24. Sudden Sacrifice

Mm, haloo... mungkin chapter ini bakalan bikin kalian kesel. Namun, tolong dibaca dengan hikmat yaah. Aku juga minta tolong untuk komen di akhir chapter, buat ngasih aku semangat, karena makin ke sini desakan untuk ngaret mulai tak terhindar 😮‍💨

-oOo-

MEREKA berempat terpisah.

Claude dan Heaven berlari masuk ke dalam hutan, sementara Euros dan Nathaniel menuruni landaian berbahaya yang membentuk ceruk jurang sedalam tujuh meter. Kebrutalan kawanan monster yang mengejar mereka tidak memberi waktu untuk berpikir. Satu-satunya hal yang ada di pikiran semua orang adalah terus berlari.

"Claude! Di belakangmu!" Heaven berteriak mengatasi guncangan kehancuran di depan mata. Dia berlari di antara barisan pepohonan dan meletuskan peluru mutakhirnya pada monster yang hendak memangsa Claude di kejauhan sana. Makhluk itu mengaum liar saat timah panas Heaven menembus leher, lalu roboh ke tanah. Claude tidak sempat berpaling mengucap terima kasih, sebab dia masih sibuk menembaki makhluk buas yang berdatangan dari segala penjuru hutan, seakan tak ada habisnya.

Lima, enam, bahkan tujuh. Mungkin akan bertambah lagi di belakang. Sulit untuk melawan mereka hanya dengan berbekal senapan yang―sial, pelurunya habis. Claude membuang senapannya dan berpaling pada Heaven, yang tampaknya mengalami kesulitan serupa di kejauhan sana.

Tranformasi menjadi jawaban atas upaya perlawanan ini. Maka Claude berlari mengecoh para monster untuk memberinya sedikit waktu tambahan agar bisa berubah. Dia melempar dirinya pada monster yang hendak menyerang Heaven hingga membuatnya bergulingan di sepanjang lahan belantara. Claude mendengar teriakan Heaven―sudah pasti wanita itu terkejut melihat pengorbanan yang dilakukannya. Namun, tak mengapa. Claude tak akan tewas semudah itu. Dia menyodok rahang sang monster dengan kepalanya, lalu merasakan tangan monster itu berkelepak di dekat dadanya. Cakar-cakar tajamnya menusuk leher Claude, membuat pemuda itu berjengit, tetapi sensasi aneh yang lain muncul dari kedalaman benaknya―ganjarannya atas rasa sakit yang diterimanya―memberinya kemurkaan untuk berubah.

Pakaian Claude tertarik seiring otot dadanya membesar di baliknya. Urat-urat nadi tebal menyebar di sepanjang lengannya yang dia gunakan untuk mengunci tinju monster itu. Ketika sang monster membuka mulutnya untuk memekikkan kekesalan, Claude menghantamkan bonggol sikunya amat keras sehingga rahang musuhnya bergeser. Perkelahian itu dipimpinya dengan cepat―satu tangannya menggapai leher monster, dia menanamkan kukunya yang memanjang ke dalam langit-langit mulut monster yang terbuka, sementara tangannya yang lain menekan lidah monster yang bengkak dan berbuih. Dalam satu entakan, Claude menarik kedua tangannya menjauh, seketika mengerkah rahang goyah itu hingga terbuka lebar bagai kelopak merah yang berpendar.

"Heaven, pergi dari sini!" Claude melihat Heaven membeku tak jauh dari titik bantainya―tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Cari tempat perlindungan! Biar aku yang melawan mereka!" Claude menerjang satu monster lain yang muncul dari semak-semak gelap, membuatnya terbanting sejauh beberapa meter di lahan terbuka yang penuh bau busuk memualkan. Mereka bergelut di tanah, saling mencabik dan menggigit. Hantaman antara tulang dengan tulang terdengar. Bunyi derik dan geraman buas binatang menggetarkan udara di sekelilingnya.

Tidak ada waktu untuk diam dan menyangkal pertolongan seperti apa yang dilakukan Claude. Setelah terbebas dari monster yang menghalanginya, Heaven berlari mencari tempat yang lebih tinggi untuk membantu Claude. Dia juga perlu mencari Nathaniel dan Euros, sebab mereka berdua terpisah di jalanan. Beberapa saat kemudian, Heaven memanjat ke landaian yang lebih tinggi, memijak batu-batuan yang membentuk tebing pendek, menyeret dirinya naik dan bersembunyi di antara semak belukar.

