."

"Kau tidak perlu mengabdikan diri sampai sebegitunya. Lagi pula," Heaven merosot duduk di kursi, lalu menekan pelipisnya dengan jari, seolah ingin menyembunyikan gengsinya. "Aku juga minta maaf. Aku tahu kau hanya bereaksi spontan dengan kata-kataku yang menyuruhmu untuk tidak merasa bersalah. Seharusnya aku sadar bahwa kau bukanlah prajurit militer."

"Tidak papa. Ini hanya soal adaptasi. Setidaknya aku bisa tahu bagaimana rasanya bekerja di bawah perintah sersan yang terkenal keji di lingkungannya."

Heaven menyungging cengiran lelah. "Dahulu kami melakukan yang lebih parah. Kau tahu cerita keji di balik Protokol Pemusnahan, bukan? Sebelum dunia menjadi sekacau sekarang, kami pernah berkeliling ke kawasan-kawasan tempat tinggal, lalu mengumpulkan orang-orang yang sakit dalam satu ruangan, dan menembaki mereka satu per satu. Dulunya aku tidak percaya bahwa suatu saat aku akan menjadi bagian dari pelaksana genosida itu sendiri. Tidak berhenti sampai sana, saking terlalu banyak membunuh orang, konsep melenyapkan nyawa kini menjadi keputusan yang lumrah dan enteng bagiku. Aku tidak memikirkan dampaknya atau bagaimana perasaan orang lain ketika ada di posisiku, sebab itulah aku merasa bersalah padamu." Lalu Heaven menatap River dengan sorot minta maaf. Pemuda itu menarik napas dan menyiapkan diri.

"Aku menerima permintaan maafmu," katanya. "Uh, sebetulnya, aku juga tidak tahu sudah berapa banyak kekejian yang terpaksa kulakukan untuk bertahan sampai titik ini. Saat masih menjadi monster, rasanya semua tindakanku berbobot sama; baik atau buruk, aku tidak peduli karena aku telah berubah menjadi makhluk yang tidak memiliki kesadaran untuk menghitung dosa perbuatan. Sekarang, sebaliknya, semua hal entah bagaimana terasa penting untuk kupikirkan. Kau tahu, Heaven. Aku mengingat Beatrice, senyum lembutnya, perhatiannya, juga celotehnya mengenai janji dan keajaiban. Sulit sekali untuk mempersiapkan diri bahwa sebentar lagi aku akan menemui orang-orang seperti Beatrice di dalam penjara, tetapi aku terpaksa harus meninggalkan mereka karena terbentur status kesehatan."

"Kita tidak punya pilihan, bukan?" Heaven tersenyum lemah.

"Kau benar. Kita terpaksa harus melakukannya."

"Kuharap Claude dan kawan-kawanmu tidak kaget mendengar rencanaku," kata Heaven, lalu menatap jendela di hadapannya yang menampakkan langit malam. "Malam ini kau mengunjungi lagi sel mereka, kan?"

"Ya. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menjadi subjek eksperimen fertilisasi."

"Menurutmu mereka akan melakukannya?"

"Tidak ada yang mau menjadi subjek di eksperimen kacau seperti itu. Yang benar saja," kata River. "Tapi mereka tidak akan sempat dibawa pergi. Kita akan kabur sebelum eksperimen itu dilaksanakan, iya kan?"

"Inginku seperti itu, tapi aku khawatir kita akan mengulur waktu lebih lama," kata Heaven, mengetuk-ngetukkan jari di permukaan meja. "Masih belum terpikirkan bagaimana cara membawa semua tawanan pergi ke Black Hawk. Kita harus melawan puluhan monster yang bisa menyerang membabi buta dari segala arah. Dan, percayalah, kawan-kawanmu pasti akan kewalahan. Terakhir kali aku melihat Claude melawan enam monster seorang diri, dia berakhir sekarat. Sungguh ajaib melihatnya sembuh dengan luka sedemikian parah."

"Bagaimana bila mempersenjatai semua orang dengan pistol?" kata River. "Itu bisa mengurangi dampaknya."

