20. The Torn Morality

Persiapkan diri saat membaca chapter ini. Jangan kebawa perasaan kayak aku, nanti jadinya meleduk-leduk tak karuan

-oOo-

WAYNE adalah bom yang berdetak.

Terjebak di ambang moralitas hitam dan putih, Wayne tahu tidak lama lagi hidupnya binasa di tangan Janeth atau di tangan abang kandungnya. Dia telah berada di sudut mati dan tak bisa memutar waktu. Tak bisa berkelit dan berbohong, lantaran dua koin yang dihadapinya adalah racun yang sama-sama mematikan; Janeth dan ancamannya, juga Claude dan kesetiaannya. Jiwanya adalah bom yang berdetak, dan pilihan apa pun yang dia ambil untuk melawan, tidak akan menyelamatkannya dari kematian.

Wayne sendiri tak tahu mengapa rentetan situasi yang dialaminya malah menyeretnya ke titik ini. Padahal selama ini yang dia lakukan hanya bertahan hidup.

Memori itu masih subur dalam benaknya―hari-hari sengsara setelah Pangkalan Forbs dibombardir, Wayne terlunta-lunta bersama segelintir korban selamat. Bermalam di satu tempat ke tempat lainnya seraya berjuang memelihara kewarasan. Mereka semua memiliki harapan untuk bertahan, tetapi ketiadaan senjata dan kurangnya inisiatif pertahanan menjerumuskan mereka dalam depresi dan kemarahan jangka panjang.

Suatu hari di tengah kegelapan hutan, seseorang di kelompoknya―wanita latin bernama Carmen, berteriak pada rombongan Wayne; "Untuk apa bersikeras hidup bila para monster yang menemukan kita dapat memangsa hanya dalam hitungan detik? Kita punya kendali untuk memilih! Kalian semua! Apa yang kita lakukan di sini? Menunggu hari untuk menjadi santapan?" Dia menudingkan telunjuknya yang kurus pada wajah-wajah murung di hadapannya. Carmen menangis sambil tertawa, seperti orang kesetanan yang kacau. Ludahnya bermuncratan dari mulutnya ketika dia meraung, "Apa kalian sungguh tolol? Dunia ini sudah hancur, dan kita semua di sini adalah debu-debu tak berguna yang dicampakkan oleh semesta! Apa yang kalian lakukan tak akan membuahkan hasil! Semuanya sudah selesai. SELESAI!"

Kemudian seorang pria di antara mereka menyergap Carmen, membekuknya di tanah dan memaksanya tutup mulut. Namun, pergulatan tak bisa dielakkan. Carmen menendang dan menjerit, tak peduli teriakannya akan mengundang monster atau sesuatu yang lebih buruk. Dia dibutakan oleh amarah dan kesedihan yang menderai sampai jantung. Pria itu memukulinya sampai wajah Carmen bengkak dan gigi-giginya rontok. Darah Carmen merembes ke pakaian, meruap ke udara malam dan mengirimkan aroma menyengat di hidung para penyintas.

Kemudian, seperti yang sudah-sudah, monster Kureji datang dan menghancurkan tempat persembunyian mereka.

Wayne sudah hafal bagaimana rasanya menjadi korban perundungan, tetapi dia tak pernah berada di trofik ekosistem mangsa monster yang sesungguhnya. Kejadian malam itu adalah momen paling tragis yang pernah dia saksikan seumur hidup, bahkan melebihi rasa terkejutnya saat dia menonton rekaman-rekaman pembantaian yang sebelum ini pernah tersiar di televisi. Dia masih mengingat jelas darah penduduk yang bercipratan di udara. Cabikan kuku monster yang menggarut mata dan mengoyak wajah, merobeknya begitu saja hingga jeritannya terputus ditelan kematian.

Wayne kabur terbirit-birit seraya menggaungkan putus asa dalam kepalanya. Dia jatuh dan mencium tanah berkali-kali, bergulingan di lahan hutan yang dibasuh dedaunan kering dan bangkai binatang pengerat. Pandangannya buram karena bercampur darah dan air mata. Para monster di belakang sana cepat atau lambat akan menyergapnya, dan kali ini bukan lagi bonyok yang dia dapatkan, melainkan robekan menganga di torso atau kepalanya.

