15. The First Transformation
-oOo-
TANDA-tanda yang tak lazim muncul di langit pada malam itu.
Dia mendengarnya lagi―dengung statis yang konstan, mirip mesin pendingin ruangan yang menyala. Akan tetapi suara itu berasal dari luar jendela, menembus kabut gelap dan mega awan yang menutupi atap penginapan. Samar, dan nyata. Itu suara drone.
River berdiri dari kursi, pelan-pelan menghampiri jendela dan mengintip dari balik tirainya. Tidak ada penampakan mesin aneh yang melayang di udara, tetapi suara dengungnya menyatakan sinyal bahwa benda itu ada di dekat sini. Apakah itu drone yang sama seperti yang biasa mereka lihat di Fayettivile? Nathaniel pernah berpendapat bahwa drone itu kemungkinan besar milik para prajurit militer yang sedang menyelidiki daerah-daerah rawan dan aman, tetapi belakangan mereka tahu bahwa Forbs tak lagi utuh sejak peristiwa peledakan. Lantas apabila pusat militer keamanan telah luluh-lantak menjadi abu, siapa yang mengoperasikan drone-nya?
"Itu bukan milik alien, kan?" Suara itu datangnya dari kasur yang sedang ditempati Juan. River menengok ke belakang dan melihat Juan terjaga dari tidur. "Atau milik ... Avengers ... yang datang untuk menyelamatkan dunia."
River menutup tirai, lalu duduk di kursi seperti biasa. Dia menatap adiknya yang masih berbaring lemah di atas kasur. Keringat merembes di wajah dan lehernya, berpendar di wajahnya yang pucat, lalu River berkata datar, "Selera humormu tak pernah membuatku tertawa, apalagi yang barusan."
Juan tertawa sebentar mendengar pengakuan River, tetapi kemudian langsung meringis kesakitan.
"Jangan memaksakan diri, Juan," abangnya berkata sembari menyeka leher Juan dengan handuk. "Perawatan yang terbaik bagimu sekarang adalah istirahat. Saat gejala itu datang, kau butuh banyak energi untuk mengendalikan diri."
"River―" kata Juan, memandangnya gelisah dan penuh penyesalan, "―aku minta maaf."
Pemuda itu menggeleng, memaksa senyum. "Berjanjilah untuk sehat."
Juan kembali pusing, terjepit antara ilusi dan kenyataan. Belakangan dunianya menjadi tumpang-tindih di batas kegelapan dan penyiksaan. Bibirnya gemetaran ketika mencoba berbicara lagi, jadi dia mengurungkan niat untuk membalas permohonan janji itu.
"Aku sudah menepati janjiku untuk kembali padamu," kata River, pelan. "Sekarang kau yang harus menepati janji untuk terus bersamaku."
Aku sekarat, River. Pelupuk mata bergetar. Wajah berkeringat. Benak mulai kacau.
River mengusap kening Juan dengan handuk, lalu membuang napas, menelan segala bentuk kekhawatiran dan keprihatinan yang semakin memuncak setiap kali memandang wajah sekarat Juan. Dialah yang membawa River sampai ke titik ini, menyelamatkannya dari harapan yang dipatahkan nasib, mengurungkannya dari niat bunuh diri demi sebuah janji yang belum terbayar. Dan sekarang keadaan berbalik. Juan harus membayar seluruh harga yang sudah diberikan River di awal. "Kau berutang padaku," kata River. "Kau harus hidup seperti Juan yang keras kepala dan menyebalkan. Jangan sekalipun mengubah dirimu yang dulu walaupun nantinya kau akan berubah menjadi sesuatu yang besar dan mengerikan. Kau ... tetap adikku. Kau tahu aku tak bisa melukaimu."
Bersama kata-kata itu, River beringsut menjauh dari Juan, kemudian membawa tubuhnya mondar-mandir mengelilingi kamar penginapan. Dengan resah, dia mengintip dari jendela dan berharap kepulangan Isaac dan Gareth akan membuat hatinya tenang. Dua temannya itu beberapa jam lalu pamit keluar untuk berburu hewan―lantaran ingin memanjakan perut karnivora mereka yang sudah lama tak dibanjiri asupan. River menyetujuinya, kendati dia agak mencemaskan Juan yang bisa saja mengalami perubahan pertamanya kapan pun, sementara dirinya tak bisa mengendalikan situasi seorang diri.
Lalu ketakutannya terbukti lebih cepat dari apa yang River duga.
