19. The Missing Friends

Hey ma babies, I'm hella excited to show you this chapter. Express your enjoyment through the comments!

-oOo-

RENCANA mereka gagal.

Euros dapat membaca ketakutan itu di wajah Claude, kendati pria itu begitu lihai menyembunyikan emosinya. Dia selalu berbakat melihat hal-hal yang tidak orang lain tahu. Oh, bukan berarti makhluk halus masuk hitungan. Euros memang andal menebak rahasia dari ekspresi wajah, sebab dari sanalah dia bisa memperkirakan ancaman apa yang akan datang. Persis seperti lima menit yang lalu, saat Jasper tahu-tahu muncul di depan mobil mereka dan menyatakan keinginannya untuk bergabung.

Bergabung? Mulutmu seenaknya saja! Rencana mereka bisa betul-betul gagal kalau sampai Claude bermurah hati membiarkan orang asing menjejalkan urusannya ke misi mereka. Semua orang di dalam mobil tidak akan membuat hal itu terjadi. Jadi, sebagian dari mereka melakukan segala cara untuk lepas dari Jasper. Euros melaknatnya dengan hinaan; "Kau tuli, buta, atau edan? Kami sudah bilang tidak mau menerima orang baru. Enyahlah, pantat babon. Kau mengganggu pekerjaan kami!"

"Claude, orang itu tidak usah diurus. Lebih baik kita pergi," Heaven mengusulkan, merasa dijepit oleh waktu. Dia tak mau membiarkan Sean berada lebih lama di genggaman wanita tua gila yang ingin menguasai dunia.

Claude tak sempat merespons apa pun karena Jasper tahu-tahu membungkukkan badan dan menumpangkan satu tangannya ke jendela mobil yang terbuka. Wajahnya begitu dekat dengan Claude sehingga pemuda itu bisa mencium aroma tidak enak dari badannya yang tidak mandi berhari-hari. Dia mengira Jasper sedang memikirkan tangan sebelah mana yang mau dipilih untuk menonjoknya. Namun, kalimat Jasper selanjutnya melesat di luar dugaan;

"Kumohon, izinkan aku ikut kalian. Aku harus menyelamatkan istriku."

Tidak seperti Heaven yang berapi-api seperti iblis, makhluk bernama Jasper mengirimkan denyut kerapuhan yang membuat orang lain iba. Sungguh ajaib, betapa perbedaan reaksi seperti itu saja membuat semua orang terdiam cukup lama.

"Hei," kata Claude, dengan keseriusan yang menantang, "Begini saja. Berikan informasi mengenai istrimu, dan kami akan membantu menyelamatkannya."

"Tidak, tidak. Aku tidak bisa memercayai kalian."

"Kau tidak memercayai kami? Kalau begitu seharusnya kau tidak perlu repot-repot ikut kami ke dalam mobil!" Heaven membentak, lalu berpaling pada Claude dan menggerutu, "Sudah kubilang kita membuang waktu."

"Aku percaya kita bisa saling mengandalkan," serobot Jasper. "Aku hanya tidak bisa memercayakan istriku pada kalian. Kalau dia ada bersamaku, nyawanya menjadi lebih penting daripada nyawaku. Dan aku yakin seratus persen kalian tidak akan menjaganya sebesar kemauanku untuk melindunginya."

Euros menghadap Nathaniel dan memasang wajah mau muntah, "Balada romantis sialan."

"Berengsek. Selamatkan saja istrimu bersama kawan-kawanmu yang tadi." Saat Claude hendak menyalakan mesin, Jasper menahan lengannya di kemudi, berkata panik;

"Mereka tidak mau ikut ... terlalu takut dengan gerombolan Janeth."

"Pemburu monster takut kepada monster," dengkus Claude, hampir meledek.

"Kau tidak hadir bersama kami saat Janeth datang kemari bersama pasukannya."

Ada semacam teror yang bersemayam di wajah Jasper, dan semua orang bisa menangkap ekspresi kecemasan itu. Barangkali kedatangan Janeth memang tidak meninggalkan impresi apa-apa selain anarkisme dan kebrutalan.

