11. Trapped in Guilt

-oOo-

"APA yang kaulakukan di sini?"

Wanita itu melonggarkan mata pisaunya di leher Claude. Eskpresinya terpilin antara curiga dan lega. Luput sedikit saja memeriksa paras Claude, Heaven tak akan pikir panjang untuk memotong pembuluh darah di leher orang ini dengan pisaunya.

"Ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu," kata Claude, terengah-engah.

Bohong. Dia pasti bohong. Suara dalam kepala Heaven melolongkan pekikan gelisah. Setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan, segala sesuatu terasa seperti ancaman. Apakah Claude sengaja membuntutinya ke dalam hutan untuk memangsanya?

"Katakan sekarang." Heaven kembali mendekatkan mata pisaunya ke leher Claude, meredam kembali kecurigaannya. Tak boleh gegabah, Vivy.

"Aku akan mengatakannya, tapi kau harus minggir dulu." Dada Claude ditekan ke tanah oleh lutut Heaven, jadi dia mencoba mengangkat jemarinya untuk menyentil lutut itu. Suaranya berubah menjadi nada lelah dan memohon, "Aku bisa mati ... kehabisan napas."

Pandangan Heaven merambat ke bawah. Claude benar, tapi dia tak perlu menyesal karena telah melakukannya. Injakan itu adalah serangan telak yang bisa membuat tulang rusuk seseorang patah. Karena Claude bukan manusia, patah tulang tak bakal berarti apa-apa untuknya.

Heaven mula-mula menyingkirkan kakinya dari dada Claude, kemudian menyarungkan kembali pisaunya. Mereka berdua lantas bangkit berdiri dan menepuk-nepuk tanah serta dedaunan kering dari pakaian. Setelah mengatur napas, Claude berbicara santun, "Aku mau mengajakmu kembali ke penginapan tadi, karena kami butuh bantuanmu."

"Memangnya kau pikir aku mau menolong kalian?"

"Kau sudah membuat teman kami terluka. Tidak berpikir mau membayar kesalahan?" Penyakit menyebalkannya kumat.

Heaven mengeryitkan kening, merasa tersinggung. "Aku sudah memberikan apa yang kalian mau―informasi yang tadi kusampaikan, bukankah cukup untuk membayar kesalahanku?"

"Informasinya belum cukup," kata Claude sambil melangkah mendekat. Heaven tidak menjauh atau setidaknya mundur. Dia mendongak menantang sambil menatap mata Claude yang kelam bagai sumur tak berdasar. "Kau harus ikut kami untuk mencari Dr. Janeth."

Sial.

"Sudah kubilang aku tidak tahu dia di mana," Heaven berdesis.

"Tapi kau tahu lebih banyak hal yang tidak kami pahami." Pandangan Claude merambat turun pada pisau bergerigi yang masih disandang Heaven di tangan kanannya. Tak sengaja dia juga melihat gagang pistol mutakhir yang tersimpan rapi di keliman celana wanita itu. "Kami butuh informasi soal senjata, hasil tes laboratorium, penduduk yang selamat, dan tempat-tempat yang kemungkinan masih aman untuk dijangkau. Kalau kau tidak bisa memberikan informasi tentang Dr. Janeth, kita bisa bertanya pada penduduk di luar sana yang tahu, tetapi kau adalah pemandu jalan kami menuju mereka."

"Aku hanya melukai satu orang, dan sebagai gantinya kau menyuruhku membuntuti kelompokmu ke mana pun kalian pergi?" Heaven merasakan dadanya bergemuruh ketika dia tahu permintaan berbahaya macam apa yang pria ini tawarkan. Itu namanya bunuh diri, dasar sinting!

"Kupastikan kau aman bersama kami."

"Aku tidak memercayai siapa pun di dunia ini," kata Heaven, lebih marah. Wanita itu mendekat pada Claude dan mengarahkan ujung pisau yang tajam ke depan wajahnya. "Terutama kau dan orang-orang di belakangmu. Kalian semua monster."

