23. Onslaught of Monsters
Kangen nggak? Hehe
Melipir dulu ke Heaven dkk, yeah. Ada kejadian yang nggak kalah menggemparkan di sisi mereka.
Happy reading, all!
-oOo-
PERJALANAN ini menjadi titik balik kehancuran bagi Heaven.
Dia mengingat-ingat apa yang membuatnya terseret ke dalam masalah Claude yang pelik. Apabila Heaven tak salah memperhitungkan rencana, dia hanya harus memanfaatkan Claude untuk mengantarnya ke Bosevill dan mengumpankan mereka agar melawan Janeth. Dia tak pernah mengira bahwa Claude pun ternyata memikul rahasia besar. Sebab setiap kali Heaven menanyakan keterkaitan Janeth kepadanya, Claude selalu mencegahnya bertanya lebih banyak.
"Ini yang membuatku ragu," kata Heaven, ketika mobil mereka melewati gundukan tanah gersang di rute pegunungan yang menanjak, hampir dua puluh kilometer dari lautan terbuka yang menunggu di baliknya. "Janeth tidak menculik kawan-kawan kalian tanpa alasan. Dia tahu bahwa kalian tahu di mana kepala penginapan monster itu bersembunyi."
Claude, yang menyetir dengan wajah suntuk, berusaha mengabaikan kalimat tuduhan itu. Heaven berpaling ke belakang, lalu menyerang Nathaniel dan Euros dengan pertanyaan sama, "Hei, katakan padaku. Kalian pasti tahu di mana bos penginapan itu, kan? Dia harus segera ditemukan sebelum masalah ini menjadi runyam."
"Kalau dia sudah ditemukan, lalu apa?" Euros ganti bertanya.
Heaven memberinya kernyitan kening. "Dibunuh."
Claude merasakan perutnya menegang saat Heaven mengatakan hal itu, tetapi dia berusaha bersikap normal.
"Harus dibunuh? Kenapa?"
"Karena Janeth ingin menyatukan kekuatan dengan orang itu," kata Heaven, kemudian menceritakan sedikit dari apa yang diberitahu Winter kepadanya. Wanita itu tidak memberitahu perihal catatan peninggalan Marcus yang dibawanya dari penginapan, alih-alih dia menekankan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi apabila mereka membiarkan kepala penginapan itu berkeliaran. "Selama kepala penginapan itu masih hidup, Janeth akan melakukan segala cara untuk menemukan dan mengajaknya bekerja untuknya. Itu pekerjaan mudah, sebab dia punya seribu cara untuk membuat orang lain menyembah dirinya."
"Kau ini kebanyakan nonton film, ya?" Claude tahu-tahu berceletuk dengan nada dingin dan hampir meledek. "Jangan samakan dunia ini dengan film aksi yang kau tonton. Punya seribu cara untuk membuat semua orang menyembahnya, katamu? Omong kosong. Aku bisa dengan mudah membunuhnya sebelum dia sempat membuka mulut."
Heaven mendengkus meremehkan. "Empat kawanmu bahkan tidak bisa melawannya."
Sementara Claude menggertakkan rahang, Nathaniel dari bangku belakang menginterupsi Heaven, "Bagaimana Winter mengetahui semua rencana Janeth?"
"Dia pintar dalam menggabungkan informasi."
"Itu bukan jawaban yang kuharapkan," kata Nathaniel, kemudian matanya menyipit curiga. "Kau tidak bisa percaya pada orang yang memberimu rumusan rencana dengan cuma-cuma sementara dia sendiri tak bergerak untuk melawan. Kami perlu tahu siapa Winter yang sebenarnya sebelum kau bisa percaya diri menyuruh kami yakin dengan apa yang dibicarakannya."
Heaven mengembuskan napas dengan cara kaku. Wanita itu sadar sekarang bukan hanya Nathaniel yang menatapnya, melainkan seluruh orang di dalam mobil. Dia nyaris tidak bisa membuat alasan tanpa membuat dirinya lebih dicurigai lagi.