Heaven mengangguk kecil. "Itu memang yang kupikirkan. Tapi sebetulnya ada cara yang lebih efektif lagi, kendati terasa amat sulit dan mustahil."

"Apa itu?"

"Merekrut pengkhianat," kata Heaven. River mengernyit tidak paham, dan wanita itu melanjutkan. "Kita bisa mencari bawahan Janeth yang bisa diajak bersekongkolโ€•para kru monster, penjaga markas, petugas laboratorium, atau siapa pun itu. Mereka bisa melancarkan misi kita untuk membimbing semua tawanan dan mengarahkan kita ke Black Hawk. Kita akan lebih beruntung bila menemukan sopir yang berlisensi untuk mengendarai helikopter itu, tapiโ€•yang lebih penting daripada itu, kita bisa memanfaatkannya di lebih banyak hal."

"Apa kau saja tidak cukup?" River menunjukkan raut gelisah.

"Pergerakanku diawasi ketat oleh Janeth. Dia masih bisa mengendus potensiku untuk berkhianat, terutama karena aku sempat membujuknya untuk membatalkan eksekusi Claude dan kawan-kawan. Aku khawatir Janeth mulai curiga karena aku menaruh simpati yang sia-sia pada Claude."

River menggosok dagunya sembari berpikir. "Baiklah. Mengajak orang dalam untuk bersekongkol, ya. Sepertinya aku tahu apa yang harus kulakukan."

Heaven mengerutkan kening. "River, aku tidak ingin kau sembrono lagi dalam melakukan sesuatu."

Kalimat itu membuat River nyengir, seakan watak jeleknya baru saja terlucuti. "Beri aku kesempatan untuk melakukan sesuatu sendiri," katanya, lalu bergerak ke pintu kamar, hendak menyelinap keluar. Sebelum mendorong pintu, pemuda itu berkata lagi pada Heaven, "Kau mau tahu satu fakta tentang German shepherd? Mereka ada di urutan teratas sebagai anjing paling cerdas dan percaya diri. Minusnya, mereka memang keras kepala saja."

-oOo-

"Eksperimen fertilisasi?"

Semua kawannya di balik sel tampak terkejut mendengar keseluruhan rencana yang disampaikan River. Sementara si penutur hanya manggut-manggut seraya tidak berhenti mengentakkan kaki di tanah. Benaknya sejak tadi diserang gelisah karena harus bercerita panjang lebar sambil berpacu melawan waktu. Waktu kunjunganmu hanya lima menit, begitulah yang disampaikan Heaven.

"Sejak kapan dia punya ide gila untuk mengembangbiakkan anak-anak monster?" Isaac menyemprot protes, lalu mengisi mulutnya dengan suapan daging mentah pemberian River. Di balik kemarahannya yang menggebu, tersimpan raut cemas ketika mendengar kejahatan apa yang selama ini dilakukan Janeth.

"Sebenarnya sejak awal, Janeth memang mengembangkan proyek eksperimen itu. Hanya saja aku baru sempat memberitahu kalian karena sejak kemarin-kemarin kita tidak punya momen tepat untuk membicarakannya," kata River lirih. "Yeah, aku tahu tentang proyek ini karena mulanya Janeth juga pernah menangkapku untuk ikut eksperimen itu."

Juan yang berdiri di dekatnya langsung tersentak. "Apa yang mereka lakukan padamu?"

"Mereka memaksaku berhubungan dengan seorang wanita, tapi tentu itu tidak terjadi. Aku berhasil kabur." River ingin mengungkap rahasia kepada kawan-kawannya bahwa sekarang dia bukanlah monster lagi. Namun, niatnya urung. Mendadak dia sadar bahwa pengakuannya pasti akan menimbulkan kegemparan baru. Situasi ini tidak pantas dikacaukan olehnya. River tidak mau dianggap beban tim.

"Sejauh ini, apakah eksperimen itu berhasil?" tanya Gareth, memecahkan lamunan River.

