33. The Traitor Undercover

-oOo-

PINTU kurungan dibuka. Seorang petugas menendang Claude ke penjara di baliknya.

"Claude?" Seruan lirih Juan menyela bising keriat jeruji besi yang didorong menutup. Begitu penjaga berlalu pergi, semua orang mengerumuni Claude yang terkapar di tanah dengan posisi tengkurap, tampak tidak sadarkan diri.

"Claude! Astaga, ini benar Claude!"

Gareth membalik tubuh Claude lalu mengguncang dadanya dengan keras. Dia menampar pelan pipi Claude sampai terdengar lenguhan, disusul kelopak mata yang bergetar membuka.

"Claude! Bagaimana kau bisa di sini?"

Juan membantu Claude duduk di antara mereka. Untuk sejenak, pria itu tampak linglung seolah baru saja menenggak obat bius. Selewat beberapa saat, kesadarannya berangsur pulih. Reaksi pertama Claude ketika melihat ketiga kawan lama yang mengerumuninya adalah igauan konyolnya yang menganggap ini mimpi. Gareth menamparnya lagi agar Claude benar-benar sadar. "Buka matamu, tukang tidur! Bagaimana kau bisa sampai kemari?"

"Aku datang bersama Heaven, menaiki kapal," kata Claude seraya mengusap wajahnya yang meredup letih. "Di mana Heaven?"

"Hanya kau yang dibawa kemari," kata Isaac. "Apa yang mereka lakukan pada kalian berdua?"

Kening Claude mengerut mengingat-ingat kejadian sebelum ini; Kedatangan. Suara tembakan bertubi-tubi. Wayne.

Kemudian arsip memorinya terbuka dengan cepat; Di tepi pantai, seseorang menembak lutut Claude sehingga dia tidak bisa melakukan tranformasi ke wujud monster. Heaven mengalahkan tiga di antara mereka dengan tangan kosong, tetapi limitasi rencana membuat segala upayanya tampak gegabah sehingga berujung kegagalan. Sebab keduanya tidak tahu bahwa mereka akan diserang sesaat setelah menginjak Bosevill. Empat pria tidak dikenal tahu-tahu muncul dari hutan, berubah wujud menjadi monster, lalu menyerang mereka balik. Dalam keadaan linglung akibat babak belur, Claude terus menatap Wayne, adiknya yang selama ini dia anggap telah tewas karena ledakan. Wayne tidak mengatakan apa-apa. Hanya mengawal para petugas yang menyeretnya ke sebuah lokasi asingโ€•tempat kekacauan yang lebih masif meledak ruah.

"Kau baik, Bung?" Juan menekan bahunya dengan cemas.

"Ya, ya, aku ingat semuanya," kata Claude, terbatuk-batuk. Dia merasa tubuhnya berat dan tidak bertenaga. "Sebelum datang kemari, aku dibius. Begitu sadar, mereka memberiku ancaman ... katanya kepalaku bisa meledak dan badanku bisa hangus kalau aku mencoba mencari tahu apa yang aneh."

"Mereka menanamkan implan di tubuh kita. Wayne memegang remote-nya, dan setiap kali kita berbuat ulah, dia akan menekan tombol sialan itu untuk memulai siksaan," kata Juan. "Nah, ceritakan dulu, Claude. Bagaimana kau bisa tahu lokasi kami?"

"Aku mendapat lokasi kalian dari teman Heaven yang tinggal di Domehall. Namanya Winter."

Kalimat pertama tersebut menjadi pembuka dari keseluruhan cerita Claude. Juan, Gareth, dan Isaac mendengarkan dengan saksama. Sesekali mereka akan secara bergantian mengintip ke balik celah jeruji untuk memastikan tidak ada yang datang untuk menyela kesaksian Claude. Setelah membocorkan upaya panjang mereka, sampailah Claude pada berita duka tentang gugurnya Euros dan Nathaniel. Reaksi kawan-kawannya pun sama persis seperti bayangannya. Seperti kejatuhan musibah meteor dari langit, Gareth dan Isaac mendadak berwajah muram, sementara Juan menjatuhkan rahang dan menatap nanar Claude.

"Kau tidak mengada-ada, kan?" Suara Juan terdengar bagai rintihan bercampur kengerian. Gareth khawatir anak itu akan meledak-ledak tidak terima, jadi dia mengusap punggungnya untuk menenangkan.

"Tidak mungkin aku sengaja berbohong untuk membuat kalian sedih," balas Claude.

