25. The Hardest Choice

Hmm, yang ini ada romance-nya dikit. Selamat membaca, dan jangan lupa komen!

-oOo-

HEAVEN menghitung secara insting bahwa dia sudah bersembunyi di balik bayang-bayang semak selama sepuluh menit. Penantian yang singkat, tapi situasi yang terjadi membuat waktu merangkak lebih lambat daripada biasanya.

Setelah bunyi geraman, tubrukan, dan letusan pistol, pertarungan monster yang tadinya berkobar di hadapannya mendadak saja berhenti. Segalanya sunyi―nyaris tidak ada suara selain keresak daun menggaruk ranting dan siul angin di antara lempeng batu. Namun, tersisa kegugupan yang mencakar-cakar dinding perut Heaven. Apa yang terjadi pada Claude? Mengapa dia tak juga muncul?

Wanita itu turun dari tebing rendah, melompat tanpa suara dan mendarat dengan mulus di tanah. Sambil melangkah mendekati bekas pertarungan, Heaven menodongkan pistolnya ke depan. Dia menyelip di antara semak dan pepohonan, lalu melihat dengan mata terpana, mayat para monster terpencar di lahan hutan.

Mayat pertama terkapar dekat sekali dengan kakinya memijak; mulutnya dirobek dan rahangnya dikoyak, sementara lapisan frontalnya hancur hingga membentuk rongga tempat berkubangnya darah. Monster kedua, kira-kira dua meter jauhnya, adalah sosok monster yang dulunya perempuan―terlihat dari rambut pirangnya yang menjuntai melewati punggung. Dia masih mengenakan rok merah muda yang menutupi pahanya yang berotot dan agak gelap. Tempurung bagian belakangnya berlubang, dan Heaven bisa menduga monster ini tewas karena pelurunya.

Heaven menghitung dalam hati setiap monster yang dia lewati; dua ... tiga ... empat ... enam ... dan tujuh. Satu monster lagi ditemukan terpasung pada batang pohon yang cabang runcingnya mencuat dan menembus hingga ke dadanya. Heaven mengernyit waspada melihat kucuran darah merembes ke tanah, sementara kepala sang monster terkulai nyaris terpenggal dari lehernya.

Ada tanda-tanda perlawanan hebat yang menjelaskan arti kebinasaan mereka yang mengenaskan. Heaven berpikir hal itu selagi mencari-cari di mana Claude. Dia sudah mengira Claude telah ikut tewas, tetapi dugaannya keliru.

Di antara semak-semak yang membentuk bantalan akar pohon, seseorang berbaring miring dan tak sadarkan diri. Pakaian robek-robek yang dikenakannya adalah tanda pengenalan alami Heaven kepada Claude.

"Claude!" Heaven melompati beberapa mayat monster hingga sampai kepadanya. Dia berlutut, memeriksa kondisi Claude. Pemuda ini pingsan―atau sekarat, tetapi bukan itu bagian buruknya. Tatapan Heaven memindai seluruh tubuh Claude―kepala, wajah, leher, dada ... atensinya mendarat pada lubang sebesar bola tenis yang bersarang pada bagian diafragmanya. Dan, seperti serangan kejut pada umumnya, Heaven praktis memekik ngeri melihat luka yang diderita Claude.

Dibungkus keberanian mendesak, Heaven mengaitkan jemarinya pada secarik pakaian di dada Claude dan mengelupas kain yang basah oleh darah itu ke bagian bawah, persis seperti mengupas buah pisang. Dia menemukan sobekan sepanjang tiga puluh senti membujur dari lubang pada sekat dada, lalu turun menuju sisi perut sebelah kiri, tempat di mana luka lain yang lebih parah terlihat. Ada bercak kekuningan yang merembes dari robekan perut, bercampur dengan darah pekat yang mengotori rumput. Heaven yakin dia melihat secuil dinding lambung Claude terburai di antara robekan itu.

Mustahil ada manusia yang hidup dengan luka separah ini, dan nyaris mustahil Claude bisa pulih dalam waktu singkat.

"Claude? Kau dengar aku?"

Heaven menampar pipi Claude, yang tak menghasilkan reaksi apa-apa. Dia melakukan beberapa pemeriksaan mendasar untuk mengecek kesadarannya―melihat pupil mata, dan menekan nadi di leher. Entah jarinya yang kebas atau saking lemahnya kondisi Claude, Heaven tak merasakan denyut apa pun.

