26. The Twinkling Wings

Maaf yaa karena menanti lama. Tapi kujamin chapter ini bikin kamu emosional. Please baca dengan penuh penghayatan!

Better to read at night 🌕

-oOo-

CLAUDE tahu bahwa dirinya kini menjadi sasaran mentah yang bisa sewaktu-waktu Heaven bunuh, tetapi di sisi lain dia tak bisa menemukan alasan untuk mendisiplinkan wanita itu. Sikap pengecutnya pasti akan membuat kawan-kawan tertawa. Kalau Nathaniel dan Euros tahu bahwa penyamarannya terungkap, kemungkinan besar mereka akan menyarankannya untuk meninggalkan Heaven di hutan, atau yang lebih parah―dan mungkin hanya Euros yang tega―menyuruh Claude untuk membunuh Heaven.

"Heaven," Claude menyusuri hutan sambil bertelanjang dada. Langkahnya pincang akibat luka di sisi tubuh yang belum begitu pulih. "Kau tahu sekarang aku percaya padamu, dan walaupun aku tahu kau tidak―atau belum―percaya padaku, pastikan kau tidak membuat rencana untuk membunuh kawan-kawanku juga."

"Sekarang aku punya alasan untuk membunuh mereka," Heaven berdesis marah seraya melangkah mengekori Claude. Kedua tangan bersedekap di dada, menghalangi tubuhnya yang hanya berlapis pakaian dalam dari genta angin yang memecut-mecut tak berperasaan. "Kalian semua adalah bajingan sialan yang bekerjasama untuk memanfaatkanku."

"Kami tidak memanfaatkanmu."

"Lalu apa?" kata Heaven. "Kalian menolak Jasper yang ingin bergabung, tetapi tidak denganku. Pasti ada alasan, bukan?"

Claude membisu, enggan mengatakan bahwa dia membutuhkan Heaven agar wanita itu dapat mendekati Janeth. Barangkali menjadi mata-mata yang nantinya akan mengkhianati Janeth di saat-saat akhir; umpan―dalam pilihan kata yang lebih kasar. Namun entah bagaimana, memikirkan hal itu memilinnya dalam keraguan dan rasa bersalah. Benarkah dia tega menjadikan Heaven umpan? Atau―pada skala alasan yang lebih logis―benarkah dia yakin Heaven tidak akan berbalik dan melawannya? Musuhnya adalah seorang ilmuwan yang jauh lebih cerdas. Bisa saja Janeth menemukan titik lemah Heaven dan malah membujuk wanita itu untuk mengikuti rencananya. Di saat-saat seperti ini, seharusnya Claude dapat meyakinkan Heaven bahwa mereka ada di pihak yang sama. Namun karena kebodohannya, penyamarannya malah terungkap lebih awal, dan Heaven semakin membencinya.

"Jadi kau tidak mau memberitahu alasannya?" Heaven berceletuk. "Kenapa kelompok kalian mengizinkan aku ikut?"

"Karena kami tahu kau punya kemampuan," kata Claude, berusaha memilih kata-kata agar terdengar bijak. "Nath bilang padaku kalau dulunya kau merupakan pasukan elite militer. Kami tidak akan sembarangan mengajak orang kalau orang itu tidak punya tugas berguna dalam kelompok."

"Jadi kalian mengharapkan aku terjun ke dalam misi penghancuran konyol itu?"

"Berengsek, ayolah." Claude berputar dan menghadap Heaven. Tindakannya yang tiba-tiba membuat Heaven lengah dan malah membenturkan keningnya di dagu Claude. Heaven meremang jengkel dengan wajah terlapisi rona ungu, sementara Claude membalas tidak habis pikir, "Apa di saat-saat seperti ini kau masih menganggap kami bocah yang menjudi nasib untuk melawan kriminal kelas kakap macam Janeth? Kami serius menyulut perang, dan kami melihat kau memiliki kemampuan yang layak. Kami mengakui kehebatanmu, Heaven, dan secara pribadi aku memercayaimu. Masih kurang pujiannya?"

Heaven yang dirudung jengah, akhirnya membalas, "Aku tidak percaya kepada kalian bukan karena aku meremehkan kemampuan kalian atau menganggap kalian sebagai bocah. Aku hanya tidak percaya di dunia ini ada kawanan monster yang ..."

Kalimatnya terjeda sebentar. Seolah ragu, tatapannya terbelit pada iris kolam madu milik Claude, yang berkilau ditempa sinar rembulan hutan.

"Sudahlah," desis Heaven, melengos.