Juan bernapas pendek-pendek, memejamkan mata rapat-rapat saat gelombang sakit itu mendera tubuhnya. Kepalanya terasa berat, seperti dijatuhi beban seribu ton. Dia tak sanggup melakukan apa pun selain mengerang tanpa suara. Tangannya yang diikat di keempat sisi tiang ranjang bergerak liar, menimbulkan bunyi berkeriat-keriut.
Sial. Perubahan pertama.
"Kendalikan dirimu, kelinci nakal," River memegangi lengannya kuat-kuat.
Kepala Juan mendongak, dan dadanya membusung. Suaranya tercekik seperti dengkingan anjing yang dikerangkeng. River bisa melihat nadi kehitaman menonjol di leher Juan seperti jalinan akar gelap yang membawa timah racun. Dia bisa merasakan perubahan itu tiba secepat laba-laba yang merangkak naik. Lalu, teriakan Juan semakin menjadi, diiringi kibasan lengannya yang memukul River hingga pemuda itu terbanting jatuh. Rantai-rantai yang mengikat Juan hancur begitu saja seperti serpihan batu. Sang abang masih berusaha untuk bangkit ketika dia melihat Juan telah melepaskan ikatan di tangan satunya, kemudian kedua kakinya, dengan gerakan mudah.
"Juan, kendalikan dirimu!"
Tapi Juan telah menulikan telinga―monster yang bersemayam dalam kepalanya yang melakukannya. Kesadaran terkutuk itu membisikkan kata-kata keparat untuk membunuh River. Siapa dia? Mengapa tubuhnya dirantai? Apa yang dia lakukan? Dan ... siapa orang yang terhuyung bangkit dari lantai? Makhluk ini berbau seperti aku. Juan tak mencium aroma yang menggairahkan dari tubuh River, tetapi dia tahu ada ancaman besar di balik tubuh ringkih itu. Ancaman nyata, yang membuatnya yakin untuk meremukkan makhluk ini dalam sekejap. Dia tidak boleh gentar, tidak boleh takut, karena dia adalah satu-satunya makhluk superior yang tersisa dari sembilan puluh sembilan persen makhluk yang telah dicampakkan bagai debu.
Maka Juan melangkah, semakin lama semakin dekat. Jemarinya yang kurus dan panjang berkejat-kejat, seiring lapisan otot yang baru menyelebungi tulang-tulangnya. Dalam entakan patah, punggungnya membungkuk menahan ledakan perubahan yang luar biasa menyakitkan. Juan terdorong jatuh, menggelepar di lantai bagai paus yang kehilangan oksigen. Memori masa kecil berputar di benaknya laksana kilasan film yang terlumuri darah. Awan di langit, embusan angin mengayunkan ranting. Bola futsal menggelinding di lapangan. Seorang tentara yang lehernya dikoyak oleh gigi monster. Lalu mayat ibunya, terkapar di kasur dengan mata membelalak dan mulut terbuka lebar.
Ibu menyemburnya dengan kata-kata keji; "KAU PEMBUNUH!"
"Juan, lawan monster itu!" Tangannya, dipegang erat. Makhluk itu meneriaki telinganya dengan kata-kata yang tidak dia pahami. "Kendalikan! Dia ada dalam dirimu! Kendalikan dia!"
Pembunuh!
"Kau pasti bisa!"
Bunuh dia.
Tetapi monster itu jauh lebih kuat. Dia mengibaskan cakarnya di udara dan menghantam tubuh River hingga terpelanting lagi. Sang abang berguling bangkit―berlari lagi dan memegangi dan meneriakinya dengan kata-kata yang sama. Sang monster membuka mulut, menjeritkan raungan kemurkaan yang penuh ambisi membunuh. Dia memberontak dan melayangkan kibasan cakar, mengatup-ngatupkan rahangnya yang dipenuhi liur dan gigi-geligi tajam.
Tak ada yang bisa membendung kebengisannya. Tak ada yang bisa menghentikannya untuk menindas. Monster itu menjambak rambut River dan menancapkan giginya pada sisi leher pemuda itu.
