29. The Human Shell

-oOo-

HEAVEN memandangi Claude yang berdiri menumpu birai pagar geladak kapal sambil menekuk lutut. Ekspresinya murung, seperti baru saja mendengar kabar pahit. Itu memang bukan ungkapan belaka.

"Sejak tadi kau hanya diam," kata Heaven.

"Aku sudah menduga bahwa tidak akan ada akhir yang baik untuk kami," balas Claude, berpaling dari hamparan lautan yang gelap. "Pernahkah kau berpikir jalan keluar yang lebih mudah dari ini?"

"Jangan bodoh," kata Heaven, tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tidak ada jalan keluar yang instan selain bunuh diri, begitu maksudnya.

"Dua temanku sudah tewas," sahut Claude. "Aku yang mengajak mereka dalam misi ini."

Heaven mengetuk-ngetukkan jemari di susuran geladak. Euros. Nathaniel. Seperti halnya ketakutan akan kegagalan, kematian juga mengintai mereka dalam bayangan. Claude menjadi jauh lebih murung dan putus asa setelah dua kawannya gugur dalam misi. Gerak-geriknya menambah keyakinan bahwa dia bisa melompat kapan saja dari kapal ini lalu menenggelamkam diri, kabur dari dunia kekacauan tempat semuanya bermula dan berakhir.

"Dengar," kata Heaven. "Ini tidak berarti kau menjadi satu-satunya yang merasa bersalah atas kematian mereka. Itu keputusan mereka sendiri untuk mengikutimu, dan kalian yang semua yang tersisa masih bisa menjadi pahlawan setelah semua ini selesai."

"Oh, tutup mulut," Claude mendesau jengkel seraya menatap titik hitam di kejauhan laut. "Menjadi pahlawan untuk apa dan untuk siapa? Setelah semua ini selesai, manusia dan monster tetap tidak bisa bersama. Kami akan selamanya sembunyi di balik bayang-bayang dan melihat dunia semakin tua dan layu. Barangkali di masa depan nanti akan muncul virus yang jauh lebih dahsyat dampaknya, dan fase ini akan terulang terus sampai menewaskan manusia terakhir yang hidup. Menjadi pahlawan hanyalah gelar kekanakan yang disematkan untuk memberi kami harapan palsu."

"Baiklah, Tuan Pesimis," kata Heaven, kemudian menarik pistol dari keliman celananya. Kemarahannya melihat Claude sudah tidak terbendung. "Jadi sekarang sudah bulat tekadmu untuk menyerah. Mengapa tidak mengakhirinya saja sekalian? Laut ini bisa menjadi pemakaman yang pas buatmu. Perlu dorongan sedikit untuk menjungkirkanmu ke dalamnya?"

"Aku tidak bisa," kata Claude, lirih. Iris matanya yang segelap minyak mentah terikat pada Heaven. "Aku ingin kabur dari semua ini, Heaven. Tapi aku tidak bisa meninggalkan teman-temanku berjuang sendiri."

"Mereka membutuhkanmu," Heaven menyelipkan kembali pistol ke kantongnya, lalu memutus kontak dari jerat tatapan Claude. Keduanya praktis menatap titik entah di kejauhan. "Dan aku tidak mau bepergian bersama orang yang seluruh semangatnya telah terkuras. Tunjukkan satu kali keraguan, lalu aku akan membuat kematianmu lebih mudah."

"Tampaknya kau yang penuh ambisi untuk pergi ke sana." Claude memeriksa raut Heaven yang terimbas cahaya bulan. "Apa yang mencegahmu untuk mati, Rubah Api?"

"Klise."

"Putramu?"

Heaven terdiam. Claude kembali berpaling menghadap laut. Ombak di bawah kapal berwarna hitam, dan buihnya bersinar keperakan terimbas cahaya bulan. Bunyi cipratan ombak bergema bersama desir angin yang menggesek badan kapal.

"Kau mau lihat foto Sean?" Heaven tahu-tahu berceletuk. Claude membalasnya dengan anggukan tipis, lalu sang wanita merogoh kantong celananya dan menarik keluar sebuah dompet lusuh yang biasanya dipakai mengisi koin. Claude tersenyum melihat Heaven membawa-bawa sampah masa lalunya ke mana-mana. Dia buru-buru mengatur ekspresi datar ketika wanita itu menyerahinya selembar foto yang dilipat menjadi empat dari dalam dompet.