Dari atas sini, dia melihat empat monster dari titik berbeda sedang berlari ke arah Claude, yang masih sibuk bertarung dengan tangan kosong. Heaven menodongkan pistolnya dan membidik gerombolan makhuk buas itu dari kejauhan.

Peluru pertama ditembakkan. Satu monster tumbang.

Peluru kedua ditembakkan. Satu lagi tumbang.

Wanita itu mengosongkan magasin, mengisinya kembali, lalu merunduk di antara semak-semak. Dari sini, jarak dan kabut alam membuat pandangannya tak jernih. Melepaskan peluru tanpa perhitungan akan berujung kecelakaan sia-sia. Maka Heaven menurunkan pistol sejenak dan menyipitkan mata, memandang cermat melintasi gerak bayangan yang berkelebat di antara pepohonan yang berbaris rapat.

Sepertinya Claude telah dikepung oleh lebih banyak monster. Suara geraman bersahut-sahutan samar terdengar dari titik ini. Heaven membayangkan pria itu dikeroyok habis-habisan, lalu pikirannya mendarat pada bayang-bayang Claude yang telah menjadi serpihan daging yang tercerai-berai. Itu bukan sesuatu yang membuatnya lega, mengingat Heaven masih berutang nyawa pada orang itu. Kendati dirinya tak akur, dan Heaven masih tak suka melihat cara Claude berbicara kepadanya, dia masih membutuhkan Claude untuk menemani perjalanannya.

Maka wanita itu mengacungkan mulut pistolnya yang mutakhir, membidik kembali dalam upayanya yang kesekian kali. Gerombolan monster yang bertarung di kejauhan sana bergerak cepat―bayangan dan suara mereka bercampur menjadi kelebat dan irama yang tidak koheren. Tidak jelas siapa sedang melakukan apa. Napas Heaven berdentum bagai sonik di balik rongga dadanya yang kembang kempis. Kalau dia sampai salah membidik, mungkin saja peluru ini malah bersarang di kepala Claude.

Setelah menanti beberapa lama, di antara kabut yang gelap, satu sosok raksasa terlihat.

Heaven menembak.

-oOo-

Nathaniel dan Euros bergulingan menuruni jurang. Adrenalin mencabut rasa sakit, membuat perlawanan mereka terasa singkat dan bertubi-tubi. Setelah terperosok sampai ke dasar, keduanya kembali berlari memasuki tirai kabut yang muram. Suara napas mereka yang berdentum-dentum meningkahi geraman monster yang saling mengaum dari kejauhan.

Euros menyusuri rumput setinggi lutut, melompati batang-batang pohon yang tumbuh miring, kemudian kakinya tersandung hingga membuatnya terjungkal dan keningnya menghantam batu.

"Bangkit, bangkit, bangkit, prajurit!"

Sambil menyumpah serapah, Nathaniel meraih kerah Euros dan menariknya supaya bangkit. Ada dua monster yang tahu-tahu saja sudah menghadang di depan mereka. Dua yang lainnya masih tersebar, bersembunyi di antara kabut kegelapan di dasar jurang yang tertutup rumput rimbun. Nathaniel mengangkat senapan saat melihat kelebat bayangan misterius, kemudian―dor! Tembakan diletuskan.

Terdengar suara gedebuk memuaskan dari kejauhan, tetapi hampir mustahil melihat bangkai monster di antara lautan rumput berbatu ini. Hanya darah dan bau busuk yang tercium.

Darah. Sialan.

Euros mengusap keningnya yang sejak tadi meneteskan darah, menggelengkan kepala untuk mengatasi rasa pening yang baru menyerang sekarang. Dia mengangkat mulut senapannya dan kembali menyapu ke sekitar, mengintai ke penjuru dasar jurang yang suram. Di mana? Di mana anjing neraka itu? Napasnya terengah-engah. Bidikannya goyah.

Tahu-tahu saja, udara di samping kirinya bergejolak. Bumi di bawah kakinya berguncang. Euros menodongkan pistol ke arah jam sepuluh dan langsung memberondonginya dengan tembakan masif sambil berteriak histeris. Dia melihat satu monster―hanya berjarak dua meter darinya―menyentakkan kepala ke belakang akibat peluru dari senapannya. Makhluk itu roboh ke rerumputan, meninggalkan Euros dengan segenggam perasaan panik bercampur lega.