"Kau mau bilang apa?"

"Aku terpaksa bergabung dengan kalian karena aku ingin menyelamatkan putraku, itu saja. Sejak awal aku tidak berminat menghancurkan Janeth dan kawanan kroninya."

Hampir saja Heaven meloloskan pujian yang berpotensi membuat Claude besar kepala. Kawanan monster yang seperti pahlawan? Ha, bisa saja. Kendati Claude telah menyelamatkan nyawanya dua kali, mulut Heaven enggan sekali mengakui itu.

"Kau akan melakukan segalanya demi keselamatan putramu, bukan?"

Heaven tidak menjawab, lalu Claude menjanjikan sesuatu yang membuat rahangnya jatuh. "Aku juga akan melakukan segala cara agar putramu selamat."

"Apa?"

"Kau tidak salah dengar."

"Kenapa kau mau melakukannya?"

"Untuk membuktikan bahwa aku pantas untuk kaupercaya," kata Claude, kemudian pria itu mengangkat tangan untuk berjabat. "Sekarang mari ulangi kesepakatannya. Kita adalah tim yang terikat oleh kepercayaan satu sama lain. Aku akan menyelamatkan putramu, asalkan kau juga harus memberikan yang terbaik untuk timku. Jangan ada pengkhianatan di belakang."

Rencananya sejak awal tidak begini, Heaven membatin jengkel. Sejak awal dia hanya ingin menyelamatkan Sean dan meninggalkan rombongan mereka melawan Janeth seorang diri. Wanita itu termangu sejenak seraya menatap tangan Claude yang menanti untuk dijabat.

Perjalanannya sejauh ini terbilang tidak mulus. Terakhir kali dia hampir tewas diterkam monster ganas, jadi bukan main dungunya bila dia tidak mengonsiderasi tawaran Claude. Dia hanya perlu membalas budi secara total, huh? Dan bila dipikir-pikir ... kematian Heaven adalah nilai yang kecil dibandingkan keselamatan anaknya.

"Baiklah." Heaven menjabat tangan Claude, meremasnya cukup kuat, sampai-sampai dia bisa merasakan tulang yang bertonjolan di buku jari Claude. "Pegang janjimu untuk menyelamatkan Sean."

Claude menyungging senyuman miring yang kelihatan begitu lega. Heaven menangkap tanda-tanda ketulusan dari deretan gigi Claude yang berkilau. Aneh rasanya melihat ada orang yang bisa memasang ekspresi selepas ini di tengah-tengah hutan yang gelap dan mengancam. Dan, Heaven merasa lebih malu karena cengiran itu ditujukan untuknya.

Dia membuang muka untuk menyembunyikan rautnya.

"Kau kedinginan, Rubah Api?" Claude memandang Heaven tanpa petunjuk apa-apa.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu."

Claude terkekeh. "Aku sempat mau memanggilmu Red Viper―Ular Berbisa Merah, tapi kau tidak seganas seperti yang orang lain pikir. Kau lumayan ramah kalau didekati."

Sebetulnya Heaven memang tidak suka dengan panggilan konyol yang timnya sematkan padanya. Red Viper terdengar seperti nama penjahat keji nan rakus di film superhero yang biasanya kebagian akhir tragis―misalnya tewas dalam kebakaran ketika ingin mencelakai sang pahlawan. Semacam karakter jelek dengan akhir yang mengenaskan. Mengapa ibunya repot-repot menamainya "surga" bila akhirnya dia gugur sebagai bajingan?

"Baiklah, kau kelihatan masam sekali. Mau kupanggil Red Viper saja?"

"Tidak," cetus Heaven, lalu dia mendorong Claude dan melangkah maju duluan. "Panggil aku apa saja, asal bukan Red Viper. Aku benci julukan itu."

Claude mengusap hidung untuk menahan ketawa, kemudian dia berputar dan mengekori Heaven dari belakang. Mereka menghambur ke kedalaman hutan yang suram. Sinar bulan yang menembus lapisan awan, terpapar menerangi jalan mereka bagai jejak senter yang berkilau perak. Tidak ada suara di hutan itu selain bunyi sayap serangga dan desau lembut angin yang menggesek daun.

Karena menghindari titik awal pertemuan dengan kawanan monster buas, mereka memilih rute yang lebih panjang untuk mencapai kaki perbukitan yang berbatasan dengan bibir pantai. Sepanjang perjalanan, mereka celingukan mencari Nathaniel dan Euros yang sejak siang tadi terpisah. Claude memutuskan bahwa mereka akan menunda keberangkatan selama sehari sampai Nathaniel dan Euros muncul di pantai yang sama. "Kalau mereka masih hidup, mereka pasti akan menuju pantai," katanya yakin. Namun ketika mereka sedang turun dengan hati-hati melalui tebing yang menganga, Claude melihat seseorang.