Claude melirik Heaven dan menatap kawan-kawan yang ada di barisan belakang, kemudian dia berbalik lagi. "Kami tidak bisa membawamu," putusnya.

"Kalau ini gara-gara kalian menganggapku beban ...."

"Bukan itu alasannya."

"Ayolah, Bung. Apa yang membuat kalian sepelit ini? Aku hanya mau menumpang ke mobil kalian."

"Claude, kubilang pergi," kata Heaven.

"Aku ahli strategi dan rencana. Kalian bisa mengandal―"

"Pergi. Dari. Sini."

Situasi memanas. Sebelum debat ini berubah menjadi baku hantam yang sia-sia, Claude mendorong Jasper hingga pria itu melepaskan pegangannya di birai jendela dan nyaris terempas ke belakang. Derum mesin praktis menggelegar. Claude menginjak gas dan melajukan mobilnya menjauh dari kawasan Domehall.

Dari kaca spion, di tengah kegelapan, Claude bisa melihat Jasper berdiri mematung memandang kepergian mereka. Ada secuil rasa bersalah di hatinya, tetapi dia tahu, dalam hidup memang ada pilihan-pilihan yang harus diambil demi menyelamatkan nyawa semua orang. Claude hanya tidak mau membuat kawan-kawannya sendiri terancam oleh kehadiran Jasper.

"Kuharap dia tak dendam pada kita," Nathaniel menengok ke jendela belakang untuk memperhatikan tubuh Jasper yang perlahan mengecil ditelan jarak dan gumpalan debu. Pemuda itu lantas menghadap depan dan berkata lirih, entah ditujukan pada siapa;

"Kita bahkan tidak tahu siapa nama istrinya."

-oOo-

Mereka hampir sampai di penginapan ketika Claude melihat untaian asap kelabu membubung samar di langit yang hampir larut dalam kegelapan, menyela di antara puncak-puncak pepohonan yang berbaris rapat di sepanjang jalan yang berkelok-kelok. Dia mengeluhkan firasatnya pada kawan-kawan sambil menyipitkan mata curiga, "Kenapa tempat itu berasap? Apa ada kebakaran?"

"Itu penginapan tempat rombonganmu tinggal," kata Heaven, praktis membangunkan alarm kepanikan Claude. Selagi semua orang di dalam mobil digigit resah, Claude lekas-lekas mengebut melewati jalur aspal yang terjal.

Mereka sampai beberapa menit berikutnya dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Bangunan penginapan itu luluh lantak dalam sebuah ledakan masif yang membakar hampir seluruh kawasan di sekitarnya. Pohon-pohon tumbang, gosong seperti tersambar petir dan meninggalkan bau sengit yang menusuk penciuman. Bongkahan beton dan besi saling menindih, berserakan di antara tempat yang dulunya merupakan lorong dan kamar. Puing-puing atap dan kayu-kayu yang terbakar membuat segalanya tersapu ke dalam kehancuran yang tak logis. Tidak ada jejak manusia. Claude serta yang lain sudah memeriksa tempat itu semalaman. Mereka memanggil nama kawan-kawannya dengan sia-sia. Menendang, mengangkat, dan menyingkirkan patahan reruntuhan untuk menyelidiki apa yang mulanya disangka potongan tubuh, tetapi rupanya nihil. Hanya ada peninggalan berupa tas-tas gemuk yang isinya sudah hangus, persediaan senjata, dan rantai-rantai yang saat itu dipakai untuk mengikat Juan di kasur.

"Tidak ada listrik yang bisa berpotensi kebakaran. Apakah ada cowok dungu yang ceroboh menyalakan api?" Euros menebak-nebak.

"Entah apa yang menyebabkan kekacauan ini, tetapi mereka pasti berhasil kabur," kata Nathaniel, yang entah bagaimana dilanda resah sekaligus lega.