"Euros, tetap di belakangku!" Nathaniel mengomando di dekatnya.

Euros melihat Nathaniel mencengkeram lengannya dan menariknya supaya pergi. Mereka berlari lagi, menembus kabut yang menyingkap dataran lembab di luar sana. Di tengah perjalanan, samar terdengar arus sungai yang mengalir deras dari luar jarak pandang. Nathaniel memimpin di depan Euros. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk mengosongkan peluru dengan menembaki sosok-sosok buas yang mengejar.

"Di depan sana ada sungai!" Euros berteriak meningkahi geraman sahut-sahutan. Medan perjalanan mereka menjadi semakin licin karena tingkat kelembapan yang naik.

"Berhenti menembak dan perhatikan jalanmu!" perintahnya pada Nathaniel, kemudian pemuda itu menurunkan senapannya dan fokus berlari, menghindari pepohonan kurus, menuju rintangan lain yang tak terlihat. Batu-batu tajam tergilas sepatu, ranting-ranting pohon menggores kulit, meninggalkan jejak berdarah yang menggantung bagai gelembung air di ujungnya. Mereka tidak tahu sedalam dan sederas apa sungai di depan sana, namun berada di sini adalah ide dungu sepanjang sejarah. Jalan satu-satunya adalah menerjang sungai atau berenang mengikuti arus.

Saat Nathaniel mulai melihat kilau di permukaan air, tiba-tiba saja sesuatu yang amat besar menghantamnya dari sebelah kanan, merobohkannya.

"NATHAN!"

Euros berteriak ketika menyaksikan sesosok monster muncul dari barisan pepohonan dan mendomprak Nathaniel. Sersan muda itu bergulingan di tanah berbatu yang tajam. Belum sempat menodongkan mulut senapan ke makhluk di hadapannya, sebuah tinju berbonggol menghantam hidung Nathaniel hingga terdengar bunyi krak mengerikan. Seraya menahan pedih di wajah, Nathaniel menggeliat dari gigi monster yang mengatup-ngatup di hadapannya, menahan desakan bertubi-tubi itu dengan sepucuk senapan yang direntangkan di antara lehernya. Dia menendang perut sang monster, yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali bunyi geraman yang semakin keras. Liur monster menggantung goyah melewati dagu, dan Nathaniel berjuang keras menjauhkan wajahnya dari cairan menjijikkan itu.

Euros hendak membidik monster yang menyerang Nathaniel dari kejauhan, tetapi aksinya tertahan karena monster yang lain melompat dari samping―hendak menyambarnya dengan cakaran beringas. Pemuda itu berkelit tepat waktu, lalu berguling lagi menghindari cabikan berikutnya. Euros menembakkan pelurunya dengan membabi buta, tapi keahliannya tidak cukup untuk menyasar titik lemah di kepalanya. Monster itu menghambur ke arahnya sambil menggeram murka.

"BANGSAT, MAKAN INI!" Sambil menyumpah serapah, Euros menjejalkan batu seukuran telur ke arah rahang monster yang terbuka―seketika membuat sang monster berguling roboh dan tersedak dengan bunyi deguk menyeramkan. Makhluk itu mengaum frustrasi, merayap bangkit, kemudian kembali menghampiri Euros. Kali ini dua tangannya terangkat ke atas, persis seperti mutan buruk rupa yang hendak memangsanya dalam sekali cepitan. Namun, Euros membuang ketakutannya. Dia bergerak maju dan menghantamkan mulut pistolnya ke kening sang monster, menembaknya dua kali.

Sedetik kemudian, teror berhenti. Monster itu luruh ke tanah dengan dentuman memualkan. Darah dari lukanya merembes keluar perlahan-lahan dari bawah kepalanya yang koyak akibat peluru.

"Nathan, bertahanlah!" Setelah sadar dari kemenangannya, Euros menghampiri kawannya dan menembaki punggung monster yang mengukung Nathan. Tembakannya yang gegabah membuat makhluk buas itu murka, lalu berpaling dari mangsa awalnya. Euros menahan gemetar di tubuh saat matanya bersiborok dengan dua mata kuning mengilat, yang terpecah oleh urat-urat nadi merah. Detik berikutnya, dengan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya, monster itu melompat menerjang Euros.

