10. The Tip of a Knife Against His Skin
-oOo-
BERTAHAN HIDUP.
Kata itu bergaung dalam kepala Heaven, setiap harinya, seperti jam semesta yang menandai kematian di setiap wajah orang yang dicintainya. Keji dan tak kenal ampun. Satu per satu wajah itu teruyak oleh keputusasaan yang menyatukan mereka ke timbunan abu, meninggalkan harapan semu yang dulu dipegang rapat-rapat. Kini bertahan hidup menjadi sesuatu yang amat sulit dilakukan, terutama karena kehadiran wabah Kureiji yang memangsa jutaan jiwa dalam waktu cepat.
Karena kematian, kekacauan, dan musibah yang menyandung perjalanannya, Heaven merasakan setiap jengkal dari pikirannya mulai melambat, seperti kantrol yang bergerak patah-patah lantaran kekurangan minyak. Dia takut semakin lama dirinya akan kehilangan daya untuk melawan, untuk bertahan hidup, untuk ... berharap.
Berharap.
"Dia pasti ada di sana, Heaven. Itulah satu-satunya harapan yang harus kaupegang."
Orang yang menyampaikan hal itu padanya telah tewas, tetapi Heaven tak ingin menghilangkan harapan yang tersulut di dadanya. Tidak bisa, kendati dunia ini membawanya ke tangki keputusasaan, kendati perlawanannya telah surut dan dia tak sanggup bertahan hidup barang sehari lagi, Heaven selalu berharap bahwa Winter ada di sana.
Di Domehall.
Heaven dan Noah sudah sepakat bahwa mereka akan pergi ke Domehall. Dulunya lokasi itu adalah bekas kota Asheville yang terpaksa diledakkan untuk memusnahkan populasi monster yang melompat drastis, tetapi sekarang kabarnya sudah beralih fungsi menjadi tempat rehabilitasi dan kebangkitan bagi para pasien dan penyintas yang terdampak. Jaraknya sekitar 250 kilometer dari High Point. Jalan kaki mungkin akan memakan waktu berhari-hari. Namun, dengan kondisinya saat ini, Heaven tak yakin bisa melampaui tekadnya untuk mencapai kota itu tanpa bertemu monster di jalanan. Satu kakinya pincang, dan peluru untuk pistolnya sudah hampir habis. Dia tak bisa mengendarai mobil tanpa cemas membayangkan kawanan monster di luar akan menemukannya lalu mengejar dan memangsanya.
Wanita itu bersandar di sebuah pohon, lalu melorot pelan-pelan ke tanah yang tertimbun dedaunan kering, mengistirahatkan kakinya yang menolak berjalan selangkah lagi. Dia menggulung celananya dan melihat pergelangan kaki kirinya sudah berwarna merah keunguan, bengkak, dan berdenyut-denyut nyeri.
Tidak mungkin bisa melanjutkan perjalanan dalam keadaan seperti ini.
Pilihan lainnya juga tampak celaka. Heaven menyapu pandang ke sekeliling. Pohon-pohon berbaris rapat dalam kegelapan, sinar bulan ditumpahkan sejumput dari langit dan hanya mampu memberinya batas penglihatan tujuh sampai delapan meter ke depan. Tidak ada suara selain kaokan merajuk gagak dan keresak cabang pepohonan yang saling menggaruk. Meski demikian, kesunyian ini menakutkan. Kegelapan ini menawarinya paranoia parah tentang monster yang bersembunyi dalam selubung rimbun semak-semak.
Semua keputusan selalu berisiko, tetapi kali ini Heaven sudah kelewatan. Dia bisa saja menetap di penginapan itu sampai hari terang, bukannya malah menggigil kedinginan di tempat ini sambil merasakan luka di kakinya meradang. Namun, Heaven tak bisa mengenyahkan nasihat kecil dalam kepalanya; Jangan tertipu dengan penampilan. Mereka itu monster. Kau adalah mangsa bagi mereka. Cepat angkat kakimu dan tidur saja di luar! Yah, itu memang benar. Tidak ada tindakan yang jauh lebih aman dibandingkan menjauhkan dirimu dari monster, bukan? Dunia ini hancur karena mereka. Heaven sebatang kara karena mereka. Dan, walaupun pria-pria di penginapan itu tampak normal, dia tak tahu apa motif mereka sebenarnya. Jadi, Heaven memilih pergi.