"Ada yang aneh. Persediaan yang mereka tinggalkan masih ada, terimpit di antara puing-puing ledakan," Claude melempar barang-barang yang dia temukan ke atas tanah―selongsong peluru yang masih bagus, beberapa bungkus makanan, serta botol-botol minuman yang tidak tersentuh api. Euros dan Nathaniel berdiri melingkari hasil penemuan itu seraya menatap curiga, sementara Claude menjelaskan, "Kalau mereka menyelamatkan diri, tak lama setelah itu mereka pasti datang lagi untuk mencari senjata yang tertimbun. Tampaknya ini sudah lewat setengah hari setelah ledakan. Mereka seharusnya menunggu kita di sini, atau setidaknya memberi pesan ke mana mereka pergi."

Nathaniel menahan napas karena dia tahu pendapat Claude benar.

Heaven yang sejak tadi mengecek jalanan, kini muncul dari kejauhan. Dia menghampiri Claude dan melapor pasrah, "Tidak kutemukan jejak orang yang melarikan diri."

Nathaniel mengernyit kaget, "Kalau begitu mereka ke mana?"

"Ini pasti jebakan," kata Euros. "Bagaimana kalau kebakaran ini bukan kecelakaan?"

"Aku setuju," Heaven berlutut ke tanah dan menepuk-nepuk serbuk kayu yang melapisi senjata-senjata hasil temuan Claude. Wanita itu lalu mendongak. "Mereka bisa saja dibawa pergi oleh ... sesuatu. Kurasa kita harus mengumpulkan lebih banyak barang bukti ... seperti bekas ranjau atau bahan peledak lain. Kalian belum menemukan keganjilan?"

"Tidak, maksudku ... belum. Bangunan ini terlalu besar." Claude sekali lagi menengok ke arah bangunan yang hancur. Rasanya mustahil bila segenggam ranjau mampu meledakkan kawasan sebesar ini. Benaknya masih berpikir segala bentuk kemungkinan ketika mendadak saja Heaven mengeluarkan suara seperti sentakan terkejut.

Claude dan semua orang menunduk menatapnya.

"Kau membuat kami takut, Heaven," kata Euros yang memperhatikan kernyitan kecut di dahi Heaven, seolah wanita itu baru saja kena serangan jantung. "Kenapa dengan wajahmu?"

"Bukankah sebelum ini kalian tinggal di penginapan di tengah hutan?" pandangan Heaven mencalang pada Claude yang balas menatapnya suram dari atas.

Euros dan Nathaniel saling berpandangan. Mereka kemudian melirik Claude karena tak berani mengatakan apa-apa soal itu.

"Ya, memangnya kenapa?" Claude membalas agak waspada.

Heaven berdiri dan meludahkan kalimatnya dengan yakin, "Ini pasti ulah Janeth."

"Apa?" Nathaniel hampir menarik keluar pistolnya ketika mendengar nama Janeth.

"Winter mengatakan padaku bahwa Janeth sedang mengincar si biang keladi yang bertanggung jawab atas kelahiran makhluk setengah monster di penginapan tengah hutan," Heaven menjelaskan dengan suara gemetar menahan amarah. "Kemungkinan besar Janeth sengaja mengejar seluruh kawanan kalian yang terpisah ke penjuru negeri, hanya untuk menemukan yang dia cari-cari."

Gelenyar dingin menuruni tulang punggung Claude. "Mengapa Janeth mengincarnya?"

"Karena dia memerlukan sesuatu dari orang itu," kata Heaven. "Kau pernah bilang bahwa biang keladi ini adalah sang kepala penginapan, kan? Selama orang itu belum ditemukan, Janeth mungkin akan terus memburu kawanan monster lain dan menanyakan keberadaan kepala penginapan itu lewat mereka."

"Sial," Nathaniel menyumpah kecil. Dia menatap Claude. "Kalau pelakunya Janeth, dia pasti akan menyiksa mereka supaya mengatakan apa yang mereka ketahui."

Persis seperti yang pernah kualami bersama Daniel. Bayangan penyiksaan setahun lalu kembali menghampiri benak Claude, saat dirinya ditangkap kawanan prajurit militer Forbs dan disekap di dalam laboratorium untuk menjalani serangkaian pemeriksaan medis yang keji dan tidak bermoral. Claude memang tak pernah masuk ke bilik penyiksaan seperti yang dialami langsung oleh Daniel, tetapi dia pernah merasakan sebentuk kengerian yang melahirkan trauma di dalam kepalanya―pengalaman nyata ketika dia dijadikan spesimen hidup oleh ayahnya sendiri dan disiksa secara nyata.