Saat Wayne terjatuh lagi untuk keseribu kali, dia mendarat di dasar tebing rendah yang beralaskan semak-semak lebat. Tatapannya mendongak saat melihat cahaya yang berpijar tak jauh darinya. Seperti cahaya senter yang disorotkan tepat di wajahnya. Dia juga mendengar suara-suara. Yang satu bernada rendah seperti seorang laki-laki, sementara yang satu lebih tinggi―jelas suara perempuan. Kelihatannya mereka dirudung debat, tetapi tidak ada kepanikan dalam nadanya.

Lengan Wayne menggapai-gapai di antara sorotan cahaya itu. Dengan suaranya yang melengking dan gemetar, dia memekik putus asa; "Hei, kalian, tolong aku! Aku akan melakukan apa saja! Tolong aku! Aku tidak mau mati! Aku akan berikan segalanya kepada kalian!"

-oOo-

Upayanya untuk bertahan telah membawanya ke titik ini.

Belakangan Wayne baru tahu bahwa dia telah tak sengaja masuk ke markas setengah monster. Mulanya dia mengira akan bertemu dengan abangnya, karena abangnya juga merupakan setengah monster. Wayne sudah mengukur percakapan macam apa yang akan dia layangkan untuk Claude, tentang keberhasilannya mengirim surat-surat penting ayahnya kepada Letnan Zurich, dan membuat Letnan murka hingga ingin menghukum Janeth bersama para kroni yang membantunya dalam menyingkap tabir para monster. Namun Claude juga harus tahu bahwa Janeth terlalu cerdik untuk mencium keanehan Letnan, sehingga dia berhasil kabur setelah sebelumnya membuat kegaduhan di Pangkalan. Semua kekacauan itu―ledakan besar yang menghancurkan Pangkalan, adalah realisasi dari rencana Janeth yang ingin menghindar dari kejaran Letnan. Barangkali abangnya tidak akan percaya begitu saja, tetapi toh Wayne akan mencoba. Wayne harus bisa membuktikan kepada abangnya bahwa kali ini dia menjadi anak yang berguna.

Setidaknya dia memelihara rencana itu sebelum dia sadar bahwa yang menolongnya dari kejaran monster semalam bukanlah abangnya.

Tetapi Janeth.

"Wayne."

Suara itu memanggilnya lagi. Pemuda itu mengusap keringat yang melumuri keningnya dan menoleh ke belakang. Dia melihat Janeth, dalam setelan jas laboratorium putih, berdiri di depan pintu yang baru saja tertutup. Wajah perempuan itu bersinar dalam keremangan lampu neon yang sesekali berkedip menunjukkan dayanya yang lemah. Dia mengulurkan tangan dan melambai pada Wayne, menyuruhnya mendekat.

Pemuda itu menurutinya.

Janeth menyentuh punggung Wayne, mendorongnya perlahan menuju ruangan lain di balik pintu yang tertutup. Sebuah ruangan kerja yang sederhana. Ada meja-kursi beserta laporan-laporan yang berserakan. Di seberang ruangan itu, ada sebuah kabinet kayu yang memajang beberapa stoples (belakangan Wayne tahu bahwa stoples-stoples itu berisi potongan spesimen monster yang diawetkan entah untuk tujuan apa). Dari posisi berdirinya, dia melihat sesuatu di balik tempurung kaca; berwarna gelap―merah, atau hitam, dengan satu gumpalan sebesar kepalan tangan yang mirip seperti inti mata mengapung di dalamnya. Wayne tidak berani melihat lebih dekat karena dia yakin traumanya akan merayap keluar dan menyebabkan reaksi-reaksi alamiah tidak diinginkan, seperti muntah atau gemetaran sekujur tubuh.

Janeth menyuruhnya duduk, sementara wanita itu beringsut ke balik meja dan menuangkan air dari termos ke sebuah cangkir berisi kopi. Dia mendorong cangkir kopi itu kepada Wayne. Tatapan dari dua mata birunya menyiratkan ketegasan mutlak, seperti batu es abadi yang tidak akan mencair dikikis zaman.

"Kami menemukan satu lagi lokasi yang mencurigakan," adalah kalimat pertama dari Janeth.

Wayne menatap Janeth tanpa berkedip. Dia membiarkan wanita itu melanjutkan penjelasannya.