Sang monster membanting tubuh River seperti menjentikkan nyamuk tak berdaya. Dia melepeh bongkahan daging leher dari mulutnya yang belepotan darah, berusaha melenyapkan aroma aneh yang terasa tidak cocok dengan nyala hasratnya―kemudian, meraung lagi untuk menunjukkan ketidakpuasan. Dia menerjang River yang berbaring sambil memegangi leher. Dia hendak memukulkan tinjunya ke wajah River, dan―
"Sudahi ini," River berkata, tersengal-sengal di antara kabut kelelahan dan kesedihan. Darah mengucur di lehernya yang ditutupi tangan―tubuhnya perlu waktu lama untuk menumbuhkan jaringan baru di luka sebesar itu. River mengerahkan tenaga terakhir dengan mencengkeram lengan Juan, melanjutkan dengan pedih, "Juan, sadarlah. Lihat aku."
Mata monster itu bersinar kekuningan. Sepanjang kemurkaan tadi membuat benaknya kabur dari realitas. Kini dia menatap wajah River, yang berpendar oleh keringat dan darah, balik menatapnya demi mengais puing-puing harapan.
Kemudian, satu per satu ingatan menyentrum ingatannya, membangkitkannya dari kesadaran dunianya yang lampau. Rambut gelap itu. Ekspresi culas itu. Wajah River. Abangnya.
Kebuasan monster meninggalkan pikiran Juan bagai ombak yang menyapu karang. Iris kuningnya pudar, mewujud kembali sebagai sepasang mata karamel yang hangat. Juan menatap River dengan sorot bergetar, "River ... kenapa kau ...."
"Sadar juga akhirnya."
Atensi Juan merembet pada darah yang mengalir deras di sekujur lengannya. "Apa aku melukaimu?"
"Kau membunuhku," kata River, lalu tersenyum tipis. Kalau aku manusia, kau berhasil menewaskanku.
"Astaga," Juan memegang tangan River dan mengintip dari celah jemarinya. Keningnya mengernyit, menahan desakan―keterkejutan dan rasa bersalah, yang meluap-luap seperti ledakan nuklir di dasar hati. Adiknya membungkuk rendah dan menempelkan keningnya di dada River, menyuarakan penyesalan, "Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku."
"Aku tidak ... apa-apa." River memejamkan mata, menarik napas pelan-pelan. Rasa sakit membuatnya sesak napas. "Perlu berbaring sebentar ... ini akan sembuh sebentar lagi."
"Kenapa kau tidak menghentikanku?" Juan membentak sambil meremas lengan River. Dia melihat abangnya memejamkan mata. Tidak bangun walau diguncang. Diselimuti rasa sakit hati dan amarah, pemuda itu menampar-nampar pipinya, "Bangun, River! Jawab aku! Kau punya kemampuan untuk berubah, kenapa kau tidak menghentikanku sebelum aku melukaimu?"
Saat Juan nyaris kehilangan kesabaran, dia mendengar suara gerendel pintu di seberangnya dibuka. Gareth dan Isaac masuk, dengan wajah berlumur peluh. Mereka menatap Juan bersimpuh di dekat tubuh River yang terkapar.
"A-aku bisa jelaskan―" Juan membalas dengan nada bergetar. Peristiwa traumatis tentang kematian ibunya kembali merobek ingatannya, dan dia takut disalahkan atas ini. Juan berpaling menatap River dan mengguncang putus asa. Rasa penyesalan dalam benaknya tiba-tiba meradang menjadi rasa takut. Apa abangnya mati? Apa dia telah membunuh River sama seperti dia membunuh ibunya? "River, kumohon," Juan menampar pipi River untuk terakhir kali, lalu air matanya menetes.
"Juan, apa yang terjadi?" Isaac mendekatinya, berlutut di dekat mereka.
"Aku membunuhnya ... aku membunuhnya...."
Kemudian Juan mendengar River berkata, "Pipiku sakit, anak bodoh."
Dia mendongak, melihat abangnya mengernyit menahan sakit. "Sudah kubilang aku perlu istirahat sebentar."
"Maaf, tadi aku―" Aku ingat Ibu. Tapi Juan menelan kembali kalimatnya. Aku ingat Ibu dan aku tak mau melihatmu tewas sepertinya. Aku tak mau tergelincir ke jurang penyesalan yang membuatku membenci diriku sendiri lebih banyak. "Aku lupa kau bisa menyembuhkan diri," pada akhirnya dia beralasan demikian.
