3. A Wish to be a Monster

-oOo-

TEMPERATUR merosot drastis bersama larutnya malam. Angin utara menyapu setiap inci kulit River yang kembali halus selepas transformasinya. Membuatnya menggigil, tetapi tak cukup kapok untuk mendorongnya kembali ke tenda tidur. Sebagai gantinya, pemuda itu menyalakan rokok pertamanya hari ini seraya menuju bilah-bilah pepohonan yang berbaris sunyi di dekat tebing jeram. Dia duduk di tepinya, sendirian, dengan kaki menjulur melintasi jurang menganga di bawahnya. Gumpalan asap rokoknya berarak naik, menghilang ditelan angin.

"River?"

River tak repot-repot berpaling ke belakang untuk melihat adiknya menyusul kemari. Dia masih terdiam sambil mengisap hikmat rokok di bibirnya.

"Ibu melarangmu merokok." Juan tahu-tahu muncul dari sampingnya dan langsung menarik rokok dari selipan bibirnya. Abangnya hanya membuang napas. Tanpa berusaha melawan, mengambil sebatang yang baru dari kantong jaketnya, lalu menyalakannya lagi.

"Kau tidak dengar kata-kataku?" Juan hendak menyambar rokoknya kali kedua, tetapi River mengelak lebih gesit. "River!"

"Juan, berhentilah mengomeliku seperti Ibu," balasnya agak dongkol. Ini adalah kali pertama dalam setahun ketika akhirnya dia menyebut lagi ibunya. Dan, sensasi itu masih serupa seperti sedia kalaโ€•perasaan berat dan terbebani yang menyerang dadanya. Ledakan ingatan tentang Euros yang membocorkan fakta bahwa Juan membunuh ibunya masih membuatnya sakit dan kepikiran. Namun, River sendiri tak merasa berhak untuk menuntut Juan. Dia tak mau adiknya merasa malu dan bersalah saat dipaksa mengorek-ngorek kembali masa lalu.

"Sejak kapan kau merokok?" Semestinya Juan memang tak perlu merasa tersinggung saat abangnya merokok diam-diam. Akan tetapi ... melihat sikap River akhir-akhir ini yang selalu tampak depresif dan murung hanya menyulut kemarahan yang lebih besar. Juan mendorong dirinya duduk di samping River sembari menanti jawaban.

"Entahlah. Itu tidak penting," kata River, kembali mengembuskan segumpal asap ke udara. Pemuda itu mengangkat dagunya seraya menghirup udara malam pegunungan hutan, "Sudah tidak ada lagi yang bisa melarangku melakukan apa yang kumau."

"Tunggu saja sampai paru-parumu membusuk dan seseorang harus membuat lubang di tenggorokanmu."

"Kau pernah merasakan otot-ototmu terbakar setiap kali bertransformasi? Rasanya jauh lebih buruk dari yang kauucapkan barusan."

Juan mendengkus, merasa jengkel karena abangnya selalu menyangkutpautkan kondisi dirinya yang sekarang dengan berbagai tingkat lapisan pertanyaan yang tak ada hubungannya dengan menjadi monster. Lama-lama ini menjadi ajang menentukan nasib siapa yang lebih buruk. Dia membalas dengan topik lain, "Ini sudah hampir jam dua pagi. Kenapa tidak pergi tidur?"

River tidak membalasnya. Dia hanya tengadah melihat kegelapan malam yang tersadur oleh gemerlap bintang. Juan yang tidak putus asa, menjawab sendiri pertanyaannya, "Kalau aku kemari untuk memikirkan sesuatu."

"Aku sudah menduganya," kata River.

Juan mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Aku sudah menduganya," ulang River, menyugar rambut gelapnya ke belakang kepala. Dia menoleh pada Juan dan menatap dua manik mata adiknya yang berkilat-kilat bingung dalam kegelapan. "Kau pasti baru saja sadar kalau keputusan yang kauambil di tenda informasi tadi benar-benar celaka dan tolol. Sekarang kau menimbang-nimbang lagi apakah masih mau pergi ke penginapan itu bersama kami, iya, kan?"

"Kau ini sok tahu!" Juan meludahkan protesnya. "Siapa yang bilang aku memutuskan sesuatu yang tolol? Sampai sekarang aku masih yakin untuk pergi ke sana."

River hanya membalas remeh, "Kau ini susah dibilangi, tahu tidak? Aku tidak tahu dari mana sikap sok jagoanmu itu muncul. Kalau kau kembali, itu artinya perjalanan membuka luka lama yang belum kering. Kita mungkin tertangkap, dan kau bakalan dihukum habis-habisan karena membelot dari pemerintah sampai seluruh mentalmu terkuras dan akan tewas sebelum aku sanggup membuatmu sadar betapa bodoh pilihanmu."