"Euros, astaga," Juan menunduk untuk mengusap wajah. Seketika saja, semua memori terakhirnya bersama Euros melintas di benaknya, seperti pecahan gambar pudar yang mulai menguning dan luntur oleh waktu. Kedekatan mereka sejauh ini dijembatani situasi buruk dan potensi kematian yang sama besar. Mereka telah bersama di waktu-waktu yang rapuh dan keadaan yang menyiksa. Lantas di antara banyaknya cara untuk berpisah, mengapa Euros harus tewas sebelum Juan dapat menemuinya?

"Dia diserang monster saat ingin menyelamatkan Nathaniel," kata Claude dengan berat. "Nathan bilang dia sudah menguburkan jasad Euros di dekat sungai. Tidak lama setelahnya, kami bertemu Nathan. Saat itu dia sedang menahan luka di perut, lalu memutuskan untuk tidak ikut menyeberang karena ... karena dia merasa waktunya sudah dekat. Lukanya bukan sesuatu yang bisa kami sembuhkan. Dia takut menjadi beban tim, jadi kami terpaksa meninggalkannya di dekat pantai."

"Sial, kenapa mereka harus pergi tiba-tiba?" Gareth memprotes, walaupun dia tahu Claude tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.

Suasana diselimuti kemuraman yang pekat. Kemudian, situasi dipecahkan dengan celetukan Claude, "Di mana River?"

Gareth memberitahukan apa yang terjadi sebelum ini. Dia bercerita bahwa River mengorbankan diri untuk membuat pertarungan melawan monster berhenti, lalu menukar dirinya dengan Isaac sehingga kawannya tersebut dapat kembali bersama mereka dalam keadaan utuh. Juan, yang kelihatannya belum bisa menerima aksi nekat abangnya, terlalu terguncang untuk mengikuti pembicaraan ini. Seolah kematian Euros belum cukup, dia juga harus menghadapi ketakutan atas menghilangnya River.

"Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi ...." Gareth memejamkan mata dan menyiapkan diri. "Dia sudah tidak muncul lagi belakangan. Wayne sempat datang kemari, dan kami menanyakan di mana River. Namun dia hanya menatap tidak minat dan menyuruh kami untuk merelakan saja."

"Abangku belum tewas," Juan mendesis menahan marah. Tangannya terkepal kuat di antara pangkuannya. "Dia tidak mungkin mati begitu saja. Aku yakin mereka hanya mengurungnya di tempat terpisah dan hendak menggunakannya untuk suatu rencana. Bukankah sudah sejak lama Janeth mencari Claude? Aku memikirkannya berkali-kali, mungkin Janeth memaksa River untuk menyelidiki keberadaan Claude."

Tatapan Juan terpancang pada Claude. Ada kilat depresi yang merubungi wajahnya. Namun bisa jadi itu adalah kerut penuh pengharapan dari makhluk yang telah tersiksa bertahun-tahun cahaya.

"Sekarang Claude ada di depan kita," kata Gareth, dengan nada minta maaf. "Seharusnya mereka mengembalikan River juga."

"Mungkin mereka akan mengembalikannya nanti," kata Juan. "Kau tidak lihat River, Claude? Mendengar pembicaraan tentangnya walau hanya sekelumit saja?"

Claude menggeleng.

Juan membungkuk seraya menutupi wajah. Tangannya meremas rambut sendiri dengan frustrasi. "Tidak, ayolah. Aku tidak bisa menerima ini. Euros sudah tewas. Aku akan hancur bila abangku juga ...."

Isaac mengusap-usap punggungnya. "Juan, tenanglah. Masih belum lama sejak Claude datang bersama kita. River bisa jadi masih hidup."

"Kita harus segera keluar dari sini," Juan berdesis amat lirih. "Mereka akan mengurung kita sampai mati. Mereka bahkan tidak memberi asupan apa pun semenjak kita datang kemari."

Tersirat nada letih dalam suara Gareth, "Claude, bagaimana? Kau punya rencana? Kami sudah mencoba menghancurkan jeruji ini dengan kekuatan monster, tapi alarm peringatan keburu berbunyi sebelum kami bisa benar-benar berubah. Apa yang terjadi selanjutnya langsung bisa ditebak."

"Selama kita berada di dalam sini, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Wayne sulit diajak bekerjasama. Padahal kami kira dia bisa menjadi penolong," Isaac menambahkan.

Saat Claude masih belum bereaksi apa-apa, Juan bertanya penasaran, "Kau dikurung di penjara ini karena menolak keinginan Janeth, bukan?"

Claude mengangguk, lalu pertanyaan kedua datang dari Gareth. "Apa yang mereka inginkan?"

"Mereka ingin agar aku membocorkan data formula dan cetak biru dari serum perubahan, tapi aku tidak tahu apa-apa soal itu."

"Mereka pasti kesal sekali," Isaac mendengkus, agaknya ikut senang.

"Walau aku tidak tahu, semua informasi itu sebetulnya tercatat lengkap di buku agenda milik ayahku."