"Kalian ingin tahu siapa Winter? Oke," kata Heaven, berlagak seperti orang menyerah. "Saat masih menjadi staf laboratorium, Winter bekerja sebagai pengamat monster. Area pengamatannya termasuk penginapan kastil tua di tengah hutan. Setelah regu prajurit Forbs berhasil membobol tempat itu, Winter mengumpulkan barang bukti yang berhasil diambil dan mencocokkannya dengan hipotesis serta data yang dia punya. Dia bisa mengetahui adanya hierarki dalam penginapan para monster. Dia mengetahui gambaran besar apa yang terjadi di sana dan misi-misi apa yang diemban oleh para anggotanya. Dia menduga pemilik penginapan itu adalah orang yang masih satu visi dengan Marcus―entah asisten keluarganya, istrinya yang didiagnosis gila, atau bahkan salah satu di antara putranya yang nasibnya kini tak jelas. Winter yakin, siapa pun pemilik penginapan itu, dia memegang data salinan hasil eksperimen warisan dari Marcus. Pemilik penginapan itu adalah pion penting yang diperlukan Janeth dalam melancarkan misinya untuk menyempurnakan serum, dan itu adalah kesimpulan yang ditarik sendiri oleh Winter. Aku tidak mengatakan bahwa rencananya seratus persen benar, tetapi kita semua yang ada di sini pasti percaya bahwa asumsi ini sangat kuat, bukan?"
Claude menggigit bagian dalam bibirnya dan diam-diam mengafirmasi kebenaran Winter. Dia memang membawa pergi data salinan hasil eksperimen ayahnya―dalam bentuk buku catatan, tetapi sekarang Claude tidak memilikinya.
"Sekarang aku perlu tahu di mana kita bisa mencari kepala penginapan itu," kata Heaven. "Sebelum Janeth bisa bertemu dengan kepala penginapan itu, kita harus menemukan dan membunuhnya terlebih dahulu."
"Kenapa otakmu isinya pembunuhan terus?" celetuk Euros dengan setengah mengerang. "Tidak semua rencana harus digagalkan dengan melenyapkan harta yang diburu. Kita bisa menyusun pembalasan yang lebih baik, misalnya merebut harta itu sebelum Janeth bisa macam-macam dengannya."
"Maksudnya, kalian akan membuat kepala penginapan itu ada di pihak kalian?"
"Sejak awal dia ada di pihak kami, dan dia sudah tinggal bersama kami selama bertahun-tahun," sahut Claude. "Dia berjanji akan menjaga kami dan tak melibatkan kami dalam operasi eksperimen kejam yang selalu menjadi identitas Janeth. Kepala penginapan kami adalah orang yang membuktikan janjinya."
"Dia bisa saja berkhianat demi keuntungan-keuntungan yang didapatkannya dari hasil berkoalisi dengan Janeth."
"Tidak akan."
"Kenapa kau yakin sekali?"
"Karena aku tahu," kata Claude, kemudian berpaling dari jendela kemudi dan menatap mata Heaven lurus-lurus. "Aku tahu isi pikirannya."
Heaven menemukan semacam perasaan ganjil ketika mendengar kalimat itu melesat keluar dari mulut Claude. Mengapa Claude berkata seolah-olah dia adalah sang kepala penginapan itu sendiri? Oh, tapi tidak. Ini pasti hanya perasaannya saja. Heaven tak percaya dengan firasatnya sendiri lantaran sudah pernah diseret nasib buruk hanya karena dia yakin bahwa pergi malam-malam untuk mencari biji kenari adalah ide bagus.
"Baiklah," kata Heaven, kembali tegak di bangkunya. "Walaupun pengalamanku meraba situasi berbeda dari apa yang kalian yakini, untuk saat ini aku tak bisa berkutik apa-apa. Tapi lihat saja, kalau aku menemukan kepala penginapan itu, aku akan membunuhnya duluan."
"Kenapa kau keras kepala sekali?" sembur Claude.
"Karena sejak awal dia pantas dibunuh, terlepas dari betapa pentingnya dia untuk Janeth!" kata Heaven, berdesis penuh kekejaman. Claude melihat bara kemarahan meretih di mata Heaven, dan rambutnya yang merah menyala membuatnya tampak seperti prajurit api yang turun dari langit untuk balas dendam. "Kalau kepala penginapan itu merupakan perpanjangan tangan Marcus, dia harus membayar atas apa yang selama ini telah dia lakukan. Dunia ini tidak bisa diperbaiki lagi akibat serum terkutuk itu disebarluaskan secara cuma-cuma."
Claude diam-diam meyakini bahwa ucapan Heaven benar. Sejak awal, dirinyalah yang membagi-bagikan serum itu hingga terjadi kekacauan besar seperti ini. Seandainya dia tak memulai rencananya yang bodoh dan celaka, pasukan monster tidak akan lahir.