Dalam kesuraman yang membutakan itu, Heaven memutuskan untuk tidur sejenak. Tak ada suara atau aroma yang mengundang monster. Mungkin, istirahat ini akan baik-baik saja.
Heaven lantas membungkus dirinya dalam rengkuhan lengannya sendiri, lalu mengubur wajah pada lutut yang ditekuk. Selepas memejamkan mata, selang beberapa menit kemudian dia sadar dirinya tak bisa tidur. Sebagai gantinya, memori mempermainkannya. Sel-sel purba dalam otaknya memutar kenangan-kenangan itu lagi untuk mengolok-oloknya ....
-oOo-
Dia kembali ke masa lalu, tepatnya beberapa bulan sebelum wabah Kureiji membengkak ke titik kritis dan militer Carolina Utara mengeluarkan surat perintah untuk mengajak warganya bergabung menjadi prajurit. Heaven melihat berita yang sama di televisi―kabar presiden yang mulai tak terendus lagi semenjak pelariannya ke brankar rahasia. Rumah sakit kehilangan awak, setiap kamarnya dikuasai lalat dan bau menyengat dari peradangan luka dan air seni manusia. Jalanan, bandara dan halte lengang, wajah-wajah tak terawat ditelantarkan di bangsal pemulihan, serta mayat-mayat misterius terkapar di jalanan dengan bagian-bagian tubuh tercabik dan terpotong. Keadaan itu mengerikan. Dampaknya cukup untuk membuat orang-orang menjadi darah tinggi dan tidak waras.
"Vivy, kau sudah tidur?"
Suara adiknya membuatnya berpaling dari layar televisi. Heaven merangkak melewati lantai rumahnya yang tumpah ruah dengan pakaian dan mainan anak-anak. Dia mendekati sofa untuk melihat adiknya, yang berbaring miring dan tertutupi selimut. Kepalanya terkulai di atas bantal boneka paus miliknya.
"Ada apa, Ginna? Kau mimpi buruk?"
"Aku lapar."
Tidak ada makanan. Heaven menggaruk leher, mencari-cari alasan. "Aku masih memasak sesuatu di dapur. Tidurlah, nanti kubangunkan."
"Apa Toby masih menguasai Sean?"
Mendengar itu, Heaven terkekeh kecil. Sambil menggeleng, dia mengatakan, "Tidak. Dia sudah tidur duluan di kamarnya."
Ginna terdiam sebentar. Matanya redup dan cekung, pipinya kempot karena kurang makan. Bibirnya yang kering dan terkelupas-kelupas lantas melesatkan permohonan, "Kalau begitu, bolehkah kali ini aku tidur dengan Sean?"
"Boleh," kata Heaven. Kemudian wanita itu berdiri meniti lantai yang berantakan, menuju keranjang bayi yang diletakkan dekat pintu kamar. Di dalamnya, Sean tertidur pulas sambil mengisap jempol. Usianya tujuh bulan, tetapi kekurangan nutrisi membuatnya terlihat seperti bayi laki-laki berusia empat atau lima bulan. Heaven mengangkatnya dan menyandarkan kepala Sean di dadanya. Dia membuai bayi itu sebentar dan membawanya kepada Ginna.
"Taruh Sean di bagian dalam supaya dia hangat." Kata-kata Heaven dituruti patuh oleh Ginna. Anak perempuan itu bergeser sedikit dan membiarkan Heaven menjejalkan Sean pelan-pelan di lekukan lengannya. Adiknya hangat dan selalu beraroma seperti bedak dan sabun. Keluarga mereka jarang mandi di tengah musim dingin yang penuh teror begini, tetapi Sean selalu menjadi anak yang paling bersih, sebab dia masih bayi dan butuh perhatian lebih banyak.