"Posisinya di barat daya High Point, tiga puluh kilometer dari Pangkalan Forbs. Tim kami menemukan sebuah penginapan kecil di pinggir jalan besar. Di dalamnya ada tiga sampai empat orang―diduga mereka adalah rombongan dari Fayettivele yang terpisah." Kemudian Janeth mencondongkan tubuhnya sampai dadanya terantuk tepi meja, menatap Wayne lamat-lamat. "Kemungkinan besar Claude ada di sana."

Wayne tidak bisa mengenyahkan perasaan bersalah yang kian hari tumbuh mengakar di dadanya. Pertolongan Janeth yang menyelamatkannya dari serbuan para monster membuatnya berada di situasi rumit antara hidup dan mati. Bukan hanya hidup dan matinya, melainkan juga abang dan kawan-kawannya. Dia berusaha mengendalikan debaran jantungnya dan dengan berani menatap Janeth.

"Jadi apa yang kalian lakukan kali ini? Membawanya kemari, seperti apa yang kalian lakukan pada tiga puluh pemuda di Fayettivele, lalu menyiksa mereka habis-habisan?"

"Ya, mereka dalam perjalanan kemari, tetapi kami tidak akan menyiksanya terlalu cepat." Janeth berpaling pada jendela di seberang ruangan. Di baliknya merupakan pemandangan tebing dan lautan biru yang menghampar di sepanjang cakrawala. "Mungkin satu atau dua jam akan tiba. Saat mereka kemari, kau datanglah ke sana dan pastikan sendiri apakah abangmu ada di dalam rombongan. Kemudian, lakukan sesuai apa yang kita bicarakan sebelumnya. Bujuklah abangmu untuk bergabung bersama kita."

"Dia tidak akan mau," kata Wayne, sedikit gemetar.

"Mengapa kau tidak mencobanya dulu? Sebelumnya kau berhasil membujuk salah satu dari kawanan monster di Fayettivele untuk melacak keberadaan Claude, bukan? Kau pasti bisa melakukannya lagi kali ini."

Di bawah meja, jemari-jemari Wayne saling mengusap dan bertautan. Kecemasan belakangan ini mengganggu daya pikir dan konsentrasinya, sehingga kadang-kadang dia tampak seperti di ambang kegilaan.

Janeth yang menangkap raut gelisah Wayne langsung berkata, "Ada apa denganmu, Nak? Kau mulai berpikir bahwa apa yang kaulakukan adalah semacam dosa tak termaafkan?"

"Aku tidak mengenal lagi siapa diriku."

"Kau adalah Wayne," kata Janeth seraya mendengkus tertawa, seolah pernyataan Wayne adalah lelucon konyol. "Wayne Frederick Rowansky. Kau adalah putra bungsu Marcus yang akan menuntun kami pada Claude."

"Kurasa aku tak akan sanggup melihat wajah abangku," kata Wayne. "Kalau abangku tahu aku mengikuti jejakmu, aku akan dibunuh. Dia akan menganggapku seorang pengkhianat dan―"

"Memangnya kau ini apa kalau bukan pengkhianat?"

Kata-kata Janeth menusuk hati Wayne. Pemuda itu kembali menatap Janeth dengan napas memburu dan terengah.

"Apa maksud―"

"Kau memang seorang pengkhianat, lalu kenapa?" potong Janeth, kemudian melanjutkan sebelum Wayne memberontak lebih banyak, "Jangan menganggap dirimu rendah hanya karena masalah itu, anak manis. Kau bersamaku sekarang, dan asal kau tahu, keberadaanmu jauh lebih berguna daripada barisan pasukan monster bodoh di luar sana."

Kata-kata itu entah bagaimana membuat hati Wayne sedikit goyah. Seumur hidupnya, dia tak pernah mendengar orang lain memujinya seperti itu, sekalipun itu ayah atau ibunya. Bahkan Claude. Sejak kecil dia tidak dekat-dekat amat pada abangnya, karena abangnya lebih banyak dikurung di dalam kamar karena sakit-sakitan. Mendengar sendiri seseorang memujinya, bahkan membandingkannya dengan monster perkasa di luar sana anehnya membuatnya senang, walaupun dia harus menampik perasaan itu berulang-ulang hanya demi mengingatkan dirinya bahwa sikap yang diambilnya selama ini tidak benar.

