34. The Origin of a Nickname

-oOo-

"KALIAN kelaparan, bukan?"

Pertanyaan Wayne bagaikan ritmis hujan yang membentur batu kering di tengah gurun. Kehadirannya, seperti halnya salju pertama yang menyentuh kemarau berkepanjangan, dinanti-nanti oleh sekelompok penghuni penjara yang meringkuk lemas di dalam sel. Tidak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang luput dari disfungsionalitas sel akibat kelaparan yang melanda. Inilah salah satu alasan terbesar mengapa kekuatan regenerasi para monster tawanan mengalami penurunan; mereka sudah lama tidak makan.

Tampak bagaikan serigala ringkih yang memohon belas kasihan kepada pemburu, Juan menggapai-gapai di antara celah besi. Bibirnya yang kering dan terkelupas-kelupas berdesis lirih, "Wayne, tolong kami ... keluarkan kami."

"Ya, ya, kau lapar, bukan, kawanku?"

Wayne membuka pintu jeruji dan mendorong masuk satu baskom besar berisi karkas misterius. Potongan-potongan daging itu masih berlumur darah, berbau seperti rendaman besi dan tulang-belulang. Semua orang di dalam sel kurungan menatap isi di dalam baskom itu dengan sorot campur aduk―kelaparan sekaligus ngeri. Berhasrat sekaligus jijik.

"Makanlah. Sudah lima hari kalian tidak menyantap apa pun," Wayne berkata muram. Dia tidak memedulikan Juan yang menatapnya dengan sorot seperti serigala terluka. Dia bahkan tidak menyambut ujung jemari Juan yang mencubit celana kainnya dengan sisa harapan yang menggantung. Tanpa repot-repot menunjukkan simpatinya, Wayne menutup pintu penjara hingga berbunyi keriut nyaring.

Claude, yang duduk menyempil di antara dua sudut dinding, bertanya curiga, "Apa yang ada di dalamnya?"

"Apa itu penting? Yang kalian butuhkan saat ini adalah makanan," kata Wayne.

Isaac menjulurkan leher sedikit untuk memeriksa baskom. Baunya sama sekali tidak mirip dengan binatang buruan yang biasanya mereka santap dari hutan. Baunya lebih menyengat. Lebih mirip sesuatu yang selama ini mereka hindari....

"Kalian pasti suka," kata Wayne, terdengar gugup. "Dia adalah subjek delapan belas kami."

"Apa?" Semua orang memasang tampang curiga.

"Namanya Beatrice."

Untuk sesaat, ruangan itu diselubungi ketegangan yang mengerikan. Kata-kata Wayne meresap cepat di benak, seketika membuat semua orang ingin muntah dan berteriak protes. Isaac, yang menahan-nahan emosinya agar tidak meledak, berkata, "Bisakah kau memberikan sesuatu yang lebih manusiawi?"

"Manusiawi, katamu? Memangnya kalian ini pantas disebut manusia?"

"Wayne. Hanya kau yang bisa membantu kami," Juan menyela kecil. "Kalau kau tidak bisa mengeluarkan kami, setidaknya beri kami sesuatu yang layak untuk dimakan."

"Kami hanya mampu menyediakan itu," kata Wayne.

"Kami tidak bisa memakannya."

"KALAU BEGITU JANGAN DIMAKAN!" bentak Wayne, meluap-luap dengan suara bergetar. Teriakannya diselingi ludah yang muncrat dan raut buas seperti orang sinting, "Jangan suruh-suruh aku lagi, sialan! Aku ini bukan budakmu! Aku akan menentukan nasib untuk dunia ini setelah kalian semua tersungkur dan memohon belas kasihanku! MAKANLAH ATAU MATI KELAPARAN!"

Protes itu diakhiri dengan tindakan Wayne yang mendadak berputar pergi. Bersama gedebuk-gedebuk langkah penuh kemarahan, punggungnya perlahan tersedot ke dalam kegelapan. Setelah sunyi kembali melanda, barulah Gareth bertanya kebingungan, "Ada apa dengan bocah sial itu, sih? Kenapa dia sensitif sekali belakangan ini?"

"Sepertinya dia sedang dikuasai delusi untuk menguasai dunia," Isaac menyahut.

"Ha. Kuasai saja dunia ini. Aku sudah tidak peduli."

