21. The Intense Decandence
This chapter will show you some extreme conversations that lead to strange, obsessive tendencies and an asshole maniac.
Alias probabilitas pengin jambak Janeth mungkin bakalan bertambah lewat chapter ini.
-oOo-
BILIK-bilik kecil nan sempit itu disebut penjara.
Setidaknya, itu sekarang. Dulu Janeth mengatakan pada Wayne bahwa tempat ini merupakan bagian dari bunker penjagalan ternak yang dibangun di tepi tebing cagar alam Bosevill. Itu menjelaskan mengapa Wayne kelihatan tidak betah saat pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini; sebab bau darah dari karkas binatang ternak masih samar-samar tercium, secara praktis membuat gambar-gambar monster dalam kepalanya mekar kembali tanpa permisi, merajamnya dengan kepanikan seperti saat dia hendak menjadi mangsa di malam itu.
Dalam penerangan yang minim dan kehangatan yang membuat gelisah, Wayne dapat merasakan tubuhnya menggigil ketakutan. Perbuatannya kepada kawan-kawan abangnya pastilah tidak termaafkan―keyakinan itu terpatri pada wajah-wajah yang menatapnya nanar sekaligus penuh kebencian, terutama Juan, yang berbaring di bilik penjara di hadapannya dengan kondisi mengkhawatirkan.
Pemuda itu masih gemetaran akibat sentruman implan aktif yang sengaja ditanam di tengkuknya, sesaat sebelum mereka semua dilempar ke penjara; Janeth mengonversi implan itu sebagai senjata yang mengirimkan sengatan listrik untuk membuat para tawanan tersiksa. Artinya, semua tawanan yang memberontak akan diancam dengan cara licik dan kejam, dan Wayne adalah salah satu pion yang digunakan untuk mengawasi tanda-tanda pemberontakan itu.
Wayne tersentak kecil saat menatap mata kawan lamanya yang dilumuri kesedihan dan kemarahan. Dia mendengar suara lirih Juan digaungkan putus asa;
"Mengapa, Wayne ... mengapa?"
Dia tidak sanggup memandang Juan, sebab Wayne takut akan kembali dibasuh dengan penyesalan dan rasa bersalah. Dunia ini sudah bukan dunia yang sama lagi seperti dulu. Bumi telah luluh lantak bersama manusia-manusia lemah yang dicampakkan semesta, lalu menyisakan generasi-generasi pejuang yang akan membawa peradaban baru dan lebih mutakhir. Dan, akibat pembelotannya, Juan terpaksa menjadi mereka yang pantas musnah. Wayne mati-matian menyakinkan dirinya soal itu.
Maka dia mundur perlahan, sambil tetap memperlihatkan tampangnya yang disetel angkuh, demi membuat kesan bahwa di atas segala teror ini dirinya adalah yang paling berkuasa.
"Ja-jangan macam-macam padaku, kalian semua keparat berengsek," kata Wayne, mata menyisir bilik-bilik kecil yang ditempati monster-monster pembangkang. "Kalian tidak akan bisa memecahkan jeruji itu, terutama bagi orang bodoh yang berpikir jalan keluarnya adalah dengan bertranformasi lalu menghancurkan penjara ini dengan sekali serangan. Coba saja, kalian akan dihabisi yang lebih parah seperti tadi."
Kemudian Wayne merasakan setitik kemenangan merengkuh hatinya. Dia menyungging seringai senang, melotot pada para tawanan disertai kegugupan luar biasa. "Teruslah mendekam di tahanan bau isi perut binatang ini, sampai kalian menjadi sinting."
"Tidak, Wayne, tunggu―WAYNE!"
Selepas mengatakan hal itu, Wayne berbalik, mengabaikan seruan lemah Juan yang membujuknya untuk kembali. Kian lama, langkahnya menjadi ringan dan cepat. Pemuda itu menyusuri lorong berkelok yang sempit, sampai akhirnya muncul di sisi ruangan lain; penjara yang berbeda.