Kilasan ketika pergelangan tangan dan kakinya digergaji tanpa suntikan bius membuat perutnya mual. Claude berusaha menyeimbangkan diri di tengah masa lalu yang merekah dan mendobrak liar benaknya. Dia mencengkeram lengan Nathaniel dan berkata lirih, hampir gemetar, "Kita harus pergi."

Lalu tanpa menunggu jawaban Nathaniel, Claude berputar dan berlari menyusuri tanah kering, menuju mobilnya yang terparkir di ambang gerbang. Diserbu panik yang mengguncang, langkahnya sempoyongan seperti orang mabuk. Pemuda itu terjungkal mencium tanah, tetapi dia bangkit lagi dan berlari, tidak mengacuhkan panggilan Nathaniel dan Euros yang menyerukan namanya dari belakang. Pikiran Claude hanya terpusat di satu hal; kawan-kawannya ditangkap. Kawan-kawannya sebentar lagi akan merasakan siksaan yang sama sepertinya, dan itu adalah salah dirinya. Salah Claude yang meninggalkan mereka. Salah Claude yang melibatkan mereka.

Gara-gara aku.

Claude sampai ke mobil, namun genggamannya yang licin dan bergetar membuatnya kesulitan membuka pintu. Napasnya tersengal-sengal, diriingi tanda-tanda ingin muntah karena kehilangan kendali. Di detik-detik terakhir, seseorang mencekal pergelangan tangan Claude, lalu seperti sentruman listrik―menyentaknya kembali ke dunia nyata.

Pemuda itu terpaku. Dia berpaling dan melihat Heaven berdiri di sampingnya.

"Kau kacau, Claude," kata Heaven, seperti menyatakan fakta. "Biar aku yang menyetir."

-oOo-

Rasanya seperti sepuluh juta perjalanan cahaya yang memabukkan.

River nyaris tak ingat rasanya hidup―kalaupun dia pernah hidup semenjak dirinya mendapat gigitan bengis di bahunya. Rasanya gelap, dan hampir nyaman. Terapung di tengah belantara kesadaran yang timbul-tenggelam di ambang masa lalu dan masa depan. Sejuta perjalanan cahaya yang membuatnya lupa kenapa dan kapan dia tiba di tempat ini, atau bagaimana semua ini bermula dan mengubah dunianya menjadi kubangan kotoran yang tak berarti.

Berapa kali dia menginginkan untuk mati, tetapi tak pernah kesampaian? Apabila ada satu kesempatan yang diberikan untuknya, River secara sukarela akan menerimanya. Mati jauh lebih baik ketimbang berada di dunia ini dan bertarung dengan sekuat tenaga. Untuk apa mempertahankan dunia yang sekarat saat kau hanyalah setitik debu kosmis yang tak terlihat di jagad raya?

Namun, River sudah mati sebelum ini, dan dia tak memerlukan alasan untuk hidup. Itu yang Gareth katakan padanya. Ada janji yang harus ditepati, ada orang yang harus dijaga. River mencari alasan itu ke seluruh selubung kegelapan yang menyelimuti. Dia merasakan kesadaran inderanya mulai muncul setelah berlama-lama berendam dalam lautan hampa. Mula-mula dia merasakan kedua tangannya―terlipat dan menekan dadanya yang kembang kempis. Punggungnya bersandar di sebuah alas yang kasar, berbau seperti campuran darah dan tanah. Udara di sekelilingnya panas dan sedikit lembab.

River menggerakan bibir, merintih kesakitan. Matanya lantas bergetar terbuka. Semburat cahaya kuning dan warna-warna bayangan hitam dan cokelat menari di sekelilingnya. Bau darah membuatnya mual. Kepalanya pening dan penglihatannya buram.

