18. Ambition to Seize
Padahal kemarin di Instagram janjinya mau update Selasa, ternyata Senin sudah selesai. Inilah yang dinamakan kekuatan semangat dari pembaca. Ayo tetap semangatin aku, bestieh 😆💜
-oOo-
Chapter 18
Ambition to Seize
SELAGI Heaven memasuki ruangan dan bersandar di salah satu bangku reyot berlumur debu, Winter menutup pintu di belakangnya dengan ayunan renyap. Pria itu kemudian berbalik, menghadap Heaven. Matanya hampir bersinar kepucatan di bawah lapisan rasa bersalah dan duka.
"Ke mana anak itu?" Heaven menanyakan hal itu lagi, kali ini dengan kemarahan yang sungguh-sungguh akan meledak. Dia bersiap melubangi perut Winter apabila pria ini mengais-ngais alasan tak masuk akal.
"Janeth mengambilnya," kata Winter, lirih dan bergetar. Winter hampir yakin dia menyongsong kematiannya sendiri ketika memberitahu Heaven, yang mulai menunjukkan tanda-tanda ingin menggorok lehernya. Akan tetapi pria tua itu tak kenal menyerah. Rambut beruban lengket di dahinya yang berlumur keringat dan debu, menunjukkan betapa frustrasi dan tergesanya dia ketika berusaha menjelaskan, "Tenanglah dulu, Vivy. Janeth tidak akan melakukan apa-apa pada anak itu. Dia hanya menyanderanya, karena dia yakin kau akan datang kepadanya dan memberikan apa yang dia inginkan."
Rahang Heaven mengetat, menahan guncangan tidak terima. Dia sudah menduga jauh-jauh hari bahwa Janeth pasti akan mencarinya, dan untuk alasan itulah dia menitipkan keselamatan Sean pada Winter. Namun sekarang dugaannya jungkir balik. Harapannya betul-betul pupus. Heaven tak pernah menebak bahwa Janeth akan menemukan Sean dan malah menculik anak itu darinya.
"Kau berjanji akan menjaga Sean dengan hidupmu," Heaven berkata pedih. Ekspresinya mengeras seperti rubah liar yang nyaris kehilangan akal.
"Aku minta maaf, Vivy. Aku ... aku tak sanggup menghadapi mereka. Para makhluk itu merobek-robek kepercayaan diriku menjadi serpihan yang tidak berguna. Janeth tetap akan mengambil Sean kendati aku tewas diinjak-injak monster, dan bila hal itu terjadi, siapakah yang nantinya akan menyampaikan kabar penting untukmu?"
Heaven berdiri tegap sambil menghadap Winter. Wanita itu menarik kembali air matanya ke dasar kantung yang gelap dan tak bercela. Sudah lama dia menolak untuk diperbudak emosi yang akan menghancurkan jiwa dan mentalnya.
"Aku sudah berusaha agar kami tak terlihat," kata Winter, lirih dan penuh penekanan. "Vivy, Janeth memang tak menyadari keberadaanku, tetapi itu sebelum pasukannya mengobrak-abrik tempat ini dan menjarah harta benda kami. Salah seorang di antara mereka melihat selimut yang bergerak-gerak di antara barang-barang rongsokan yang sengaja kutimbun―aku membungkus Sean di dalamnya. Salah satu pasukannya mencium keanehan itu dan datang untuk memeriksa, lalu dia mendapatkan Sean begitu saja. Saat Sean dibawa kepada Janeth, aku tak menyangka dia akan mengenal Sean begitu cepat. Katanya, 'Bocah ini mengingatkanku dengan seorang pengkhianat. Siapa ibu dari anak ini?' Aku kebingungan setengah mati, Vivy. Aku terpaksa mengacungkan tangan di tengah keramaian itu, sebab Janeth mengancam akan membunuhnya di tempat bila tak ada yang mengaku. Kukatakan padanya bahwa aku tak mengenal siapa ibunya―segala dusta sudah kulakukan untuk menutupi jati dirimu. Namun gagal. Janeth tahu bahwa dulunya aku adalah mantan prajurit Forbs. Dia mengenalmu lewat wajah Sean, dan mencium jejakmu dari wajahku. Dia mengatakan padaku untuk menyampaikan pesan bahwa Sean akan menjadi tawanan. Dia baru akan melepaskan anak itu kalau kau menyerahkan bukunya." Lalu Winter menatap Heaven dengan mencalang, "Dia membutuhkannya. Buku milik Marcus yang kaucuri! Kata Janeth, buku itu bisa menuntunnya pada eksperimen mutakhir yang akan menyempurnakan segalanya. Dan kau adalah dinding yang menahan Janeth untuk mendapatkannya. Dia tak bisa menyelesaikan misinya sebelum kau datang dan membuka gerbang itu kepadanya!"