Ketiga kawannya seperti terbetik kegelisahan baru.

"Kau tidak memiliki bukunya, kan?"

"Tidak," kata Claude, tegas. "Tapi Heaven memilikinya."

Aku memilikinya, Claude.

Gareth dan Juan sama-sama berseru, "Apa?"

"Dia mencuri buku ayahku dari penginapan, setahun lalu."

Aku mengambil buku ayahmu di penginapan.

"Dia mencurinya?" Kejengkelan di raut ketiga kawannya semakin kentara. "Tapi selama ini dia bersama kita. Mengapa dia tidak sekalipun menyebut barang itu di hadapanmu? Dia pasti tahu betapa berharganya buku itu bagi kita!"

"Karena selama ini dia tidak memercayai kita."

Aku punya rencana lain.

"Dasar berengsek!" Gareth meninju lantai di bawahnya dengan geram.

"Dia mengkhianati kita, Claude!"

Rencana ini hanya antara kau dan aku, Claude. Jangan pernah memberitahu siapa pun untuk mencegah hal-hal buruk terjadi ke depannya. Termasuk kepada kawan-kawanmu. Bila mereka menganggapku pengkhianat, biarkan saja. Ini jauh lebih baik ketimbang ada satu di antara kalian yang terpaksa membocorkan rencana karena Janeth mengancam mereka. Jalang keparat itu bermain sangat halus.

"Ya," kata Claude, menahan getir di lidah. "Dia mengkhianati kita." Pandangan matanya melirik perangkat mata-mata di sudut langit-langit.

Dan inilah rencanaya, Claude; aku akan berpura-pura memberikan buku ini kepada Janeth.

"Mengapa dia tega memberikan buku itu pada Janeth?" Gareth mendesak.

"Karena dia tidak ingin kehilangan putranya."

Aku harus menolong Sean. Aku harus mendapatkan Sean dahulu, lalu aku akan memikirkan cara untuk menolong kalian semua.

"Putranya? Maksudnya dia sudah punya anak?"

Claude mengangguk. "Janeth sejak awal tahu bahwa buku itu ada di tangan Heaven. Itulah mengapa dia menculik putranya saat berkunjung di Domehall beberapa bulan lalu. Temannya, Winter, adalah orang yang menjadi penyalur pesan. Dia mengatakan pada Heaven bahwa Janeth menantangnya secara khusus untuk datang ke Bosevill. Berikan bukunya, atau bayi tidak bersalah ini akan tewas karena keegoisan ibunya. Kira-kira seperti itu ancamannya."

Juan mendengkus jijik. "Apa itu juga menjadi sebab mengapa Heaven tidak mengatakan padamu bahwa dia memiliki bukunya?"

Claude mengangguk. "Dia khawatir aku akan merusak bukunya kalau dia mengaku."

Aku minta maaf baru mengatakannya sekarang. Aku tidak mau kau menghalangiku untuk bertemu Sean.

"Dia lebih mementingkan anaknya dibandingkan nyawa seluruh umat manusia yang tersisa di dunia ini?"

Claude mendesau berat. "Kita tidak pernah tahu sebesar apa kasih seorang ibu. Kadang-kadang cinta memang egois."

Aku juga peduli denganmu, Claude. Aku tidak mau kau kenapa-kenapa.

"Keparat!" Juan memaki bengis. "Jadi, beginilah akhirnya, eh? Selama ini kau melakukan perjalanan sia-sia bersama seorang pengkhianat. Kita sudah kehilangan Euros dan Nathaniel. Mengapa tidak Heaven saja yang mati?"

"Dia menyembunyikan semuanya dengan baik sampai-sampai aku tidak mencurigainya sedikit pun," kata Claude.

Juan mengernyit mendengar jawaban itu. "Lalu bagaimana nasib kita di sini?"

"Kita bisa memikirkan cara lain."

Aku yakin pasti ada cara untuk menyelamatkan kalian. Aku akan mencarinya. Aku janji.

Claude menatap ketiga kawannya secara bergantian. "Kalian percaya padaku, kan?"

Percayalah padaku, Claude.

"Hanya keajaiban yang bisa membuat kita keluar dari sini, dasar bodoh," desis Juan, pekat dengan depresi. "Coba bayangkan. Keajaiban apa yang kalian harapkan terjadi di tempat ini? Aku akan percaya dengan keajaiban seandainya saat ini aku bisa kembali berubah menjadi manusia."

