28. The First Meal
-oOo-
INI bukan rencana paling berani, melainkan rencana paling bodoh.
Gareth pernah berkata pada River bahwa perbedaan antara keberanian dan kebodohan hanyalah setipis rambut. Dan, itu benar, menurut konteks yang dialaminya sekarang. River mempunyai kecenderungan untuk bereaksi cepat, tetapi pikirannya sedangkal selokan kering. Mirip pawang badung yang menantang maut mengambil permata di kerongkongan buaya tanpa pengaman; sembrono, dan kurang perhitungan. Bagaimana mungkin dia melakukan misi bunuh diri dan memercayakan nasib seluruh kawannya kepada Janeth? Tidakkah dia lupa betapa liciknya wanita itu? Dunia tempat tinggalnya yang sekarang telah mengubah kebohongan menjadi senjata, sementara janji dan jaminan sepadan dengan ludah yang dibuang di tempolong. Janji keselamatan yang diutarakan Janeth, tentu akan disingkirkan mentah-mentah begitu River tewas.
Yah, tapi buat apa menyesal sekarang? Waktu tidak bisa diputar. Sekarang River harus bisa menikmati apa yang sudah dituai dari kesembronoannya.
"SIAPA YANG MAU MELAWANKU? MAJU KALIAN SEMUA, BEDEBAH BERENGSEK!"
Selepas tantangan itu dilecutkan, arena pertandingan menjadi ricuh. Seseorang melompat dari balik pagar kawat dan mendarat lincah di hadapan River, disusul orang kedua dan ketiga. Dalam beberapa detik yang bising, lima pria setengah monster telah berdiri mengepung River, siap mencabik-cabik tubuh pemuda itu. Mereka semua menunjukkan tanda-tanda kegilaan yang selalu bisa ditemukan di wajah para psikopat berantai.
River menggeram, sementara seluruh isi tubuhnya mendidih. Dia merasakan perubahan itu berwujud letupan ganas yang mengambil alih kewarasannya. Otot-ototnya mulai bergejolak, disertai sendi-sendi yang berkeletak; kuku jarinya memanjang dan kulitnya menjadi sepadat kayu. Transformasi itu meninggalkan kesan tak terlupakan di benak River. Kesan terakhir kali sebelum dirinya bertarung untuk mati.
Namun, sebelum tumitnya menumpu beban untuk serangan pertamanya, River merasakan sesuatu;
Petir menyambar kepalanya begitu keras.
"Kosong dua," Wayne―tujuh meter di atasnya―berdesis lirih, selagi ibu jarinya memijat tombol nomor dua pada remote kecil di genggamannya. Sensor implan yang tertanam di balik tengkuk River seketika bekerja. Dari balik dinding kaca buram di hadapannya, River tahu-tahu saja jatuh berdebum ke tanah gembur―lantas mengejang dan berkelejat, seperti moluska yang disiram air garam, sementara otot-otot di sekujur tubuhnya mengempis memilukan ke ukuran semula, mewujud raga manusianya yang rapuh dan tidak berdaya. Kedua matanya, yang bergetar di rongga, tampak berlurik kuning dan merah, seperti kelereng, seolah pembuluh darah di balik lapisan retinanya meledak.
Wayne menatap tegang para monster yang mendadak membeku di arena. Mereka semua mundur perlahan seolah terkejut dengan pemandangan River yang tersiksa.
Sementara Janeth berdiri di belakang Wayne, menatap dinding kaca di hadapannya dengan sorot pahit seperti baru saja dikalahkan.
"Hampir saja kita kehilangan bedebah itu," Janeth berdesis, lalu berpaling pada sepasang penjaga laboratorium yang berdiri di dekatnya. Suaranya lantang memerintah, "Bawa orang itu ke penjara timur. Pisahkan dia dari kelompoknya."
Setelah para penjaga turun, Wayne melepaskan pijatan pada tombol remote, disusul tubuh River yang seketika memadam di bawah sana; terkulai tak berdaya. Beberapa saat kemudian, gerbang arena terbuka. Segerombolan penjaga berseragam lengkap muncul dari balik gerbang dan beramai-ramai membelah ketegangan. Terjadi bising meresahkan di antara para setengah monster yang tak tahu apa-apa. Mereka berbisik dan bertanya-tanya ... menggali jawaban dari para penjaga yang berkeliaran ... Ada apa ini? Apa yang terjadi? Mengapa orang itu tiba-tiba kejang? Apa ada varian virus baru yang tak kami mengerti?