Heaven tanpa sadar merapatkan kepalan tangannya di samping tubuh.
"Kita berdua tahu akibatnya bila buku itu jatuh ke tangan Janeth," kata Heaven.
"Aku tahu, tapi itulah masalahnya. Janeth ingin menukar buku itu dengan nyawa Sean."
"Berengsek," Heaven mengumpat liar dan menendang udara dengan murka.
"Tidak ada yang bisa kaulaukan kecuali menyerahkan buku itu kepadanya."
"Aku akan membunuhnya," kata Heaven. Rona ungu tersepuh pada wajahnya yang sekeras karang. Wanita itu menggertakkan rahang dan bertekad dengan seisi jiwanya. "Aku akan menemui Janeth dan menyerahkan bukunya, lalu akan kubunuh dia di tempat. Dengan begitu dia tak akan sempat melakukan eksperimen."
"Tidak semudah yang kaupikir," kata Winter. "Dia pasti tidak sendirian di tempat itu. Maksudku, selain pasukan monster yang berdiri di belakangnya, Janeth pasti bisa memastikan bahwa warisan yang dititipkan Marcus kepadanya akan tetap lestari sekalipun dia telah tewas. Kau bisa bayangkan ... ada berapa ilmuwan yang sama gilanya menunggu di tempat itu. Dia tahu nyawanya terancam bila berurusan denganmu, tapi dia bisa mengatasi risiko semudah kau menebas arteri di lehernya. Kita berdua tahu bagaimana liciknya wanita itu, bukan?"
Tidak, Winter, aku punya senjata yang jauh lebih menakutkan. Diam-diam Heaven membiarkan keyakinan itu terbenam dalam pikirannya. Tak perlu menyiksa diri untuk membunuh semua kroni monster Janeth. Dia bisa memanfaatkan Claude dan rombongannya untuk melakukan pemberontakan besar-besaran. Setelah mendapatkan Sean kembali, dia akan menghancurkan buku catatan itu, lalu kabur dan meninggalkan kelompok Claude berperang sendiri menyelesaikan urusannya.
"Yang perlu aku lakukan hanya mencegah Janeth mendapatkan buku catatan Marcus, begitu bukan?"
Winter menatap Heaven lamat-lamat. Ada geletar tidak percaya di matanya. "Jangan bilang kau akan tetap melawan orang itu."
"Aku akan melakukan apa pun untuk mendapatkan Sean kembali."
"Dengar baik-baik. Yang akan kau lawan adalah gerombolan monster."
"Dan aku adalah Red Viper."
"Kau lupa kalau Red Viper adalah seorang manusia?"
Tapi red viper satu ini adalah manusia yang bersenjatakan monster.
"Aku tidak berangkat ke sana sendiri," kata Heaven. "Kau lihat tiga cowok alpha di luar sana? Mereka akan pergi bersamaku untuk menyulut pemberontakan."
Winter tampaknya nyaris tidak percaya, tetapi toh dia tahu dirinya tak bisa berbuat apa-apa untuk protes ke si rambut merah ini. Jadi yang pria itu lakukan hanya membuang napas sambil menggeleng tidak habis pikir.
"Nah, Winter," kata Heaven berusaha mengembalikan topik pembicaraan. "Katakan padaku, apa yang harus kuwaspadai dari Janeth? Dia hanya perlu dijauhkan dari buku itu, bukan? Kalau buku itu tidak ada, apakah dia tak bisa berkutik lagi?"
Winter menarik napas dalam-dalam. Kewaspadaan kembali pada sorot tajamnya. "Sebetulnya Janeth masih memiliki satu lagi harapan."
"Apa maksudmu?"
"Ingatkah kau saat kau menemukan buku itu pertama kali di penginapan Marcus? Regumu bersaksi bahwa kalian tidak bertemu siapa pun di tempat itu kecuali satu monster ganas yang mencabik-cabik Finn."
Heaven mengingat awal mula dia mendatangi penginapan itu. Saat itu regunya memang dikejutkan dengan kedatangan monster buas yang tiba-tiba masuk melalui kaca jendela yang pecah. Salah satu anggota regunya―Finneas Grapes, menjadi korban dari nafsu laparnya.
