2. An Order from the Brother

-oOo-

SUARA lirih dalam kepala Juan yang bertugas menjaganya tetap hidup berteriak; "Lari!"

Maka dia pun berlari bersama gerombolan teman abangnya yang mengikuti di belakang. Jauh beberapa puluh meter di depan sana, terbentang garis pepohonan hutan yang terselimut perak rembulan. Lambaian dedaunan dan semak-semak itu bagai memanggil mereka dari kedalaman bumi yang gelap dan tak tersentuh. Juan merasakan desakan kepanikan itu menggedor seluruh sarafnya, meledakkan adrenalin yang membuat kakinya berlari jauh lebih cepat dari yang lain. Dia mendengar suara dor-dor-dor familier dari senjata yang ditembakkan.

"LARI TERUS!"

Isaac mengomando dari barisan belakang, disusul beberapa detik kemudian, raungan liar makhluk buas merobek keheningan malam.

Itu adalah jeritan monster yang bertransformasi.

Walaupun Juan tak melihatnya karena sibuk berlari, akan tetapi dia bisa membayangkan semua orang―abangnya, termasuk teman-teman lainnya―mulai berubah wujud. Diiringi suara gemeretak dari sesuatu yang patah dan berdenyar, otot-otot pada lengan mereka pasti sedang berasap dan menggelembung tak wajar, sementara setiap ruas pada tulang-tulang kaki secara ajaib menebal dan memanjang bagai tungkai raksasa. Keganasan yang bersemayam dalam benak mereka berubah sebuas makhluk primitif. Cakar-cakar itu tumbuh dalam kengerian yang menyerupai mimpi buruk, menodai rasa aman yang disimpan Juan sebelum ini, membuat pemuda itu gemetaran hebat dan nyaris tersandung-sandung saking takutnya.

Juan merasakan tanah di bawah kakinya berkerut, berdentum-dentum seperti dihunjam bobot beberapa kali lipat, sementara udara di sekelilingnya pekat oleh asap panas dan bau bacin memualkan seperti susu yang terperangkap dalam proses pembusukan.

Monster-monster itu nyata. Dia bisa mati saat ini juga!

Namun sebelum pemikiran berbahaya itu menguasainya, seseorang menyambar perutnya seperti capit raksasa. Kaki Juan tersentak dan terangkat dari tanah hanya beberapa detik setelah dia sadar bahwa tubuhnya digotong dan dibawa lari oleh sesosok makhluk buas.

Juan berpaling ke sisi kiri, melihat paras wajah yang dikenalnya―River―memandang satu titik kehampaan hutan di depannya dengan ekspresi ketegangan yang meradang. Dua iris matanya sewarna padi yang menguning, berkilat-kilat seperti ditumpahi minyak mentah, sementara mulutnya dipenuhi barisan gigi berkilauan, seperti singa di padang rumput, serigala dalam bayang-bayang pepohonan yang larut dalam kegelapan; sementara Juan bagai seekor burung camar lemah yang dibawa pergi dalam kungkungan lengan River, terantuk-antuk didera medan pelarian yang tak mulus.

Juan terengah-engah, membeku antara lega dan takut. Tatapannya terangkat pada abangnya; "River...."

"Larimu terlalu lambat," suara abangnya berupa geraman mengerikan yang membasuh kesunyian hutan.

Juan menoleh ke balik bahunya. Dia melihat para monster yang mengejar mereka berlari seperti makhluk yang dikuasai kesintingan. Ada satu, dua, dan ... tiga yang tersisa! Rupanya perhatiannya tadi sempat diredam lonjakan adrenalin sehingga Juan tak memperhatikan siapa saja yang sedang mengejarnya.

"Isaac menembak dua, Gareth mencabik-cabik satu tanpa ampun," kata River, sementara mereka berlari menembus kedalaman hutan lebat. Lahan dataran pemukiman di balik bahu Juan tersapu oleh bayang-bayang malam yang mulai pekat, meninggalkan bumi dengan percikan sinar perak dari hutan yang muram, bagai mimpi buruk tak berujung.