"Ini berisiko, kau tahu itu, bukan?" Janeth hampir menggeram ketika memandang kericuhan di bawah, yang syukurnya dapat ditangani dengan mudah. Selepas River digotong pergi beramai-ramai, seorang penjaga berkata sesuatu entah apa untuk menenangkan kerumunan. Dalam sekejap, arena luruh senyap seperti hutan purba. Semua orang mundur karena pertandingan terpaksa dihentikan.
"Kita harus berhati-hati agar tidak menimbulkan huru-hara yang tidak penting di kalangan para monster lelaki itu," lanjut Janeth seraya menatap para pria yang bubar. Raut mereka tercabik antara kecewa dan bertanya-tanya.
"Bila mereka bertanya, jawab saja ini hanya hukuman yang disediakan bagi para tahanan," kata Wayne seraya menjejalkan kembali panel remote ke dalam kantung celananya.
"Tidak semudah itu," kata Janeth. "Aku harus memastikan para monster binaanku tidak mengendus kecurigaan yang berujung pemberontakan."
"Anda takut pada mereka?" Wayne berputar dan menghadap Janeth. Sekilas, untuk sekilas saja, ekspresinya seperti mengejek.
"Tidak sedikit pun." Janeth menatap Wayne. "Aku merasa berkuasa."
"Lantas mengapa cemas bila mereka berbuat ulah?"
"Aku enggan membuang energiku untuk sesuatu yang tidak penting, Wayne Frederick. Aku bisa membinasakan semua monster membangkang di markas ini hanya dalam sekejap mata, tetapi aku harus menghadapi kesulitan untuk membangun kembali pasukan yang kuat seperti sekarang. Lebih baik mencegah daripada memperbaiki."
Lalu Wayne pelan-pelan melirik ruangan tertutup yang terletak mengapit tribun dasar. Pikirannya mendarat pada abang Juan yang baru saja dibawa keluar. "Orang yang barusan," kata Wayne pada Janeth. "Akan Anda apakan?"
"Menurutmu, hukuman apa yang cocok untuknya?" Janeth menautkan kedua lengannya di punggung dan melangkah mengitari dinding kaca. Wajahnya mendongak menatap langit yang muram. "Dia berjanji akan memberitahuku semua informasi soal Claude, tapi dia malah menipuku dengan berlagak membunuh dirinya sendiri. Melihat betapa keras kepalanya orang ini ... pengasingan saja tidak cukup untuk membuatnya bekerja sama."
"Lalu bagaimana?"
"Dia harus dibujuk dengan sedikit siksaan." Janeth berputar dari jendela dan menghadap Wayne. "Wayne, apakah orang yang barusan sangat kuat?"
"Sepertinya," kata Wayne. "Aku pernah melihatnya bertarung melawan pasukan militer di pangkalan Forbs. Tapi itu pertarungan antara monster dengan manusia, mungkin tidak sepadan dengan definisi "kuat" yang Anda cari."
Janeth menarik napas seraya memejamkan mata, seolah berusaha mengingat sesuatu. Memorinya berputar ke masa setahun silam, saat dirinya terlibat pemberontakan bersama dua orang tawanan yang kabur dari Forbs. "Mm, samar-samar aku memang mengenal wajah itu. Tidak salah lagi, dulu dia pernah membantu dua tawanan militer kabur dari pangkalan, yang kelak kuketahui salah satu dari tawanan itu merupakan abangmu. Sejak dulu, pemuda satu ini memang menempel terus pada Claude."
"Ya, ya, seingatku namanya adalah River. Aku mendengar kawan-kawannya di sel penjara menyebut namanya seperti itu," kata Wayne.
"Dia sudah lama menjadi monster," kata Janeth, lalu pandangannya merayap turun, menyapu orang-orang yang berseliweran dari balik dinding kaca. Suaranya menjadi lebih dingin dan mengawang, "Jauh lebih lama dari orang-orang yang kubina saat ini."