Sekarang, Claude pun semakin percaya, kematian sekalipun belum cukup untuk menebus semua dosanya.
Dia meratapi pemikiran itu dengan meremas setir kuat-kuat.
-oOo-
Diumumkan oleh geraman mesin yang terbatuk-batuk, semua orang di dalam mobil tahu bahwa perjalanan mereka diuji dengan cobaan yang lebih menjengkelkan daripada sekadar bertemu monster.
"Sial!" Claude memukul setirnya dengan keras. Indikator bensin yang terlihat pada speedometer mobil menujukkan tangkinya yang kini kosong. Mengapa harus sekarang? Dia berpaling pada kawanannya yang memasang raut tanpa ekspresi―semuanya pasti sama jengkelnya, tetapi tidak ada yang repot-repot mengutuk serapah karena mereka tahu itu hanya membuang-buang tenaga. Euros menepis ketegangan di dalam mobil dengan ringisan sarkasnya, "Petualangan asli memang lebih seru kalau dilalui dengan jalan kaki."
"Kita seharusnya berhenti di pom bensin terdekat," kata Nathaniel, yang mulai berkeringat setelah mereka menempuh beberapa mil perjalanan. Semua yang ada di sekitar mereka tampak seperti belantara yang tak terawat dan penuh sampah peradaban. Bau gosong leburan mayat di mana-mana, dan burung-burung gagak masih mengintai di antara ranting yang menyembul dari pepohonan. Mereka menuruni rute aspal menurun yang berbatasan dengan jurang di sisi kiri, dan hutan yang lebat di sisi kanan.
"Berhentilah mengeluh, Sersan. Kita pernah menghadapi medan yang lebih berbahaya dibandingkan ini," Heaven menyahut.
Euros yang melangkah di depan mereka bertanya, "Apa komandan kalian menyiapkan monster asli selama latihan prajurit?"
"Cuma orang bodoh yang melakukannya," Heaven berkata sambil mengerutkan kening, tidak percaya dengan kebutaan informasi yang dimiliki Euros. "Kau ini tidak tahu jalannya latihan militer, ya? Apa kau tidak pernah sekalipun memantau lewat siaran nasional? Mereka menjelaskan semua latihannya di televisi saat meminta masyarakat sipil untuk bergabung."
"Awalnya aku tidak tertarik begituan," kata Euros. "Maksudku, aku tidak pernah berpikir peristiwa itu akan memengaruhi secara langsung. Aku memang lihat beberapa berita, menyaksikan demonstrasi, kerusuhan, dan serangan di berbagai daerah, tapi seolah tidak ada satu pun yang terjadi di kepalaku. Aku tidak menyangka semuanya begitu serius ... kalau bisa mengintip masa depan yang kulalui sekarang, tahu begitu aku ikut militer saja."
"Dasar anak ini," Claude yang ikut mendengarkan, menoleh sebentar pada Euros, "Pantas saja kau jadi mahasiswa abadi."
"Yah, yang kulakukan memang sehari-harinya sudah sangat sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk mengurus situasi yang lain. Rasanya seperti terperangkap belasan tahun di dalam sini, melakukan rutinitas yang sama terus-menerus, dan karenanya sulit memercayai titik balik besar bahwa kiamat tahu-tahu saja ada di depan mata." Euros mengatakan kalimat barusan sambil mengetuk-ngetuk pelipisnya. "Aku tidak merasa itu terjadi padaku sampai ... itu benar-benar terjadi padaku."
"Jadi, apa kesibukanmu sebelum mahabencana ini datang?" Nathaniel bertanya.
"Aku melakukan hobi―merakit dan mengulas mainan, lalu merilisnya di Youtube. Subscriber-ku sudah hampir menyentuh angka sepuluh ribu sebelum virus itu datang dan membuat apa yang kulakukan tak berarti lagi. Kau?" Euros berganti menunjuknya.
"Kau sudah tahu. Gareth tidak bohong waktu melucuti aibku. Bagaimana denganmu, Sersan?" Nathaniel berganti menujuk Heaven dengan popor senapannya.
Wanita itu terdiam sebentar, jelas terlihat ragu untuk mengatakannya. Claude yang menangkap tanda-tanda keengganan Heaven lantas menyahuti pelan, "Kita semua benar-benar tidak peduli dengan siapa atau apa yang kita lakukan di masa lalu."