"Nathaniel?" Claude bergumam, nyaris berbisik. Heaven yang mendengar suara Claude langsung menatap ke titik yang sama.

Dari kejauhan, mereka melihat seseorang duduk bersandar di dasar tebing dekat laut, di mana ombak yang lebih rendah memercik bebatuan selembut sapuan selendang seorang penari. Sosok itu tengadah saat melihat bayangan berkelebat yang mendekat, kemudian lekas-lekas berdiri. Nathaniel memasang ekspresi terkejut ketika melihat Claude dan Heaven muncul dari selimut kabut di kejauhan. Dia berlari menghampiri mereka berdua dengan langkah pincang.

"Claude, astaga. Kau masih hidup!" Nathaniel langsung merangkul Claude dalam pelukan erat, tetapi Claude langsung mengernyit ketika lengan Nathaniel membentur rusuknya yang belum pulih total. Nathaniel melepas rengkuhannya dan menatap Claude dengan cemas. "Apa yang terjadi? Kenapa kau telanjang begini? Kau terluka?"

"Babak belur karena ulah monster," kata Claude. Nathaniel tak perlu penjelasan lebih lengkap tentang mengapa pakaian atasan Claude menghilang. Pria itu pasti sempat bertransformasi untuk melawan monster. Pandangannya lantas mendarat pada Heaven, yang rupanya sama-sama memprihatinkan. Bibir wanita itu agak membiru dilalap dingin, dan tubuhnya yang nyaris telanjang juga gemetar.

"Sersan, ke mana kemejamu? Jangan bilang kau ikut bertransformasi juga!" Nathaniel segera mencopot jaket yang dikenakannya lalu menyerahkannya pada Heaven.

"Aku menggunakan pakaianku untuk menyeka darah Claude." Heaven mengenakan jaket Nathaniel dengan buru-buru.

"Nath, di mana Euros?" Claude bertanya sambil celingukan di sekitar pantai.

Kemudian ekspresi Nathaniel berubah, seolah ada sesuatu yang membebani dadanya. "Maaf, dia ... dia tidak selamat."

"Apa?" Claude terperanjat. Suaranya menjadi gusar. "Kau serius?"

"Untuk apa berbohong di situasi begini?" Nathaniel mendesaukan napas berat. "Dia tewas karena menolongku dari serangan monster."

"Astaga," Claude memejamkan mata sambil memijat tengah keningnya dengan frustrasi. "Lalu bagaimana ... maksudku, jasadnya. Apa dia dimangsa?"

"Tidak, aku menguburkannya di dekat sungai," Nathaniel menjaga suaranya agar tidak gemetar, tercabik di antara kesakitan dan kelelahan―mentalnya kepayahan karena menangis terus sejak tadi. "Bukan tempat yang bagus untuk makam, tapi setidaknya dia tidak dimangsa monster."

"Bocah itu," Claude mendesis tidak percaya. "Aku tidak percaya umurnya singkat."

"Kematiannya cukup baik." Nathaniel mendongak menatap langit gelap yang terisi oleh gemerlap bintang. "Di saat-saat terakhir, dia menatap langit sambil berkata 'indah'."

Lalu mereka membisu beberapa lama, hanyut dalam kesunyian yang dibasuh duka.

"Kita tidak akan diam terus di sini, bukan?" Heaven tiba-tiba berkata mencairkan suasana. Kualitas suaranya menjadi selembut angin. "Euros pasti ingin misi kita berhasil. Sekarang lebih baik kita menjemput kemenangan lebih cepat."

"Ah, kau benar," Claude memalingkan muka dengan cepat, seolah hendak menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca menahan tangis. Dia praktis menarik napas dalam-dalam untuk menguasai diri. Seketika, konsentrasinya kembali. "Baiklah, jadi, kenapa kau malah menunggu di sini? Apakah kau tidak mencari dermaga?"

"Ada, kapal motor di sana. Aku berada di dekat sini karena ingin menunggu kalian," kata Nathaniel, kemudian mengomando jalan menuju tempat tujuan.

Mereka menemukan satu kapal motor yang masih tertambat di tiang―cukup melegakan, tetapi keadaannya buruk. Selain karena kapal ini sudah lama tak terpakai, mereka menemukan bau menyengat yang familier―mirip seperti bau busuk yang sudah dibiarkan terlalu lama.