"Belum ada yang berhasil," jawab River, "tapi sekarang Janeth sudah memiliki agenda ayahnya Claude. Kemungkinan dia sudah mengetahui cara terbaik untuk menyempurnakan serum, jadi eksperimen fertilisasi itu cepat atau lambat akan segera dimulai lagi, dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Kalian saat ini adalah orang yang tepat untuk menjalaninya."

"Berengsek," rutuk Claude. "Kalau begitu kita harus segera pergi dari sini sebelum nenek sialan itu menggiring kita pergi ke laboratorium eksperimen."

"Itu benar, makanya Heaven membuat rencana untuk kabur," kata River, lalu menceritakan rencana penyelamatan korban tawanan dan pelarian menggunakan Black Hawk. Seusai menyalurkan seluruh informasi tanpa ditutup-tutupi, ekspresi semua anggota tampak kecut pada bagian "memusnahkan para perempuan dan anak-anak yang sakit". River tahu dia akan menghadapi pernyataan tidak setuju dari beberapa anggotanya, tetapi dia langsung menyela, "Kalian bisa bicarakan rencana ini nanti-nanti, setelah aku pergi. Tapi yang lebih penting dari itu, percayalah bahwa Heaven sudah merencanakannya dengan matang. Kita tidak punya pilihan."

"Aku tahu. Harus ada sesuatu yang dikorbankan bila kita ingin memutus rantai wabah," kata Claude. Wajahnya berubah muram dan pedih. Akan tetapi, dia terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Omong-omong," River yang tidak menangkap ekspresi Claude, langsung mengalihkan percakapan agar kawan-kawannya tidak berlarut memikirkan kekejian rencana penyelamatan yang digagas Heaven. "Kalian sudah mencabut implan sesuai perintahku kemarin, bukan?"

Gareth secara otomatis meraba tengkuknya. "Sudah. Untungnya tidak ada situasi yang membuat kami harus berpura-pura kejang demi menutup kecurigaan para petugas. Bayangkan. Selama ini kami rela menuruti perintah Wayne hanya agar dia tidak menekan tombol remote di sakunya."

Entah bagaimana River mendengkus tertawa mendengar cerita ini. Dia tahu betul bahwa Wayne adalah bocah remaja labil yang banyak mau. "Sabarlah sebentar, oke? Sebentar lagi aku akan melakukan sesuatu pada bocah itu."

"Apa yang mau kau lakukan?" Juan menyipitkan mata curiga.

Akan tetapi River tidak punya banyak waktu untuk menjelaskannya. Ini sudah hampir lima menit. Dirinya harus segera pergi dari tempat ini sebelum kamera pengawas dinyalakan kembali. Pemuda itu menggigit bibir, lalu berkata buru-buru. "Claude dan Juan, bukankah kalian dekat dengan Wayne?"

"Tidak seberapa dekat," kata Juan. "Orang itu bukan temanku lagi."

"Dia sebenarnya cukup bisa diandalkan," kata Claude terus terang. River menatapnya dengan limpahan rasa ingin tahu, lalu Claude melanjutkan, "Maksudku, dia terlalu lemah untuk membela diri, jadi dia bisa menempel pada siapa pun dan rela menjadi anjing penurut hanya demi mendapatkan jaminan keselamatan."

River menjentikkan jarinya di hadapan Claude. "Bagus. Itulah yang kubutuhkan; seekor anjing penakut yang akan menjadi kaki tangan German shepherd."

"Apa maksudmuโ€•hei!"

Seruan Claude diabaikan mentah-mentah lantaran River malah melengos pergi dari sel penjara mereka.[]

-oOo-

.

.

.

.

Hayooo, kira-kira Bang River ada rencana apaaan~

Btw buat yang nggak tahu german shepherd itu ras anjing yang sering dimanfaatkan polisi yaah. Mereka dikenal sebagai anjing cerdas, loyal, percaya diri, waspada, penuh semangat, dan biasanya tugasnya untuk membantu/melindungi warga sipil yang terluka. Mereka juga sering digunakan sebagai pembawa pesan dan membawa perbekalan. Cocok banget sama peran River di sini awkowkowkwok ๐Ÿ˜‚

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top