Heaven mengusap tengah dahi Sean dan membuat suara menenangkan. Dia tersenyum pada Ginna, "Jangan sampai membuatnya menangis, oke?"
"Ya," kata Ginna. "Vivy, bangunkan aku kalau makanannya matang."
"Pasti." Kemudian satu kecupan di dahi. Ginna memejamkan mata, dan Heaven menunggunya sampai anak itu tertidur.
Sekitar sepuluh atau lima belas menit kemudian, Heaven kembali ke tempatnya semula. Dia mematikan televisi yang volume suaranya dikecilkan sampai nol, kemudian beranjak ke dekat jendela di pintu utama. Heaven menyibak tirai gelap yang menyelubungi seluruh jendela rumahnya, mengintip dari celah di antara kayu-kayu yang sudah dipaku.
Malam di luar sana gelap, sunyi, dan membekukan. Ada cahaya redup dari lampu-lampu yang dipasang mengitari jalanan perbukitan setapak, tetapi tak cukup terang untuk menyinari area yang lebih luas. Heaven menatap kesenyapan di hadapannya sambil berpikir suram.
Pemerintah memang membagikan makanan darurat, tetapi karena sulitnya akses dan kekacauan yang terjadi secara masif, distribusi bantuan menjadi macet dan terputus. Kawasan tempat tinggal Heaven yang jauh dari pusat kota merasakan getahnya. Sudah beberapa bulan ini mereka kekurangan makanan. Sebelum titik kemelaratan ini mengguncangnya, orang-orang di desanya secara panik menimbun bahan-bahan pokok, diikuti toko-toko dan kios di sekitar mereka yang tutup. Para pemiliknya tak pernah menyahut setiap kali rumah mereka diketuk. Sebagian berubah menjadi pemarah dan sinting; "Sudah kubilang aku tak menjual apa pun! Jauhi rumahku, sialan! Jauhi rumahku atau kau kutembak!"
Kemudian, mulai sejak itulah, tiap penghuni rumah bersikap egois dan keji. Tidak ada yang membantu satu sama lain. Bahkan saat bayi Sean kelaparan dan menangis kencang karena lapar, lalu Heaven mendatangi rumah-rumah tetangganya dan mengetuk pintunya untuk meminta susu atau air gula, tidak ada satu pun orang yang mau keluar untuk membantunya.
Mereka semua takut dengan kemunculan monster. Mereka semua takut tertular virus. Heaven merasakan kemarahan yang sama mengguyur kepalanya. Kemurkaan tidak wajar dari sikap dingin orang-orang dan rasa simpati yang telah hilang di tengah pelik kekacauan ini. Dia merasa mati, tetapi tidak hancur. Saat itu Heaven bertekad untuk mengurus keluarganya sendiri, tak peduli walaupun dia bertanggung jawab terhadap tiga nyawa anak lain, dan masih meredam kesedihan atas kematian kedua orangtuanya.
Mereka harus bertahan hidup apa pun yang terjadi.
Maka Heaven pergi dapur dan membuka rak di atas lemari pendingin. Dia mengeluarkan senter, lalu sepucuk pistol yang sudah penuh terisi peluru, dan menyelipkan kedua benda tersebut ke kantong celananya dengan hati-hati.
Kemudian, Heaven nyaris melompat kaget karena seruan lirih di belakangnya.
"Vivy?"
"Toby, ya Tuhan."
Heaven memastikan pistolnya tersimpan di kantong dengan baik, lalu dia menunduk menatap wajah mengantuk Tobias. Adiknya memperhatikannya dengan kebingungan. "Kenapa kau belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur," kata Heaven, "kau sendiri kenapa ke dapur malam-malam?"
Tobias tidak menjawab, tetapi tangan bocah laki-laki itu merambat naik ke perutnya dan menekan pelan di sana. Heaven terhenyak lagi.
"Toby, maafkan aku. Belum ada sesuatu untuk dimakan." Heaven membungkuk dan memegang kedua lengan Tobias, menekannya lembut. Ada raut kekecewaan yang terlintas di wajah adiknya, dan itulah yang membuat Heaven menyerah. Ekspresi Tobias membuatnya hancur, memberinya luka atas tanggung jawab yang tak tersampaikan.
