31. The Strange Healing

-oOo-

HANTAMAN pertama dan terakhir dari kursi di tangan River menciptakan lubang di cermin.

Momentum yang besar membuat tubuh River terperosok menabrak meja yang berserakan potongan kaca di ruangan seberang, tetapi lonjakan adrenalin membuat syarafnya tumpul untuk merasa sakit. Pemuda itu berteriak pada wanita yang berdiri di dekatnya―subjek A―agar memanjat naik ke lubang. Mereka melompati meja, lalu mendarat di ruangan lain. River baru saja memalingkan muka tepat ketika dia merasakan dinginnya mulut pistol tepat di tengah keningnya.

Janeth, berdiri di hadapannya bagai prajurit hantu yang pucat. Genggaman pada pistolnya menguat. Kunci peluru telah ditarik. Dia berdesis lirih sebelum menekan pelatuknya, "Bedebah. Matilah kau."

Namun River menyentak pistol di tangan Janeth―sepersekian sekon sebelum peluru itu meledak dan menembus tengkorak kepalanya utuh-utuh. Pistol terpelanting jatuh, dan Janeth terjungkal ke lantai, terluka oleh keterkejutan dan ketakutan. Sorot matanya yang menghunus River terlapis oleh kemurkaan karena kegagalan. Secara kelabakan dan panik, dia buru-buru merayap untuk mengambil pistol yang tergeletak jauh dari jangkauannya.

Bagi River, ini adalah kesempatan untuk membunuh Janeth. Namun aksinya terhenti kala terdengar riuh sepatu yang mendekat dari luar pintu.

"Mereka datang. Kita harus pergi," wanita di sisinya berseru gemetar. Wajah tengadah pada pintu di seberang ruangan yang tertutup.

Pemuda itu terpaksa menyingkir dari Janeth dan menarik tangan pasangan eksperimennya. Mereka menjeblak pintu; sekonyong-konyong disambut oleh teriakan dan raungan bising dari orang-orang bersetelan jas laboratorium yang berlarian di lorong. Mereka berdua kabur ke lorong yang berlawanan, melewati rute kecil yang berbelok-belok, naik ke tangga yang melingkar suram dan berbunyi berderit-derit, seperti gesekan lempeng berkarat.

Terdengar suara letusan pistol dari belakang, disusul lecutan api yang memercik di dekat kaki River dan birai tangga di samping. Pemuda itu tidak gentar. Peluru-peluru sudah pasti menyasarnya, tetapi memangnya apa yang bisa diperbuat dari segerombolan ilmuwan tidak berguna ini? Mereka diciptakan untuk berdebat tentang teori-teori saintis, bukan memegang senjata. Mereka ceroboh, lambat, dan obsesif.

Bukankah mudah untuk membunuh mereka saat ini juga?

Tidak. Dia harus teguh pada rencana awal. Sekarang yang terpenting adalah kabur sejauh mungkin lalu menyusun rencana untuk melawan.

Lantas mereka berderap naik, berbelok ke lantai berikutnya. Teriakan histeris dan suara pistol masih bersahutan. Salah satu peluru merobek pakaian di lengan River. Dia nyaris terjerembab mencium lantai, tetapi wanita di sampingnya merenggut lengan satunya dengan kuat. Bangkit, bangkit. Kau tidak bisa menyerah sekarang!

Lalu tampaklah sebuah jendela berkisi empat di ujung lorong. Pancaran sinar dari baliknya berpendar menyilaukan; Jalan keluar.

"Berpegang padaku," River merengkuh wanita itu dengan kedua lengannya. Dia menyurukkan bahu ke depan, melompat, lalu menghantamkan diri ke jendela; kaca meledak laksana kembang api yang melecut buyar. Serpihan pecahan itu berjatuhan bersamaan dengan tubuh mereka yang jatuh bergulingan ke tanah, sekitar sepuluh meter dari posisi lantai semula.