"Mungkin bau lumut atau bangkai hewan. Jangan berpikir kalau itu bau mayat manusia," kata Claude, kemudian dia pergi dengan luapan semangat yang menggebu. "Aku akan periksa mesinnya. Kemungkinan aku juga bisa menyetir."

Selagi Claude memeriksa bilik kemudi, Heaven memegang senter sambil mengamati dengan gelisah sisi lambung luar kapal, yang bagian bawahnya sudah ditumbuhi kerak dan kelihatan tidak berfungsi. Daun kemudi di bagian buritan berwarna merah gelap―terlapisi karat, terbenam dalam gelombang air yang naik-turun dengan lembut.

"Kurasa mesinnya sudah lama mati," gumam Heaven yang berlutut di dekat kaki Nathaniel. "Tapi kita bisa mencobanya dulu. Nath, apa kau sudah periksa tangkinya? Kapal ini perlu―astaga."

Heaven buru-buru mencekal Nathaniel yang hampir terjungkir ke perairan. Kekhawatiran berembus di benaknya ketika Heaven melihat paras Nathaniel yang pucat, sementara sekujur tubuhnya menggigil, seperti terserang shock. Lekas-lekas dia membantu Nathaniel untuk duduk dan membujurkan kaki di pelataran.

"Kau hipotermia?" Heaven memegang pipi Nathaniel dan menamparnya untuk menuntut respons.

Nathaniel menggeleng. Kesadarannya masih utuh, dan laju napasnya hanya sedikit kurang stabil. Namun, rautnya menunjukkan kernyitan penderitaan yang familier. Heaven menatap ke mana tangan Nathaniel terhampar―pemuda itu melingkarkan lengannya pada perutnya.

Pada saat itu, Claude datang dari haluan kapal untuk melaporkan, "Kawan, mesinnya masih hidup. Kita bisa segera berang―hei, apa yang terjadi?"

Heaven tidak menggubris pertanyaan Claude dan langsung mengangkat pakaian Nathaniel. Mereka menemukan memar kehitaman di dekat lambungnya, seperti dihantam benda tumpul dengan keras.

"Kau ingat ini kenapa?" tanya Heaven, mengernyit.

Nathaniel merintih, "Bekas pertarungan tadi."

"Kau menahan yang seperti ini berjam-jam lamanya?" Heaven menggeleng tak habis pikir. "Sepertinya ada pendarahan di dalam. Bagaimana dengan skala rasa sakit?"

"Sepuluh." Lalu Nathaniel berpegangan pada Heaven seraya bersusah payah bangkit. Claude berusaha membopong Nathaniel agar segera masuk kapal. Namun, saat pria itu menyentuh bahunya, Nathaniel menangkisnya agak kasar.

"Nath?"

"Kalian pergilah," kata Nathaniel.

"Kau gila?" Claude berang tidak terima. Dia menyusupkan lengan ke ketiak Nathaniel untuk mengangkat tubuh pemuda itu, tetapi Nathaniel lagi-lagi menepisnya. Napasnya menjadi pendek-pendek seiring remasan pada perutnya menguat.

"Claude, kumohon. Aku tidak bisa bertahan," Nathaniel berbisik lirih. Dia mengingat bagaimana dirinya muntah darah hebat beberapa waktu lalu.

"Jangan bicara seperti itu!" Claude mencengkeram kaus Nathaniel, lalu menggeram tidak terima. "Kita sudah sepakat untuk melakukannya bersama-sama, Nath."

"Karena itulah kalian harus meninggalkanku!" Nathaniel membentak lebih keras. Wajahnya memberengut oleh rasa sakit, sementara matanya merah dan berkaca-kaca. Sambil gemetaran, pria itu melangkah mundur. "Aku tidak bisa melakukannya ... luka yang kuderita hanya akan menjadi beban."

"Nath, jangan seperti itu. Kita ini tim."

"Aku hanya akan menghalangi kemenangan kalian."

"Tapi kau―" Bibir Claude terkatup. Kata-katanya melesap tanpa terselesaikan. Suaranya menujukkan betapa dia nyaris kehilangan kendali. Semua insiden―serangan dan pembunuhan, Euros yang tewas, Nathaniel yang terluka, dan kawan-kawan lain yang disandera―membuat kemarahannya seketika menajam. Larik-larik ungu menjalar di leher dan pipinya, dan Claude berteriak murka untuk menyalurkan kepedihan dan frustrasi dengan memukul pahanya sendiri.