"Menurut sisa-sisa kehidupan yang berhasil kami kumpulkan, tempat itu sudah kosong selama sekitar tiga bulan lebih," kata Heaven. "Dan monster yang membunuh Finn bukanlah berasal dari penginapan. Aku membawa sampel bangkai monster itu dan memeriksakannya di laboratorium. Monster itu baru mengalami tranformasi pertamanya hanya selewat beberapa hari sebelum kunjungan kami. Bisa dipastikan dia adalah penyintas yang baru-baru ini terinfeksi. Lagi pula kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Apa kau tidak penasaran ke mana seluruh penghuni penginapan itu? Mengapa mereka meninggalkan botol-botol serum dan buku catatan yang berbahaya di sana? Kita bisa menebak bahwa jumlah mereka mungkin lebih dari tiga puluh orang―dilihat dari harta benda dan peralatan bekas yang kalian dapatkan di sana. Terlalu banyak bila dikatakan lenyap tiba-tiba, dan terlalu janggal bila kita menyebut mereka telah tewas, sebab kau tak menemukan jejak yang mendukung asumsi itu. Kemungkinan yang paling masuk akal adalah semua penghuni penginapan itu kabur ke suatu tempat yang jauh."
Heaven menelan ludah dengan gugup. Winter sedang membicarakan tentang rombongan Claude yang memang kabur dari penginapan. Dia berusaha membungkam mulutnya agar berhati-hati membocorkan informasi.
"Ya, mungkin mereka kabur," kata Heaven. "Tapi apa hubungannya dengan...."
"Vivy, kalau buku itu ditemukan di dalam penginapan, itu berarti orang yang berada di penginapan itu juga mengetahui isinya. Kita berdua tahu bahwa Marcus telah ditemukan tewas di rumahnya beberapa tahun sebelum wabah meledak pesat. Lalu bagaimana buku itu bisa sampai di penginapan? Itu artinya, ada seseorang yang membawa kabur buku itu dan mengetahui rahasia di dalamnya."
Heaven mengingat cerita Claude yang mengatakan bahwa tempat itu memang dijaga oleh seorang kepala penginapan yang sengaja menawari para korban serum perubahan.
"Maksudmu, kepala penginapan itu, mengetahui rahasia tentang formula serumnya?"
"Ya, ya, bisa jadi. Kepala penginapan atau bukan, pokoknya aku yakin ada biang keladi yang bertanggung jawab atas kelahiran para monster spesies baru di tempat itu. Dia berbaur di antara penghuni penginapan, kemudian entah bagaimana pergi serentak bersama mereka."
"Ya, aku menangkap maksudmu," kata Heaven. "Apa hubungan kepala penginapan itu dengan rencana Janeth?"
"Pikirkan ini, Vivy. Janeth pasti tahu bahwa tidak hanya kau saja yang menyimpan buku itu. Dia tahu ada orang lain di penginapan yang memahami seluk beluk rencana Marcus, mungkin menyimpan salinan yang lain, atau bahkan telah diam-diam menyempurnakan serum itu secara mandiri. Aku sangat yakin, selain mengincarmu, Janeth juga pasti sedang mengincar pemilik penginapan sebagai cadangan kalau-kalau kau tidak bisa diandalkan. Janeth mungkin sedang mencari orang itu dan hendak mengajaknya berkoalisi."
"Berkoalisi?"
"Untuk menciptakan dunia yang mereka inginkan."
Heaven menyugar rambutnya dengan tidak sabar, "Kau serius? Memangnya pemilik penginapan itu mau bekerja sama dengannya?"
"Entahlah, tetapi kita berdua tahu kalau Janeth selalu menyiapkan tawaran yang sempurna. Kalau sampai dua pihak ini bertemu dan melakukan perjanjian, kemungkinan Janeth tidak akan memerlukan buku itu untuk melancarkan misinya."
"Oke, jadi apa yang harus kulakukan? Membunuh pemilik penginapan itu sebelum Janeth menemukannya?"
"Ya," kata Winter. "Hancurkan keduanya. Buku catatan itu, dan juga pemilik penginapan. Mereka sama-sama menyimpan warisan terkutuk yang menjadi cikal-bakal kehancuran sesungguhnya."
Heaven terdiam sejenak. Waktunya akan sia-sia bila dia masih harus mencari pemilik penginapan. Claude juga sudah bilang bahwa dia tak tahu ke mana perginya orang itu.
"Keparat. Sudah kuduga pemilik penginapan itu merepotkan," rutuk Heaven. "Dia seharusnya tewas saja dimakan monster."
"Atau mungkin dia adalah monster itu sendiri," kata Winter. "Kita tidak pernah tahu apa yang dia lakukan terhadap serum itu. Bisa saja dia menguji coba dirinya sendiri, dan atas sebab itu membentuk koloni pasukan separuh monster yang mengikutinya ke mana pun dia pergi."