"Toby," Heaven berkata lirih. Apa yang akan dia lakukan membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. "Aku akan mencari makanan sebentar."
"Vivy."
"Tidak apa-apa," Heaven melepaskan jemari Tobias yang meremas lengannya. "Aku akan cepat. Kau tunggulah di sini, jaga adik-adikmu. Bisa, kan?"
Anak itu menatap kakaknya dengan mata bergetar. Rumah adalah tempat teraman untuk bersembunyi, sementara di luar sana penuh bahaya mengancam. Apa yang mau dilakukan kakaknya malam-malam begini? Berburu binatang adalah ide celaka dan mustahil. "Vivy, kurasa kau bersama kami saja."
"Aku harus pergi mencari makanan untuk kita."
"Kau bisa mati di luar sana."
"Kau tidak percaya aku?"
"Aku percaya, tapi―"
"Kalau begitu kau tenang saja di rumah. Tunggulah aku dan jaga adik-adikmu. Aku akan pergi selama dua jam. Jangan buka pintunya untuk siapa pun kecuali kau mendengar tiga ketukan dariku, paham?"
Tobias terdiam sejenak. Wajahnya merengut menahan serbuan penolakan untuk kakaknya, tetapi dia malah mengangguk. "Tidak membuka pintunya untuk siapa pun."
"Ya, dan pastikan jangan membuat diri kalian terluka. Kau tahu apa yang disukai monster."
Tobias mengangguk lagi.
"Anak pintar." Heaven praktis menegapkan punggung dan melangkah mendekati pintu. "Kalau begitu aku pergi. Sampai nanti, Toby."
"Pulanglah dengan selamat," cicit Tobias. Dua mata besarnya yang menatap Heaven menyentil sesuatu dalam benak gadis itu. Heaven tersenyum untuk meyakinkan adiknya bahwa dia akan baik-baik saja, bahwa dia akan kembali dan membawa sesuatu untuk dimakan. Mungkin jamur, buah, atau biji-bijian yang disembunyikan tupai di liangnya. Kalau beruntung, dia bisa menembakkan beberapa peluru pada kelinci hutan. Tapi opsi terakhir tentu penuh risiko. Tidak ada yang tahu ada berapa monster yang bisa mencium aroma darah binatang dari jarak jauh.
Heaven meninggalkan rumahnya malam itu, pada pukul 21.10.
Dia berhasil memenuhi misinya pada pukul 22.47.
Jaket yang dikenakannya memiliki dua kantong, jadi Heaven menjejalkan jamur dan tanaman yang tadi ditemukannya sampai kantong-kantongnya melembung. Beruntungnya, dia juga menemukan dua butir telur ayam hutan dan beberapa butir kenari hitam yang besar. Keduanya ditangkup di tangan dan dirapatkan ke perut. Tingkahnya persis seperti tupai yang membawa kabur biji-bijian ke dalam liang. Heaven melangkah buru-buru mengitari tanah yang berlapis salju tipis, terlampau semangat dan senang. Dia lantas berputar ke tikungan, menuju rumahnya yang ada di ujung.
Tetapi langkahnya terhenti ketika dia sampai di depan rumah.
Telur dan kenari hitam yang dibawanya seketika jatuh ke tanah dan pecah. Diiringi tanda-tanda keterkejutan dan shock luar biasa, Heaven baru menyadari betapa idiot dirinya.
Setelah wabah menyerang, rumah tak pernah menjadi tempat teraman. Bahkan di mana pun nyaris tak ada. Satu-satunya tempat teraman yang bisa kau peroleh di dunia ini tergantung dengan kapasitasmu. Saat kau mampu melindungi diri dengan sepucuk senjata di tangan, kau bisa bertahan.
Dan adik-adik Heaven tidak membawa senjata.
-oOo-
Heaven membuka mata saat kenangan itu datang lagi tanpa permisi.