Heaven di dalam foto mendeprok di lantai sambil memangku seorang bayi yang kelihatannya masih belajar merangkak. Di samping kanan dan kirinya adalah sepasang bocah laki-laki dan perempuan yang berdiri sambil memakan es krim dari gelas karton. Usia mereka sekitar tujuh atau delapan tahun, dan mulut keduanya belepotan krim cokelat.

"Mirip ibunya," kata Claude, menyungging senyum gemas.

Heaven terkekeh. "Jangan konyol. Fotonya tidak sejelas itu."

"Aku serius," lalu Claude menunjuk dua anak di samping Heaven. "Mereka siapa?"

"Keponakan. Tobias dan Ginna."

"Mereka yang katamu ...." Claude tidak melanjutkan kata-katanya, tetapi Heaven mengangguk.

"Bagaimana dengan suami?"

Heaven terdiam sejenak. "Aku tidak sempat membawa benda kenangan darinya."

"Yeah, setidaknya dia masih tersimpan baik di kepalamu," kata Claude, lalu terdiam sejenak. "Kau tahu, Heaven. Menurutku, hidupmu sempurna. Dikelilingi orang-orang yang mencintaimu―keluarga, suami yang bertanggung jawab, anak yang manis. Sayang sekali semua itu hancur karena wabah ini."

Heaven tidak menjawab, dan Claude tidak melanjutkan apa-apa. Betapa aneh, pikirnya. Masa lalu tak seharusnya memengaruhi dirinya. Itu hanyalah gaung peradaban lama yang telah terkubur menjadi fosil tak berguna. Apalagi ini Heaven, orang yang beberapa jam lalu berniat menyarangkan peluru di kepalanya. Tidak ada kepentingan di antara mereka berdua selain upaya kerja sama untuk menghancurkan Janeth. Namun mengapa perkara masa lalu Heaven menganggunya?

"Aku berbohong padamu," kata Heaven tiba-tiba. "Sean adalah anak di luar perkawinan."

Claude mengernyit. "Apa?"

"Aku tidak menikah dengan suamiku―maksudnya Luther. Kami melakukan kesalahan dan aku terpaksa melahirkan Sean. Itu semua ... kebodohanku."

"Untuk apa kau berbohong tentang semua itu?" Suara Claude terbasuh dengan kejengkelan, tetapi lebih banyak keheranan.

"Entahlah, Claude," lalu Heaven mendadak ciut. Kendati wanita itu tidak menatapnya, dia terlihat suram dan pedih. "Barangkali karena aku memimpikan hidup yang sempurna."

"Tidak mungkin," kata Claude, menggeleng. "Kau tidak kelihatan seperti orang yang peduli soal itu."

"Itu karena aku pandai menyembunyikannya." Lalu Heaven mendongak, menatap Claude dalam-dalam. Kali ini tidak ada rahasia yang terselip di dalam sumur matanya yang sehijau zaitun. "Aku bukan orang yang memimpikan kematian sebagai pelarian, Claude. Aku memiliki tujuan jelas―hidupku serupa sistem yang selaras. Sejak kecil aku menyiapkan masa depanku dengan baik; pergi ke sekolah, masuk kuliah, kerja, mencapai karier tertinggi, bertemu seorang pria, lalu menikah. Aku tidak bisa hidup dengan sistem yang bentrok di dalam diriku. Bila ada sesuatu yang salah, sistemku akan melawan dan melakukan sesuatu. Kupikir aku bisa menjaga konsistensi sistemik ini sampai aku meraih semua tujuanku. Tapi di tahun keempat kuliah, aku bertemu Luther. Dia datang, merusak sistemku, membuyarkan semua rencanaku. Berbulan-bulan selanjutnya aku hidup dalam bayang-bayang mimpi yang tidak bisa lagi kucapai. Semua yang kubangun runtuh dalam sekejap. Aku meninggalkan kuliah, bekerja dari satu tempat ke tempat lain. Ditambah lagi, wabah itu datang dan menambah sumber sakit kepala. Aku tidak mau orang lain tahu tentang semua ini, jadi aku mengarang cerita ... aku ingin mereka mengenalku, setidaknya, sebagai orang yang berkesempatan hidup sempurna."

"Kau bercanda."