"Kalau benar seperti itu, membunuhnya akan menjadi sesuatu yang sulit, terutama bila dia dikelilingi oleh kawanan monsternya. Jumlah mereka paling tidak ada tiga puluh." Tujuh orang berpisah dari rombongan. Aku hanya bisa memanfaatkan tujuh orang itu saja....
"Kalau begitu aku cukup fokus ke misi pertama," putus Heaven tiba-tiba. Winter mengernyit memandangnya, dan wanita itu melanjutkan, "Aku cukup merebut Sean dan memastikan buku catatan itu tak jatuh ke tangan Janeth. Di waktu yang lain, bila aku bertemu pemilik penginapan itu, akan kuhabisi dia sebelum melahirkan kekacauan yang lebih tolol lagi ke dunia ini."
Kemudian Winter mendengkus, hampir terkekeh. Heaven mengedutkan satu bibirnya dengan tampang terusik, "Kenapa kau tertawa?"
"Kau benar-benar penuh amarah."
"Kau akan merasakan bagaimana pahitnya menjadi aku saat kau juga kehilangan buah hatimu."
Kemudian seringai Winter memudar. Pria itu kembali menegapkan tubuh dan bernapas dalam-dalam. Dia menatap Heaven yang terpaku dengan ekspresi gelap, lalu ikut merasa berduka atas serentetan kemalangan yang menimpa wanita ini. Karena tak ingin menghancurkan suasana, Winter membahas hal lain, "Omong-omong, kau tidak mendapatkan petunjuk apa-apa mengenai pemilik penginapan itu? Oh, sekarang aku ikut-ikut memanggilnya si pemilik penginapan."
"Akan lebih mudah kalau kita menyebutnya demikian," kata Heaven. "Dan, ya. Aku menemukan satu nama yang ditulis di buku itu. Jelas bukan Marcus yang menulisnya, karena tintanya masih baru."
"Siapa namanya?"
"Rowansky."
"Oh."
"Ada apa?" Heaven mengernyit memandang raut Winter.
"Rowansky sih memang marga Marcus. Keluarganya dulu cukup terkenal di kalangan para kaum elite. Istrinya seorang model yang jelita―Nancissa Rowansky, sering berseliweran di televisi mengiklankan pakaian dan tas dari brand populer, tetapi kematian Marcus malah membuat wanita itu menjadi depresi dan akhirnya gila."
"Bagaimana dengan anaknya?" kata Heaven. "Siapa tahu, yang membawa buku ini ke penginapan adalah anaknya."
"Kudengar keluarganya memiliki dua putra. Yang satunya meninggal karena penyakit kanker, dan satunya lagi agak gila―tidak bisa mengontrol diri sampai akhirnya membunuh Marcus. Kau tidak mengikuti beritanya? Itu terjadi kira-kira hanya beberapa bulan sebelum wabah Kureiji tersiar pesat."
"Aku tidak tertarik mengurusi masalah rumah tangga kaum elite," kata Heaven, lalu menggosok-gosok lehernya sambil berpikir, "Kalau tidak ada anggota keluarganya yang tersisa, lantas mengapa buku itu bisa dibawa keluar?"
"Entahlah, mungkin asisten rumah tangga atau ajudan yang membawanya?"
"Seorang asisten rumah tangga bernama Rowansky?" Heaven mengatakannya dengan raut mengejek. Winter mencelus karena tersadar bahwa tebakannya tadi jelas keliru.
"Hanya nama marga yang dia tinggalkan," lanjut Heaven sambil melipat tangannya di depan dada. Rautnya berbinar penuh pertanyaan tentang teka-teki yang menyesaki kepalanya. "Kemungkinan, portal berita melakukan kekeliruan ketika meliput situasi keluarga Rowansky. Atau, yang terburuk, keluarga Rowansky-lah yang menyembunyikan sesuatu. Kalau bukan istrinya yang pura-pura gila, salah satu atau kedua putranya pasti berhasil menipu publik."
-oOo-
"Heaven."
Seruan Claude bergaung rendah ketika Heaven keluar dari ruangan yang terkunci. Tanpa berkomentar apa-apa, wanita itu menatapnya dan berkata dingin―nyaris memerintah, "Ayo kita habisi Janeth."
"A-apa?" Claude mengernyit memandang Heaven yang terus melangkah keluar dari gedung dan kembali ke arah mereka datang. Pria itu lantas berbalik dan bertukar pandang pada Nathaniel dan Euros, yang sama-sama memandang punggung Heaven dengan kilatan bertanya-tanya. "Aku tak salah dengar, kan?" kata Claude. "Heaven bilang mau menghabisi Janeth. Kukira dia mau memantapkan bokongnya di tempat ini."
