1. Rest of the Riots

-oOo-

TAK berselang lama sampai semuanya musnah, meninggalkan keempat dari mereka dengan jati diri baru sebagai monster berdarah dingin yang digerogoti depresi. Barangkali tidak ada jalan keluar dari semua ini, sebab sekalipun dunia nantinya sembuh, mereka masih harus menyingkir dari peradaban untuk menyembunyikan cakar dan taringnya.

River merasakan kecemasan atas pemikiran itu menjalar di antara benaknya bagai kabut yang menyela malam. Untuk pertama kalinya sejak dia menyadari bahwa dirinya bukan lagi manusia, dia berpikir tak lama lagi nasib untuknya telah ditentukan; yaitu sendirian, atau setidaknya menghabiskan sisa umurnya bersama tiga puluh monster lain yang menyimpan nafsu besar kepada darah dan daging mentah.

"Ini tidak akan jadi masalah." Juan menjejalkan ke dalam tasnya beberapa potong pakaian ukuran jumbo dari lemari pajang sebuah toko butik yang terbengkalai selama setahun lamanya, lalu secara kasar menyodorkan tas yang telah menggelembung itu kepada River. "Kau kelihatan lebih bagus mengenakan pakaian oversize. Setidaknya kalau nanti bertransformasi menjadi monster, pakaian ini tidak akan robek dan sia-sia. Mau ambil yang warna biru sekalian?"

River menggeleng lesu dengan tawaran Juan. Dia menarik tas dari tangan adiknya dan langsung mencangklongkan ke pundaknya, secara praktis membuat Juan mengerutkan kening.

"Hei, River, aku sungguh-sungguh. Kalau kau masih murung tak jelas seperti ini, lama-lama kutendang bokongmu sampai kau harus pulang ke rumah sambil merangkak."

"Sudahlah, aku capek mendengar ocehanmu terus," kata River, sementara mereka berputar ke lorong yang lain dan masuk ke rak-rak perhiasan yang hampir kosong lantaran habis dijarah oleh peradaban lama. Di belakangnya, Juan masih sempat-sempatnya menyambar sebuah topi koboi dari tiang gantung dan mencoba memakaikannya di kepala River. Abangnya membuang napas, lalu dengan tidak minat melepas topi dari kepalanya dan gantian menangkupkannya di kepala Juan.

"Nah, Juan," kata River seraya menatap Juan yang sibuk mematut diri di hadapan cermin berdebu yang sudah pecah setengah. "Ada berapa orang yang masih hidup di negara ini? Apa jangan-jangan kita adalah yang terakhir?"

"Kau murung seharian penuh karena alasan itu? Serius?"

River menatap Juan lurus-lurus. Alis matanya mengerut dongkol. "Memangnya kemurungan yang kurasakan tidak valid?"

"Oh, jangan sok filosofis," Juan melepas topi dari kepalanya dan membuangnya asal, lalu berputar menghadap River dan lanjut mengatakannya dengan enteng, "Hapuslah rasa cemasmu, sebab sekarang inilah dunia kita―tempat kita menyongsong masa depan yang baru―dunia para monster."

"Duniaku saja."

"Apa?"

River menghadap Juan yang memasang tampang tak paham.

"Duniaku saja yang monster," Suara River terdengar pelan dan penuh renungan. Mata menatap adiknya lurus-lurus. "Duniamu tidak, Juan. Kau kan masih manusia."

"River, ayolah, henti―"

"Aku benar, kok," potong River dengan nada agak jengkel. "Dunia monster ini kejam dan menyedihkan. Dan sudah kubilang berkali-kali, kau seharusnya tidak ikut aku kemari, Juan. Kau masih punya masa depan bersama para manusia lain yang berhasil bertahan. Maksudku selain Euros―pemuda itu sinting setengah mati, dan hidupmu bakal kacau kalau dihabiskan bersamanya. Kau mungkin harus pergi ke suatu tempat yang lebih mendukung, bertemu teman baru yang normal, lalu kau harus melupakan abangmu satu-satunya yang bukan lagi seorang manusia. Anggaplah aku sudah tewas atau apa pun ...."