"Kau boleh tidak memercayainya."

"Hei, kita semua benar-benar tidak peduli dengan siapa atau apa yang kita lakukan di masa lalu," kata Claude.

"Aku peduli," kata Heaven, mengepalkan tangan kuat-kuat. Tiba-tiba suaranya terdengar sakit hati. "Kau putra Marcus, jadi kuasumsikan kau lahir di lingkaran keluarga yang memandang remeh harta. Tentu kau merasa tidak relevan dengan semua yang kurasakan. Hidupku sejak kecil berat, jadi aku selalu menaruh harapan besar pada semua ambisi dan keinginanku."

Kemudian, hening. Hanya ada desir suara ombak yang beradu dengan angin. Heaven berkata lagi beberapa saat kemudian. "Aku tidak bermaksud membandingkan hidupmu dan hidupku. Ini―konyol sekali. Tidak ada gunanya membicarakan masa lalu yang keparat itu."

"Kau benar," kata Claude. "Tidak ada gunanya."

"Maafkan aku, ya."

"Ya, aku tahu kau hanya―" Claude menatap langit sambil berpikir, "―maksudku kita, terlalu sulit untuk keluar dari belenggu masa lalu. Aku pun masih suka bermimpi buruk tentang apa yang kualami dulu."

"Kau berbohong juga, kan?"

Claude mengernyit. "Apa?"

"Ceritamu tentang kau yang penyakitan ... ayah dan ibumu yang merawatmu, lalu kau dan adikmu kabur dari rumah. Kalau kau putra kandung Marcus, kau pasti terlibat dalam rencana sialnya tentang pengembangan serum perubahan itu."

"Ya, ya, aku bohong soal itu," kata Claude. "Tapi tidak untuk bagian penyakitan."

"Jadi kau sungguh pria penyakitan?"

"Kenapa kau terdengar meledek?"

Heaven mendengkus tipis, nyaris tersenyum. Sambil menatap lautan, dia berkata, "Aku hanya ... tidak menduganya. Saat melihat kau melawan gerombolan monster di hutan, aku mendapatkan sesuatu. Kupikir itulah alasan mengapa semua anggota timmu memilihmu sebagai ketua―itu karena kau kompeten dan hebat. Kau menang melawan mereka semua, walau pada akhirnya kau sekarat juga."

Heaven mengusap pipinya yang kering karena cabikan udara dingin. Tak terdengar jawaban apa-apa dari Claude, jadi wanita itu menengok ke sisi kanan. Dia melihat Claude membuang muka darinya. "Kenapa?"

Claude tidak menjawab, dan Heaven mendorong bahunya lebih keras. "Claude, apa aku salah bicara?"

Pria itu berdecih sambil terpaksa melihatnya. Kendati sekeliling mereka hanya dibasuh sinar redup rembulan, tetapi Heaven bisa menilai ekspresi Claude. Dia terlihat jengah dan tak ingin balas menatapnya. Butuh beberapa detik bagi Heaven sampai dia sadar apa yang terjadi pada Claude.

Lucu. Rupanya pria satu ini lemah dengan pujian.

"Berhenti melihatku, Rubah Sial."

Dia melepas pegangannya pada bahu Claude, membiarkan pria itu salah tingkah sendiri di bibir kapal. Heaven lantas kembali tengadah memandang lautan. Tangannya terangkat menutup mulut yang tak tahan untuk menyungging cengiran. Di tengah bising ombak, dia berkata lirih pada Claude;

"Sebentar lagi kita sampai, pria penyakitan."

-oOo-

Acara makan malam telah selesai.

Bau darah bercampur tengik kotoran menggelantung di langit-langit bagai gumpalan asap. Sisa-sisa kanibalisme masih berjejak di sana-sini; potongan kulit, serpihan daging, dan onggokan tulang yang patah dan remuk. Semuanya disingkirkan di dekat pintu sel agar petugas pembersihan bisa mengambilnya sewaktu-waktu.

Tangan mereka tidak lagi dirantai, tetapi nanti akan ada arahan dari langit-langit agar mereka memborgolnya sendiri. Bukan Tuhan yang memberi instruksi (yang benar saja?) melainkan orang di balik speaker. Pengeras suara itu dipasang di langit-langit penjara yang suram, bersama beberapa kamera pengintai yang mengawasi pergerakan mereka sepanjang waktu. Tidak ada yang tahu di mana perangkatnya, namun toh kedua tawanan yang terkurung di dalam sel itu tak peduli. Salah satunya hanya memikirkan makan, satunya lagi kehilangan akal.