Bau di tempat ini lebih tajam; perpaduan antara aroma air seni dan pembusukan daging. Saking memualkannya, Wayne harus menutup hidungnya agar aroma itu tidak menusuk kepalanya dan membuatnya muntah. Sambil berusaha menulikan telinganya dari rintihan kesakitan dan erangan minta tolong, dia melangkah cepat di antara jeratan mata yang meliriknya, yang asalnya dari manusia-manusia di balik sel kurungan;
Para perempuan dan anak-anak.
"Hei, yang ada di sana."
Panggilan lirih dan parau itu datang dari sel yang ada di sebelah kanannya. Wayne ingin memaksa diri agar tetap abai dan segera lenyap dari tempat ini, tetapi mentalitas korban perisakan yang tertanam di benaknya masih aktif. Maka, langkah pemuda itu secara naluriah berhenti, dengan takut-takut melirik ke sumber suara.
Seorang perempuan muda menatap prihatin padanya. Pakaiannya lusuh, dan rambutnya gimbal, seolah tidak dicuci selama berbulan-bulan. Wanita itu menjulurkan tangannya yang berkuku panjang dan berwarna hitam, seraya berujar patah-patah, "Tolong dia. Dia ... sepertinya butuh bantuan... sejak kemarin berteriak perutnya sakit...."
Suaranya menggemakan kecemasan dan permohonan. Wayne terpaksa melangkah maju dan melongok ke dalam sel.
Di sudut bilik yang gelap, tersembunyi dalam balutan selimut dan kain-kain lusuh, dia melihat seseorang meringkuk di lantai yang dingin dan lembab―seperti berkubang di dalam air seni dan kotorannya sendiri. Gadis itu ada di kondisi setengah sadar dan tidak, merintih seperti disiksa oleh cambuk tak kasat mata. Keringat membanjiri sekujur tubuhnya, sementara perutnya dililit oleh kain lain yang sudah terembes oleh darah―jelas menyatakan penyebab di balik kondisinya yang kritis. Kakinya berlumur darah yang berwarna hitam―menggumpal dan berbau busuk, dikerubungi lalat dan beberapa belatung.
"A-ada apa dengannya?"
"Dia mulai merengek kesakitan sejak pertama kali aku datang kemari, dan sekarang kondisinya memburuk. Kupikir ...." Wanita itu menoleh ke belakang sambil menatap memicing pada celah di antara kedua kaki si gadis, yang tampak digenangi cairan hitam pekat dan sedikit beriak. Matanya bergetar gelisah ketika menatap Wayne kembali, "Kupikir dia pendarahan."
Wayne tercengang, membeku seperti disihir.
Lalu wanita itu menambahkan, "Bahkan kalau kau lekas membawanya pergi dan memberinya pengobatan, aku tak yakin dia akan selamat. Keadaannya sudah memburuk sejak berhari-hari lalu. Dia memuntahkan semua makanan dan minuman yang masuk ke mulutnya. Sementara para petugas yang datang kemari hanya membiarkannya saja. Apa mereka benar-benar tidak peduli kalau gadis muda ini mati?"
Sang wanita hampir jengkel karena melihat Wayne yang membeku saja. "Hei!" serunya, seketika membuat Wayne berkedip sadar dari lamunan kengeriannya. "Kau satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Bawa dia pergi ke tempat yang aman. Di sini banyak anak-anak."
Kemudian sang wanita jelalatan memandang sekitar. Di bilik penjara yang lain, ada seorang anak laki-laki yang tidur gelisah sambil mengemut jempol. Suara dengkurannya halus, tetapi terdengar sampai di titik mereka berdiri. Hanya beberapa detik perhatian Wayne teralihkan untuk memandang bocah itu, wanita di hadapannya menyelipkan tangannya ke celah jeruji dan langsung mencengkeram lengan Wayne―sontak membuat pemuda itu nyaris melompat dan menyumpah serapah.
Dia memberontak, tetapi cengkeramannya terlalu kuat. Sang wanita mendekatkan bibirnya di batas jeruji dan berdesis pelan, "Kalau kau masih punya hati nurani, setidaknya berikan dia tempat peristirahatan terbaik. Dia gadis yang mulia ... tidak pantas tewas mengenaskan di tempat seperti ini ... kumohon tolonglah...."
"Bukan kuasaku untuk mengeluarkannya!" Wayne menyerobot, menarik napas gemetaran dan panik. Dalam sekali sentakan, dia menepis cengkeraman wanita itu.