"Apakah lamanya waktu menjadi monster memberikan perbedaan yang berarti dibandingkan dengan mereka yang baru saja berubah?"
"Menurut data yang dilaporkan, ada." Janeth mengangguk tipis. "Orang-orang yang lebih dulu menjadi monster, memiliki gen yang telah terevolusi lebih sempurna, terutama bila mereka telah dapat mengendalikan diri dan mampu hidup sebaik-baiknya di antara dua lingkup dunia yang berbeda. Gen mereka telah sepenuhnya memprogram tubuh-tubuh yang ditempati untuk bertahan hidup, dan ini dibuktikan dengan kondisi para monster yang sangat prima, stabil, dan ... kemungkinan paling logis, organ reproduksinya telah subur dan adaptif."
Mendadak saja Wayne merasakan firasat buruk di benaknya.
"Apa ... yang mau Anda lakukan?"
Janeth berdecak enteng, "Aku akan memasukkan subjek bernama River ke dalam percobaan fertilisasi berikutnya."
-oOo-
Keadaan tidak berlalu baik berjam-jam setelah penyiksaan itu usai.
River tidak meyakini apa yang terjadi setelah dirinya mendapat serangan itu. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah rasa sakit yang menjilat-jilat seluruh ujung syarafnya, menekannya ke dalam rengkuhan halusinasi kematian. Membayangkan hal itu saja membuatnya mual berkepanjangan.
"Siapa namamu, Bung?"
Pertanyaan itu datangnya dari seorang pria yang menempati sel yang sama dengannya. River mengerjapkan mata dengan pelan, mengusir denyut yang menekan-nekan tempurung. Saat mencoba menggerakkan lengan, suara gemerincing rantai yang terjulur di dekat kepalanya membuatnya tersadar. Pemuda itu mendongak dan menemukan kedua pergelangan tangannya telah diikat dengan rantai dan digantung ke atas.
"Aku ... di mana?" River berusaha berkata. Suaranya parau dan tidak jelas, seolah dia baru saja menelan pasir kering.
"Di sel penjara," kata suara itu. Lemah, tetapi jernih. Atau barangkali ruang tertutup ini membuat suara bisikan menjadi senyaring jeritan.
River mengangkat kepala. Rasanya tidak ada siapa pun di sekeliling―tidak juga dengan presensi kawan-kawan dan juga adiknya. Akan tetapi, dia bisa merasakan seseorang ... berada di dekatnya. Dia tidak bisa menentukan siapa dan mengapa, apakah orang ini kawan atau musuh. Namun suhu panas yang menggumpal di dekatnya memberitahu posisi orang itu. Butuh beberapa saat agar kabut merah di mata River tersingkap dan menampakkan segalanya dengan jelas.
Setelah beberapa saat yang rasanya nyaris sejuta tahun cahaya, pemuda itu mulai mendapatkan kesadarannya secara utuh. Dia melihat seorang pria berkulit hitam duduk tak jauh darinya. Kedua tangannya juga dipasung dan dirantai di atas kepala, sementara kepalanya terkulai di bahu. Dari panjang rambut dan jenggotnya yang tak tercukur, sepertinya pria itu sudah berada di sel penjara ini jauh lebih lama dibandingkan River.
"Kau punya minum?" Pria itu bertanya.
River mengernyit menahan kram di sekujur tubuh. Pelan-pelan dia membetulkan posisi dan berbicara pada pria itu. "Memangnya kau tak bisa lihat bagaimana kondisiku, hah?"
"Minum," pria itu mengulangi. Matanya yang agak kuning menatap River dengan suram. "Aku butuh minum, pria manis." Lalu pelan-pelan dia menyeringai, mirip seperti seorang bajingan yang bermain mata dengan para gadis.
"Minum saja kencingmu sendiri."