Janeth mengulurkan lengan di depan meja dan memberi isyarat agar dia dapat memegang tangan Wayne. Dalam gerakan ragu dan lambat, tangan Wayne yang berkeringat ditumpangkan di telapak Janeth. Wanita itu langsung mengusap buku-buku jarinya seraya berbicara dengan nada serius dan hampir menggeram;

"Kau tahu mengapa ribuan bahkan jutaan manusia tewas di luar sana? Itu karena sejak awal mereka tidak ditakdirkan untuk memulai peradaban baru, Nak. Tuhan mencampakkan mereka yang tidak layak dan memanggil mereka yang telah siap. Dia menyiapkan mereka yang telah ditakdirkan untuk memulai. Dan kau adalah satu di antara segelintir makhluk yang mendapat kehormatan itu. Kau tertatih menghadapi bencana, mencium darahmu dari lubang di lukamu sendiri, dan menghitung denyut napasmu yang tersisa. Kau jatuh berkali-kali namun hidup. Mengapa kau belum mengerti juga? Kau adalah jantung dari bumi baru yang berdetak, Wayne Frederick Rowansky."

Kata-kata itu membakar dada Wayne, menanamkan satu lagi alasan agar dia bertahan walau bumi yang luluh-lantak ini telah merenggut segalanya―dirinya, orangtuanya, dan abang satu-satunya. Janji Janeth membuatnya bangkit dari kematian.

Lalu Janeth berdiri dari kursinya dan berputar ke balik meja, menghadap Wayne. Wanita itu mencengkeram pundak Wayne dan nyaris memaksanya untuk berdiri. Dia memegang pipi tirus pemuda itu dan menatapnya dengan geletar ambisi yang menyala-nyala. "Kau adalah bagian dari kami, Wayne, dan aku tidak akan membiarkan seseorang di luar sana mengambil harta bendaku yang berharga. Kau, dan juga Claude, bersama-sama kita akan mewujudkan peradaban baru."

-oOo-

Wayne melihat kedatangan mereka malam itu.

Semuanya berjumlah empat orang, diangkut ke dalam helikopter dalam kondisi dibius selama berjam-jam perjalanan. Setelah akhirnya sampai kemari dengan selamat, status orang-orang itu berganti menjadi tawanan baru. Mereka dilempar ke penjara bawah tanah yang terbenam di dalam markas, dan nantinya selepas para tawanan itu siuman, Wayne akan diceburkan dalam misi penggalian informasi yang mendebarkan.

Kemudian, di sinilah dia berada. Wayne tak pernah menduga bahwa apa yang dilihatnya adalah kenyataan. Di antara keempat tawanan yang telah sadarkan diri, dia tidak bertemu Claude seperti yang Janeth harapkan. Namun, dia bertemu seseorang yang selama ini sempat terlupakan dalam hidupnya.

"Juan."

Suara itu dilesatkan amat lirih sehingga hanya Wayne yang dapat mendengarnya. Tidak salah lagi. Orang yang menempati salah satu sel kurungan itu adalah orang yang sama yang dulu pernah menjadi kawannya selama dia berada di Pangkalan Forbs. Selama ini Wayne mengira Juan telah tewas karena dia nekat kabur bersama rombongan monster, tetapi nyatanya ... bagaimana anak bisa berada di dalam sel kurungan? Apakah dia sudah bukan lagi manusia normal?

"Wayne? Apa itu sungguhan kau?" Juan memecahkan lamunan kebingungan Wayne. Dengan langkah berat, pemuda itu berjuang mendorong dirinya maju ke batas jeruji. "Wayne! Astaga, itu benar kau! Hei, dengarkan aku. Kau harus selamatkan kami! Bukan pintu ini, kawan! Aku mohon!"

Juan bahkan kelihatan lebih sehat dan bugar dibandingkan saat dia masih berada di Pangkalan. Mata cokelat pemuda itu menyala-nyala dengan semangat. Pipinya tidak tirus dan cekung seperti Wayne. Entah apa yang Juan lakukan untuk bertahan, tetapi dia pasti hidup lumayan selama ini. Dan mengapa pikiran itu malah mengganggu Wayne?