Juan nyaris tak mendengar apa-apa lantaran telinganya disesaki oleh kebisingan jeritan dan raungan. Namun, kalimat terakhir abangnya malam itu menyesaki dada Juan bagai kepulan asap debu yang lahir dari bencana abadi atas kehadirannya;

"Dan aku harus menyelamatkan adikku di sini."

-oOo-

Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Mungkin tiga jam, atau lebih dari itu. Tak ada yang benar-benar peduli setelah mereka menghabiskan waktu melarikan diri dari kejaran para monster. Makhluk ganas itu telah tewas disapu badai amukan dari Gareth dan Isaac. Sekarang, empat orang pemuda kembali meneruskan perjalanan, dengan letih dan tertatih, menuju sebuah tempat yang sementara ini menjadi markas keseharian tiga puluh pemuda bernasib sama.

Dari kejauhan perbukitan yang kering dan dingin, mereka mendongak menatap lingkaran cahaya kecil yang muncul samar-samar dari balik bayang-bayang jeram dan pepohonan gelap. Markas itu sengaja dibangun berkamuflase dengan alam untuk menghindari ancaman mata-mata drone yang setiap tengah hari berputar-putar resah di langit. Markas dadakan berupa sebuah kawasan segi empat luas yang berdiri apa adanya dari puing-puing sisa kehancuran. Masing-masing sisi terpotong membentuk lahan terbuka yang membentuk jalan-jalan lebih sempit, menuju tenda-tenda hijau raksasa yang ditutupi tanaman ivy serta semak-semak lebat. Mereka menamai setiap tenda itu dengan julukan yang cocok sesuai fungsinya―dapur, tempat informasi, tempat pembersihan, dan kamar tidur.

"Capek juga kalau setiap minggu harus turun ke kota," Gareth berkomentar lesu sembari melangkah menuju kawasan lapangan utama yang biasanya mereka gunakan untuk tempat pertemuan. Nyala cahaya samar itu berasal dari kayu-kayu api unggun sisa pembakaran yang nyaris padam. Semua orang sepertinya sudah tidur di dalam tenda dan meninggalkan lokasi ini.

"Membangun tenda di kawasan hutan seperti ini adalah ide buruk," Isaac menanggapi jengkel. Dia mendongak menatap langit yang terisi dengan ribuan bintang mirip ketombe. "Medannya payah sekali. Dan sangat jauh dari perkotaan. Kita tidak bisa bolak-balik terus ke pemukiman untuk menjarah bahan makanan atau keperluan lain. Masalah juga semakin bertambah bila turun hujan."

"Tinggal di kawasan kota justru terlihat seperti ide paling tolol dan celaka," kata River dengan tatapan seolah-olah dia heran sekali mendengar pendapat bodoh Isaac. "Drone para tentara banyak berkeliaran di atas langit perkotaan, dan bisa-bisa setiap hari kita akan mengulang hal yang sama seperti tadi―dikejar monster. Kita tahu jumlah mereka sama sekali belum diketahui selama beberapa bulan ini."

"Claude berhenti menghitung mereka setelah mencapai angka 49," kata Gareth.

Isaac mengangguk, "Kau tahu apa alasannya?"

"Entahlah. Akhir-akhir ini dia kelihatan menyibukkan diri dengan masalah lain. Banyak murungnya."

Setelah mendengar itu, Juan berpaling menatap abangnya. "Seperti kau."

"Apa?" River mengerutkan alis.

"Kau murung sepanjang waktu. Persis seperti Claude. Apa alasan kalian berdua sama?"

Berkat pertanyaan Juan, semua orang kini menghentikan langkah dan memandangi River dengan tatapan penuh selidik. Mereka telah berdiri hanya dua meter jauhnya dari api unggun sisa pembakaran. Nyala api yang melalap kayu meretih enggan, melontarkan percikan abu yang berputar-putar malas di udara malam.