Tidak dibutuhkan waktu lama bagi River untuk bangkit. Dia bertumpu pada kakinya yang tidak sakit dan langsung memapah wanita di dekatnya untuk bangun. Mereka melangkah tersaruk-saruk melintasi deretan pepohonan yang berbaris rapat, berusaha sebaik mungkin menyembunyikan diri di antara semak setinggi pinggang. Pelarian itu terhitung berhasil, sebab setelah lama menyusuri rute tidak bernama ini, tidak ada satu sosok pun yang mengejar mereka di belakang. Ini lebih lancar dari dugaan, walau terkesan aneh sekaligus melegakan.

Kemudian, seolah disadarkan oleh realita fisiologis, adrenalin yang sejak tadi menyuplai kekuatannya mendadak saja luruh. River terjatuh ke tanah, berguling ke samping sambil memegang lengannya yang berlumuran darah. Napasnya terpotong-potong, bercampur erangan dan teriakan, entah bagaimana suaranya mengingatkan dengan lolongan orang tua yang sudah di ambang maut. Sementara wanita di dekatnya berlutut, tampak ragu sejenak, tetapi kemudian memberanikan diri untuk menengok luka di lengannya.

"Luka robek, sepertinya kena gores peluru," katanya, lalu mendongak menatap seantero hutan yang suram dan padat dengan pepohonan. Tidak ada tempat yang lebih baik untuk bersembunyi selain alam terbuka ini. "Kau bisa bergerak?"

"Tinggalkan aku," desis River.

Wanita itu membeku sejenak. Mata cokelatnya bergetar gelisah di balik rongga. "Apa?"

"Tinggalkan aku. Kau harus pergi."

"Aku tidak bisa membiarkanmu terluka sendirian."

"Pergilah!" River memaksa seraya mendorong-dorong wanita itu. Dia sendiri meringkuk dan gemetar, kehilangan kendali atas rasa sakit yang membakar sekujur tubuhnya. Efek obat perangsang itu barangkali masih ada, menekan-nekan sesuatu di bawah sana dengan tidak sopan. Namun saat ini, sebagian besar rasa sakit datangnya dari lengan dan dadanya. Rasanya, napasnya serasa dirampas setelah jatuh dari ketinggian tadi. Kemungkinan rusuknya retak.

"Aku ini monster," kata River pada si wanita yang tercenung di dekatnya. "Aku bisa menyembuhkan diri. Kau lebih baik pergi dan cari bantuan sendiri... bisa saja di sekitar sini ada penyintas yang berkeliaran ...."

"Kau bukan monster," kata wanita itu dengan yakin.

"Bodoh." River mendengkus.

"Aku serius!"

Lengannya ditarik dengan kasar, dan River mengerang lebih keras. Wanita itu berupaya menyeretnya ke pohon terdekat dan membuatnya bersandar di sana. Segera saja mereka mengistirahatkan diri dari belitan rasa lelah yang sejak tadi mengguncang. Tidak ada percakapan, tidak pula seruan-seruan dari kejauhan yang menjadi indikator ancaman. Hanya ada suara hutan; decitan angin, bunyi sumbang serangga, dan desau napas menggebu. Selewat beberapa saat kemudian, River merebahkan diri dan tidur meringkuk untuk melupakan rasa sakitnya, tetapi tidak lama, dia tersadar lagi. Seseorang sedang menggerayangi lengannya yang terluka.

Wanita itu rupanya membebatkan potongan kain roknya yang lusuh ke lengan River.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.

"Seperti yang kau lihat," kata si wanita. "Menyelamatkanmu dari kematian karena kekurangan darah."

"Aku sudah sembuh, lepaskan itu."

"Lukamu tidak menutup."

"Apa maksudmu?"

Dia mendorong lembut wanita itu dan memeriksa sendiri lukanya. Apa yang dibicarakannya benar―luka itu tidak menutup seperti sedia kala. Hanya saja, River tidak begitu saja percaya bahwa dirinya manusia. Sebab sejak datang kemari, kemampuan regenerasinya memang melemah. Kawan-kawan beranggapan keanehan ini terjadi karena adanya implan yang ditanamkan di tubuh masing-masing. Jadi, luka goresan peluru ini pasti sulit sembuh lantaran faktor itu juga.

Namun, rasanya terlalu aneh.