Kecemasan mulai menggerogotinya. Heaven lekas mencopot kemeja yang dikenakannya sehingga hanya menyisakan pakaian dalam, lalu melapisi robekan di perut Claude dengan kemeja itu. Sekarang kepala Heaven dipenuhi pertanyaan; berapa lama waktu pemulihan monster untuk luka seberat ini? Apakah kekuatan regenerasinya bisa kalah dengan kerusakan ekstrem yang dideritanya? Darah Claude tidak berhenti meskipun Heaven sudah menyumbatnya dengan pakaian miliknya, tetapi wanita itu lumayan yakin tindakan ini setidaknya bisa mengurangi seperkian persen dampaknya.

"Claude, kau harus bertahan," Heaven menekan pipi Claude dan merasakan desakan putus asa merambati benak. Kilasan kematian Toby dan Ginna muncul lagi di kepalanya, sehingga wanita itu merasakan jemarinya yang memegangi Claude menjadi gemetar. Bagaimana bila kawannya ini tidak bertahan? Bagaimana bila Heaven akan kehilangan lagi satu partner berharganya seperti yang pernah dia alami kepada seluruh anggota regunya? Mendadak saja wanita itu kehilangan kendali, sampai-sampai dia tak sadar air matanya menetes.

Berhenti, dasar sialan. Bersikap lemah bisa membunuh, kau harus ingat itu.

Melalui ketekatan yang dipaksakan, Heaven menegapkan tubuh seraya mengais oksigen dalam-dalam. Wajahnya tengadah menyisir hutan untuk mencari tempat aman. Dia harus segera membawa Claude dan membiarkan pria itu pulih dengan sendirinya.

-oOo-

Setelah berjuang memanggul Claude di punggungnya, Heaven menyandarkan senapan pria itu di pohon tumbang dan membaringkan Claude pelan-pelan di atas tanah kering. Ini bukan tempat persembunyian yang bagus―dia tak menemukan lokasi yang sekiranya dekat dengan sungai untuk disinggahi, tetapi setidaknya lahan terbuka lebih aman daripada gua yang tertutup. Memangnya siapa yang mau terjebak di ruang sempit ketika ada gerobolan monster yang menyerang lagi?

Claude benar-benar seperti sekarung beras―maksudnya dia tak bergerak dan tak menunjukkan tanda-tanda sadar, seolah-olah pria itu telah tewas sia-sia. Namun, Saat Heaven mendengarkan baik-baik jantung di balik dadanya, terasa denyutan samar. Pemahaman ini membuat Heaven kembali semangat. Dia sedang menyelipkan sepatunya di bawah kepala Claude untuk menjadikannya bantal, ketika tahu-tahu saja kelopak mata pria itu bergetar.

"Kau sudah sadar?" Heaven menekan kening Claude dengan telapaknya, merasakan demam mulai menjangkiti pria itu. Sepertinya lukanya malah tambah parah, dan Heaven tidak tahu mengapa ini bisa terjadi.

"Heaven," bisik Claude. "Heaven Heartsong."

"Apa kau bisa pulih lagi?" Wanita itu menekan pipi Claude dan mengguncangnya pelan, memaksanya tetap sadar.

"Kau rubah yang berapi-api."

"Baiklah, tutup mulutmu, berengsek. Seberapa parah lukamu?"

Mata Claude mengerjap, tetapi dia terlihat linglung. Heaven menyeka keringat lebih banyak di wajah dan lehernya.

"Claude, jawab aku," kata Heaven, kali ini lebih lirih. "Kau akan pulih, kan?"

"Kurasa iya."

"Jangan jawab 'kurasa'. Kau akan pulih, kan?"

"Ya." Claude mengangguk, dan matanya terbuka lebih lama untuk menatap Heaven. Wanita itu bisa melihat penderitaan di mata Claude.

"Kalau begitu istirahatlah," kata Heaven, lalu melirik ke bagian perut Claude yang basah kuyup dengan darah dan isi lambung. Terbit kerutan ngeri di antara keningnya. "Lukamu parah dan menjijikkan."