"Wayne, jawab aku!"

"Juan, kenapa kau ada di dalam sini?" Wayne tidak tahu apa yang merasuki dirinya belakangan. Seharusnya dia senang melihat kawan lamanya masih hidup, tetapi saat ini situasi membuat segalanya berantakan. Wayne dirundung rasa bersalah dan ketakutan yang amat mencekam, tetapi di saat yang bersamaan, hatinya tercabik iri yang menjadi-jadi saat melihat Juan mengajaknya berbicara setelah sekian lama. Andai saja. Andai saja saat itu dia kabur bersama Juan, mungkin dia tak akan berada di titik mati ini. Mungkin dia tidak perlu menjadi pengkhianat bagi abangnya sendiri.

"Kenapa, katamu? Mereka adalah kawan-kawanku. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Ada yang meledakkan penginapan, lalu semuanya ... tiba-tiba sulit diceritakan ... seperti mimpi. Begitu sadar, kami dibawa kemari dan ...."

Juan kehilangan kata-kata. Ledakan yang dialaminya membuat benaknya terdisorientasi, sehingga dia kebingungan untuk berpikir secara jernih. Ada yang aneh. Mengapa Wayne muncul di saat-saat seperti ini? Mengapa anak itu mengenakan pakaian bersih dan memandang kami seperti binatang dalam kerangkeng? Saat Juan masih mengernyit memikirkan benang merah terkutuk apa yang dialaminya sekarang, tahu-tahu River yang mendiami sel di seberangnya, menyela;

"Hei, kau orang yang membawa kami kemari, kan?"

Wayne memaksa dirinya untuk tenang. Dia berputar ke sel kurungan di sampingnya dan menatap wajah River. Wayne ingat dengan paras ini. Dia adalah abang Juan yang saat itu menjemputnya ke Forbs―si pemuda yang dari tatapannya seolah bisa memancarkan api untuk memanggang siapa pun yang mencari gara-gara. Sekarang pun dia tak jauh berbeda. Gerak-geriknya memancarkan ketenangan dari seekor singa yang menanti mangsa.

Ini gawat. Wayne harus segera menyelesaikan misinya sebelum para makhluk berbahaya ini berbuat sesuatu yang kelewatan.

"Di mana Claude?" tanya Wayne pada River.

"Apa urusanmu dengannya?" River balik bertanya.

"Jangan membuang waktu, cowok berengsek. Katakan di mana Claude!"

"Hei, mengapa kau berbicara kasar pada abangku?" Juan menggaungkan rasa tidak terima. Ini benar-benar aneh. Perlahan-lahan dia bisa mencium kecurigaan dari kehadiran orang ini. "Wayne, katakan padaku. Kau bukan orang yang mengurung kami di dalam sini, bukan?"

Wayne tidak menjawab. Sungguh ironis.

"Jadi selama ini kau adalah si keparat di balik drone yang berputar-putar itu?" Giliran Isaac yang menyela. Dia melemparkan tinju mentahnya ke jeruji besi yang setia bergeming. "Kau yang memata-matai kami sejak di Fayettivele?"

"Aku hanya diminta untuk mencari keberadaan Claude," kata Wayne. "Tapi bukan aku dalang di balik pengeboman itu, oke? Alasanku datang kemari justru ingin memberikan kabar bagus. Kalian tidak akan dilukai bila menuruti kami. Yang kami butuhkan hanya informasi di mana keberadaan Claude."

"Kami?" Juan mengerutkan kening. Kedua tangannya sudah mencengkeram jeruji erat-erat. "Kau bersama seseorang? Siapa biang keroknya kali ini?"

"Itu tidak penting. Aku hanya menyampaikan kejujuran tanpa ditutup-tutupi. Kami semua bersumpah kalian tidak akan disakiti sedikit pun apabila mau bekerja sama menangkap Claude."

"Claude adalah abangmu sendiri, Wayne! Bagaimana bisa kau mau menangkapnya? Siapa yang menyuruhmu melakukan pekerjaan tercela itu?"

"Itu bukan urusanmu, Juan."