River mendorong Juan agar adiknya menyingkir, kemudian dia duduk sambil menahan pening. Luka di lehernya belum sepenuhnya tertutup, tetapi darahnya tak keluar sederas tadi. Isaac dan Gareth bertanya dengan cemas apa yang terjadi, dan River menceritakan semuanya. Sementara Juan, yang linglung di tempatnya, hanya mampu menatap lantai dengan melamun. Kelelahan menderai benaknya, seperti melihat satelit terbakar yang memutari planet berdebu. Dia merasa terguncang, sampai otot-ototnya kehilangan tenaga. River merangkak mendekatinya dan memeriksa ekspresi Juan. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku ingat apa yang terjadi," kata Juan, dengan suara lirih. Bagian yang terburuk adalah dia mengingat bagaimana rasanya saat giginya mengoyak daging di leher saudaranya sendiri―kenangan yang jauh lebih menjijikkan daripada menjadi monster itu sendiri. Apa yang dia pikirkan saat itu? Apa dia menyerang River karena menganggap abangnya adalah seonggok daging steak setengah matang? Tidak, tidak. Juan mengingat bahwa dia menyerang River karena benci melihatnya. Karena dia merasa terancam. Karena dia terlalu marah.
Dan, lapar. Yeah. Kelaparan membuat kemarahanmu meledak berkali-kali lipat.
"Aku tahu kau pasti merasa buruk," River menepuk pundak Juan untuk meyakinkannya bahwa di atas perasaan carut-marut ini, segalanya membaik. Juan berhasil melewati proses tranformasi pertamanya. "Nah, katakan sesuatu, adikku. Aku perlu menyelidiki apa transformasimu membuatmu gila atau tidak."
"Aku baru saja menggigitmu," kata Juan, tak bisa bersikap tenang. Fakta bahwa dirinya menjadi buas adalah hal paling serius yang saat ini mempertanyakan moralitasnya sebagai manusia. "Aku tak mau menjadi kanibal."
"River mengatakan hal sama saat dia mengalami tranformasi pertamanya," kata Gareth. "Tidak apa-apa, Juan. Kau berhak merasa remuk sekarang, tapi aku janji nantinya kau akan terbiasa. Aku membawakanmu ini." Kemudian Gareth menurunkan karung yang sejak tadi dipanggulnya. Isaac berlutut di lantai dan membantu membuka ikatannya, kemudian aroma merebak seiring isi dalam karung itu tampak―sesuatu yang membuat perut Juan terpilin rasa lapar. Kepuasan yang akan membuatnya jatuh ke lubang penyesalan dan mempertanyakan siapa jati dirinya sekarang.
"Anjing liar," kata Gareth. Jawaban itu membuat Juan hancur seketika.
"Kami sudah memisahkan daging dan darahnya―butuh waktu lama mencari sungai dan melakukan kegiatan penjagalan di sana," kata Isaac, lalu memelankan nada suaranya. "Kau bisa segera menikmatinya, karena aku tahu ... tranformasi pertama membuatmu lapar setengah mati."
Juan menundukkan kepala dan tiba-tiba merasa kebingungan dengan arti semua ini. Sifat manusiawinya tak lagi seutuh dulu, ketakutannya di masa depan bahwa dia tidak akan bisa hidup tanpa berburu dan memakan daging segar. Dia baru saja menembus tabir dunia monster yang selama ini menjadi bahan delusinya untuk kabur dari dunia manusia yang payah, tapi dia sama sekali tak senang. Dia membayangkan versi kehancuran sekaligus kebangkitan baru dalam hidupnya. Titik di mana semua ini dimulai dan berakhir.
Seringnya ini membuatnya sadar bahwa Juan akan menyerap sifat jahat monster, yang tidak akan ragu membunuh siapa saja yang berniat melawannya, bahkan manusia sekalipun.
Saat itu Juan sadar, kata-kata River benar;
Dunia monster itu kejam dan menyedihkan.[]
-oOo-
.
.
Halo, gais. Hani di sini eheheh. Gimana, puas kan ketemu sama River dkk lagi? Apa? Masih kurang? Iyaaa sabar. Aku belum tahu sih chapter depan mau tetep ke River dkk atau kembali ke Claude. Outline-nya belum bener-bener matang. Tungguin aja deh pokoknya
Oh, ya, btw. Chapter ini salah satunya kupersembahkan buat Nat Lynaabe yang menunggu2 chapter ini sampai neror aku di IG. What's wrong with you gurl? Sabar dikit napa ah 😭😭 sawat River nih yaa!
Nah, akhir kata, semoga senang dengan chapter iniieehh. Komen dong sayang, supaya aku tahu kalau cerita ini ditunggu-tunggu oleh kalean :"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top