"Claude...."

Heaven melangkah mendekat. Ragu-ragu, tangannya terangkat untuk menenangkan Claude, tetapi jemarinya terkepal di udara. Tidak ada cara untuk membuat suasana membaik. Tidak ada yang bisa membantu meringankan tragedi yang menjalari otak Claude seperti parasit. Barangkali mereka semua sudah gagal, tetapi tidak ada yang mengakui itu―atau mungkin mereka tak cukup berani. Apa yang bisa mereka lakukan bila hanya berdua?

Setetes air jatuh ke pelataran kayu. Heaven mendongak, mendapati air itu berasal dari pelupuk mata Claude.

Sementara Nathaniel beringsut mundur, dengan langkah tertatih, wajah merah menahan tangis.

"Pergilah, kawanku." Pemuda itu memaksakan tersenyum, tetapi cengirannya kering dan padat dengan rasa sakit. "Sebenarnya aku berada di tebing itu ... bukan untuk menunggu kalian."

"Apa?" Heaven mengernyit pedih.

"Aku akan tewas tak lama lagi. Dan di mana pun itu, aku tak ingin membuat kalian ... menungguku."

Kata-kata Nathaniel membuat mereka terhenyak lama. Pengakuan itu mencabik dada Claude seperti cakar monster yang tersangkut di jantungnya, meredamnya dengan rasa bersalah dan kesedihan. Nathaniel, kawannya yang tersayang. Dia tidak pernah menduga perpisahannya akan seberat ini.

Kemudian, Claude mendekati Nathaniel. Heaven mengira pria itu akan meluruhkan semua bebannya untuk bersungkur memohon atau―bila temperamennya lebih besar daripada keputusasaan―meninju Nathaniel agar pemuda itu menuruti kesepakatan awal. Namun, Claude justru menariknya dalam rengkuhan erat. Dia menguburkan wajahnya di pundak Nathaniel, memberengut nyaris merengek.

"Maafkan aku, Nathaniel." Kalimat itu dilesatkan Claude dengan lirih. Kedua lengannya melingkar di sepanjang bahu dan kepala Nathaniel, kata-katanya berdeguk dengan gelombang putus asa.

"Ini bukan salahmu," Nathaniel balas memeluk Claude. Rasa sakit di perutnya semakin meradang, sehingga dia tak bisa berpelukan terlalu lama.

Kemudian kapal yang memuat dua kawannya pergi menjauh dari bibir pantai. Nathaniel berdiri terpaku menatap titik cahaya kuning dari kapal yang perlahan lesap ditelan kegelapan. Dari kejauhan, terdengar cericip camar yang bernyanyi dengan nada manis, entah untuk mengantar kepergian kawannya, atau menyambut kepulangan Nathaniel.

Pemuda itu berputar, lalu duduk bersandar di tiang-tiang pelataran yang lembab dan berbau karat. Tubuhnya meluruh tanpa diminta. Rasa terbakar di perutnya begitu menjadi-jadi, mengirimkan denyut pedih yang menjalar di sekujur tubuhnya. Mendadak Nathaniel merasa panas, napasnya menderu cepat. Suara burung camar di atasnya meredup menjadi gema yang semakin lama semakin hilang.

Nathaniel memejamkan mata, mengalami sensasi seperti tergelincir, seolah-olah kesadarannya melonggar bagai simpul sepatu yang terbuka. Suara-suara di sekitarnya terseret bersama arus lautan, berayun-ayun di atas ombak yang menarik kesadarannya menjauh. Wajah kawan-kawan dan adiknya yang tersayang mengambil ruang di benaknya yang menyempit. Nathaniel masih mengingat dengan jelas ekspresi mereka yang tertawa dan bersedih untuknya. Bagi seorang mantan sersan yang membunuh ratusan jiwa tak bersalah, dia tak pernah menyangka kematiannya akan meninggalkan kesan perpisahan begini sempurna.

Nathaniel bersusah payah menatap langit, mendengarkan suara camar laut yang terasa semakin dekat.

Euros, aku laksana api abadi yang tak pernah mati, dan kau adalah seekor burung yang sayapnya berkeredap di kegelapan angkasa.

Dan, cahaya bintang tersadur bagai lautan gemerlap tanpa batas.

Kini aku larut menjadi keletik api yang kau jemput, menuju kematian yang di dalamnya tiada alasan untuk berpaling.[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

Janji enggak mohon-mohon aku untuk berhenti membunuh kawan-kawannya yang lain.... ☹️

Sumpah.... maafin aku.... 🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top