"Kau pasti menjadi anjingnya Janeth," kalimat itu datangnya dari River. Wayne menatap ekspresi River yang dipenuhi rasa jijik seolah dirinya adalah bangkai belatung. "Lihat, kau bahkan tidak menyangkalnya. Jadi asumsiku benar, bukan? Sekarang katakan padaku, bocah sialan, mengapa kalian menculik kami kemari dan menanyakan keberadaan Claude? Apa intensi kelompokmu di balik tindakan kriminal yang tidak dimaafkan ini?"

"Sayangnya aku tidak tahu apa rencana Janeth."

Juan dan kawan-kawannya yang lain terperangah saat mendengar nama Janeth sungguh-sungguh disebut.

"Keparat, katakan apa yang kau tahu sebelum jeruji besi ini hancur!" ancam River. "Aku akan mencabik-cabik mukamu dan memastikan kau harus memakai topeng seumur hidup."

Ancaman itu membuat Wayne murka. Harga dirinya terlalu tinggi untuk direndahkan, dan dia tak bakal sudi menjadi tikus yang diinjak-injak. Sejak dulu, pukulan dan ledekan dari orang-orang angkuh selalu membuatnya muak. Dan, orang satu ini pantas mendapat balasan atas sikap soknya.

"Coba saja kalau berani, berengsek," kata Wayne dengan nada menantang. "Hancurkan jeruji itu kalau bisa."

River menggertakkan rahang murka. Pegangannya pada jeruji menguat, dan dia mulai tertantang untuk menghancurkan bilik penjara kecil nan bau ini. Sementara itu, Wayne merasakan tengkuknya merinding ketika dia melihat urat-urat nadi hitam bertonjolan di leher dan wajah River. Pemuda itu cepat-cepat menjejalkan tangannya ke kantong celana dan berdiri seberani mungkin. Sudut bibirnya berkedut mengantisipasi peristiwa yang hendak terjadi.

Entah dari mana asalnya, mendadak saja, sengatan tajam menusuk leher belakang River, menjalar ke kepalanya bagai dipukul godam. Pemuda itu jatuh ke lantai dan menggeliat menahan perih. Semua orang di dalam jeruji juga merasakan kesakitan yang sama. Juan meringkuk sambil memegangi kepalanya yang hendak pecah. Di antara bising teriakan kawan-kawannya, dia menjerit memohon, "Hentikan! Hentikan! Hentikan!"

Wayne menatap mereka dengan sorot kepuasan luar biasa, seperti seorang psikopat yang berhasil mematahkan kaki korbannya satu per satu. Melihat empat orang ini tidak berdaya memberi Wayne kekuatan, seolah-olah dia adalah sang penguasa baru. Itu adalah sesuatu yang melegakan, mengingat dia tak pernah merasakan perasaan kemenangan ini sebelumnya. Setelah beberapa detik yang menyakitkan, dia melepas tekanan jarinya pada remot kecil yang tersimpan dalam kantong celana.

Tindakannya ini membuat semua orang di dalam sel kurungan melemas, seolah-olah rasa sakit tadi dicabut begitu saja dari intisari jiwa dan meninggalkan mereka dengan rasa lelah luar biasa. Mereka lantas memandang Wayne dengan sorot mata ngeri bercampur kebingungan.

"Inilah yang terjadi kalau kalian berani melawanku," kata Wayne, terpilin di antara kepuasan dan kemenangan. "Dan kalau kalian berbuat bodoh lagi, sesuatu yang lebih parah mungkin akan terjadi."[]

-oOo-

.

.

.

JANETH SYALAANNNDD. AKU BIKIN CHAPTER INI GEMETER SENDIRI. LEBIH KEFARAT DAN OBSESIF DARIPADA BOKAPNYA CLAUDE GAESSSS 👹👹

Biar bagaimanapun, Wayne itu masih anak usia remaja yang lagi labil yah. Pas banget dapet Janeth Jamet yang manipulatifnya ngalahin badboy redflag. Yaa, jadi gimana gaes, chapter ini? Apakah hati Anda mulai berdentum-dentum tak terkendali juga? 

Kalau kalian masuk ke rombongan River dkk, apa yang bakal kalian pilih?

a. Merencanakan misi untuk kabur

b. Terpaksa tunduk 

c. Menanti bantuan Claude

d. Membujuk Wayne 

e. Jawaban lain

Btw ini 3000 kata huhuu, puas enggak???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top