River melihat abu itu menari-nari seolah mengejek perasaannya yang selama ini meneriakkan keresahan atas masalah Juan. Akan tetapi semenjak datang kemari, dia telah belajar bersikap seolah segalanya baik-baik saja. "Tidak," katanya nyaris enteng. Mata beralih menatap bergantian ketiga temannya. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya. Mungkin kita bisa bertanya langsung daripada menebak-nebak sendiri."

"Apa kalian pikir Claude sudah tidur?" Gareth bertanya sambil menatap bayangan tenda kamar yang mencuat dari semak-semak di kejauhan.

"Kurasa tidak juga," kata Isaac. "Akhir-akhir ini dia selalu ada di tenda informasi dan melakukan kesibukan apa pun―memelototi peta, menandai lokasi, mengawang-awang strategi kelangsungan hidup kita beberapa bulan selanjutnya, melap semua senjata, pokoknya melakukan dan memikirkan berbagai macam beban masalah yang bisa menahannya dari tidur."

"Dia jarang tidur?" kata Juan.

"Itu jelas," kata Gareth. "Terlihat dari matanya."

Mereka saling berpandangan seolah dengan cara itu keempatnya dapat berbagi perasaan khawatir yang sama. River mengedikkan kepala ke tenda informasi yang terletak di sisi berseberangan dengan tenda kamar, yang kemudian dianggap kode untuk datang ke sana. Maka semuanya berjalan beriringan menuju tempat itu.

"Claude?" Panggilan Isaac terdengar seiring kepalanya menyembul dari pintu tenda yang disibak. Di belakangnya, teman-temannya mengikuti. Mereka memasuki sebuah tempat yang dibanjiri oleh cahaya temaram dari lampu minyak.

Ruangan di dalam tenda mengeluarkan aroma yang lebih lembab dan apak, berbeda dengan bau segar di luar. Tempat ini berupa area luas yang hanya diisi oleh satu meja besar dan kursi-kursi lipat hasil jarahan untuk rapat dan berdiskusi. Pada dinding tenda, terbentang map negara bagian Carolina Utara berukuran besar yang sudah kusam karena terlalu banyak terpapar sinar matahari, digantung di sebelah kalender dan papan tulis kecil yang penuh coretan daftar persediaan yang akan segera habis. Di setiap sisi ruangan, terdapat bertumpuk-tumpuk barang yang ditata demikian rapi―obat-obatan, persediaan kantong tidur, kotak perkakas bangunan, dan yang paling penting dari semuanya; tumpukan senjata.

Tebakan Isaac benar. Claude sedang duduk memunggungi mereka di salah satu kursi. Namun, dia tak sendirian. Di seberang meja, ada Euros, yang sibuk melakukan penyelidikan serius dengan memelototi isi dari sebuah balok kayu mungil yang diletakkan di atas meja. Tak jauh dari mereka berdua, ada pula Nathaniel yang sedang berdiri menatap map negara bagian Carolina dengan tangan terlipat di dada. Mereka bertiga tetap bergeming walaupun Isaac dan yang lainnya sudah datang.

"Hei? Kalian ini kenapa?" Isaac membuka pertanyaan penuh keheranan. Suaranya sengaja dikeraskan untuk menarik perhatian.

Claude adalah orang yang pertama berbalik menyambut mereka. "Oh, kalian lama sekali, tahu tidak?"

"Ada sesuatu di jalan," Gareth membalas cepat. Dia menjatuhkan tas ransel gemuknya ke lantai dan mendesah letih sembari memijat pundaknya. "Kami dikejar monster, lalu terpaksa lari berputar."

"Dikejar monster?" Kali ini Euros mendongak dari mejanya. Tatapannya langsung terpaku pada Juan yang sedang membunyikan sendi-sendi pada lengannya. "Kau tidak apa-apa?"

"Badanku sakit semua."

"Mereka menggigitmu?" Claude berdiri dari kursinya dan menampakkan raut setengah panik, disusul Euros dan Nathaniel yang memasang ekspresi sama.

River cepat-cepat menenangkan mereka, "Dia tidak apa-apa. Kami berhasil kabur dari kejaran makhluk itu."