Kemudian Juan mendorong tubuhnya bangkit, merangkak menuju baskom. Dia menatap gumpalan menjijikkan di dalamnya sambil menelan ludah. Matanya bergetar di dalam rongganya yang cekung dan menghitam, menyiratkan geletar nafsu yang hampir tidak terkendali seandainya akal sehat dan rasa malu tidak menjegalnya ke lubang kewarasan. Namanya Beatrice, begitulah kata Wayne. Potongan tidak berbentuk ini dulunya adalah manusia, disempurnakan oleh subtansi otak dan nyawa yang mendukung hidupnya selama belasan atau mungkin puluhan tahun, digerakkan oleh emosi bernama duka dan tawa. Harapan, ketakutan, dan angkara dari seorang wanita yang sehat dan bugar. Betapa aneh mengetahui sekarang tubuh itu menjelma menjadi makanan monster, yang disajikan berantakan di dalam baskom kumuh dengan pinggiran pecah-pecah.

"Kurasa kita tidak punya pilihan lain, iya, kan?" Juan bergumam kacau. Matanya pedih menahan tangis.

"Tidak. Ini salah." Claude mengusap wajah, diliputi kemuraman dan rasa dipermalukan.

"Aku lapar sekali," kata Juan, hampir merengek.

Potongan Beatrice memanggilnya. Darah di dalamnya, kental dan menggumpal. Baunya mengirimkan aroma amis yang samar. Perut kosong mereka dirobek dengan rasa sakit, seolah-olah ada spatula yang mengaduk usus dan lambung lalu memuntirnya dengan bengis. Sekejap kemudian, mereka menunjukkan tanda-tanda kegilaan yang serupa. Gareth menggigiti bibir bagian dalamnya sehingga dia mengecap darah di dalam mulut, sementara air mata Isaac mengalir di wajah, padat oleh ketakutan dan hasrat monster yang meliar.

"Mereka sengaja menyiksa kita untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa," kata Claude. "Kita tidak mungkin memakannya. Dia ... dia manusia, sama seperti kita."

"Kita benar-benar bisa mati kalau tidak makan," kata Isaac.

"Kita harus menunggu bantuan!" Claude membentak lagi, tersengal-sengal. Suaranya bergetar karena rasa haus yang menyobek tenggorokan. Sudah tidak tersisa tenaga di dalam tubuhnya sehingga dia bahkan tidak bisa mengangkat kaki. Bantuan? Bantuan apa? Apakah Heaven akan menepati janjinya? Apakah Heaven akan mencari kami sampai kemari? Apakah kami telah ditinggalkan?

"Aku goyah, Claude. Aku goyah...." Juan bersujud putus asa, menekankan keningnya di lantai yang lembab. Air matanya menetes diiringi gelombang isakan tidak terkendali. Mendadak saja, semua ini membuatnya hancur. Apa yang harus dilakukan saat segala bentuk harapan diputus, rasa aman direnggut, dan akal sehat telah dirusak oleh ketakutan untuk mati dalam penderitaan, sehingga satu-satunya pilihan yang ada saat ini adalah terjun ke belukar kegilaan baru untuk menyantap tubuh sesamanya?

Dalam gelombang tangis yang menderu-deru, Juan melolong pedih di dalam hati;

Ya Tuhan, aku lapar. Aku lapar sekali. Tolong aku, Ya Tuhan ....

-oOo-

"Aku menepati janjiku."

Suara Janeth menggema di ruang kerja yang hanya berpenerangan lampu berdaya rendah. Di seberang mejanya, Heaven duduk di atas kursi seraya memangku seorang bayi laki-laki yang baru tertidur―Sean, yang kelihatannya telah digerogoti ketakutan dan kelaparan akut sehingga membuatnya tampak lebih kurus dari berbulan-bulan sebelumnya. Anak itu tidur sambil mengisap jempol tangannya yang terbasuh debu dan kotoran.

"Sean sudah kuberikan, sesuai janji. Kau bisa percaya sepenuhnya kepadaku."

"Lantas apa lagi rencana Anda, Doktor?" Heaven berusaha terdengar pasrah. "Aku sudah memberikan apa yang Anda inginkan―buku itu. Seharusnya itu cukup untuk melepasku, bukan?"

"Tidak, Vivy. Tidak. Aku mencium potensi pengkhianatan dalam dirimu."

Kalimat itu menonjok perut Heaven dengan keras. Namun, dia berusaha menjaga ekspresi wajahnya. "Apa maksud Anda?"

"Mengapa kau datang kemari bersama putra Marcus? Apa kalian merencanakan sesuatu di belakangku?"