"Lalu kau mau membiarkannya mati di tempat ini?"
"Aku ... aku akan memberitahukannya pada dokter," Wayne berujar, yang kesannya hanya memberi alasan saja. Dia buru-buru mundur dari bilik penjara itu sambil menatap mencalang pada sosok gelap yang meringkuk sekarat di sudut sana. Atensi Wayne berpindah pada sang wanita yang baru saja meminta permohonan. Wanita itu menatapnya dengan sorot kejijikan yang sama seperti yang diberikan Juan padanya.
Pergi, pergi saja!
Kemudian Wayne berbalik dan lari.
Langkahnya membawanya keluar dari lorong penjara dengan mudah. Wayne naik ke undakan melingkar yang tiap anak tangganya disepuh sinar dari pintu ruangan di ujung. Ketika pemuda itu melewati ambangnya, dia mengembuskan napas dengan rakus, lega karena berhasil lepas dari cengkeraman teror para tawanan keras kepala yang dia hadapi di bunker bawah. Wayne keluar, melewati pekarangan yang terbias oleh sinar rembulan dan kerlip air laut, kemudian masuk ke menara barat yang menjulang.
Pemuda itu melewati beberapa pos jaga yang dibangun apa adanya, lalu masuk ke lobi menara yang terlihat bobrok dan suram, berusaha tak menautkan kontak mata pada para peneliti yang berseliweran di sekitarnya.
Wayne sudah cukup lama berada di tempat ini, tetapi masih belum begitu terbiasa dengan tingkat obsesivitas dan kesintingan tak lazim yang diidap oleh hampir seluruh peneliti. Mereka semua terbiasa bekerja melewati beban normalitas yang dapat diterima tubuh―tanda-tanda itu dapat dilihat dari kulit mereka yang kering pucat, serta sorot mata yang cekung dan mencalang. Paras mereka masam, seperti digerogoti depresi dan kemarahan berlapis-lapis. Dua di antara peneliti tersebut berkewarganegaraan Rusia―orang asli pemerintah yang terjun ke markas ini demi urusan-urusan politik yang tidak Wayne ketahui.
Janeth memperlakukan mereka kelewat baik, tetapi itu hanya reaksi kepura-puraan untuk menunaikan perannya di bangsal penelitian, hanya sebelum dia menerima plakat resminya sebagai seorang peneliti dunia yang namanya dikenang dalam sejarah umat manusia, dipuja-puji atas keberhasilannya menciptakan spesies spektakuler yang kemisteriusanya sudah setara dewa di masa eon. Setidaknya, itulah ambisi terbesar Janeth yang Wayne tahu dari penyelidikan sederhananya.
Ketika Wayne melangkah memasuki pintu hijau di sudut lorong lantai tiga, dia muncul di sebuah ruangan besar yang menjadi pusat eksperimen dan penelitian Bosevill―tempat kerja para peneliti yang hari-harinya diisi dengan interaksi bersama alat-alat laboratorium dan mesin-mesin rumit yang mengukur daya atau kinerja otak monster. Tempat ini tidak secanggih kelihatannya, karena mayoritas aset penting telah lenyap diempas ledakan. Mereka hanya bergantung pada catatan-catatan manual dan alat-alat jarahan yang dikumpulkan dari berbagai lokasi penting sebelum ini, di mana Janeth merekrut segelintir pasukan baru dan menambah daftar tawanan yang bisa dimanfaatkan.
Sesekali Wayne akan melihat satu atau dua prajurit monster, yang menjalani serangkaian tes tertentu untuk mengetes keajaiban-keajaiban okultisme apa yang mereka miliki―dari kemampuan regenerasi, kecerdasan, dan kabarnya sampai keistimewaan hereditas dan fertilitas. Dari tampangnya, mereka semua terlihat tidak suka menjadi spesimen penelitian, tetapi Janeth selalu memiliki mulut manis untuk membujuk, walau kadang-kadang mulut manis itu berubah menjadi mata pisau yang mengancam.