"Aku suka tantangan."

"Kau bisa mati, Juan."

"Itulah sebabnya," kata Juan, yang langsung mendekatkan diri pada River. Anak itu mengecilkan suaranya agar hanya abangnya saja yang mendengar, "Aku mau meminta serumnya pada Claude."

Satu kalimat itu membuat River hampir merosot jatuh ke jurang saking terkejutnya. Pemuda itu mencengkeram bibir tebing sambil membelalak menatap adiknya, "Apa yang ada di pikiranmu, bangsat!"

"Aku rasa kau sudah tahu." Juan sama sekali tak terlihat bimbang ataupun takut. Malam itu dia hanya menatap abangnya dengan tatapan yang sama seperti saat dia memutuskan pergi mengikutinya. Mata Juan dipenuhi kepasrahan atas hidupnya yang tak lagi utuh. "Aku rasa kau sudah tahu, River." Suaranya yang kedua kali terdengar berat dan menyakitkan.

River terdiam sejenak. Di dalam kepalanya berlangsung kebingungan paling parah semenjak kedatangan Wabah. Juan menginginkan serumnya, yang artinya dia tak mau lagi berurusan dengan kenormalan manusia dan memilih tersiksa dengan tubuh monster. Melalui fakta itu, River menggilas ujung batang rokok ke bebatuan di dekatnya, secara sengit memerintah, "Kau tidak akan mendapatkan serum itu."

"Itu kan bukan serummu. Aku akan bilang sendiri pada Claude."

"Juan!" Suara River bergetar oleh amarah dan rasa takut. "Kau tidak akan kuperbolehkan untukโ€•fuckโ€•berubah menjadi monster!"

"Memangnya kenapa? Hidup seperti manusia biasa seperti ini melelahkan! Kau capek kalau harus mengawasiku setiap waktu, kan? Akan kubuat semuanya menjadi lebih mudah."

Kalimat Juan berubah menjadi seruan kemarahan yang menyengat. Sebab ucapannya benar dan karena ada sesuatu yang memberati River dengan beban yang sama persis seperti ini. Dia sudah lelah dihujani rasa khawatir yang berlebihan, tetapi apa yang diinginkan Juan akan mendorongnya masuk ke siksaan yang berkali lipat parah. Tidak semua orang mampu melewati masa perubahan. Bahkan dulu dirinya sempat melakukan percobaan bunuh diri hanya agar penderitaannya musnah.

"Tidak mudah menjadi sepertiku," kata River lirih, lebih seperti permohonan dibandingkan keluhan. "Kau berubah menjadi sesuatu yang menjijikkan. Kau tidak lagi mengenal dirimu yang dulu. Kau bukan lagi manusia. Perasaan itu lebih buruk daripada mati, Juan."

Juan menangkap sorot terluka di mata River dan waktu pun runtuh di hadapannya. Pemuda itu tengadah sedikit untuk menahan gejolak air mata yang memaksa turun. Ini bukan saatnya untuk menangisi keadaan, batinnya. apalagi merengek pada takdir yang membuat abangnya menjadi seperti ini. River yang dulunya kalem dan murah senyum kini terformat ulang oleh wabah, peluru, dan genetik berbeda yang membuatnya menjadi ganas dan dinginโ€•seperti serigala di tengah hamparan bersalju yang mewaspadai gulungan badai kematian, seekor hiu yang meratap di kedalaman lautan di mana cahaya matahari tak mencapainya. River yang sekarang penuh kegelapan dan bengis. Tak lagi memamerkan senyum yang membuat semua gadis menyambutnya. River yang ini telah menjadi monster yang mencabik daging dari kerongkongan makhluk hidup.

"Kenapa kau ingin menjadi seperti kami?" River bertanya.

"Menurutku," kata Juan, "apa pun lebih baik ketimbang berdiam saja di sini dan melihat dunia runtuh di hadapanmu. Setidaknya menjadi monster memberiku kekuatan."

"Persetan. Kau justru akan tersisihkan dari semua ini."

Ini memang bukan sesuatu yang Juan inginkan, tetapi kebaikan apa yang sanggup dunia berikan saat segala sesuatunya telah berubah menjadi neraka? Melihat abangnya masih hidup adalah satu-satunya dari sedikit keajaiban yang tersisa. Dan, dari seluruh keputusan berat yang terbayang di hidupnya selama ini, Juan memilih untuk mengikuti jejak abangnya, meninggalkan dunia manusianya. Memasuki portal monster abadi yang siap dibenci dan diburu oleh umat manusia yang tersisa.