Jari telunjuk Heaven mengetuk lutut pelan-pelan, seirama denyut jantungnya. Ruangan ini terasa sempit dan menyesakkan. Berdua saja dengan Janeth membuatnya dikerubungi rasa cemas, terutama saat memandang kedua matanya yang sedingin es. Mata yang beku oleh simpati.

"Dia menyelamatkanku saat aku diserang monster di hutan," kata Heaven hati-hati. "Kebetulan saja kami memiliki tujuan yang sama untuk pergi kemari, sesederhana itu. Aku tidak sempat mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah putranya Marcus. Kami hanya berbagi kapal kemari."

"Kau tidak menanyakan tujuannya kemari?"

"Dia bilang dia ingin menjemput kawan-kawannya."

"Kau tidak bertanya dari mana dia mendapat informasi tempat ini?"

Heaven terdiam sejenak, agak ragu. Janeth pasti akan tambah mencurigai dirinya bila dia menjawab tidak tahu. Memang dari mana lagi Claude mendapatkan informasi tentang Bosevill?

"Katanya ... dia sempat mendatangi Domehall. Dia datang ke sana untuk menyelidiki informasi tentang para ilmuwan yang dulunya tinggal di Forbs. Orang-orang di sana memberinya petunjuk soal dirimu."

"Kau tidak tahu siapa Claude, siapa dia, dan tidak dirudung kecurigaan sedikit pun?"

"Sebetulnya aku agak curiga, tapi dia memang tidak mengatakan apa-apa. Dan karena dia menunjukkan sikap apatis, aku pun memberikan reaksi sama. Kebungkamannya adalah alasanku mempertahankannya. Dan karena dia pernah menyelamatkanku satu kali, aku memberinya kesempatan untuk ikut denganku tanpa rewel."

"Dia pernah menyelamatkanmu satu kali," kata Janeth. "Apakah kau dibebani balas budi untuk membalas pertolongannya?"

"Anda mengenalku," Heaven membalas mantap. "Aku bukan orang yang sebaik kelihatannya."

"Mereka memanggilmu Red Viper, bukan?" Janeth mendengkus, tetapi sikap tubuhnya mulai melunak, seolah dia tidak lagi memelihara kecurigaan setajam tadi. "Ular Merah Beracun. Merah pasti dari warna rambutmu yang menyala itu."

Kau Rubah Api. Rubah Api-ku. Rambutmu menyala merah seperti api abadi.

"Ya," kata Heaven.

"Aku mau tahu, Vivy," Janeth mendekatkan wajahnya pada Heaven. "Sampai detik ini aku tidak tahu mengapa para prajurit di Forbs menjulukimu Red Viper."

Jadi, kenapa kau disebut Red Viper, Heaven?

"Karena aku ular yang beracun. Aku membunuh rekan satu reguku."

Aku ular yang beracun, Claude. Aku menipu rekan satu reguku dalam tugas pertama.

Janeth menyipitkan mata. "Membunuh?"

Menipu?

"Aku mengumpankannya kepada monster hanya agar aku selamat."

Aku berpura-pura mengumpankannya kepada monster agar kami berdua selamat.

Janeth nyaris tertawa. "Kau mengorbankan teman satu regumu sendiri?"

"Satu yang tewas lebih baik daripada dua."

Temanku tidak tewas, Claude, tetapi dia sangat membenciku karena rencana tidak terduga itu. Dia mengutukku sebagai ular, tapi sepertinya ledekannya justru membuat instruktur pelatih mencium kebuasan dalam diriku―sesuatu yang layak dimiliki semua prajurit; seorang ekstremis, orang yang melampaui batas berpikir dan bertindak. Seorang ambisius untuk mencapai tujuan. Seekor ular berbisa.

Janeth tersenyum, amat lebar, sehingga dia tampak seperti menyeringai senang.

"Dasar ular. Kau pembunuh yang licik."

Pantas saja mereka memanggilmu ular. Kau memang penipu ulung.

"Kau tahu, Vivy? Pekerjaan pengkhianat cocok untukmu. Claude pasti sedih karena teman seperjalanannya ternyata adalah ular berbisa yang menusuknya dari belakang," kata Janeth, lalu terkekeh kecil.

Heaven menunduk dan mengusap kepala putranya yang tertidur pulas, lalu berkata, "Aku rela melakukan apa pun demi anakku."

