32. Gunshots from the Beach
-oOo-
PERCAKAPANNYA dengan Beatrice menyisakan banyak hal.
Tentang dirinya yang sembuh, tentang Juan dan kawan-kawannya di penjara, lalu tentang Claude, Euros, Nathaniel ... dan Heaven. Bagaimana keadaan mereka? Akankah mereka menemukan tempat persembunyian Janeth? Apakah dirinya bisa bertempur menghancurkan markas ini, dalam cangkang manusianya yang lemah dan tidak berguna? Kalau dia rela digigit monster demi mengembalikan rupa ganasnya seperti dulu, itu berarti ... dia akan melewati lagi hari-hari sulit yang membuatnya seperti berada dalam lubang neraka.
Dan River tidak ingin membuang waktu timnya untuk mengurus dirinya yang kelewat merepotkan. Sudah cukup. Pilihan yang tersisa adalah melawan dengan apa yang dia miliki.
"Tentang petugas bodoh barusan. Apa dia selalu rutin mengunjungi sel penjara?"
Beatrice mengangguk. "Ya. Dia memegang kunci sel dan memeriksa sekali dalam setiap hari. Tadi pagi dia sudah mengunjungi selku dan membawaku ke ruang eksperimen, jadi kemungkinan dia akan datang lagi besok. Itu artinya...."
River mengangguk mantap. "Saat ini tidak ada yang menjaga penjara."
"Apa yang mau kau lakukan?"
"Bertemu teman-temanku. Mereka harus tahu aku masih hidup." River menatap Beatrice, lalu berkata menenangkan, "Kau tidak perlu ikut. Informasi barusan sudah cukup membantu."
"Maaf, River."
"Tidak papa." River menyapu pandang semak-semak dan pepohonan di sekitarnya, menelisik tempat persembunyian. Namun, wilayah itu terlalu padat dengan belukar dan udara terbuka. "Omong-omong aku tidak tahu ini di mana. Apa cukup dekat dengan Domehall?"
"Kita ada di sebuah pulau yang aku tidak tahu namanya apa. Aku dan para korban dibawa kemari menaiki black hawk." Kemudian Beatrice menunjuk gedung kelabu yang terletak berseberangan dengan tempat para monster dan manusia dikurung―lokasi awal saat mereka melarikan diri tadi. "Black hawk ada di atas gedung itu. Di dalam sana juga ada laboratorium lain dan markas senjata―lantai kedua dari lorong sebelah kiri, arah pintu masuk. Saat pertama kali datang kemari, aku melihat serombongan prajurit keluar dari sana sambil membawa kotak kayu berisi senapan dan magasin."
"Bagus. Aku memerlukan banyak senjata," kata River. "Satu lagi, Trice. Menurutmu, apakah semua orang di markas ini monster? Kecuali para ilmuwan itu, tentunya. Mereka jangan ditanya. Baunya seperti kerangka yang tidak mandi berbulan-bulan."
"Aku tidak bisa membedakan manusia dan monster sejeli dirimu," kata Beatrice. "Tapi tentang petugas satu tadi, dia manusia biasa. Aku yakin, karena dia pernah bercerita seperti itu pada kami―maksudku, padaku dan Margot. Kadang-kadang kulihat dia menguntit doktor perempuan berambut pirang yang, mmh―siapa tadi namanya?"
"Janeth."
"Ya, si jalang itu. Sepertinya petugas yang tadi punya intensi tersendiri kepada Janeth."
"Maksudnya?" River mengerutkan kening.
"Dinilai dari apa yang diceritakannya kepada kami, sepertinya dia datang kemari karena suatu keterpaksaan. Semacam terjebak, terikat sesuatu―entahlah. Dia tidak bahaya, tapi dia selalu membawa senjata di kantongnya. Dia memiliki pistol dan juga remote untuk menyiksa para tahanan."
"Remote itu ... tersambung dengan implan tahanan, bukan?" River tanpa sadar mengusap lengannya yang robek. "Kalau orang-orang tahu kita kabur, semestinya mereka bisa melukaiku dengan hanya menekan tombolnya. Tapi sampai sekarang aku baik-baik saja, apa ini karena aku sudah sembuh?"