Jantungnya berdegup cepat, lebih cepat dari darah yang berderu di kepalanya. Wanita itu langsung menegapkan punggung dan menekankan tangan di dada, berupaya membuatnya tenang. Kepanikan menonaktifkan radar kewaspadaanmu, dan kau bisa mati karenanya. Selama beberapa detik yang terasa seperti bertahun-tahun, Heaven akhirnya dapat mengontrol napanya untuk tenang.
Masa lalu itu masih menerornya dan menyodoknya dengan rasa bersalah. Kendati dia sudah mempelajari terapi untuk mengatasi kecemasan, dia tak pernah bisa menaklukkan ketakutannya. Wajah-wajah itu akan selalu ada, dalam wujud yang paling tragis. Suara-suara anak kecil itu akan terus muncul, berbisik dalam kepalanya, mengusiknya bagai bising serangga di musim kawin. Adik-adiknya yang dicintainya, yang tewas karenanya. Mereka akan memburu Heaven dan menyeretnya ke lubang kematian penuh penyesalan.
Kemudian, setelah kepanikan itu hilang, bencana baru datang.
Heaven memelankan napasnya hingga tak terdengar suara apa pun. Dia tak bisa melihat atau mendengarnya, tetapi dia merasakannya. Perasaan tak nyaman yang menjelma bagai mimpi buruk.
Menit-menit merangkak ke kehampaan, tetapi Heaven pelan-pelan bangkit dari duduknya, dengan pincang berjalan lebih jauh mendekati titik yang dicurigainya. Paranoianya mulai memuncak. Wanita itu merambatkan jemarinya pada pistol yang tersimpan di celana, lalu mengelus logam pelatuk setelah membuka kuncinya. Dia mengarahkan moncong pistol pada kedalaman hutan di hadapannya, yang gelap, sunyi, menyimpan misteri.
Ada sesuatu yang bersembunyi di balik pohon.
Kemungkinan besar itu monster, tapi bisa saja itu hanya penyintas malang yang berharap pertolongan. Namun, di titik ini, Heaven tak peduli siapa keparat yang bersembunyi di sana. Dia adalah prajurit. Dan apa yang dilakukan prajurit? Mereka menebas siapa pun yang menghalangi jalan.
Kelebat bayangan tampak. Heaven mendesiskan makian, "Mati kau, bangsat."
Kemudian dia menekan pelatuk.
Tetapi peluru habis.
Heaven kehabisan waktu untuk mengisi magasin, sebab bayangan hitam itu tahu-tahu menerjangnya. Kakinya pincang―sialan. Wanita itu hendak berputar dan berlari, tetapi kegelapan membuatnya tersandung sehingga dia menggelinding jatuh bersama makhluk itu. Tubuh mereka bergulingan di dedaunan kering dan ranting-ranting yang patah. Lonjakan adrenalin dan hasrat balas dendam membuat pikirannya kabur, melebur bersama kewaspadaan yang mengguncang. Heaven menyelipkan tangannya ke dalam saku celana satunya, mengeluarkan sebilah pisau lipat yang disimpannya untuk keadaan-keadaan mendesak.
Saat tubuh mereka berhenti berguling, Heaven bertumpu di atas makhluk itu. Dia bergerak secepat kilat―membuka pisaunya, lalu mengarahkan ujungnya yang berkilat-kilat ke leher si makhluk.
Awan gelap di atasnya menyingkir, lalu sinar bulan keperakan membasuh kegelapan di sekitar Heaven.
Dia menatapnya. Makhluk itu bukan monster.
Namun, belum sempat Heaven berkata-kata, suara letih menjengkelkan datang dari mulut si pria;
"Hei, apa pisau ini bisa membunuhku sama seperti pistol terkutuk milikmu?"[]
-oOo-
.
.
.
.
Yahoooowwww, aku kembali membawakan chapter baru 😎
Jadi gimana chapter kali ini? Apakah kalian suka trope si-cewek-mau-bunuh-cowok-pakai-pisau-di-leher?
Jangan lupa vote, komen tanggapan, dan share cerita ini ke doimu biar bisa seru-seruan bareng gibahin alurnya 😆👍🏼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top