Waktu di sekitarnya seolah melambat. Euros dapat melihat sosok maut itu melayang di udara, dengan dua tangan bercakar mengayun tinggi di atas kepalanya. Saat kesadaran menghantamnya, Euros mengarahkan mulut pistolnya di kepala makhluk itu dan menarik pelatuknya untuk terakhir kali.

Oh, sial.

Pelurunya habis.

Kemudian Euros terlambat mengelak dari cabikan panjang yang merobek dadanya.

Pemuda itu terbanting ke rerumputan, membiarkan sang monster menindihnya dan memberinya ganjaran luka lebih banyak. Nathaniel, sementara itu, bangkit dengan tertatih. Dia membidikkan senapannya pada monster yang menyerang Euros. Tembakannya tepat sasaran. Monster itu mengeluarkan deguk terkejut ketika peluru besi Nathaniel memecahkan tempurungnya, lalu tubuhnya runtuh ke bawah.

Sang sersan kemudian menghampiri Euros yang berbaring terkapar, terbenam di rerumputan. Luka di dada Euros―bukan sesuatu yang bisa dia sembuhkan. Darah merembes dari robekan panjang yang menganga, membasahi pakaiannya, menempel di sekujur lengan dan lehernya dengan warna pekat memualkan.

Nathaniel berlutut di dekatnya, mengangkat kepala Euros dan menyandarkannya di pangkuannya. Tidak ada gunanya mengucapkan kata-kata yang menenangkan. Dia tidak bodoh untuk mengetahui akhir seperti apa yang dialami kawannya, dan Euros pun mengerti. Nathaniel merasakan tangan kawannya mencengkeram pakaiannya, meremasnya seolah dia berpegangan pada ban pelampung yang mencegahnya untuk tenggelam. Euros terbatuk, dan dari degukannya menyiprat darah lebih banyak.

"Euros, Euros, Euros, maafkan aku," Nathaniel nyaris memaki dirinya sendiri. Dia memegang tangan Euros yang terhampar di perutnya dan menekannya pelan.

"Akhirnya berhasil," bisik Euros. "Mengorbankan hidup demi sesuatu."

"Euros, tidak, sialan," Nathaniel terperenyak mendengar kalimat itu melesat lirih dari bibir Euros.

"Kau harus hidup, kawan." Euros meremas pakaian Nathaniel lebih erat. Matanya yang berkilat dengan air mata hampir meredup dari nyala kehidupan. Euros menyungging senyum di saat-saat terakhir. "Temani aku di sini."

"Aku tidak akan ke mana-mana."

Kemudian tatapan Euros bergeser pada langit muram di atasnya. Daun-daun di ujung ranting berayun pelan mengikuti dersik angin yang menyapu rambutnya. Euros terdiam, lalu bibirnya bergumam sesuatu yang hampir tak terdengar di telinga Nathaniel; "Indah."

"Indah." Nathaniel mengusap air mata di pipi Euros. "Ya. Dunia ini dulu begitu indah."

Mata Euros perlahan-lahan menutup, dan Nathaniel merasakan embusan napas kawannya melambat, sampai akhirnya lesap ditelan waktu. Untuk sesaat, segalanya di sekitar mereka terasa sunyi. Tidak ada bunyi arus sungai, dedaunan yang menggores ranting, atau kicau samar burung dari kejauhan. Hanya ada Nathaniel, bersama denyut jantung lirih yang terbenam jauh di balik rongga dadanya yang patah karena kematian kawannya. Pemuda itu merasakan air matanya menetes, menjatuhi kelopak mata Euros yang tertutup. Dia menurunkan kepala Euros dari pangkuan dan membaringkannya pelan-pelan di tanah berumput.

"Bukan begitu, aku hanya ... akhir-akhir ini aku sering berpikir untuk mengorbankan hidupku demi sesuatu. Mungkin mengikuti kalian ada baiknya juga."

Mungkin mengikutiku ada baiknya untukmu. Nathaniel mengusap pipinya yang basah dengan lengan yang gemetar. Dia melihat Euros yang berbaring di hadapannya dengan damai.

Benar, benar, benar.

Kau sudah melakukan yang terbaik, kawanku.[]

-oOo-

.

.

.

Yah, enggak seru kalau enggak ada korban.... Sudah kubilang The Pioneers yang ini lebih membanting-banting emosi kalian :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top