"Tidak, tapi sepertinya implannya berfungsi bila kita ada di jarak yang cukup dekat dengan remote. Mereka memasangnya juga padaku. Kau lihat," Kemudian Beatrice berbalik badan dan menunjukkan leher belakangnya pada River. Jemarinya menekan benjolan sekitar dua sentimeter di atas tengkuk. "Di dekat sini ada bekas operasi. Lihat baik-baik, karena jahitannya kecil sekali. Mereka memasukkan implan ke dalam kulit kita yang akan bereaksi dengan sensor yang mereka bawa."
"Oh, jadi mereka menanamnya di sana," River menyipitkan mata memandang benjolan bekas jahitan yang hampir transparan di leher Beatrice. Rautnya terpilin antara terpana dan lega. "Bagaimana kau tahu kalau mereka menaruh implannya di tengkuk? Aku pernah menduga-duga dengan kawan-kawan satu selku, tapi tidak ada yang bisa menebak posisinya di mana."
"Sebenarnya, River, menebaknya cukup mudah." Beatrice membuat wajah kebingungan.
"Kami tidak menemukannya."
"Mungkin karena kalian semua kurang peka," Beatrice mengedikkan bahu. "Wajar saja. Perempuan memang lebih unggul soal prestasi, sementara para pria suka terburu-buru mengambil kesimpulan. Omong-omong, kita tidak bisa mencabut implan ini, River. Dulu aku dan Margot pernah saling bantu untuk mengambilnya, tetapi speaker di dalam sel penjara―rupanya mereka mengawasi kami sampai sedetail itu, yeah, bukan itu poinnya. Speaker itu tiba-tiba berbunyi dan mengatakan bahwa implan itu akan meledak bila dicabut paksa."
"Akan meledak bila dicabut paksa?" River menyipitkan mata curiga. "Kau percaya kata-katanya?"
"Apa maksudmu?"
"Kau pernah melihat seseorang meledak karena implan itu dicabut paksa?"
"Tidak, tapi siapa peduli? Aku tidak mau mengambil risiko kepalaku meledak karena mencoba-coba mencabut implan."
"Dengar, para pria lebih unggul dalam menangani rasa takut. Biar aku yang mengambil risikonya," kemudian River menghadap belakang seraya menunduk, memperlihatkan tengkuknya yang tersembunyi di bawah rambut.
"Kau bercanda."
"Terlalu idiot menganggap situasi ini sebuah lelucon."
"Bagaimana kalau kepalamu meledak?" Beatrice menaikkan nada suaranya sehingga terdengar terguncang. River menengok padanya dan memberikan pandangan yakin. Ada kilat keteguhan yang terpancar dari mata kolam madunya. "Aku punya firasat bahwa saat itu mereka hanya mengancam kalian saja. Implan ini hanya terhubung dengan remote, percayalah. Sekarang cepat keluarkan dari tengkukku."
"Ka-kau serius? Ini akan sakit."
"Saat ini rusukku retak dan lenganku robek karena peluru. Goresan sedikit di tengkuk tidak jadi masalah." Lalu River menemukan pecahan kaca yang terselip di antara dedaunan dan tanah. Dia memberikannya pada Beatrice. "Pakai ini untuk membuat goresan. Hati-hatilah."
Kemudian Beatrice menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat mengarahkan ujung kaca di kulit River. Sesuatu di dalam benaknya berteriak menyudutkannya dengan kemarahan. Ini salah, ini salah, ini salah, Trice. Kau bisa membunuh cowok ini.
"Tenanglah, Trice," kata River, lirih dan kalem. "Kalau kau melihat ada yang salah dalam implannya, kau bisa berlari meninggalkanku. Kalau tidak, kau bisa bertahan. Sekarang buatlah sobekannya."
"Tadi kau yakin sekali bilang kalau implan ini tidak masalah bila dicopot."
"Sampai saat ini aku masih yakin. Aku hanya tidak mau melihatmu cemas."
Kemudian Beatrice menekankan ujung kaca di dekat benjolan, menyobek kulitnya sepanjang dua sentimeter. Darah River merah menyala, mengalir di antara kulitnya yang putih. Pemuda ini bahkan tidak berjengit, tetapi Beatrice tetap bertanya. "Apa aku menyakitimu?"