"Ayahku pernah bilang bahwa aku adalah keajaiban," Claude menggali kembali momen lama yang terpendam di arsip ingatannya yang berdebu. "Meskipun saat itu aku tidak tahu bahwa keajaiban yang dia maksud adalah gerbang masuk ke dunia kekacauan baruโ€•tempat di mana spesies manusia yang tidak terkalahkan mulai menjadi objek gairah baru bagi para ilmuwan obsesif yang haus pengakuan. Harus kuakui, kendati aku membenci ayahku, aku memahami benturan moral yang dihadapinya. Sama seperti Heaven yang mengorbankan kita semua demi anak yang dikandungnya, ayahku mengorbankan aku demi membela negaranya. Betapa ironis, bukan? Tidak ada sisi yang benar-benar menjadikan kita pahlawan atau penjahat. Kita semua memprioritaskan sesuatu yang kita anggap penting secara pribadi."

Kata-kata terakhir itu disusul keheningan yang muram. Selewat beberapa waktu, Juan memecahkan tabir kesunyian di antara mereka dengan retorika yang menyinggung; "Itu artinya, kau membela Heaven meskipun dia telah membuang kita, bukan?"

Claude menggetakkan gigi. "Aku tidak membelanya."

"Semuanya terlihat dari ekspresi dan kata-katamu. Kau tidak pandai berbohong, Claude. Kau terlihat tidak membenci Heaven seperti kita semua yang mengharapkan kematiannya," balas Juan, semakin kehilangan kesabaran.

"Aku hanya merasa ini semua semakin tidak penting untuk dipikirkan."

"Tidak penting untuk dipikirkan? Oh, coba lihat. Siapa di sini yang terlihat konyol karena membela seorang wanita yang baru saja membuangnya?"

"Juan," Claude melirik Gareth dan Isaac seolah meminta dukungan. Namun, mereka juga sama-sama diam. "Hei, mengapa tiba-tiba kau memojokkanku seperti ini?"

"KARENA KAU LEMAH!" Juan tahu-tahu mendorong Claude hingga pria itu tersungkur di tanah. Kemurkaan melapisi wajahnya dengan rona ungu gelap, sementara cakar-cakar di tangannya mulai tumbuh menebal dan memanjang. Claude berjengit saat merasakan cakar Juan menembus kulit lehernya, mengoyak dan memuntir dagingnya dengan bengis. Teriakan kesetanan Juan lantas merobek udara; "BUKA MATAMU, CLAUDE! DIA ADALAH PENGKHIANAT! DIA MEMBUAT KACAU SEGALANYA!"

"Juan, hentikan! Kau bisa mengundang para pengawas kemari!" Gareth dan Isaac bersama-sama melerai Juan dari upayanya menghajar Claude, tetapi pemuda satu itu begitu kuat. Kegelapan jiwanya seolah membengkak menjadi sumber kekuatan tidak terkalahkan.

"Juan, kumohon ... lepaskan," Claude menggertakkan rahang seraya mencengkeram pergelangan tangan Juan.

"Aku tidak tahu bagaimana nasib River di luar sana. Teman-teman kita tewas, sementara sersan itu masih hidup. Kau membawanya ke tempat ini dan membiarkan dia mematahkan kepercayaanmu." Suara Juan mengecil menjadi rintihan. Matanya yang berselaput merah mengeluarkan air mata yang membasahi pipi. "Di antara banyaknya korban yang berjatuhan dari pihak kita, mengapa kau sama sekali tidak menunjukkan kebencian atau kemurkaan untuk melawan? Mengapa kau membela Heaven? Mengapa kau berbicara omong kosong tentang keajaiban? Aku kecewa. Aku kecewa padamu, Claude. Berhentilah peduli dengan wanita itu dan cepat keluarkan kami dari sini. Aku tidak mau jatuh korban lagi ...."

Sepertinya, kemarahan yang menggembung dalam diri Juan mengempis kembali akibat didorong kesedihan dan putus asa. Gareth dan Isaac akhirnya mampu memisahkan Juan dari Claude.

Mereka kira Juan akan memprotes untuk terakhir kali, tetapi ternyata pemuda itu mundur menjauh. Dia pergi ke sudut ruangan dan merosotkan tubuh di lantai. Menyembunyikan ekspresinya di balik wajah yang menunduk lemah.

Dalam keheningan yang terbentang di antara mereka, Claude menyadari bahwa dia telah melihat kebenaran dalam tuduhan Juan, bahwa dia lemah dan tidak sanggup untuk menjaga timnya dengan baik. Bahwa dalam keadaan segenting ini pun, dia masih berpangku tangan pada janji Heaven.

Namun Claude kelupaan satu hal.

Dia baru tersadar bahwa dunia sudah bukan tempat yang baik untuk membuat janji.[]

-oOo-

.

.

.

.

Hiaaaa, akhirnya sempet juga update hari ini. Semoga enggak ada typo. Dan selamat membawa, gaewssssss

Ayo main tebak-tebakan, kira-kira sampai berapa chapter lagi hingga novel ini tamat?

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top