River tak tahu sudah berapa lama dia menatap onggokan di dekat pintu jerujinya. Lima jam? Tujuh jam? Atau jangan-jangan sudah seharian? Esensi waktu tak lagi nyata di benaknya, sebab sejak awal otaknya malah memutar adegan yang sama berulang-ulang; prosesi makan malam Kale―si pria berkulit hitam―yang melibatkan perbuatan menjijikan seperti mengerkah tempurung kepala seorang gadis, lalu menyedot substansi otak dari lubang yang dihasilkan dari hantaman giginya. Kengerian itu bercampur dengan rasa takjub. Betapa hebat sekaligus ganjil; nyawa gadis itu lenyap dalam sekali ledakan masif yang mencerai-beraikan kepala dari lehernya.

"Dia masih muda. Mungkin usianya enam atau tujuh belas tahun," kata River, tak repot-repot memandang Kale. Sejak tadi atensinya terpancang pada gundukan kain kumal yang menyelimuti sisa tulang belulang si gadis. Perih bila memikirkan urusan perutnya yang meraung kelaparan. Ada nyawa manusia yang direnggut begitu saja di hadapannya. "Mengapa kau begitu kejam memangsanya, Kale?"

Kale, yang kini duduk bersandar di dinding sel karena kekenyangan, membalasnya dengan cekikik rendah. Jenggot dan rambutnya yang sudah panjang membuat penampilannya persis seperti kakek-kakek, tetapi otot tubuhnya yang padat dan keras mengingatkan River bahwa pemuda itu sebaya dengannya. "Kau kan monster sepertiku. Harusnya tak perlu sengaja bertanya untuk tahu jawabannya."

"Sejak kapan mereka mengurungmu di sini dan mengorbankan manusia untuk makananmu?"

Kale menggaruk pipinya yang ditumbuhi jenggot keriting. "Entah, Bung. Di sini tidak ada kalender. Tapi aku sudah memangsa sembilan yang seperti itu."

Jawabannya membuat River bergidik. "Menjijikkan."

Lalu Kale terkekeh seolah baru mendengar seruan konyol. "Hidup seekor ikan akan tamat saat mereka memakan umpan dari kail, sama seperti gadis tadi yang dilempar kemari. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya begitu dia dilempar ke sarang monster. Di dunia kita, kawanku, moral adalah sampah yang perlu dilucuti untuk bertahan."

"Aku bukan penganut sistem rendahan seperti itu," kata River.

"Kau hanya perlu beradaptasi lebih lama, Bung."

"Tidak. Kau yang perlu menyelami hidup untuk meluruskan spiritualmu yang menyimpang itu. Sudah berapa lama kau menjadi monster?"

"Terakhir kuingat, sekitar tiga bulan."

"Pasti tidak lebih lama dari aku," kata River.

Terdengar Kale tertawa. Entah bagaimana suaranya mirip dengkingan anjing. "Kau masih percaya dunia ini akan membaik?"

River tidak menjawab, dan Kale melanjutkan lagi, "Kau mirip penganut agama, tahu tidak?"

Lalu percakapan itu menggantung begitu saja. Diam-diam River mengafirmasi ungkapan yang disematkan Kale. Dia memang penganut kristen sampai wabah itu datang dan menghancurkan masa depan yang dibangunnya sejak dulu. Doa merupakan janji, dan sekarang adalah masa ketika janji diingkari dan harapan tidak lagi berlaku. Walaupun River tahu soal itu, akan tetapi dia tidak bisa membiarkan dirinya jatuh ke lubang yang sama seperti Kale. Dia tidak bisa mengelupas prinsip lamanya dan bangkit sebagai sosok monster baru yang kejam, haus darah, dan berkuasa seperti nephilim yang mengangkangi bumi jauh sebelum manusia diciptakan. Dia masihlah manusia, tertanam dalam DNA-nya yang kini termutasi oleh substansi asing bernama Kureiji. Cangkang ini adalah tubuhnya sejak dulu, dan dia tak mau menyerahkan dua puluh tiga tahun hidupnya demi sebuah rasionalitas virus yang bersemayam di dalamnya.