"Berengsek!"

Tak tahu datangnya dari mana, Juan mendadak saja mendorong dada River dengan keras. Abangnya itu nyaris terjungkal ke belakang apabila dia tak buru-buru memegang birai rak yang masih berdiri kokoh. Mata River melotot terkejut. "Apa-apaan kau?"

"Jadi sejak tadi kau sibuk memikirkan cara untuk mengusirku?"

River terdiam, tahu bahwa dirinya sudah salah bicara. Bila dipikir-pikir, watak sembrononya yang blak-blakan tak pernah hilang walau sebagian genetiknya telah termutasi menjadi monster. Aneh dan mengejutkan. Selagi River berpikir cara yang tepat untuk meminta maaf, Juan masih mengantisipasi berdiri di hadapannya dengan ekspresi tercabik antara terpukul dan marah.

Ruangan di sekitar mereka dipenuhi puing-puing kerusakan dan debu berlapis-lapis. Dalam keadaan canggung begini, sepasang adik kakak ini terlihat seperti dua penyintas kiamat putus asa yang menimbang-nimbang siapa yang hendak mati duluan.

"Bukan maksudku bilang begitu," kata River, berusaha tenang. "Aku hanya memikirkan cara untuk membuatmu selamat."

"Aku justru bisa selamat kalau bergabung bersama kelompokmu." Juan menyahut tak mau kalah. Matanya bergetar penuh tekad ketika membalas tatapan River yang prihatin. "Kau bisa melindungiku dari serangan monster ganas yang kehilangan akal. Kau tidak akan memangsaku karena aku keluargamu satu-satunya, dan kau juga tidak akan memangsa Euros karena ... karena pemuda itu Euros, si bajingan. Tapi, River, akan lain ceritanya kalau aku pergi dari sisimu. Aku rentan menjadi korban tak selamat di luar sana."

River menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan berat. Kata-kata Juan betul, tetapi dia tetap tak bisa menjamin tiga puluh lebih anggota setengah monster yang hidup bersamanya akan melakukan pengorbanan yang sama untuk melindungi manusia lemah seperti Juan. Belum lagi bila regu tentara sialan itu datang dan mengacaukan segalanya seperti setahun lalu. Musibah yang lebih besar mungkin akan terjadi.

"Aku takut melihatmu terluka," kata River terus terang, sementara matanya terpancang pada iris cokelat Juan yang penuh pengharapan. "Kalau suatu saat regu tentara dari Carolina itu datang lagi dan memburu kami, kau juga dalam bahaya. Mereka pasti akan jauh lebih siap daripada dulu."

"Perbandingannya lima puluh dan lima puluh," timpal Juan. "Di mana pun sama-sama berbahaya, tidak peduli di mana aku tinggal."

River mengerang, "Juan, aku serius."

"Aku juga serius!"

"Hei! Sedang apa kalian?" Seruan keras itu datang dari ujung toko butik yang lenggang. River dan Juan sama-sama berpaling dan melihat sosok Isaac berdiri di ambang pintu utama yang terbuka. Pemuda itu menatap pongah―setengah kesal, saat melihat dua kakak beradik ini rupanya belum menunaikan tugas menjarah pakaian musim dingin, padahal di bagian punggungnya, sudah tergantung tas ransel gendut yang berisi berbagai macam yang mereka butuhkan. Pemuda itu sudah siap untuk kembali.

"Tahu tidak?" Isaac memulai dengan dongkol, "Total tangan kalian ada empat, tapi mengapa kalah cepat dengan aku yang bertangan dua? Ayolah, cepat kembali ke luar. Yang lain sudah menunggu."

"Ya, kami akan menyusul," kata River, lalu saat Isaac sudah berputar dan menghilang ke balik pintu kaca, dia kembali berpaling menatap Juan. "Pokoknya, dengarkan aku baik-baik," kata River dengan nada mengancam yang lirih, "Hidupmu bersama kami akan jauh lebih berbahaya. Dan, mau membela diri dengan cara apa pun, kau tetaplah mudah celaka dan tewas. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau sampai kau terluka, Juan."