"Maafkan aku ... seharusnya tidak kulakukan ...." Claude berkedip lemah beberapa kali, dan kali ini ada setetes air mata turun dari sudut mata kirinya. Pria itu kelihatan berada di ambang sadar dan tidak. Apakah dia berhalusinasi? Sebab saat Heaven mencoba menggali ke kedalaman matanya, dia menemukan kekosongan―seolah-olah Claude ada di fase delirium dan sedang melihat sesuatu yang mengguncang masa lalunya. Kata-katanya rusak dan terbata.

"Claude?" Heaven mengernyit, merasakan firasat buruk. Apakah lukanya separah itu, sampai-sampai dia jatuh dalam kerusakan mental? Wanita itu mengguncang pundak Claude untuk memastikan kondisinya. Selama beberapa saat saat, bibir Claude hanya membuka-tutup dan bergetar, seolah dia berusaha berkata-kata. Kemudian, kalimatnya terdengar cukup jelas di telinga Heaven.

"Ayahku yang membuatnya...."

"Apa?"

"Serum itu ... milik ayahku...."

Heaven bergidik. "Ayahmu ... Marcus?"

Claude menjawab lagi, tetapi suaranya tidak jelas. Sepertinya dia akan jatuh ke kondisi tidak sadar.

"Claude, katakan yang benar!" Heaven menggeram, pekat oleh amarah dan keterkejutan yang bertubi-tubi. "Apa kau betul-betul anak Marcus?" Wanita itu menunduk dan mendekatkan telinganya di bibir Claude. Namun, hanya terasa desau napas panas yang lemah. Saat Heaven kembali menatap wajahnya, dia menemukan Claude telah pingsan.

-oOo-

Heaven tak ingin berbuat gegabah sebelum Claude mengakui maksud kata-katanya. Maka yang dia lakukan adalah menjauh sejenak dari pria keparat itu untuk menghilangkan naluri liarnya yang sudah mendesak-desak ingin menghabisi Claude.

Wanita itu mengisi kembali pistolnya dan menjelajah ke dalam hutan untuk mencari Nathaniel dan Euros. Barangkali bukan tindakan yang pintar. Dia bisa saja bertemu kawanan monster baru dan harus bertarung sendirian untuk menghadapinya. Namun, berada di dekat Claude akan membuat stresnya bertambah. Di sisi lain dia juga perlu memastikan keadaan dua rekannya.

Heaven memutari rute yang sama tempat Claude bertarung, kemudian kembali ke titik di mana mereka berempat berpencar. Jawabannya nihil. Dua orang itu tidak tampak di mana-mana, dan sekarang dia mulai khawatir rekannya telah tewas. Nathaniel dan Euros hanya manusia normal yang bersenjatakan pistol dan senapan. Walaupun Heaven percaya dengan kemampuan Nathaniel sebagai sesama kepala regu, tetapi melawan gerombolan monster sangat jarang memberi hasil yang bagus. Heaven meneruskan langkah sambil berusaha tak ingin meyakini opini itu. Barangkali mereka berdua bisa selamat, seperti dirinya yang diberkahi nasib baik, bukan?

Saat dia kembali ke tempatnya meninggalkan Claude, Heaven melihat pria itu sudah duduk bersandar di pohon yang tumbang. Tubuhnya masih gemetaran, dan rautnya pucat. Namun, kondisinya sudah jauh lebih baik daripada tadi.

"Bagaimana keadaanmu?" Heaven melangkah lebih dekat pada Claude.

"Masih butuh waktu untuk pulih," Claude berkata lirih. Matanya cekung seperti orang sakit, dan tangannya terhampar lemas di dekat pangkuan.

Tiba-tiba saja, racauan Claude yang tadi terlintas lagi di benak Heaven, membuatnya pekat dengan amarah dan kebrutalan. Dia melihat senapan Claude tergeletak dekat lengan pria itu, dan langsung menendangnya jauh-jauh. Claude yang melihat hal ini praktis terkejut. Mata pria itu mendongak, menuntut penjelasan dari Heaven yang berdiri menjulang di hadapannya.

"Ada apa denganmu, Heaven?" Claude bertanya tanpa petunjuk.

"Kau menyembunyikan sesuatu," Heaven menjaga suaranya agar tetap tenang. "Siapa kau sebenarnya?"

Claude terdiam sejenak untuk meresapi pertanyaan Heaven.

"Kau terkejut saat melihat perubahanku menjadi monster?" dia malah bertanya hal itu. Sudah pasti Claude sendiri tak ingat dengan racauannya.