Dia membiarkan tubuhnya terbiasa dengan situasi. Satu juta detik berikutnya, pemuda itu menggerakkan lengan. Hampir seluruh tubuhnya berat setengah mati. River mengangkat kepala hanya beberapa sentimeter dari tanah. Penglihatannya semakin jelas. Cahaya kuning itu berasal dari api obor yang meretih di sepanjang dinding bata. Tempatnya berbaring adalah tanah berbatu yang berbau seperti darah dan karkas binatang ternak. Anehnya River tak merasa lapar dengan aroma ini. Dia justru merasa sakit dan rentan dengan kematian.

River mendorong dirinya untuk bangkit, kemudian menyelidiki, dari ruangan sekitarnya yang dijalin rona kuning, dia ada di sebuah tepat mirip penjara dengan pintu besi. Sendirian, dan terlantar.

Di mana dia? Ke mana yang lain? Apa yang terjadi sebelum ini? Pemuda itu menggeret tubuhnya maju, memeriksa dari celah bui. Di balik jeruji besi adalah sebuah lorong yang memanjang, dan di seberang lorong, ada sel yang sama seperti miliknya. Masing-masing bilik diisi tawanan sepertinya. Setelah menyipitkan mata, River bisa melihat bahwa di sana terbaring kawan-kawannya yang lain.

Kepanikan menyentak dadanya. River merasakan jantungnya bergemuruh, terpilin antara berbagai lapisan perasaan yang sulit dijabarkan. Dia memanggil-manggil Juan yang berbaring tak sadarkan diri di sel seberang. Pemuda itu baru bereaksi di panggilan keempat.

"Juan, kau tidak apa-apa?"

Alih-alih menjawab, pemuda itu tampak linglung. River mencoba membangunkan kawannya yang lain; Isaac dan Gareth ... yang berbaring di penjara berbeda. Mereka terbangun beberapa saat kemudian, tetapi perlu waktu lebih sama sampai kesadaran semuanya utuh.

"Kita di mana?" Isaac mengerang.

"Ini seperti sel penjara," kata River, memeriksa jeruji besi di hadapannya. Besi ini terlalu tebal. Dengan kekuatan monstermya, dia mungkin tak bisa membukanya, apalagi dengan kondisi tubuhnya saat ini. "Sepertinya kita ditangkap oleh seseorang. Kalian ingat apa yang terjadi sebelum ini?"

"Kita ... sedang makan," Gareth membalas lemah. Pemuda itu bersandar di tembok batu sambil menutupi kepalanya dengan tangan, berusaha menghilangkan pening. "Kemudian ada drone ... kita keluar untuk melihat apa yang terjadi ... lalu ...."

"Bom," Isaac membalas. Pemuda itu masih berbaring di lantai dan mencoba menguasai dirinya. "Penginapan kita diledakkan, lalu ... samar-samar aku mendengar suara helikopter ...."

"Mereka membawa kita kemari," kata River. "Apakah ini ulah prajurit militer?"

"Entahlah, tapi ...."

Kalimat Gareth terpotong karena mereka mendengar suara tapak sepatu yang bergaung dari kegelapan lorong di luar sana. Semua orang terlunta-lunta menuju jeruji besi dan mengintip dari celah sel. River dapat melihat bayangan hitam muncul melatarbelakangi sinar obor yang terang.

Bayangan itu kurus dan memanjang, membentuk tungkai seseorang yang diayunkan mendekat. Benaknya menduga bahwa orang inilah yang menyekap mereka. Siapa dia? Apakah seorang prajurit militer? Apakah dia Janeth?

Bukan keduanya.

River tengadah dan melihat orang itu berdiri di tengah-tengah lorong, di antara sel miliknya dan sel milik Juan. Bayangan hitam telah lenyap, digantikan sinar obor yang menerangi sosoknya.

Kemudian, Juan berseru keheranan;

"Wayne?"[]

-oOo- 

.

.

.

TUGAS MINGGUAN: Tolong diisi gengs buat penyemangat acuuu 😆

1. Kasih emot yang menggambarkan keadaan kamu saat melihat kemunculan Wayne

2. Deskripsikan chapter ini dalam satu kalimat, sekonyol apa pun boleeehh

3. Chapter berikutnya lebih thrilling, menantang, dan gigit jari. Udah siaaappp?

Btw aku update sesuai polling yeaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top