Lucu sekali, padahal dahulu River sangat yakin telah membuang jauh-jauh kehidupan manusianya―impian dan hasrat, ambisi dan ketakutan, cinta dan kerinduannya terhadap dunianya yang lampau. Dia memaksa Juan untuk berhenti berharap pada dirinya. Dia membuat anak itu menangis karena mengharapkan dunia yang sama sepertinya. Namun apa yang dilihat River sekarang? River bukan manusia, tetapi juga bukan monster. Dia adalah makhluk abu-abu yang berdiri di ambang dunia keduanya. Apakah dia adalah monster seperti Kale yang menolak siapa dirinya sekarang? Apakah dia adalah jiwa manusia yang kepercayaannya dilukai oleh otoriter monster yang angkuh?

"Kau ini monster, dan kau hanya harus terbiasa, Bung, percayalah," Lalu Kale menampakkan seringai lebar yang tersembunyi di antara jenggotnya yang terbasuh keringat dan darah. "Tak lama lagi, mereka akan membawa manusia berikutnya. Kau harus mengisi perutmu kalau mau tetap hidup."

River mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tidak mungkin, batinnya. Berapa lama manusia bisa bertahan tanpa makan? Apabila tubuh monsternya sanggup beregenerasi, bukankah dia bisa bertahan lebih lama dengan perut kosong? Namun, sampai kapan?

"Dengar," kata Kale. "Mengapa liur kita mengalir saat mencium bau daging? Itu adalah sinyal yang diberikan otak untuk menyantap makanan itu, Bung. Otak kita tahu apa yang terbaik bagi tubuh kita, dan kau tidak bisa menyangkalnya. Mau menahan lapar seperti apa pun, predator seperti kita akan kembali ke pengaturan awal. Yang kau perlukan hanya sedikit dorongan."

Kale tidak mendengar jawaban apa pun dari River. Saat dia berpaling ke samping, dia menemukan River sudah bersimpuh di atas lantai sambil mengangkat tangan seperti sedang berdoa.

"Apa yang sedang kau lakukan, bodoh?" tanya Kale.

Mata River yang semula terpejam kemudian terbuka. Dia lantas menatap Kale dengan sorot menusuk. "Aku memilih untuk menjadi manusia, Kale. Aku manusia."[]

-oOo-

.

.

.

.

Sebenarnya chapter ini masih panjang, karena River masih harus ngobrol sama Kale tentang ini itu. Tapi yaaa... entah bagaimana pas ngetik chapter ini aku lagi sentimentil, jadi kepenginnya ngomongin sesuatu yang lebih .... dalam. Eh kebablasan sampe 2500 awkwkwk. Yaudah mingdep aja.

Tbh, meskipun pembahasan River sama Kale adalah perihal siapa mereka sebenarnya, keadaan ini masih bisa direlevansikan dengan apa yang kita alami di dunia nyata.

Sering kita berpikir bahwa kita sudah meninggalkan dunia lama dan jadi sosok yang tidak diinginkan sekarang. "Kenapa ya aku kok sekarang jadi gini? Ke mana diriku yang dulu? Aku kok udah menyimpang jauh dari apa yang kuinginkan?" Dan karena kita tinggal di lingkungan yang mendukung new life style itu, entah bagaimana kita jadi mengidentifikasikan diri sesuai nilai-nilai sosial yang ada di dekat kita. Kita lupa sejenak tentang siapa kita dulu, padahal "lupa" bukan berarti kita meninggalkan dunia lama. Kita hanya ada di masa dorman karena new norm yang sekarang memaksa kita untuk membuat langkah baru.

"Yang kita butuhkan hanya sedikit dorongan." Dorongan yang entah akan menjungkirkan kita ke dunia lama atau ke dunia baru. Pilihannya ada pada kita. Kita adalah jiwa bebas yang berdiri sendiri. Kita tidak harus mengikuti sistem seperti yang dilakukan Heaven dalam hidupnya. Kita bisa melawan, memberontak, berbuat sesuatu untuk mengembalikan jiwa lama kita. 

River memilih dunia lamanya (menjadi manusia), meskipun secara DNA, tubuh yang dia miliki sekarang adalah monster.

Bagaimana dengan kamu, dunia mana yang kamu pilih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top