"Tidak. Lanjutkan." Lalu Beatrice merogoh sedikit ke dalam dan menemukan sebuah palet kecil yang berserabut. Dia mencongkel benda itu dengan ujung kuku, lalu mengeluarkannya amat pelan. Serabut itu rupanya lebih panjang dari dugaan―meregang bagaikan jaring laba-laba perak yang menempel di dagingnya, barangkali menghubungkannya ke jalinan syaraf pada cervical. Barulah saat itu River berdesis menahan sakit. Beatrice diam sejenak, dilanda panik karena takut benda ini akan benar-benar meledak. Namun, River mencengkeram lutut Beatrice dan menyuruhnya untuk terus menarik.
Kemudian palet itu akhirnya lepas.
Jantung Beatrice berdegup kencang, seolah menanti bencana berikutnya yang akan datang. Namun, tidak terjadi apa-apa.
"Sudah," kata Beatrice, sedikit gemetar. Dia menaruh palet logam itu di atas tanah dengan hati-hati, membiarkan River melihatnya. "Bagaimana rasanya, River?"
"Aku menyukainya," lalu River menyungging cengiran lega, berkali-kali lipat merasa senang. "Terima kasih, Trice."
-oOo-
"Bila tidak ada kompas, ikuti arah matahari yang terbenam. Kau akan terus melangkah ke arah barat, sampai muncul di salah satu tempat―kalau tidak bibir pantai, berarti rute keluar hutan. Berlarilah menjauh dan cari bantuan di tempat baru. Jangan pikirkan aku. Saat ini kau yang lebih berpeluang untuk selamat."
Kata-kata River terus bergaung seperti simfoni bintang yang berdenyut di dalam kepala Beatrice. Setelah pertemuan singkatnya, pemuda itu memutuskan melanjutkan misi seorang sendiri; menyelamatkan kawan-kawannya, lalu memikirkan rencana untuk mengebom seluruh markas. River tidak mewajibkan Beatrice untuk ikut, bukan karena dia merasa kasihan, tetapi karena dia yakin Beatrice akan menjadi sekarung beban yang merepotkan.
Wanita itu lantas mendapat kebebasan untuk kabur dan menyelamatkan diri. Dan, di sinilah Beatrice; terjebak di antara moral balas budi yang terkatung-katung dalam tubuh manusianya. Beatrice tahu seharusnya dia tidak meninggalkan River membabat misi seorang diri, terutama setelah pemuda itu kembali menjadi manusia. Terlepas dari betapa anehnya kesembuhan mendadak yang dialami River, Beatrice merasa seharusnya dia tetap tinggal dan menawarkan bantuan. Wanita itu adalah sumber informasi berguna, walaupun tidak cakap menggunakan senjata. Lantas apakah tindakannya ini keliru?
Tidak, dia sudah sampai titik ini. Tidak ada jalan kembali. Kenekatan River tidak sepadan dengan ketakutan Beatrice dalam menyambut kematian. Dia masih memimpikan hidup. Dia masih memiliki Jasper yang menunggunya di Domehall.
Beatrice membelah semak-semak di hadapannya dan berlari kencang, menuju peraduan matahari yang semakin terbenam di kejauhan. Dari titik sini, aroma garam dan pepohonan pinus mulai tercium. Tidak selewat satu menit, dia melihat seberkas cahaya menyela di antara barisan pepohonan kurus; pintu keluar hutan, yang berbatasan dengan garis lautan yang dilalap kegelapan.
Berhasil, berhasil.
Dia berhasil.
Baru saja Beatrice menapak pasir di luar hutan ketika sebuah peluru melesak di punggungnya.
Bagai dipukul godam, wanita itu terjungkal, jatuh mencium pasir yang terbasuh oleh garam dan kerikil. Terengah dan panik, Beatrice menyeret tubuhnya sejauh mungkin, menyingkir dari mulut hutan yang mengaga seperti pusaran lubang hitam. Suara langkah sepatu bersahut-sahutan mengejarnya dari belakang. Ketika jemari Beatrice menggerapai di antara pasir, sebuah sepatu menekan punggung tangannya hingga tulang-tulangnya berderak.
Beatrice menjerit. Pijakan kaki di tangannya semakin kuat.
"Ketemu kau, jalang kecil." Suara seorang pria melecut bagai cambuk api di atasnya. Beatrice memiringkan kepala di tengah kegelapan, tetapi dia tidak bisa melihat wajah itu. Hanya tampak kelebat mantel berwarna putih yang berkibar ....
Anggota ilmuwan.
Beatrice merasakan rambutnya dijambak. Wajahnya dipaksa tengadah menghadap wajah pria ini. "Di mana orang satunya? Jawab aku!"