"Kami juga tidak akan percaya padamu begitu saja," kata Claude, sontak membuat Heaven mengernyitkan kening. Pria itu melanjutkan dengan nada hampa, "Memang tidak ada harga yang sepadan untuk membeli kepercayaan di dunia ini―kita semua tahu itu. Namun, itulah sebab yang membuat penawaran kita lebih adil. Saat bergabung dengan kami, kau tidak akan tersandung keraguan untuk membalas hanya karena satu dari kami sebelumnya telah berbaik hati kepadamu. Sebagai gantinya, kita akan menghitung segalanya sebagai utang. Kau bunuh satu di antara kami, dan akan kami bunuh dirimu. Kau menyelamatkan kami, dan akan kami selamatkan dirimu. Kau memberikan kami sesuatu yang bagus, kami juga bisa memberimu hal yang sama."

"Bagaimana kalau aku tidak sengaja membunuh kalian? Kau akan menjadikan itu sebagai alasan untuk membunuhku juga?"

"Kami punya hati nurani untuk memaafkan, tapi kami akan selalu tahu mana perbuatan yang disengaja atau tidak."

"Aku ragu aku bisa melepaskan moncong pistolku dari wajahmu."

"Kau punya kecurigaan dan alasan untuk membunuh, sama seperti kami kepadamu. Akan kubiarkan kau berkeliaran di dekat kami sambil membawa-bawa pistolmu yang menakutkan itu," Claude tertawa kecil menatap wajah Heaven yang memberikan reaksi tegang, lalu melonggarkan nada suaranya, "Heaven, aku tahu otakmu cerdas, jadi aku yakin, terlepas dari betapa mengerikannya kami, sebetulnya kau juga bisa menipu atau membuat kami terjerumus dalam perjalanan yang berbahaya. Kita saling mengenal risiko dan kelemahan masing-masing, dan kita juga saling membutuhkan. Itu adalah syarat yang cukup untuk membentuk kerjasama."

Perhatian Claude merambat turun pada kaki kanan Heaven, lalu suaranya berubah lembut, "Saat ini kau butuh tempat untuk istirahat. Kakimu terluka, dan kau sepertinya bakal mati kedinginan kalau melanjutkan melangkah lebih jauh lagi. Kami bisa memberimu tempat yang nyaman, tumpangan kendaraan, makanan, dan senjata tambahan. Tapi kau juga harus memberi sesuatu pada kami."

Pria ini menuturkan tawarannya dengan sempurna, dan Heaven mulai tergiur. Kau akan cepat mati kalau mudah tergiur dengan kenyamanan, Vivy!

"Tidak," kata Heaven, lantas dia melompat mundur dengan tidak puas. "Aku tidak mau membahayakan diriku berada di tengah-tengah tujuh makhluk ganas yang sewaktu-waktu bisa kehilangan kendali."

"Lima, sebenarnya. Dua orang di antara kami masih manusia normal, dan mereka baik-baik saja sampai sekarang."

Heaven menggeleng. Mendadak saja wajah Ginna dan Toby melintas dalam benaknya, lalu dia merasa rapuh dan rentan atas segala kesalahan yang telah dilakukannya. "Kau akan membunuhku kalau aku tidak dibutuhkan lagi," kata Heaven, lirih. Kakinya berdenyut-denyut dan tubuhnya kedinginan. Dia merasa omongannya mulai melantur. Apakah barusan kalimatnya terdengar seperti memohon sesuatu?

"Kami tidak sejahat itu," kata Claude. "Kami tahu apa artinya berterima kasih."

Heaven terdiam, lalu―

"Persetan."

Wanita itu berputar lalu melangkah pergi―tak bisa berlari, melainkan berjalan pincang. Sekarang dia kelihatan seperti tikus terluka yang mencoba kabur dari monster. Dari suara rumput yang diinjak dan udara yang melewatinya, Heaven tahu bahwa Claude mengejarnya di belakang. Lalu, saat dia merasakan pria itu hampir menyentuh punggungnya, Heaven sudah tidak peduli lagi. Dia bertindak sangat cepat―tangannya yang memegang pisau terayun membabi buta. Wanita itu menyabet di tempat kepala Claude tadinya berada.

Pisau di tangan Heaven. Ujungnya yang runcing menodong wajah Claude.

Mereka saling bertatapan. Ada sepercik ekspresi kaget di wajah Claude, tetapi selebihnya dia tampak tenang dan waspada. Sementara itu, dibandingkan jejak kemisteriusan anggun dalam paras Claude, Heaven sebaliknya―terlihat seperti gelandangan yang berdiri di ambang kegilaan. Napasnya ngos-ngosan, menderita kedinginan dan kelelahan, sementara kepalanya dipenuhi paranoia akut tentang sosok di hadapannya.