"Juan," kata River. Suaranya agak bergetar seolah dia menahan rasa sakit di benaknya, "Suatu saat nanti, kalau dunia sudah kembali membaik, kau masih bisa menjalani sisa hidupmu dengan utuh. Kau bersama satu juta orang selamat yang tersisa di dunia ini."

"Aku sudah ikut mati saat Ibu tewas di hari itu," kata Juan, tak bisa lagi menahan air matanya untuk tumpah. Dia menggertakkan rahang untuk menahan perasaan yang lebih buruk bergulung di dalam kepalanya. "Aku sudah tak peduli lagi pada semuanya, River. Aku hanya ... kekacauan ini tak tertahankan lagi...."

"Kau akan lebih menderita kalau menjadi seperti aku," kata River, kemudian mengalungkan lengannya pada leher Juan. Pemuda itu merengkuh adiknya begitu erat sampai-sampai Juan tak bisa bernapas. Namun tak mengapa. Tangis Juan meledak menjadi sangat buruk. Mulutnya terbuka, wajahnya berkerut, dan suara seperti binatang sekarat keluar dari kerongkongannya. Semenjak kehidupannya direnggut darinya, dia tak pernah merasa sehidup dulu lagi. Doa-doanya yang dia panjatkan telah terkikis bersama harapan yang setiap harinya semakin pudar.

Tak ada pembicaraan lagi setelah akhirnya River berkata, "Tidurlah, Juan. Kau terlalu lelah malam ini. Aku akan menjagamu sampai kapan pun."

"Kau tidak perlu menjagaku kalau aku sudah menjadi sepertimu," kata Juan.

"Tidak," kata River, menepuk pundaknya dengan mantap. "Kau tetap kujaga, karena kau keluargaku."

-oOo-

Keesokannya datang bagai kabut yang menyelimuti hutan. Claude mengangkat kepalanya ketika dia mendengar suara yang tak wajar di langit bumi perkemahan. Seperti dengung statis yang tertutupi oleh kebisingan hutanโ€•drone yang berputar-putar, tetapi tak ada wujudnya di antara puncak pepohonan yang berayun-ayun.

"Ini masih terlalu pagi untuk patroli," kata Nathaniel, yang mendadak muncul dari hutan. Pada pundaknya yang tegap dan lengas oleh keringat, dia memanggul gelondongan kayu-kayu yang baru dipotongnya menggunakan kapak. Claude sempat mengernyit ke arah langit biru pucat sebelum kembali berpaling pada Nathaniel.

"Apa menurutmu mereka punya masalah?" tanya Claude. "Drone itu ... seharusnya tak patroli pagi-pagi begini. Orang-orang bahkan masih belum ada yang bangun."

Nathaniel menurunkan beban di pundaknya, membiarkan gelondongan kayu menggelinding sebagian di antara sepatunya yang kotor oleh tanah dan dedaunan kering. Seraya membuang napas letih, dia membalas Claude, "Barangkali tentara mulai mencari penduduk yang masih selamat."

"Setelah satu tahun lamanya?"

"Tidak ada di antara kita yang tahu apa yang terjadi di luar sana," kata Nathaniel. "Bisa saja militer kita sudah kembali pulih, dan bala bantuan dikerahkan lagi."

"Atau sebaliknya, sesuatu yang lebih buruk sedang terjadi di pusat kota. Kuharap drone itu tidak disadap oleh tentara Forbs untuk mencari para monster yang masih berkeliaran." Sebab kalau sampai drone itu adalah bukti kedatangan tentara Forbs, nasib kita akan tamat di tempat.

Nathaniel menatap Claude dan menunggu pemuda itu berbicara lagi, tetapi rupanya Claude kehilangan minat untuk meneruskan percakapan. Dia hanya melirik ke langit sekali lagi sebelum beralih memunguti gelondongan kayu untuk bahan bakar api unggun. Pada saat itu, Claude sudah berusaha menyembunyikannya, akan tetapi ekspresinya yang kalut dan cemas masih tertangkap oleh Nathaniel.

"Firasatmu buruk soal drone ini, huh?" tebak Nathaniel.

"Sangat buruk," balas Claude tanpa repot-repot menatap temannya. "Bagaimana kalau tentara Forbs sedang dalam perjalanan memburu kita?"

Dengung statis di langit. Drone yang tidak terlihat.

Nathaniel menarik napas dalam-dalam, menahan guncangan rasa cemas di dadanya. Dia tak ingin terlihat menahan beban walau kenyatannya isi kepalanya agak kacau semenjak drone-drone itu mulai muncul. "Memang itulah tujuan kita sejak awal, kan? Berperang melawan tentara Forbs," katanya dengan suara yang dijaga tenang.