"Aku cukup terkesan." Kemudian Janeth memundurkan kursinya. Dia merunduk pada laci di bawah meja dan merogohkan tangan di dalamnya. Sekejap kemudian melempar sesuatu pada Heaven, yang langsung diraup dengan tepat.

Sebuah cardlock.

"Kau memberiku kunci?" Heaven menaikkan alis.

"Pergilah ke gedung sebelah timur. Lantai dua, pintu pertama dari sisi lorong sebelah kiri." Lalu Janeth menghadap Heaven dengan luapan kepuasan. "Gudang senjata. Kau bisa dapatkan apa yang kau butuhkan di dalam sana."

Jantung Heaven berdebar ketika mendengarnya.

"Besok, kau akan menjadi sersan yang akan memimpin semua regu prajuritku. Secepat mungkin kalian akan kuterjunkan ke wilayah kota untuk menculik lebih banyak perempuan dan anak-anak. Kita telah kehabisan orang untuk bahan percobaan."

"Bahan percobaan?"

"Kau akan tahu sendiri nanti, Red Viper. Sekarang keluarlah dari ruang kerjaku sebelum anakmu terbangun. Aku benci mendengar tangisan bayi."

Heaven tidak bertanya lebih banyak lagi. Maka wanita itu melenggang dari pintu dan mampir sejenak ke kamar tidurnya yang berada tidak jauh dari ruang kerja Janeth. Setelah menghamparkan Sean di atas kasur keras yang berbau debu, dia kembali keluar dan menuju markas senjata.

Tempat itu berada di gedung berbeda. Di tengah sinar matahari yang menyingsing, Heaven melewati rute luar yang diapit semak belukar dan pepohonan, lalu masuk melalui pintu yang dijaga seorang petugas pemalas yang ketiduran di kursi. Mentang-mentang keadaan di sini sepi, dia bisa seenaknya luput dari pekerjaan? Pengawasan di tempat ini betul-betul lemah.

Heaven mengabaikan petugas itu dan langsung menggeluyur masuk, menaiki tangga menuju lantai dua. Dia menekan cardlock pada sensor kunci, mendorong pintunya ke dalam, lalu menahan napas―terperenyak menatap kotak-kotak kayu yang ditumpuk dan masih disegel. Di ujung ruangan, ada beberapa kotak besi berpengaman yang sepertinya berisi senjata lebih berbahaya―kemungkinan dazzler, pistol pelumpuh, atau granat. Wanita itu bertanya-tanya bagaimana Janeth bisa mendapatkan persediaan senjata sebanyak ini, di tempat yang pada dasarnya sudah mengalami kekacauan pada level yang tidak tertolong lagi. Kecuali bila orang itu bekerjasama dengan pihak luar atau kementerian militer luar negeri, artinya dia sudah memakai seluruh keberuntungannya untuk mendapatkan harta berharga ini.

Heaven menghampiri sebuah kotak kayu yang sudah dibuka, di atas kabinet yang menghadap jendela. Saat dirinya menyusupkan tangan ke dalam kotak, mendadak saja sensor kewaspadaannya beraksi; seseorang hendak menyergapnya dari belakang.

Berengsek.

Wanita itu lekas menarik pistol dari dalam kotak lalu langsung berputar, menghantamkan popornya kuat-kuat pada musuh idiot yang mencari masalah dengannya. Prak! Bunyi benturan mengerikan bergaung di udara. Sosok itu terbanting dengan kasar di lantai, berguling miring seraya memegangi sisi kepalanya.

Seraya menodongkan mulut pistol kepada korban busuk itu, Heaven berlutut, lalu secara galak menarik bahu si penjahat agar dia bisa melihat wajahnya.

Nada suara Heaven terselip irama kebingungan dan ketidakpercayaan;

"River?"[]

-oOo-

.

.

.

.

.

Enggak sabar nie mau ke puncak pertarungan. Tapi hati-hati kejegluk batu ya ges. Alias siap2 dapat kejutan daricu 🥰

Btw menurut kalian, siapa orang yang bisa atau enggak bisa dipercaya di cerita ini?

Siapa korban selanjutnya?

Siapa pemenang di akhir perebutan serum nanti?

Apa yang terjadi sama virus Kureiji di ending season 2 ini?

Kalau kalian ngikutin dari awal, biasanya udah bisa memprediksi sedikit-sedikit endingnya xixixixixi

Atau kalian tim menikmati saja yang penting aku update? 🤣🤣

Btw udah pada beli season 1 belum? PO nya masih jalan yaa 😀🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top