Wayne juga tidak suka menghabiskan waktu di tempat ini, tetapi dia terpaksa kemari karena Janeth memanggilnya. Maka pemuda itu duduk di sebuah bangku panjang yang biasanya digunakan para peneliti untuk istirahat singkat. Dia menunduk sambil memandangi kuku-kukunya yang terpotong tidak rapi karena sering digerogoti, sementara satu kakinya mengentak-entak lantai dengan gelisah. Ketika benak Wayne tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba saja pundaknya ditepuk orang.
Pemuda itu berjengit dan mendongak. Wajah Janeth yang kurus dan pucat seperti debu memandangnya dari atas.
"Kau sudah menemui mereka?" tanya Janeth.
"Ya," Wayne bergegas berdiri, lantas mengikuti Janeth ke ruangan pribadinya. Tidak seperti biasanya, kali ini Janeth terlihat agak murung. Eskpresinya masih dipenuhi ambisi menyeleweng dari harapan gilanya untuk meneliti, tetapi gerak-geriknya tidak lincah seperti biasa. Dia terlihat berkali-lipat lebih pucat dan tua dalam selubung sweater kedodoran yang menampakkan bercak-bercak cokelat misterius. Wayne berusaha menahan diri untuk tidak memikirkan dari mana asal bercak itu.
"Tidak ada abangku," kata Wayne, menatap sosok Janeth yang membungkuk suram di atas meja. "Yang kalian tangkap adalah kawan-kawan abangku, tetapi semuanya sama-sama keras kepala. Tidak ada yang mengaku di mana dia bersembunyi."
"Mereka melindungi informasinya?"
"Aku yakin begitu."
"Apakah kau sudah melakukan yang terbaik dari yang kau bisa?"
"Ya, tapi mereka tetap membangkang. Kelihatannya bahkan tidak ada satu pun di antara mereka yang takut mati."
Terdengar dengkusan tawa meremehkan. "Lihat saja nanti."
Janeth menarik napas dan mengembuskan dalam sekali pelepasan. Dia membuka berkas-berkas di atas meja dan menarik gulungan peta yang besar di dekat termos dan cangkir kopi. Saat Janeth masih melihat-lihat titik lokasi dalam peta, Wayne memberanikan diri berujar; "Di bangsal penjara perempuan, ada satu orang yang sakit. Sepertinya dia membutuhkan dokter."
"Mereka datang setiap hari untuk memeriksa kondisi yang sakit," kata Janeth tanpa repot-repot memandangi Wayne.
"Tapi katanya, orang itu sudah lama dibiarkan sekarat."
Jemari panjang Janeth yang mengikuti garis-garis dalam peta berhenti. Wanita itu mendongak. "Biasanya yang seperti itu sudah tidak bisa diselamatkan."
"Kelihatannya begitu." Wayne berpikir sejenak, mengingat kembali kata-kata wanita yang memohon padanya. "Lalu apa dia akan dibiarkan saja di dalam sana?"
"Mau apa lagi? Tidak ada bedanya ada di dalam atau di luar penjara. Asalkan itu bukan penyakit menular, semua tawanan akan aman."
"Katanya pendarahan."
Kalimat Wayne membuat Janeth menatapnya lama. "Apa?"
"Pendarahan. Ada darah yang keluar dari ... dari selangkangannya." Wayne merasa tidak nyaman saat mengatakan apa yang dia saksikan.
"Yang kau maksud pasti subjek 17," kata Janeth, menyingkirkan helaian rambut pirang pucatnya ke balik telinga. Dia menjejalkan tangan ke dalam saku celananya yang longgar dan menarik keluar sebuah kacamata persegi. Janeth memakainya, sementara tangan satunya sibuk mencari-cari berkas laporan baru. Wayne terus memperhatikan Janeth yang kelihatannya tersulut oleh keseriusan seusai menyebut "subjek 17".
"Ya, subjek 17 tidak menunjukkan reaksi bagus dari laporannya," kata Janeth seraya membaca barisan kalimat itu, lalu membuang napas berat, "Gagal lagi untuk kesekian lagi."
"Apa dia hamil?" Wayne tak tahu mengapa dia mengatakan hal seberani itu. Mulanya dia mengira Janeth akan membentaknya atau menyuruhnya tutup mulut, tetapi wanita itu malah menutup laporannya dan memandangnya lurus-lurus.