River memilih untuk tak melibatkan diri dengan perbincangan aneh ini. Lebih baik mengurus dirinya yang masih lemah. Oh, penjara ini memberi jawaban dimana dia sekarang. Misi sembrononya gagal―sudah pasti ini ulah Janeth. Dan sekarang dia dibawa kemari untuk mengalami fase penyiksaan berikutnya. River tak masalah dengan cambukan atau goresan. Atau mungkin sebetulnya dia gelisah, tetapi saat ini pikirannya penuh dengan kekhawatiran atas nasib kawan-kawannya. Bagaimana dengan Isaac? Apakah setelah pertarungan itu dia dibawa pergi ke tempat lain? Apa yang terjadi dengan Juan dan Gareth? Janeth berjanji dia tak akan menyiksa mereka, tetapi apakah River bisa percaya begitu saja pada mulut wanita licik itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergelayut di benaknya tanpa jawaban. River pelan-pelan menegakkan kepala dan menyandarkannya ke dinding. Saat melakukannya, dunia di sekitarnya berputar lagi, seolah-olah dia berada di geladak kapal yang berayun karena ombak. Seluruh sendinya sakit, dan otot-ototnya bergetar pegal. River harus berjuang agar tidak memuntahkan isi perutnya di sini, itu pun kalau dia yakin perutnya pernah terisi. Astaga, sudah berapa lama dia tak makan?
"Makan." Sepertinya pria di sampingnya memiliki kemampuan membaca pikiran. Orang itu berkata lagi dengan nada terseret-seret sama, dan tatapan yang meneriakkan kenajisan dan kegilaan ... semacam hasrat aneh yang biasa ditemukan pada wajah-wajah anjing yang ingin kawin. "Kau lapar tidak, pria manis?"
Alih-alih menjawab, River memperhatikan pria itu baik-baik. Satu-satunya kenyataan yang membuatnya lega adalah potensi bahwa pria di hadapannya ini adalah setengah monster sepertinya. Namun, bukankah seharusnya penjara diperuntukkan bagi para tawanan untuk disiksa? Kendati sudah lama berada di sini, pria satu ini justru tak menunjukkan kelelahan atau depresi seperti yang biasa terbingkai di wajah para tahanan. Selain keadaan rambut dan jenggot yang tak tercukur, sepenuhnya dia terlihat ... baik-baik saja, kecuali bila seringai menakutkan dan kalimat sepotong-potong yang dilesatkannya dihitung sebagai gejala sakit mental.
"Hei, pria manis," Pria itu mengulangi. Seringainya menampakkan barisan gigi yang berselimut ludah dan darah. River mengernyit mengetahui fakta itu. "Sebentar lagi makanan datang."
"Apa yang mereka lakukan padamu?" River berusaha menggali sisi lain yang tak tergapai. Orang ini jelas memberinya beban pikiran baru―semacam kelegaan bercampur ketakutan. Lega bahwa tampaknya dia tidak mengalami siksaan ekstrem, tetapi takut bila kegilaan yang diidapnya inilah yang merupakan akibat dari siksaan ekstrem. "Apa yang mereka berikan padamu, Bung? Kau kelihatan kacau." River bertanya lebih menuntut.
"Makanan." Lalu pria itu menyeringai lebih lebar, hingga benang ludah yang menggantung di sudut mulutnya menetes di lantai. "Mereka memberi makanan ... yang enak. Kau harus mencobanya juga, pria manis...."
"Si-sialan."
"Lihat, lihat! Mereka datang! Mereka datang bawa makanan!"
Setelah kalimat itu diucapkan, bak alarm yang berdering, terdengar bunyi beberapa langkah orang yang mendekati sel. Dari balik jeruji logam tebal yang membatasi pandangannya, River melihat sepasang petugas mengenakan masker dan pelindung pakaian lengkap, datang seraya memapah seorang perempuan pada kedua bahunya. Perempuan itu ... tidak bisa dikatakan hidup, dilihat dari tubuhnya yang menggantung lemas dan kepalanya yang terkulai melewati batang lehernya yang kurus. Saat pintu sel dibuka, sepasang petugas itu melempar sang perempuan ke tengah-tengah ruangan. Dia mendarat dengan wajah terlebih dahulu di pelataran tanah yang agak gembur. Bunyi gedebuk memualkan terdengar lantang di antara kesunyian.