"Persetan."

"Jangan salahpahami aku. Justru aku mengatakan ini karena aku menyayangimu."

River tak menanti jawaban Juan lagi. Pemuda itu langsung berbalik dan melangkah menuju pintu, meninggalkan adiknya termenung sendirian di tengah-tengah lorong toko butik yang penuh debu dan tahi tikus kering.

Sementara itu, Juan hanya menatap punggung River yang perlahan hilang ditelan cahaya jingga redup dari hari yang hampir berakhir. Pemuda itu menghela napas, lalu menunduk putus asa melihat bayangannya sendiri yang terefleksi dari kolam pecahan kaca. Pada saat itu, kata-kata abangnya entah bagaimana terdengar lagi, terngiang di kepala bagai suar mesin yang rusak; "Mau membela diri dengan cara apa pun, kau tetaplah mudah celaka dan tewas."

Juan membuka telapak tangannya dan memperhatikan ruas-ruas jemarinya yang banyak ditutupi plester, lalu merenung dalam bisu. Kadang-kadang dia ingin kembali ke masa lalu dan marah kepada mendiang ibunya karena telah dilahirkan di dunia ini. Kadang-kadang ... dia hanya perlu berharap bahwa segalanya bisa terobati bila dia berdiam diri dan menyerahkan semuanya kepada waktu. Namun, harapan-harapan itu kini tak lagi nyata. Juan telah berada di ambang yang salah. Dia telah memasuki dunia abangnya yang baru, yang tak boleh disentuh sembarangan oleh manusia normal seperti dirinya.

Selamanya dia tidak akan bisa berbaur bersama mereka semua.

Atau setidaknya ... belum.

-oOo-

Isaac dan Gareth telah menunggu mereka di area parkir yang telah mengalami pembusukan serupa seperti di dalam toko butik. Dua orang pemuda itu sama-sama menyandarkan punggung pada tembok penuh coretan grafiti yang menjeritkan protes dan suara putus asa dari penduduk kota. Gareth menarik rokok dari selipan bibirnya, mengembuskan kepulan asap kelabu ke udara yang mulai dingin. Dia berpaling saat melihat River dan Juan datang menghampiri.

"Menurutmu asap rokokmu tidak akan mengundang monster?" Juan bertanya ketika dia melihat Gareth yang menjatuhkan sisa rokoknya ke aspal. Sepatunya langsung menggerus batang rokok itu tanpa ampun.

"Monster cuma bereaksi dengan bau darah," jawab Gareth. Mata pemuda itu lantas tak sengaja melihat tangan Juan yang dipenuhi plester. Asumsi terbit di benaknya. "Ha. Kau semestinya juga tahu hal ini, iya, kan? Itu alasanmu menutupi seluruh ruas jari dengan plester."

"Ya. Supaya tidak mudah luka," River-lah yang tiba-tiba menyahut. "Aku yang menyuruhnya mengenakan plester."

"Ooh, abang yang perhatian," Isaac mengomentari sambil memasang cengiran terharu. Sedetik kemudian ekspresinya berubah menjadi dengkusan. "Tapi agak tolol. Kenapa harus repot-repot pakai plester kalau bisa ditutupi dengan sarung tangan?"

"Aku tidak mau pakai sarung tangan. Terlalu kaku."

"Kita harus segera pulang sebelum malam," kata Gareth yang menyela pembicaraan Juan. Pemuda itu mendongak menatap keadaan langit senja yang mulai larut dalam kegelapan. Kawasan di sekitar mereka sudah lama terlantar dalam kebisuan. Seluruh jalanannya yang dulu padat kendaraan kini berubah menjadi aspal yang membentang kosong. Pertokoan dan pemukiman kelihatan bobrok dan angker tak tersentuh, bau busuk jenazah tanpa rupa yang mengering, burung gagak yang berseliweran di atas kabel-kabel listrik yang menggantung beku di antara tiang, dan rongsokan mobil yang dibiarkan terparkir di beberapa tepi jalan dan teras pertokoan. Banyak sekali kekacauan yang terjadi selama setahun terakhir. Kini mereka seolah tinggal di peradaban baru pasca kiamat.