Tidak tahan lagi, Heaven secara yakin menodongkan mulut pistolnya pada kepala Claude. Ada kilat keterkejutan yang membayang di matanya, tetapi anehnya pria itu tetap tenang. Sementara jemari Heaven yang memegang kunci pelatuknya agak gemetar dan berkeringat. Satu tembakan saja dan nyawa pria ini akan melayang.

"Heaven, jelaskan padaku maksud tindakanmu," kata Claude, lirih dan dingin.

"Sebelum pingsan tadi kau meracau," geram Heaven. "Kau bilang ayahmu yang membuat serum. Sekarang kutanya lagi. Apa itu benar?"

Tidak ada jawaban. Heaven menggertakkan gigi atas reaksinya.

"Akan kuanggap itu jawaban iya."

"Tidak. Dia bukan ayahku."

Claude tampaknya masih berusaha tidak memikirkan rasa sakitnya. Pria itu menarik napas dengan susah payah sementara satu tangannya menekan luka di bawah dadanya.

"Kau jelas-jelas bilang kalau ayahmu membuat serum itu." Heaven melangkah lebih dekat, dan jarak mulut senapan itu dengan kening Claude semakin tipis. "Itu bukan racauan orang sakit belaka. Kau meminta maaf karena ayahmu membuat serum, yang artinya ... selama ini kau adalah anak Marcus. Kau adalah kepala penginapan yang berengsek itu."

"Heaven, tenanglah. Aku bukan musuhmu."

"Lalu kau apa? Hanya rekan yang membantuku untuk pergi ke tempat Janeth?" Rasanya kemarahan di dada Heaven sudah memuncak. Dia tak pernah menyangka akan dibohongi seperti ini. "Apa motifmu, keparat? Kau mengantarku ke Bosevill untuk bertemu Janeth, dan hendak melancarkan misi kalian berdua yang ingin mengubah seluruh umat manusia di dunia ini menjadi pasukan monster?"

"Itu bukan misiku! Aku tidak jahat sepertinya!"

"Kalau begitu kau memang benar anak Marcus."

"Dia bukan ayahku."

"Claude," kata Heaven. "Tidak ada gunanya mengelak."

"Aku berharap dia bukan ayahku."

Kemudian satu kalimat itu mengirimkan denyut kesunyian di antara mereka berdua. Heaven menarik napas dan menghitung sampai sepuluh untuk meredakan gejolak kebencian di kepalanya, sebab dia tahu dia tak bisa begitu saja membunuh Claude. Namun, rasa sakit dan kehilangan yang selama ini ditanggungnya telah memangkas seluruh kesabarannya hingga menyisakannya dengan intisari balas dendam yang padat dan utuh. Semua kematian itu terlintas di benak Heaven―wajah rekan-rekannya yang tewas, wajah Noah yang telah dia bunuh, Pangkalan Forbs yang berubah menjadi jamur raksasa dan menewaskan seluruh orang-orang yang dia kenal, wajah Toby dan Ginna ... lalu Sean, yang kini ada dalam genggaman Janeth. Semua kekacauan itu mengirimkan kemarahan yang besarnya laksana meriam.

Dikuasai kegilaan, Heaven berteriak histeris dan menekan pelatuknya sambil memejamkan mata; tembakannya meletus.

"Heaven."

Suara Claude. Wanita itu membuka matanya dan menyadari bahwa pelurunya meleset mengenai batang pohon di dekat mata Claude. Barangkali karena jemarinya terlalu gemetar akibat syok yang bertubi-tubi. Claude, sementara itu, berusaha bangkit dan menjangkau Heaven. Wajah pria itu dilumuri penyesalan dan kesedihan. "Heaven, kumohon. Dengarkan aku."

"Kau yang merencanakan semuanya," Heaven mundur perlahan sementara pistolnya masih menodong ke arah Claude. Kali ini pegangannya begitu mantap. Tidak ada lagi peluru yang akan meleset. Satu tembakan dan kau akan tamat. Wanita itu membentak murka, "KAU YANG SELAMA INI MENYEBARKAN SERUM SECARA SEMBARANGAN!"

"Itu memang aku yang dulu," kata Claude, seolah tak terpengaruh apa-apa atas kegilaan Heaven. Langkah pria itu semakin dekat. "Namun, Heaven, aku sadar bahwa tindakanku membawa bencana yang jauh lebih besar."