River tengadah, menatap langit sore yang mulai terselubung sinar senja. Pikirannya goyah pada satu pertanyaan yang mengganjal; rasa sakit dari lukanya belum memudar sedikit pun. Mengapa bisa? Setelah dipikir-pikir ... ini bukan anomali karena implan. Dia memang tidak memiliki kemampuan untuk meregenerasi luka lagi.

Wanita itu menarik kedua ujung kain dengan keras―membuat River mengernyit―lalu mengikatnya menjadi simpul. Dalam beberapa menit, lukanya terbebat perban apa adanya. Dia melanjutkan, "Mulanya aku mengira kau monster, setidaknya sampai aku tahu kau kebal terhadap gelombang suara itu," dia berkata dengan hati-hati.

"Gelombang suara?"

"Ruangan yang kita tempati tadi, adalah ruang eksperimen yang dilengkapi dengan senjata untuk melumpuhkan monster―di antara senjata itu adalah aerosol bius, serta lempeng logam yang dapat memancarkan gelombang suara untuk membuat monster kesakitan. Saat kau mulai menyerang para petugas laboratorium, seisi ruangan mengeluarkan gelombang yang getarannya bisa dirasakan sampai dinding. Tapi kau tidak bereaksi sedikit pun. Kau malah melempar kursi itu dan memecahkan kaca." Wanita itu merapatkan tubuhnya kembali ke batang pohon. Dalam kesunyian, berkata lirih, "Dari situlah aku tahu kau bukan monster."

"Tapi aku...."

"Aku tahu yang kau pikirkan," potongnya. "Mereka bilang aku adalah subjek A18. Aku tahu apa yang mereka lakukan pada orang-orang sebelumku, jadi saat melihatmu dibawa masuk ke ruangan, aku meyakini kalau kau adalah monster yang hendak diujikan kepadaku. Barangkali sekarang kau bingung mengapa kau mendadak kehilangan kemampuan monstermu. Sejak tadi aku juga memikirkannya. Tadinya aku berpikir ini efek dari obat perangsang yang mereka berikan padamu, tapi rasanya tidak mungkin. Monster-monster sebelum dirimu pasti menerima obat perangsang itu, tetapi mereka tidak kehilangan kemampuannya."

Mendengar kata obat perangsang membuat River malu. Dan tampaknya wanita itu bisa membaca ekspresinya, sebab dia bertanya, "Kau masih sulit mengendalikan diri?"

"Sudah tidak apa-apa. Efeknya hilang." Lalu River menatap wanita itu lekat-lekat. "Jadi menurutmu, aku tiba-tiba sembuh?"

"Entahlah. Tapi kau bisa membuktikannya sendiri."

Kemudian River berusaha mengerahkan konsentrasi untuk bertransformasi ke wujud monster. Namun, perubahan itu tidak terjadi―sebanyak apa pun dia mencoba, mengulangnya sebanyak dua, tiga, sampai empat kali. Hasilnya nihil. Sekarang, kegamangan menumpahi dirinya. Apa yang terjadi pada tubuhku? Mengapa aku tidak bisa berubah menjadi monster? Di samping pertanyaan tentang apa dan mengapa, River lebih takut menghadapi kenyataan bahwa sekarang dia benar-benar kembali menjadi manusia.

"Kau baik?" Wanita itu menyentuh lengannya hati-hati. "Kau tidak suka dengan keadaanmu yang sekarang?"

"Aku ... entahlah." River mengusap kepalanya yang tertunduk di antara kedua lutut. "Ini aneh. Seharusnya aku merasa senang, tapi ... waktunya tidak tepat. Situasi ini menjepitku dengan perasaan takut dan terancam."

"Mengapa seperti itu?"

"Karena tempat ini adalah markas monster, dan sudah kupastikan manusia biasa sepertiku akan menjadi beban terberat bagi tim."

"Tim? Kau datang kemari bersama teman-temanmu?"

Lalu River menceritakan secara singkat tentang siapa mereka dan bagaimana mereka bisa sampai kemari. Wanita itu mendengarkan dengan saksama, tetapi selebihnya, dia tidak menginterogasi terlalu jauh. Hanya pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang apa yang River tunggu atau bagaimana rencana selanjutnya.