"Badanku sakit karena aku capek berjalan terus," koreksi Juan diselilingi kekehan yang terasa salah tempat.

Claude menghela napas, sementara Euros langsung membentak hilang kesabaran; "Sudah kubilang kau sebaiknya di sini saja!" Nada suaranya kepalang sebal karena semenjak beberapa bulan lalu, kecenderungan Juan untuk mencari masalah semakin meningkat. Pergi keluar untuk mencari persediaan adalah pilihan paling celaka dan bodoh. Manusia biasa seperti dirinya, Juan, dan Nathaniel pastilah dapat dengan mudah menjadi sasaran empuk para makhluk buas yang tidak akan segan-segan memecahkan isi kepala hanya demi mereguk darah dan otaknya. Euros melanjutkan dengan nada menyalahkan, "Tadi siang aku mencarimu dan kau pergi lagi bersama mereka tanpa memberitahuku."

"Kenapa harus izin padamu? Kau kan bukan ibuku." Juan membalas sengit, praktis menyentil sumbu dalam kepala Euros.

"Kau ini bukan monster. Kau adalah santapan favorit para makhluk gila di luar sana."

"Euros, berdiam diri di sini akan membuatku gila. Kau tahu―"

Selagi Juan hampir meludahkan kata-kata panas yang berujung cekcok, Nathaniel mengambil alih situasi dengan mengetuk-ngetukkan popor pistolnya ke atas meja. Keributan lenyap seketika, digantikan dengan tatapan penuh perhatian semua anggota. Juan terpaksa tutup mulut dan menunggu perintah untuk bicara.

"Claude, kau bisa jelaskan sekarang," Nathaniel menawarkan dengan gayanya yang kalem dan tenang.

Claude, selepas memberikan tatapan terima kasih pada Nathaniel, berputar menghadap kesemuanya dan menyuruh mereka untuk duduk mengelilingi meja. Seperti kelompok bocah yang patuh, para pemuda mengambil tempat masing-masing dan mendengarkan dengan baik apa yang hendak dibicarakan Claude. Sementara Juan diam-diam penasaran, mengapa mereka harus dikumpulkan saat dini hari begini, dan mengapa ekspresi Claude kelewat serius sampai-sampai dia yakin orang ini bisa membolongi batu dari tatapannya? Informasi sepenting apa yang mau mereka bicarakan?

"Kawan-kawan, aku punya berita baik dan buruk. Berita mana yang mau kalian dengar terlebih dahulu?"

"Berita buruk," jawab Gareth.

Claude menarik napas dalam-dalam, kemudian mengambil balok kayu yang sejak tadi tergeletak di depan Euros.

Mereka semua memperhatikan dengan saksama ketika Claude menjejalkan tangannya ke dalam kotak dan mengambil sesuatu dari sana.

"Ini adalah serum terakhir yang kita bawa sebelum kabur dari Pangkalan Forbs," kata Claude seperti memulai sebuah kasus. Semenjak wabah Kureji berkembang di lalu lintas negara, Pangkalan Angkatan Udara Forbs, yang terletak di kota High Point, berubah menjadi kamp penyelamatan untuk menampung semua penduduk yang sehat dan tidak terinfeksi wabah. Ini sudah memasuki tahun pertama semenjak Claude dan kawan-kawan kabur meninggalkan Forbs setelah peristiwa tragis penculikannya.

Di sisi lain, sekilas tampak bagaimana ekspresi orang-orang ketika menatap apa yang ditunjukkan Claude di hadapan mereka. River mengerutkan kening bertanya-tanya karena dia tak pernah melihat benda itu sebelumnya.

Benda yang dibawa Claude menyerupai sebuah jarum suntik berisi cairan berwarna biru neon yang mencurigakan; serum perubahan.