"Satu lagi orang sinting mau mengikuti jejak kita," komentar Euros dengan nada sinis, mengernyit memperhatikan tatapan melongo Nathaniel dan Claude. "Kenapa? Kalian tidak terima disebut sinting?"
"Kurasa ada sesuatu yang terjadi padanya," kata Nathaniel.
"Aku setuju," sahut Euros. "Tatapan matanya seperti mau merogoh jantung monster hidup-hidup."
Kalau begitu tidak perlu berlama-lama lagi," kata Claude, yang merasakan desakan senang di hatinya. Beberapa menit lalu dia hampir menyiapkan kata-kata untuk mengancam Heaven agar wanita itu mengikuti rombongannya, bahkan menyiapkan strategi untuk menawannya kalau-kalau dia memberontak.
Claude sambil lalu berputar dan menatap Winter, yang kini terlihat sedang berbicara serius dengan gerombolan pria gembel pemburu monster. Dia kembali pada Nathaniel dan Euros. "Aku ogah berurusan dengan kelompok mereka," bisik Claude dengan nada jemu. "Sumpah, pria bernama Jasper dan seorang lagi yang punya tato terkutuk di keningnya punya tipe wajah yang mengundang untuk ditonjok."
"Lebih baik kita menyusul Heaven," usul Nathaniel, kemudian berputar dan menyongsong kawan-kawannya keluar dari gedung, secara cepat dan diam-diam. Mereka setengah berlari menuju pintu utama yang dijaga beberapa orang pengawas. Heaven tampaknya sudah kembali ke area parkir, sebab wanita itu tak tampak lagi di mana pun. Mereka berpamitan sebentar kepada para pengawas dan tak menjelaskan ke mana tujuannya.
"Heaven!" Claude berseru saat melihat wanita itu ternyata sudah menunggu di dalam mobil. Dia duduk tegak di samping bangku sopir seraya memasang tampang tegang―seperti sedang mengunyah besi di mulutnya. Mata wanita itu berair, dan agak merah. Apakah dia habis menangis? Tidak ada yang repot-repot bertanya, tetapi Claude menyimpan tebakannya sendiri di dalam kepala. "Bagus sekali, meninggalkan kami bersama gerombolan para preman itu." Pernyataan itu diselingi gerakan cepat mereka yang memasuki mobil.
"Kenapa tiba-tiba kau mau ikut kami?" Euros tak sabar untuk bertanya.
Heaven tak menjawab. Mulanya mereka pikir wanita ini masih saja tidak sudi mengatakan masalahnya, tetapi kemudian dia membalas dengan lesu, "Salah satu bocah yang diculik Janeth adalah anakku."
"Anak?" Claude mengernyit tidak percaya. "Kau punya anak?"
Heaven terus menatap jendela depan dengan sorot datar sekaligus murung, "Tidak ada yang menghebohkan dari berita itu."
"Maaf," kata Claude, secara sembunyi-sembunyi melirik Nathaniel dan Euros yang duduk di kursi belakang, setengah hati menggubris keterkejutannya. Apa hanya aku di sini yang terkejut kalau dia punya anak? Claude memasang sabuk pengamannya sambil bertanya lagi, "Yah, kalau begitu kau ikut kami karena ingin menyelamatkan anakmu? Siapa namanya? Paradise?"
"Sean," kata Heaven, kemudian menengok pada Claude dan memandangnya lurus-lurus―tatapannya setenang dan sedingin lumut yang mengairi rawa. "Namanya Sean."
"Oke."
"Dan kita kedatangan tamu."
Claude menyipitkan mata. Kalimat terakhir Heaven menyeretnya ke parade masalah baru, terutama setelah dia menengok ke samping dan menatap wajah seorang pria melongok dari jendela pintu sopir.
Kalung dari gigi monster itu menyapa "halo" kepadanya.
"Aku ingin ikut kalian."
Bukan nada permintaan, melainkan nada perintah dari Jasper.[]
-oOo-
.
.
In case di antara kalian ada yang masih penasaran sama visual Heaven, let me show you thisss
Taraaaaa!!!
Itu visual buatan AI ya gaes awkwkwk. Jadi gimana, apakah sesuai sama bayangan kalean selama ini? 😆
Dan btw, maaf yaa chapter ini agak ribet. Ngoceh mulu antara Heaven dan Winter, tapi beneran deh, kalian kudu baca pelan-pelan supaya bisa ikutan menebak-nebak plot twist buat ke depannya. Karena aku menyiapkan beberapa plot twist yang enggak kalah nonjok dari The Leftovers, HUAHAHAHAHAHA 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top