Bukan jawaban yang Beatrice beri, melainkan ludahan ke wajah pria itu.
"Beraninya kau, jalang." Sang pria mengusap pipinya kasar. Disusul, beberapa detik kemudian, orang-orang menghampirinya. Mereka berdebat entah apa―suaranya melebur bersama ombak dan gemuruh di kegelapan. Beatrice, sementara itu, mengejang di bawah, sekarat oleh peluru yang mengoyak punggung. Darah merembes ke pasir, menggenangi perut dan dadanya.
"Orang yang satunya pasti kabur," kata pria itu kepada para rekannya. "Dan jalang satu ini pasti tahu keberadaannya."
"Dia tidak mungkin jauh. Cepat panggil yang lain untuk kembali ke markas. Awasi gudang senjata."
"Kita apakan wanita ini?"
Seseorang menarik Beatrice dan menggulingkannya dengan kasar. Dia terbatuk-batuk darah dan berbaring menatap langit. Di atasnya, wajah-wajah gelap tidak bernama memandanginya melalui celah kematian. Sebuah suara yang Beatrice kenal sebelum ini terdengar; petugas yang kebingungan.
"Kita ... kita mungkin bisa menyelamatkannya."
"Jangan bodoh!" Pria yang lain menyembur marah. "Dia sudah tidak berguna untuk dijadikan subjek eksperimen. Hanyutkan saja ke laut."
"Tapi stok tawanan kita semakin sedikit. Kita tidak bisa menyia-nyiakannya."
Lalu di antara kesadarannya yang mulai berkabut, Beatrice merasakan seseorang berlutut di sampingnya. Petugas muda itu merunduk begitu dekat sehingga napas panasnya terdengar menggebu di pipi Beatrice. Lalu, wanita itu mendengar gerutuannya, "Sial. Kenapa kau tidak menghindar dari peluruku, tolol?"
Beatrice mengerjap. Pendengarannya mulai tidak berfungsi, dan jari-jemarinya mati rasa. Wajah petugas itu terlihat buram. Namun, dia bisa mengingatnya.
"He-hei," Beatrice mencengkeram tangan petugas itu, berjuang berbicara di antara rintihan dan rasa sakit. "Kau ... harusnya ... menyelamatkan Margot."
"Margot?"
"Mar ... got...."
Darah masuk ke saluran pernapasan Beatrice sehingga wanita itu tersedak dan menggelepar. Petugas itu melepas pegangannya pada tubuh Beatrice, lalu bangkit berdiri. Pistol di tangannya siap untuk dilesatkan. "Kita harus buat kematiannya cepat," kata sang petugas.
Semua kawannya tidak merespons apa pun, tetapi mereka membiarkan petugas yang lebih muda itu melakukan tugasnya.
Tatkala kunci pelatuk pistol telah terbuka, mendadak terdengar tembakan yang menyerbu dari kejauhan. Asalnya dari lautan lepas yang memecutkan ombak liar. Semua orang praktis menyingkir, kabur, dan merunduk tiarap. Namun, si petugas tidak melakukan ketiganya dan malah bangkit menantang maut. Siapa―siapa yang menembaki kami? Tunjukkan wajahmu, keparat!
Kedua lengan direntangkan ke kejauhan, sementara wajah mendongak, menatap mencalang pada pemandangan pantai yang dilabur sinar keperakan bulan. Petugas satu ini tahu bahwa dirinya bisa saja tertembak, akan tetapi dia tidak peduli. Moncong pistolnya disapukan ke sekeliling untuk melihat siapa yang baru saja menyerbu mereka dengan peluru.
Kemudian, serbuan peluru mereda. Kegelapan terangkat. Sosok sepasang manusia mendekati sang petugas dengan posisi siap menembak. Salah satu di antara mereka adalah seorang pria jangkung yang menodongkan senapan laras panjang tepat di depan petugas itu.
Senapan itu pelan-pelan turun. Seraut wajah yang dikenalnya, menyapa dengan nada terguncang;
"Kenapa kau di sini, Wayne?"[]
-oOo-
.
.
.
.
Horeee, Claude udah datang ✨
Gimana ges kabarnya? Masih asyik baca novel ini kah? Ini bentar lagi mau tamat loohhhh awkwkwkwkkw 😭
Kalau udah tamat, pada mau lanjut season 3 apa novel baru ajahh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top