Isaac dan Gareth tahu bagaimana cairan serum itu bekerja. Mereka pernah melihatnya dua kali; yang pertama adalah ketika Claude menyuntikkannya ke dalam tubuh Gareth dan Isaac sesaat setelah mereka memutuskan menjadi kaum setengah monster, dan yang kedua adalah ketika mereka menyuntikkan benda itu itu ke badan River, setahun lalu, setelah River menerima gigitan mendadak dari monster. Masih segar dalam ingatan masing-masing tentang bagaimana efek serum itu menguras kewarasan manusia sampai pada titik mereka merasa terjungkir dan diremukkan dari dalam. Kalau ada kata yang sepadan untuk menyebutnya, Isaac dan Gareth akan setuju menamai benda itu Racun Neraka.

"Serum perubahan itu ... apa ada yang salah?" Gareth bertanya tenang.

"Serum perubahan?" Juan menggumam cukup keras. Sama seperti River, dia tak pernah melihat benda asing ini sebelumnya, tetapi dia nyaris bisa menduga apa fungsi cairan di dalamnya karena River pernah bercerita tentang sebuah serum yang mengubah dirinya menjadi kaum monster berakal. Warna biru mencolok pada cairannya entah bagaimana mengingatkan Juan dengan zat asam berbahaya yang bisa menghanguskan kulit dalam sekejap.

"Apa itu serum perubahan yang bisa mengubah kalian menjadi monster?" Juan bertanya penuh selidik.

"Tepatnya, mengubah monster sinting menjadi monster berakal," Claude mengoreksi. Kemudian dia beralih memandang satu per satu anggota yang hadir malam ini, "Serum ini hanya ada satu. Kita lupa membawa persediaan banyak untuk perjalanan jauh."

"Itu karena sejak awal kita memang tidak berniat kabur dari High Point," sahut Isaac. "Masalah tumbuh di luar rencana yang kita susun. Akhirnya kita sekalian pergi jauh ke luar kota dan membangun peradaban baru di tempat terlupakan ini, di Fayetteville."

"Memangnya kenapa bila hanya ada satu serum?" Juan lagi-lagi bertanya. Rasa penasaran mereguk dari dalam dirinya hingga dia mendesak untuk mengoceh lebih banyak.

"Ada dua alasan penting mengapa kita butuh serum ini," kata Claude, yang meletakkan kembali jarum suntik itu ke dalam kotak penyimpanannya. "Yang pertama, kita membutuhkan serum untuk menolong orang-orang penting di luar sana yang merasa lebih berdaya bila hidup. Yang kedua ... kita harus menjauhkan serum ini dari tangan para tentara Forbs."

River dan semua orang yang ada di ruangan itu mengerutkan kening seolah merasakan dering ancaman baru.

"Apakah ... tentara Forbs akan datang ke penginapan kita yang dulu dan mengambil semua serum itu?" Gareth bertanya dengan raut cemas.

"Besar kemungkinan, iya," Nathaniel mendadak menyahut dari kursinya. Pemuda itu menaruh kedua sikunya di meja dan menumpangkan dagunya pada tangan yang saling ditautkan. "Saat aku masih menjadi sersan, Letnan Zurich memanggilku ke ruangannya dan memberi perintah kepada reguku untuk turun memeriksa hutan. Dia percaya bahwa koloni kalian bersembunyi di hutan, membentuk sebuah markas atau pemukiman tempat tinggal. Letnan menyuruhku untuk mengambil bukti sebanyak-banyaknya atas keganjilan kaum kalian. Dia dan Dokter Janeth sangat terobsesi untuk menelusuri kasus ini sampai ke akar."

"Siapa Dokter Janeth?" tanya Juan.

"Dia kepala ilmuwan yang memimpin percobaan penyiksaan pada Claude."

"Kalau begitu," River berkata ragu, "Bila serum itu dibiarkan berada di penginapan, para tentara itu akan menemukannya dan mengetahui rahasia kita."