"Aku pekerja sambilan," Heaven akhirnya mengaku. Suaranya dibuat senormal mungkin seolah-olah dia tak terpengaruh dengan tragedi masa lalu. "Hanya orang yang bekerja di restoran kecil untuk menghidupi keluarga. Begitu saja."
"Aku kaget saat kau bilang sudah punya anak." Wajah Nathaniel mengerut meminta penjelasan halus. "Kau kelihatan ... sangat muda."
"Anakku masih kecil. Usianya belum ada dua tahun."
"Bagaimana dengan suamimu?"
"Setahun setelah aku melahirkan, saat bencana mulai terjadi di beberapa tempat, suamiku menjadi korban reruntuhan akibat gempa bumi ketika dia sedang dinas di luar kota. Mendadak saja aku menjadi janda beranak satu di usia 24 tahun. Tak lama setelah itu, kakakku dan suaminya juga meninggal, dan mereka memiliki dua anak yang masih kecil-kecil. Aku dan anakku yang usianya masih lima bulan, pindah dari rumah suamiku dan tinggal bersama Ginna dan Tobias―itu nama keponakanku. Mereka kuanggap adikku sendiri, dan sangat bergantung padaku. Lalu ...."
Heaven berusaha mengontrol napas. Dalam hati dia menginginkan percakapan ini selesai, tetapi entah bagaimana tak bisa menahannya lagi. Wanita itu melanjutkan bercerita dengan luapan perasaan yang menderai-derai, "Di suatu malam, Ginna dan Tobias tewas diserang monster saat mereka sedang menungguku di rumah. Aku berhasil menyelamatkan anakku tepat waktu, karena keberuntungan―monster itu tertimpa lemari yang tiba-tiba roboh, dan itu memberiku waktu untuk kabur. Lalu aku menemukan kamp perlindungan yang dibangun tak jauh dari sana. Ada prajurit yang membantu dan melindungi kami, setidaknya sampai aku beres dari kekacauan mental. Beberapa bulan setelahnya aku memutuskan ikut bergabung dengan prajurit militer."
"Lalu anakmu?"
"Dia kutitipkan dengan para relawan yang bertugas merawat anak-anak lainnya."
"Kenapa kau tidak mengurus anakmu saja? Bukankah menjadi prajurit militer malah akan menambah beban yang kau pikul?" Pertanyaan Euros membuat Heaven menatapnya dengan sorot tajam.
"Alasan klise yang sama seperti yang digunakan orang yang menolak mati sebelum berperang," balas Heaven.
"Seperti pernah mendengar kalimat itu diutarakan seseorang," Euros bergumam kecil.
"Terima kasih sudah bercerita," Claude tahu-tahu menyela. "Aku tahu itu bukan kisah yang mudah untuk dibagikan kepada orang lain."
"Sudahlah, sekarang aku merasa lebih baik," kata Heaven, kemudian menatap Claude lebih lama dari biasanya. Sikapnya membuat pemuda itu jengah.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
"Giliranmu untuk bercerita," kata Heaven.
Claude membasahi tenggorokannya dengan terbatuk, diam-diam mencuri pandang pada Euros dan Nathaniel. Mereka berdua tampaknya menyerahkan seluruh urusan personalnya kepadanya, jadi Claude membalas Heaven sekenanya, "Aku hanya seorang pemuda yang putus kuliah karena didiagnosis dengan suatu penyakit. Sehari-harinya aku dirawat di rumah oleh kedua orangtuaku."
"Lalu?"
"Lalu?" Kening Claude mengernyit.
"Lalu apa yang terjadi?" Heaven membalas dengan kebingungan bercampur jengkel. "Mengapa sekarang kau berakhir seperti ini?"
"Apa aku harus menceritakan semuanya padamu?"
Heaven mendengkus, tidak percaya, "Siapa yang tadi menasihatiku bahwa tidak ada gunanya orang lain tahu tentang masa lalu kita? Kau pecundang, dasar sialan."
"Oke, oke," Claude menyerah sambil mengangkat kedua tangannya, lalu berusaha mengarang cerita dengan hati-hati. "Adikku ketularan virus dari luar, lalu dia menularkannya padaku. Jadi sebelum virus itu menguras habis kewarasanku dan membuatku memangsa ayah dan ibuku, aku dan adikku kabur dari rumah. Kami menemukan penginapan di dalam hutan, lalu dari situlah semuanya terjadi. Pemilik penginapan menawari kami serum perubahan. Aku tergoda, karena katanya kalau percobaan itu berhasil, aku akan sembuh juga dari sakitku."