"Tentu saja," kata Janeth. "Dia hamil anak monster."
Kalimat itu memicu debaran jantung yang terkubur di rongga dada Wayne. Selama ini dia memang selalu berdekatan dengan Janeth dan mengobrol ini-itu dengannya, tetapi dia tak pernah sekalipun menyinggung detail penelitian macam apa yang sedang Janeth lakukan. Apakah ini yang disebut percobaan fertilisasi? Sekarang berita itu membuatnya dikuasai perasaan aneh dan takut. Pembuahan dari seorang monster? Demi ambisi apa lagi Janeth membiarkan kesintingan macam itu menguasai benaknya?
"Ini tidak seburuk kelihatannya, anak muda," Janeth menangkap geletar gelisah dari raut Wayne. "Kita memang memerlukan eksperimen untuk menyempurnakan spesies ini―menyelidiki lewat cara apa pun. Kalau serum tidak berhasil, setidaknya mereka harus memiliki keturunan lewat cara biologis yang memungkinkan." Janeth mengetuk-ngetukkan telunjuknya di atas meja sambil menggeleng tidak habis pikir, "Tetapi tidak ada satu pun percobaan yang berhasil. Betapa anehnya. Gen monster yang termutasi dalam kromosom mereka memberi keistimewaan untuk beregenerasi, tetapi menggagalkan pembuahan. Padahal mereka masih memiliki cangkang manusia yang utuh dan mewarisi gonosom yang sama seperti kita. Ini benar-benar menjengkelkan."
"Tapi ... ini melanggar ...."
"Melanggar apa?" Janeth masih bersikap tenang, tetapi dua mata birunya yang sedingin es menatap Wayne dengan kepongahan dan ketidakpedulian. "Kau mau mencoba menceramahiku tentang bahaya mendukung dekandensi umat manusia di penghujung peradaban terkutuk ini?"
Wayne merasakan napasnya habis saat mendengar penuturan itu dari mulut Janeth. Detik berikutnya, dia merasa goyah dan perlu berpegangan. Pemuda itu memegang sandaran kursi sambil berupaya menormalkan keterkejutannya. Bayangan wanita yang sekarat di dalam penjara seolah memanggil-manggilnya lagi dari sumur terdalam.
Wanita ini benar-benar sinting.
"Wayne." Suara Janeth memantik kesadarannya. "Kau bilang kawan-kawan abangmu tidak mau diajak bekerjasama, bukan?"
"Ke-kenapa?"
"Kurasa aku bisa melakukan sesuatu."
Wayne memperhatikan Janeth yang berputar dari posisi berdirinya, kemudian menghadap jendela yang mengarah ke lautan gelap. Namun, atensi Janeth bukan tertumbuk pada titik entah di kejauhan, melainkan pada lokasi terbuka yang berjarak hanya tiga lantai dari kakinya―sebuah arena kosong yang dikelilingi pagar besi beraliran listrik. Di luar pagar, ada banyak monster―dalam wujud manusianya yang sempurna―melakukan kegiatan normal yang bisa terpikirkan; berseliweran ke sana-sini sambil mengobrol, tertawa, seolah-olah mereka sedang bermalam di kamp pengungsian.
Tanpa diketahui Wayne, mata biru Janeth berkilat-kilat oleh mania aneh dari perusakan mental yang intens.
Wanita itu berkata lirih kali berikutnya;
"Sudah lama kita tidak memberi orang-orang ini hiburan bagus."[]
-oOo-
.
.
.
Ada yang bisa nebak rencana Janeth selanjutnya?
Btw novelku yang ini juga fantasi dark yah gais. Persetan dengan fantasi romance sweet ala remaja. I WANT MORE PROBLEMS!
So please kindly read it. In the first 6-7 chapters you might find this novel boring or bla bla bla, and I ADMIT IT, soalnya tujuan awal aku bikin novel ini emang target pasarnya buat anak-anak remaja lokal yang lebih suka adegan baper.
Tapi bergerak ke chapter berikutnya, kurasa honeymenu sang mami monster mau ambil alih pekerjaan ini jadi sesuatu yang lebih gelap, mistis, dan mengerikan. Hope you will like it tooo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top