"Ya, dan kita semua akan tamat," kata Claude, sontak membuat semua orang berpaling menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Kalian sudah tahu kalau ayahku adalah dalang di balik pembuatan serum perubahan. Saat aku menjadi objek percobaannya di laboratorium bawah tanah, aku mengetahui rahasia-rahasia ayahku―obsesi dan ambisi gelapnya, untuk menciptakan ketahanan militer baru yang lebih kuat dan berdaya. Ayahku menginginkan serum itu dipoduksi sebanyak mungkin untuk disuntikkan kepada seluruh prajurit battalion. Dan dia merangkum semua gagasan mengerikan itu untuk dikirimkan kepada Dokter Janeth."

Selagi yang lainnya mendengarkan, Claude melanjutkan, dengan suara muram, "Ayah hendak mengirimkan seluruh data percobaan kepada Dokter Janeth setelah dia yakin bahwa eksperimennya berhasil. Di dalam surat-suratnya, dia juga menyebut Letnan Zurich sebagai orang pertama untuk dihasut secara baik-baik mengenai ide gilanya. Namun surat itu kupastikan tidak pernah sampai. Saat kita kabur dari Forbs, aku memberikan data surat itu pada adikku dan menyuruhnya untuk mengirimkan surat ayahku kepada Letnan."

"Wayne? Kau menyuruh Wayne untuk memberikan suratnya?" Juan memastikan.

Frederick Wayne adalah seorang remaja aneh yang punya keahlian natural membuat seseorang ingin menonjok wajahnya. Nama Wayne tak pernah muncul lagi setelah Juan memutuskan pergi mengikuti abangnya, akan tetapi sekarang dia kembali mengingat tingkah laku remaja laki-laki itu. Wayne ... pemuda kurus dengan wajah menyebalkan. Setiap harinya dia selalu bertengkar dengan Perry―si kecil berusia tujuh tahun―hanya untuk rebutan siapa yang berhak mendapat perhatian lebih.

"Ya, aku menyuruh Wayne," kata Claude. "Aku sempat meminta Nathaniel untuk menyampaikan pesan itu pada Wayne. Anak itu tahu apa yang harus dia lakukan."

"Aku sempat memberitahunya," sahut Nathaniel, lalu menghadap River dan yang lain. "Setelah terlibat percakapan dengan Claude, aku sempat bertemu Wayne di lorong kompartemen. Saat itu kuselipkan catatan berisi pesan ke tangannya. Anak itu sudah tahu bahwa abangnya telah aman di tempat persembunyian, itulah sebab mengapa dia tak ikut panik saat aku membawa River, Juan, dan Euros pergi dari hanggar. Dia sudah tahu rencana apa yang harus dia lakukan berikutnya."

"Wayne, anak itu ... dia bahkan tidak memberitahuku apa-apa soal itu," kata Juan, terkejut dengan rahasia yang selama ini disimpan Wayne.

"Kenapa kau malah mengirimkan surat itu pada Letnan?" River tahu-tahu memukul meja dan melayangkan protes tidak terima. Sikapnya yang mendadak kasar membuat semua orang berpaling menatapnya. "Kalau kau tahu surat itu berbahaya, seharusnya kau hapus saja semua laporan dan data eksperimennya!"

"River benar. Bagaimana bila Letnan ternyata malah menyetujui rencana ayah Claude?" Gareth menimpali.

Nathaniel menyahut lagi, "Aku sangat mengenal Letnan Zurich. Dia tidak akan setuju dengan rencana ini."

"Itulah fungsi kata menghasut yang ada di suratnya," Claude mengangguk afirmatif atas opini menenangkan dari Nathaniel. "Hal utama yang dicemaskan ayahku adalah cara untuk membuat Letnan berada di pihaknya. Kesalahannya yang paling fatal adalah ... ayahku menerakan kata-kata buruk di dalam suratnya. Dia terang-terangan memberitahukan rencananya untuk menghasut dan memperdaya Letnan, ingin membuat pria itu bertekuk lutut atas kontribusinya dalam mengembangkan spesies manusia yang lebih hebat, bahkan Ayah mengajak Dokter Janeth untuk mengambil alih seluruh perangkat kemiliteran dan berambisi untuk menguasai seluruh negara bagian North Carolina."