"Pergi kau," ancam Heaven, "atau aku akan membunuhmu."

"Saat ini kau membutuhkan kami."

"Aku tidak―"

Kata-kata Heaven terpotong lantaran gelombang itu mendadak saja datang, menyerang bagai sambaran petir yang merambat dari pergelangan kaki ke seluruh tubuhnya. Wanita itu tak bisa menahannya dan nyaris terperosok ke tanah apabila Claude tidak buru-buru menahannya.

Suara Claude, bernada seperti pernyataan alih-alih permohonan;

"Jangan melampaui batas, Heaven. Aku tahu kau belum mau mati."

-oOo-

Juan mengeluarkan seluruh isi perutnya ke dalam ember di samping tempat tidur.

River, yang berjaga di sebelahnya, memegangi Juan agar pemuda itu tak runtuh ke lantai. Wajah adiknya menunjukkan gejala demam tinggi―gemetaran dan pucat. Kulitnya basah oleh keringat, tetapi kelihatan seakan baru saja diceburkan ke dalam kolam. Juan mengerang, mengeluarkan suara aneh seolah ada tangan merogoh ke dalam tenggorokannya. Selepas muntah-muntah hebat, River membaringkan Juan kembali ke tempat tidur.

Sang abang mengusapkan handuk kering ke wajah Juan yang berlumuran keringat, sementara adiknya tak berhenti menggigil di tempat tidur. Mata Juan terpejam, keningnya berkerut-kerut, dan mulutnya melesatkan racauan yang tak River mengerti. Melihat kondisi Juan membuat dada River seperti ditusuk―sakit dan marah juga. Dia menahan diri untuk tak meledak di tengah-tengah serangan demam adiknya.

Seseorang membuka pintu di belakang ruangan. River tak perlu repot-repot berpaling, sebab pria itu keburu mendekat, "Bagaimana keadaan Juan?"

"Demam tinggi dan muntah."

"Itu berarti serumnya bekerja," kata Isaac, lalu menyerahi River segulung tali. Sebelum pemuda itu bertanya lebih jauh, Isaac menjelaskan, "Beruntung aku menemukan semacam gudang di penginapan ini. Ada banyak perkakas yang kita butuhkan di sana."

"Untuk apa tali ini?"

"Setelah 48 jam, gejalanya akan semakin ekstrem. Jangan sampai membuatnya lepas dari kasur. Dia harus selalu diikat sampai perubahan pertamanya terjadi."

River menatap gulungan tali itu lalu teringat tentang korban pertamanya ketika dirinya terinfeksi. Tak mau berlarut membayangkan adegan nahas masa lalu, dia berpaling pada Isaac. "Kita harus memberitahu Euros dan Nathan untuk mengunci pintu. Perubahan pertama itu tak menyenangkan. Kau kehilangan akal sejenak dan memangsa apa pun yang kelihatan enak."

Isaac terkekeh. "Aku tahu, rasanya memang mengerikan," kemudian pemuda itu mengempaskan pantat di tepi kasur Juan. Dia menatap tubuh Juan yang menggigil parah dan mulutnya yang meracau hal-hal yang tak tak dimengerti... seperti seorang bocah yang bermimpi buruk memasuki dunia magis penuh kegelapan dan sihir. Gejala ini wajar. Saat Isaac mendapat suntikan serum, dia bahkan mengalami yang lebih parah. Tidurnya dipenuhi jeritan dan tangisan pedih yang merobek udara, sampai-sampai Claude harus menjejalkan kain ke mulutnya agar dia berhenti berbicara.

"Aku kehilangan suaraku setelah mendapat suntikan itu," celetuk Isaac.

"Maksudnya apa? Seseorang memotong pita suaramu agar kau berhenti meracau?"

"Oh, sial, isi otakmu lebih mengerikan," Isaac menyungging senyum miring. River mendengkus atas candaannya sendiri. Di waktu-waktu seperti sekarang, melontar lelucon adalah kepalsuan melegakan untuk menutupi hari-hari buruk. "Aku terlalu sering menjerit dan menangis."

"Kau ingat mengapa kau menjerit dan menangis?"