Wanita itu memperkenalkan dirinya bernama Beatrice, dan kedatangannya kemari menjadi awal bagi segala tragedi yang mendorongnya ke titik ini.

"Sebelumnya aku tinggal di Domehall bersama pasanganku, lalu mereka―kelompok peneliti aneh itu, tahu-tahu datang dan mendemonstrasikan kepada kami bagaimana seorang manusia normal bisa berubah menjadi monster dan memiliki kendali penuh atas tubuhnya. Banyak di antara kami yang ketakutan, tetapi sepertinya reaksi kami dianggap buruk. Mereka menganggap kami tidak bisa berpikir maju dan tidak tertarik untuk mendukung gerakan revolusioner yang mereka rencanakan. Mereka murka, lalu menculik beberapa di antara kami."

"Jadi kau adalah korban penculikan?"

Beatrice mengangguk, kemudian menunjuk ke titik kejauhan di antara tebing dan pepohonan. "Di sanalah mereka mengurung para wanita dan anak-anak."

River berpaling dari gedung kelabu yang menjorok ke langit, kembali pada Beatrice. "Teman-temanku juga dikurung di sana, tapi mengapa aku tak bertemu kalian?"

"Sepertinya mereka memang berniat memisahkan sel manusia dan monster."

"Apakah semua wanita yang diculik juga dijadikan subjek eksperimen?"

Beatrice mengangguk. "Mereka juga sempat mengujikan serumnya ke anak-anak, tapi tidak berhasil." Suara Beatrice memelan, seolah setiap gram nadanya dipenuhi duka. "Sebelum aku dibawa ke ruang eksperimen, tersisa delapan perempuan dan tiga orang anak-anak yang dikurung dalam sel. Dua dari anak-anak itu kekurangan gizi dan sepertinya sedang sakit, tetapi para petugas laboratorium tidak peduli. Saat ini mereka memilih fokus untuk mengembangkan dan mengujikan serum ke para perempuan, terutama setelah mereka melihat adanya perkembangan yang cukup signifikan pada korban sebelumku."

"Korban sebelummu?"

"Mereka menyebutnya subjek A17," kata Beatrice. "Namanya yang asli adalah Margot. Dia adalah prestasi terbesar mereka―usia kehamilannya mencapai lima bulan, padahal sebelumnya tidak ada yang berhasil hidup melewati minggu ketiga. Namun sayang, Margot tetap saja terinfeksi virus dari jabang bayinya sendiri. Terakhir kali melihatnya di dalam sel, aku melihat Margot berkubang dalam darah dan kotorannya sendiri. Setiap malam mimpi buruk ... dia berteriak, mencakar-cakar dirinya sendiri, dan mulai mengalami halusinasi ekstrem. Petugas membawanya pergi, entah ke mana. Tapi kami tidak cukup bodoh untuk mengetahui bagaimana nasib Margot selanjutnya."

River terdiam mencerna cerita itu. Sekarang dia tahu siapa nama perempuan yang dimangsa Kale di malam pertama dirinya dilempar ke penjara.

"Aku turut berduka ... tentang Margot," kata River, lirih, dibebani rasa bersalah. Bayangan tentang Margot kini memenuhi kepalanya. Dia mengingat setiap desibel jeritan Margot saat Kale merobek daging di perutnya menjadi potongan-potongan kecil. Dia mengingat jantung Margon yang memuncratkan darah ketika dibetot keluar dari rongga dadanya. Dia mengingat setiap inci ketegangan yang merembes melalui pori-porinya yang berkeringat, saat Kale menawarkan substansi abu-abu pucat kepadanya, lalu berkata dengan nada membujuk;

"Bagian ini enak. Cobalah." Kata-kata itu membawanya kembali ke peristiwa luar biasa dimana River terjebak dalam hasutan menjadi kanibal atau mempertahankan moralitasnya.

"Dia teman yang baik," kata Beatrice, sontak meredupkan lamunan River. "Margot dan aku pernah berjanji bahwa suatu saat kami akan keluar dari tempat ini, tetapi itu tidak terjadi."

"Dunia sudah bukan tempat yang baik untuk membuat janji," kata River.