"Ayahmu sinting sekali," Isaac menggeleng terheran. "Dunia ini sudah di ambang kehancuran. Tidak hanya North Carolina saja yang mengalaminya, bahkan beberapa kota di Amerika sudah meledakkan wilayahnya untuk menghambat sebaran wabah. Bisa-bisanya di tengah kekacauan ini ayahmu punya delusi untuk menguasai seluruh negara bagian!"

"Manusia yang dikuasai kemarukan kadang-kadang memang bisa menganggap dirinya lebih hebat dari Tuhan," Euros yang sejak tadi terdiam mendadak saja berceletuk.

Claude mengangguk atas pendapat itu, lalu dia melanjutkan;

"Mari kita kembali ke pembahasan awal. Aku menyuruh adikku untuk memberikan flasdisk itu pada Letnan Zurich, karena mulanya aku percaya bahwa Letnan pasti akan sangat murka mengetahui rencana ayahku dan Dokter Janeth. Masalahnya ...." Claude menggantung kalimatnya, melihat wajah-wajah yang duduk di hadapannya dengan hunjaman rasa menyesal, "Aku lupa memperkirakan bahwa Dokter Janeth adalah orang kepercayaan ayahku, yang artinya dia sama liciknya, atau bahkan lebih parah sintingnya dari Ayah. Kalau sampai serum itu jatuh duluan di tangan Dokter Janeth, wanita itu akan dengan mudah menangkap pesan ayahku tanpa dia menerima pesan yang asli."

"Tapi Letnan Zurich akan mengalahkannya, kan?" Juan mengerutkan kening ragu. "Kalau Letnan menerima pesan itu, dia akan menghukum Dokter Janeth karena sudah berniat memperdayanya."

"Itulah masalah terbesarnya," kata Claude. "Kita tidak tahu siapa yang beraksi duluan. Apakah Dokter Janeth yang berhasil menemukan serum itu lebih dulu, ataukah Letnan yang mengetahui rencananya. Kalau Dokter Janeth berhasil mendapatkan serumnya, aku sangat yakin dia akan melakukan segala cara untuk mempertahankannya. Dia bisa saja melakukan perjalanan ke rumahku yang dulu dan membobol semua berkas rahasia ayahku. Dia bisa melakukan apa pun."

"Oke, aku mendapat poinnya," Isaac menepuk permukaan meja dengan pelan, yakin dengan ucapannya. "Jadi, kita tahu bahwa kemungkinan akan ada masalah besar di Forbs. Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus mengambil kembali serum itu sebelum jatuh ke tangan Dokter Janeth," kata Claude.

Kata-katanya barusan membuat paras seluruh orang terbasuh oleh pucat pasi.

River berkata ragu, "Apa kau bilang? Mengambil serum itu?"

"Ya. Kita harus kembali ke High Point, ke penginapan kita di dalam hutan."

"Claude, ini sudah satu tahun. Kemungkinan besar, mereka telah memiliki serumnya!" River membalas sengit, secara praktis menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari dukungan.

"Kalau Dokter Janeth sudah mendapatkannya, berarti kitalah yang harus merebutnya kembali," kata Claude. Kemantapan dalam nada suaranya membuat semua orang gentar. Nathaniel yang duduk di samping Claude diam-diam mengepalkan tangannya yang gemetaran di bawah meja untuk melawan memori traumatis yang menyerang benaknya setahun lalu.

"Maksudmu, kita bertarung lagi dengan Dokter Janeth dan para tentara militer?" Gareth menyahut panas.

"Itulah cara satu-satunya agar serum tidak jatuh ke tangan yang salah."

"Claude...."

Claude menggeleng atas erangan Gareth. "Kalau kalian tidak mau ikut, biar aku yang pergi sendiri."

"Itu tindakan yang lebih gila!" River mendobrak meja dengan keras. "Kau tidak akan bisa melawan seluruh pasukan sendirian!"