River menatap dengan kening berkerut tidak percaya. Perempuan itu nyata-nyata masih hidup, tetapi kondisinya mengenaskan. Dengan gerakan lambat dan memilukan, dia mendorong wajahnya hingga akhirnya mencium udara. Hidungnya bengkok karena patah, menyemburkan darah pekat yang membasahi tanah, sementara mulutnya megap-megap. Terdengar bunyi geluguk mengerikan dari pangkal tenggorokannya seolah dia tersedak darahnya sendiri. Sesuatu yang paling membuat River mual, datangnya dari balik rok lusuh yang dikenakan si perempuan. Tercium aroma darah yang sedikit bercampur dengan tengik kotoran dan pesing air seni. Gumpalan darah berbentuk pasta melumuri tiap jengkal betisnya yang kurus, dan di beberapa bagiannya, ada sesuatu yang menggeliat dan berkerumun. Penyelidikan lebih dekat memberi informasi bahwa itu adalah koloni belatung yang menggerogoti kulitnya.
"Makanan! Makanan! Makanan!" Pria di sampingnya meneriakkan kata yang sama berulang kali. Nafsu membuat matanya melotot dan tangannya tersentak ke depan dan belakang, seolah ingin segera lepas dari belenggu rantai supaya bisa menerjang perempuan itu. Sementara River, hanya mampu terduduk kaku, tercabik di antara kepanikan dan syok luar biasa. Seandainya tidak ada dinding di belakangnya, dia pasti akan menyeret dirinya mundur sejauh mungkin.
"Subjek tujuh belas sudah dihapus," kata salah seorang petugas lewat mikrofon yang tertanam di balik maskernya. Selanjutnya mereka berputar dan melangkah ke luar jeruji, lalu kembali menguncinya dengan semacam gembok mekanis. Pada saat itu, gagasan mendomprak kepala River. Pemuda itu mendongak dan membentak, "Dasar berengsek! Apa yang kalian lakukan? Perempuan itu masih hidup!"
Kedua petugas itu saling menatap satu sama lain. Tampak tidak terpengaruh apa-apa. Salah satunya lantas mengeluarkan perangkat berbentuk bulat pipih dari dalam kantong. Dia menekan sesuatu, kemudian rantai yang membelenggu River dan pria di sampingnya sama-sama lepas. River terpaku syok, sementara pria asing di dekatnya berbuat sesuatu yang telah diduga;
Tubuh pria itu terlonjak maju dan langsung menyambar subjek 17 yang meringkuk sekarat di lantai. Dia mencengkeram puncak kepala si perempuan dan menyentaknya ke atas, diriingi bunyi keretak tulang leher yang tercerabut dari sendinya. Mulut pria itu menganga, menampakkan barisan geligi yang langsung menggigit leher subjek 17 yang tersentak, sementara mata gelapnya berputar di rongganya. River merapatkan diri pada dinding, bersamaan dengan jeritan si perempuan yang bergema ke seluruh langit-langit ruang penjara yang sempit.
Dalam keterpakuannya, River melihat bagaimana pria itu memangsa subjek 17. Dia melepas persendian pada lengan atas dan merobek daging dari tulang, memalingkan kepala ke samping bersamaan dengan selarik daging yang terkempit di antara giginya terkelupas dari lengan kepucatan si perempuan. Suara rahangnya yang bekerja berbaur bersama bunyi buk-buk-buk kaki korban yang berkelojotan di tanah, serta dengusan beringas yang mirip anjing liar mengendus-endus semak belukar.
Tidak ada yang memberitahu River bahwa makanan pertamanya di sel penjara malam itu adalah manusia hidup.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
.
Kalau kalian lupa tentang subjek 17, silakan bisa baca lagi chapter 21 (The Intense Decandence) yaa. Ada adegan Wayne menyusuri penjara lain dan ketemu sama dua tawanan perempuan. Satu perempuan yang lebih tua minta tolong ke Wayne buat membawa seorang gadis yang kelihatannya udah sekarat. Dan waktu Wayne periksakan hal ini kepada Janeth, Janeth sempat nyebut gadis itu adalah subjek 17 yang gagal dalam percobaan pembuahan.
Yah, kok malah aku yang nyeritain ulang awkwkwkw
Yaaa pokoknya begitulah. Jangankan River. Aku aja enggak nyangka bakalan mempertemukan River dengan prosesi penghukuman sedemikian buruk... percayalah, kalau kalian mau marah, silakan marah ke Janeth. Perempuan satu ini jalan pikirannya nggak terduga
😔😔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top