"Tidak, tujuan kita adalah merebut serumnya lalu pergi. Aku tidak mau ada darah yang tumpah di antara kita!" Claude membalas frustrasi. Percakapan tentang drone membuatnya kesal. Dia hendak menyambar kayu keempat ketika mendadak saja seseorang menyibak tenda istirahat di belakangnya dengan kencang.

Claude dan Nathaniel sama-sama berpaling dan melihat Juan, dengan muka cemberutnya yang biasa, berjalan terseok-seok sambil menggaruk kepalanya yang dipenuhi rambut amburadul seperti kain pel.

"Hei," kata Juan dengan suara baritone paginya, "Claude, ada yang mau kubicarakan padamu."

"Kau kelupaan selamat pagimu," Nathaniel menyela. Juan memutar bola matanya dan berusaha tidak terpengaruh atas ledekan si mantan sersan. Waktunya tidak banyak. Dimulai dari pagi ini, dia harus mengajak Claude ke suatu tempat yang sepi untuk membicarakan mengenai rencananya meminta serum itu. Semalaman dia sudah memikirkannya, dan tekadnya untuk berubah menjadi monster sudah bulat.

"Juan, hal apa pun yang mau kaubicarakan denganku, sebaiknya tidak sekarang," Claude berusaha sabar, kendati hatinya telah digerogoti kecemasan ganjil karena dengung yang tak kunjung usai. Dia mendorong Juan agar lekas menjauh, "Kita harus segera mengabari yang lain. Kau panggilah abangmu dan juga Euros. Aku akan memanggil Gareth dan Isaac untuk bersiap-siap pergi keluar dari hutan."

"Tunggu, kita pergi hari ini?" Juan menahan pergelangan tangan Claude.

"Ya. Kita tidak bisa menunggu lagi," Claude mengernyit memandang ekspresi Juan yang seperti terkejut. Dia berkata menenangkan, "Juan, dengar. Kami tidak memaksamu kalau kau tidak mau ikut pergi."

"A-aku mau pergi!" Juan membalas sengit, praktis terlihat ekspresi menahan kesal di wajahnya. Bila dipikir-pikir, dirinya dungu juga. Seharusnya Juan tahu bahwa mereka semua memang tak punya alasan untuk menetap lebih lama di sini. Lantas mengapa dia harus buru-buru memohon pada Claude? Mereka punya sesuatu yang lebih mendesak ketimbang mendengarkan keinginannya untuk menjadi monster.

"Juan, kau tidak apa-apa?" Claude bertanya sambil meremas lengannya dengan pelan.

"Aku akan membangunkan River dan yang lain," kata Juan, kemudian dia segera berputar dan kembali ke tenda istirahat.

Sampai kami mendapatkan kembali serumnya, keyakinan itu bercokol di dalam kepala Juan, seperti cengkeraman kaki gagak pada ranting pohon di musim dingin. Saat suntikan serum itu telah berhasil diambil, Juan akan melancarkan misinya sendiri untuk berubah menjadi monster. Siapa yang akan dia biarkan untuk menggigitnya?

Juan tidak peduli. Bahkan bila dia harus kehilangan satu tangan atau kedua kakinya demi bisa mencicipi serum itu, dia akan rela.[]

-oOo-

Hai gaissss, terima kasih buat yang sudah menanti buku ini :"

Mohon maaf sekali karena aku nganggurin novel ini selama dua mingguan, sebab belakangan ini memang pikiran dan tubuhku lagi sulit diajak kompromi. Sehabis sakit kemarin, aku memerlukan waktu agak lama untuk bangkit dan semangat lagi. Rasanya sakit yang kualami sudah menguras jiwaku juga (aku serius, karena sempat beberapa kali aku merasa sakitku parah banget sampai aku yakin mau meninggal, huhu).

Mungkin itu karena faktor umur kali yah. Aku memang merasa badanku sudah jadi magnet buat berbagai penyakit. Enggak sehat lagi kayak dulu. Aku jadi gampang ngantuk, masuk angin, lesu, kehilangan semangat, dan sering enggak fokus. Sepertinya aku perlu menjalani diet lagi dan berhenti makan nasi dan daging-dagingan, supaya bisa kembali seperti dulu. Badan yang mudah rapuh gini bikin pikiran jadi enggak tenang dan selalu overthinking.

Jadi, aku mohon dukungan dari teman-teman pembaca yah. Mudah-mudahan kalian masih betah menghadapiku. Aku berjanji akan tetap menulis, walaupun mungkin untuk saat ini masih patah-patah dan merangkak, sebab aku juga perlu mengurus kesehatan fisik dan mental yang semakin layu. Doaku juga kulayangkan untuk kalian dan keluarga di rumah, semoga tetap selalu bahagia dan sehat.

Terima kasih sekali lagi. Sampai jumpa di chapter selanjutnya The Pioneers!

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top