"Lalu cara apa lagi yang bisa kita gunakan untuk mencegahnya? Berdiam diri di sini bukan perkara bagus. Pada akhirnya, seseorang akan menemukan serum itu dan bisa melakukan sesuatu untuk membuat keadaan lebih parah!"

"Lalu kau tidak memikirkan dirimu sendiri, begitu? Kau rela mati demi merebut kembali serum itu? Bagaimana kalau kau gagal di tengah perjalanan?"

River bernapas terengah, sementara Claude menggertakkan rahangnya kuat-kuat saat melihat kemarahan itu terpancar dari wajah River yang merah padam.

"Sejak awal ini adalah salahku," kata Claude, berusaha tak menampakkan raut tertekan, "Ayahku adalah pencipta serumnya, namun akulah biang keladi yang malah mencuri serum itu dari laboratoriumnya dan membagi-bagikannya kepada kalian. Kalau ada orang yang harus bertanggung jawab atas semua kekacauan ini, itu adalah aku. Aku harus menyelesaikan masalah yang sudah kubuat di awal."

Setelah hening selama beberapa lama, Nathaniel akhirnya berceletuk dengan tenang, "Aku akan ikut Claude."

Gareth langsung menyahut, "Nathan!"

"Masalah ini terjadi karena kita semua terlalu ceroboh. Akui saja hal itu."

"Oke, begini saja," Euros mengangkat tangan untuk menyela. Saat orang-orang menatapnya, dia melanjutkan dengan enteng, "Aku tahu kita semua punya trauma yang parah untuk kembali ke Forbs. Karena itu, di dalam rapat ini tidak ada paksaan. Orang-orang yang mau ikut Claude, akan pergi dengannya. Yang tidak ikut diperbolehkan tetap tinggal di sini. Dan aku akan ikut."

Pendapat Nathaniel dan Euros sepertinya menyentil sesuatu dalam benak mereka. Pelan-pelan, Isaac mengangkat tangannya, disusul Gareth, lalu Juan. River yang melihat aksi adiknya langsung membentak protes, "Kau tidak boleh ikut, dasar keparat kecil. Kau tetap tinggal di sini."

"Aku berhak atas keputusanku sendiri," kata Juan sungguh-sungguh. Matanya yang diliputi keyakinan menatap Claude dengan tulus, "Aku akan ikut Claude."

Jawaban mutlak itu menonjok dada River dari dalam. Nathaniel mengerling pada River yang menampakkan ekspresi dongkol. "Bocah, kau mau ikut atau tidak?"

River, yang menganggap nantinya Juan perlu dihukum lantaran terlalu keras kepala dan tidak bisa diatur, pada akhirnya menggerutu kecil sambil berkata, "Aku ikut."

Claude diam-diam menghela napas lega karena semua orang menyetujui rencananya. Pemuda itu membasahi bibirnya yang sejak tadi kering, dengan penuh perhatian menatap mereka secara bergantian. "Kawan-kawan, aku sangat berterima kasih. Kalian ... kalian...."

"Sudahlah, Claude," Euros memotong dengan separuh tidak minat, "aku muak mendengar kata-kata maaf dan terima kasihmu. Suasana haru tidak cocok dikeluarkan di tempat seperti ini."

"Dia benar. Kita anggap saja ini sebagai misi kecil mengambil persediaan," kata Isaac, kemudian dia terkekeh. Nada tenang dalam suaranya membuat semua orang melonggarkan hati. Pemuda itu bertanya lagi, "Omong-omong. Itu tadi kabar buruk, kan? Kau belum memberitahu kami berita baiknya."

"Oh, ya," kata Claude, yang langsung mendesau penuh rasa lega. "Berita baiknya, daging sapi sisa makan malam masih banyak. Aku menyisakannya untuk kalian."[]

-oOo-

.

.

.

Pusing nggak gais? Ini 4000 kata anjerrr awowkwok 😭😭😭😭😭😭😭

Maaf, seharusnya chapter awal enggak boleh banyak2. Tapi aku bingung di mana bagusnya dipotong. Akhirnya kubablasin aja 🥲🥲

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top