"Jadi kau dan adikmu menyepakati tawarannya?"
"Ya." Claude melompati beberapa patahan batang pohon yang tergeletak di tengah jalan. Dari sini, aspal mulai tidak mulus karena sampah hutan entah bagaimana ikut terbawa ke jalanan.
"Kukira kau anak tunggal. Sepertinya dulu kau pernah bilang tidak punya adik?"
"Benarkah? Ya, pokoknya sekarang kau tahu ceritaku."
"Lalu di mana adikmu sekarang?" tanya Heaven.
"Sudah kubilang, rombongan kami terpisah karena kekacauan yang terjadi setahun lalu. Semuanya melarikan diri dari penginapan karena takut prajurit akan menyerang masuk ke dalam hutan dan menangkap kami semua."
"Termasuk si kepala penginapan itu," kata Heaven, lebih seperti informasi ke diri sendiri alih-alih sebuah pertanyaan. "Yang terlalu percaya diri menyebarkan serumnya secara cuma-cuma. Seharusnya dia tahu efek dari tindakannya."
Saat Claude hendak mengonfirmasi tuduhan itu, mendadak saja aroma mesin bercampur daging busuk yang lebih pekat tercium, seolah-olah mereka sedang memasuki area bekas kecelakaan besar. Semua orang menutup hidung dengan lengan atau kain dari pakaian, kewalahan dengan bau yang menyengat ini.
Nathaniel menatap Claude sambil mengernyit. "Rasanya tempat ini aneh. Apa kita masuk ke jalan yang salah?"
"Ini sudah rute yang benar," kata Claude, kemudian mereka semua berhenti untuk melihat situasi.
Di antara bau mesin dan daging busuk yang memecut-mecut indra penciuman, jalanan yang mereka lalui sekarang memang lebih rusak dan berantakan daripada jalur awal yang tadinya diambil. Pepohonan yang masih muda banyak yang roboh dan patah, seperti dihantam sesuatu yang besar dan berat. Lalu, dari kejauhan sana, ada kabut tipis yang menyelimuti kemuraman hutan.
"Tunggu di sini," kata Claude, lalu memberanikan diri memeriksa lebih jauh. Dia menodongkan mulut senapannya ke arah depan seraya melangkah beberapa meter, memasuki tikungan melandai di samping jurang menganga, sementara tiga orang kawannya menunggu dengan sabar.
"Kalian tidak dengar suara apa pun?" Heaven berbisik resah kepada Nathaniel dan Euros.
"Tidak. Hanya firasat," balas Nathaniel.
"Firasat apa?"
"Bahwa tempat ini adalah bekas pesta-pora para monster."
Kemudian firasat Nathaniel terjawab detik itu juga; bertepatan dengan Claude yang kembali muncul dari tikungan di kejauhan sambil berlari. Senjatanya teracung ke depan, sementara wajahnya mengerut tegang. Dari belakangnya, satu monster berlari mengejar. Monster itu menggeram seperti binatang yang mengamuk, mengaum di udara.
Nathaniel berdecak, lalu membidikkan moncong senapannya pada si monster. Hanya selang beberapa sekon setelah peluru itu melesat ke udara dan menyentak kepala monster itu, membuatnya roboh ke tanah.
"Tenang, kawan! Aku sudah menyelamatkanmu!" Nathaniel berkata agak keras untuk mengimbangi jarak di antara diriya dan Claude.
Namun, bukannya bersikap tenang, Claude masih tetap berlari kencang seraya mengibaskan tangannya di udara, seolah mengusir mereka bertiga.
Heaven menyipitkan mata dari kejauhan, memperhatikan gerak bibir Claude yang membentuk rangkaian kata;
"Lari, lari, lari!"
Tak lama kemudian, sekitar selusin monster yang lain muncul dari tikungan di belakang Claude.[]
-oOo-
.
.
.
Gais, bersiap menghadapi sesuatu yang 🔥🔥🔥🥵🥵🥵🥵
Pilih di antara salah satu, kalian siap menghadapi apa
A. Kematian
B. Pengkhianatan
C. Keduanya gas
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top