"Apa rencanamu pergi ke Bosevill?"

"Untuk menghancurkan Janeth dan seluruh serumnya."

"Kau bohong, bukan?"

"Temukan alasan mengapa aku harus berbohong."

Punggung Heaven membentur batang pohon, dan wanita itu menarik napas panjang. Moncong pistol membidik kepala Claude. "Kau takut kubunuh, makanya kau bohong."

"Kalau begitu bunuhlah aku," kata Claude.

"Jangan coba-coba ...." Sebelum dia sempat meneruskan ucapannya, lengan Claude tahu-tahu saja bergerak secepat kilat―terentang membungkus tangan Heaven yang menggenggam pistol. Pria itu menuntun tangan si wanita agar menempelkan mulut senapan ke keningnya. Matanya berkilat-kilat dengan ketegasan dan keyakinan.

"Bunuh aku sekarang," kata Claude. Logam pistol yang dingin menyentuh kulit keningnya yang hangat. "Ayo, Heaven."

"Lepaskan!" Tapi tangan Claude mencengkeram pergelangannya jauh lebih kuat. Heaven sebenarnya bisa menendang perut pria itu untuk melepaskannya―toh dia juga belum benar-benar pulih. Namun, jauh di dalam hatinya, Heaven tak bisa mengelak perasaan bahwa dia tak ingin Claude tewas. Tidak bisa, sialan. Setelah perjalanan panjang ini ... pria itu sudah menyelamatkan nyawanya dua kali. Dan berusaha menyingkirkan fakta itu akan membuatnya menjadi wanita bodoh yang tidak tahu diri. Dia bukan Claude yang kukenal. Dia adalah musuh negara yang menjadi alasan mendasar mengapa Forbs hancur lebur, mengapa Janeth menjadi kriminal tak waras yang dikuasai obsesi untuk menyempurnakan serum, mengapa kawan-kawannya tewas, keluarganya menjadi korban, dan anaknya diculik. Claude adalah virus itu sendiri yang harus dibasmi, namun apakah aku tega menanamkan peluru ini di kepalanya karena tahu selama ini dia membohongiku?

"Kenapa kau tak menembakku?" Claude bertanya lirih. Kedalaman matanya memunculkan suatu desakan―rasa pengasihan yang ingin Heaven tolak mentah-mentah, namun tak bisa. "Kau mulai percaya padaku, Rubah Api?"

"Aku tidak percaya padamu," desis Heaven.

"Aku tidak keberatan bila kau tidak percaya padaku, tapi aku sungguh-sungguh percaya padamu," kata Claude, kemudian pelan-pelan tangan Claude menurunkan pistol itu dari keningnya. Heaven membiarkan pergelangan tangannya dicekal dan didorong mundur, membentur pohon di belakangnya dengan pelan. Saat itu Claude berkata lebih lembut, seperti sedang memohon ampunan, "Aku percaya kau bisa menilai diriku yang asli. Aku bukan musuhmu, Heaven. Aku bersumpah, demi semua hal yang tersisa di dunia ini."

"Kau membuatku mau muntah dengan kata-kata itu."

Claude tersenyum miring, tetapi cengirannya lelah dan pucat. "Bila suatu saat kau siap, kau bisa menembakku kapan saja. Saat itu aku tak akan lari dari pelurumu."

Detik berikutnya yang Heaven sadari, pria itu menundukkan kepala dan membuat wajahnya hanya sejengkal dekatnya dengan wajah Heaven. Wanita itu dapat merasakan napas panas Claude menyapu bibirnya, membuatnya terperenyak dan membeku sejenak―memilih untuk tak melakukan apa-apa dan menunggu.

Namun Claude kembali tegap dan mundur perlahan-lahan.

Heaven berkata jemu, "Apa maksud tindakanmu barusan? Kau pikir aku akan terbawa perasaan dengan cara seperti itu?"

"Tidak, Heaven." Claude menggeleng. Tampak rona kemerahan di pipinya, entah karena terjangkit demam atau hal lain. Suaranya agak gemetar ketika melanjutkan, "Aku takut tindakan sembronoku akan menularimu virus."[]

-oOo-

.

.

.

.

.

Yeah, inilah romantisme tragis antara manusia dengan monster yang tak akan bersatu 😮‍💨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top