Isaac terdiam, menatap mata River lurus-lurus. "Para penderita umumnya akan kembali mengingat luka masa lalu, karenanya racauanmu terpengaruh oleh trauma seperti apa yang kaubawa."

"Luka masa lalu?" River mengulang.

"Mungkin kau bisa mengintip rahasia Juan mumpung dia tak sadar."

River beralih menatap Juan, lalu pelan-pelan mendekatkan telinganya pada bibir anak itu. Dia bisa merasakan betapa panasnya kulit Juan―seperti api dari kompor arang yang berkobar. Napasnya pun berupa kepulan panas yang tersendat dari balik bibir yang pucat dan terkelupas. Dari sana, River menangkap igauan bercampur rintihan lirih.

"Ibu...."

Satu kata itu melemahkan hati River. Dia menggenggam tangan Juan erat-erat.

"Maafkan aku."

Setelah diperhatikan baik-baik, ada air mata yang tertahan di sudut mata Juan yang terpejam. Air mata itu meleleh saat Juan mengigau ibunya lagi.

"Maaf, Ibu ... karena aku ...."

Tidak seperti kematian yang direnggut virus, ibunya tewas di tangan Juan sendiri. River mengetahui kenyataan itu dari Euros, bukan dari kesaksian Juan yang bercerita padanya. Tidak, Juan tak akan pernah bercerita pada River apa yang sebetulnya terjadi, dan River hampir melupakan fakta bahwa Juan pun memiliki trauma besar kepada ibunya. Anak itu tak akan pernah melupakannya sampai dunia ini sirna.

Tangan Juan, panas. Ditangkup dan diremat oleh River sehingga keringatnya tertahan di sana. Pemikirannya tak jernih―hanya ada bayang-bayang masa lalu yang menghantuinya dengan rasa bersalah. Wajah ibunya, tewas karena luka tembak. Peluru itu merampas nyawanya laksana akar tanaman yang tercerabut dari tanah. Apakah Ibu mau memaafkanku? Apakah aku bisa hidup sambil menanggung beban kesalahan ini?

Kurasa tidak. Aku ini bersalah. Dia tidak marah. Dia tidak menutup-nutupi kesalahannya.

"Juan, kau tidak salah apa-apa." River entah bagaimana memahami kesulitan Juan. Sang abang mengusap wajah adiknya yang berpendar karena keringat dan demam. Kelopak mata Juan akhirnya terbuka sedikit. Di antara lumpur halusinasi dan rasa sakit yang meremas tubuhnya, Juan memperhatikan paras abangnya―agak gelap karena membelakangi sinar lampu ruangan, tetapi dia bisa mendengar nada cemas dari cara River menenangkannya.

"Aku menyayangimu, Juan," katanya, berulang-ulang seperti lantunan kidung anak-anak. Aku menyayangimu. Aku menyayangimu. Aku menyayangimu. "Kau tidak salah apa pun."

Tidak bersalah.

Mata Juan kembali tertutup, dan dia tersedot lagi dalam kehampaan putih.

River, sementara itu, kembali berpaling pada Isaac, yang ikut menatapnya dengan raut prihatin bercampur sedih.

"Kadang-kadang kita berbicara dengan orang mati," kata Isaac lirih. "Dalam sengatan rasa sakit dan perasaan melayang-layang, seperti mabuk atau kecanduan."

"Dia akan baik-baik saja?"

Isaac terdiam. Kemudian tatapannya merayap turun, mendarat pada seonggok tali yang digeletakkan di lantai kamar.

Dia berkata pada River dengan muram, "Ikat Juan sekarang, sebab kita tidak akan pernah tahu seberapa kuat masa lalu itu menyeretnya ke dalam keputusasaan. Kau sendiri pernah melakukan percobaan bunuh diri saat mengalami fase ini."[]

-oOo-

.

.


.


Gais.... udah dapat 11 chapter. Biasanya setelah ini memasuki masa-masa males update awowkwok 😭

Tapi aku akan selalu berusaha update terus, gais. Aku punya misi bikin novel ini segera tamat 😀👍🏼 Mohon doanya yaa supaya aku terus semangat dan dijauhkan dari sakit (kudoain kalian juga sehat selalu supaya bisa ngikutin novel ini terus, buat yang siders maupun yang aktif komen)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top