"Kau benar. Tapi janji memberi kita harapan."

River menyugar rambutnya ke belakang kepala, tidak sengaja tertawa mendengar kalimat itu.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Beatrice.

"Rasanya ada banyak hal yang membuatku setuju denganmu, dan entah bagaimana aku sendiri yakin bahwa terkadang janji bisa memberikan yang lebih baik daripada sekadar harapan."

"Seperti apa?"

River mengingat perjalanannya setahun lalu. Janjinya kepada Juan membuatnya tetap utuh. Janji membuatnya lebih kuat. Seajaib itu untuk membuatnya bertahan.

"Keajaiban," kata River, tersenyum tipis.

"Kalau begitu ayo kita keluar dari tempat ini. Kau mau berjanji padaku?" Beatrice baru saja melontarkan kalimat konyol yang membuat River mengernyit.

"Hei, Trice, kita tidak sedekat itu untuk membuat janji."

"Kalau begitu aku berjanji saja dengan diriku sendiri," kata Beatrice. Jarinya mengetuk-ngetuk batu di bawah kakinya dengan konstan. Kemudian suaranya mengecil, sehingga hanya dirinya sendiri yang mendengar itu. "Aku berjanji dapat keluar dari tempat ini ... dan bertemu Jasper."

"Hei, Trice," kata River setelah terdiam cukup lama. "Kau tahu sesuatu tentang tempat ini, kan? Apa pun itu ... tempat, rencana, pola rutinitas?"

Beatrice menarik napas. "Aku tidak tahu apakah informasi yang kumiliki bisa membantu atau tidak. Kadang-kadang memang ada petugas yang datang mengunjungi sel kami untuk mengirim makanan. Tidak berhenti sampai sana, petugas itu akan berbagi cerita tentang markas ini―menganggap kami adalah boneka pengabul permintaan, sementara dirinya sendiri merutuk dan bersumpah pada iblis yang tidak kelihatan, mengeluh ini-itu tentang ketidaksukarelaan yang dia alami selama berada di sini. Aku jadi tahu beberapa informasi darinya."

"Bagus. Bagikan saja informasi apa pun yang kau tahu," kata River, kemudian menambahkan, "Omong-omong petugas itu pasti bodoh sekali."

"Sebetulnya dia tidak bodoh. Dia hanya kebingungan."

River meringis. "Mana ada yang seperti itu."

"Betulan ada." Beatrice menghadap River. "Saat menatapnya, aku merasa dia tersesat tentang banyak hal. Seolah-olah dia tengah berdiri di tepi jurang pemisah antara bumi dan neraka, lalu mengalami kebingungan memijak batas mana yang dirasanya tepat untuk mendarat. Pilihan apa pun pasti sama berisikonya, sebab aku bisa merasakan kesulitan itu dari geletar kemarahan sekaligus semangatnya yang menggebu."

"Siapa nama petugas itu, Trice?"

"Kenapa, sekarang kau berpikir orang ini cukup lemah untuk dihasut?"

"Ya, aku berpikir seperti itu. Walau bisa saja aku sudah terlambat."

Beatrice menatap River lekat-lekat, lalu kepalanya menggeleng samar. "Sayang sekali, dia tidak pernah menyebut nama, tetapi dia pernah bercerita kalau mendiang ayahnya adalah sosok hebat yang membuat semua ilmuwan bersujud menyembahnya."[]

-oOo-

.

.

Haloo, gais. Lama tidak ketemu, hehe. Maaf yaa rada telat update-nya, karena ada banyak yang kukerjain kemarin 😆

Btw, mau ngasih kabar gembira nih. Siapa tahu di antara kalian ada yang belum tahu...

The Leftovers (season pertama novel ini) akan segera diterbitkan dalam bentuk cetak yaa 😁

MasyaAllah, Allhamdulilah 💙

Buat teman-teman yang mau mulai nabung untuk membeli novelnya, silakan segera nabung. Jangan lupa untuk follow Instagram penerbit @/teorikatapublishing untuk tahu info rilisnya ^^

Instagram-ku jangan lupa juga 🙂👍🏼

Sampai jumpa di chapter selanjutnya yang lebih bag bug bag bug 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top