"Di sekitar sini tidak ada monster, kan?" River membetulkan tas ransel di punggungnya dan menyapu pemandangan sekitar yang terlihat sepi. Dia juga memastikan agar Juan tetap berada di sampingnya.

"Aku tidak tahu. Tempat ini sudah lama ditinggalkan," jawab Isaac yang berjalan di belakangnya. Atensinya secara praktis merayap waspada menatap langit yang dibingkai dedaunan pohon. "Yang pasti tempat ini tak pernah aman buat kita. Tentara yang bertugas kadang-kadang masih suka memantau lewat drone."

"Tentara tidak menyerah, benar, kan? Kutu keparat itu."

"Ya, mereka pasti tidak mau menyerah kalau urusannya sama monster. Yang kutahu, setiap minggu mereka mengirim regu untuk berpatroli memburu monster yang tersisa. Kalau kita ketahuan ada di sekitar sini dalam wujud manusia, mereka bisa salah sangka dan malah mengangkut kita ke pangkalan pengungsian terdekat," Gareth membalas dengan nada jemu. Mereka terus berjalan ke arah barat dan sebisa mungkin menyembunyikan diri di balik bayang-bayang pohon yang memanjang. Seratus meter lagi adalah kawasan hutan terbuka yang menjadi jalur pelarian utama. Mereka hanya perlu sampai ke sana agar bisa berubah wujud tanpa merasa was-was diintai tentara.

"Dan kalau kita bertransformasi menjadi monster di tengah jalan, para tentara juga akan membunuh kita."

"Persis seperti itu," kata River menanggapi kalimat Isaac. "Sekarang lebih baik kita diam. Aku mendengar suara aneh."

Kalimat itu praktis menjadi pemicu utama bagi mereka untuk membeku waspada. Langkah mereka serentak berhenti, secara otomatis memasang telinga baik-baik untuk ikut mendengar apa yang baru saja River laporkan. Gareth langsung menyelipkan tangan ke sabuk celananya dan mengangkat pistol yang disimpannya pelan-pelan. Moncongnya terarah ke bawah, kunci pengamannya terbuka.

Juan merasakan dirinya ditarik perlahan oleh River agar berdiri tepat di belakang tubuh abangnya. Pemuda itu sedikit mendongak dan mengamati dengan baik, lalu tertegun.

Terdengar suara lenguhan makhluk yang tak asing lagi semenjak wabah Kureiji melanda.

Suara itu samar terdengar seperti geraman yang berpadu dengan dengkingan mirip napas anjing yang kelewat lapar. Asalnya dari teras sebuah toko kaset yang berdiri tak jauh dari mereka.

Gareth menarik napas perlahan.

Dia melihat sepasang mata merah menyala terpancang menatap mereka berempat dari bayang-bayang teras.

"Ada berapa?" tanya River, pelan dan tenang.

"Aku melihat satu."

"Lebih baik kita pergi," usul Isaac. Pria itu berpaling lebih ke kiri dan melihat barisan pepohonan seolah mengantisipasi kedatangan mereka dari kejauhan. "Pelan-pelan saja, tanpa menimbulkan suara."

Saat Isaac hendak melempar langkah pertama, Gareth menahan pergelengan tangannya. "Tidak bisa. Makhluk itu sudah melihat kita."

"Apa?"

"Dia mau kemari."

Keempat orang itu mengamati segumpal bayangan gelap dari kejauhan kini bergejolak bagai otot-otot punggung yang tumbuh membesar. Geraman itu terdengar semakin keras seiring makhluk itu menunjukkan diri kepada mereka semua. Dia berbentuk seperti monster setengah serigala yang tak memiliki moncong dan bulu. Kulit-kulitnya berpendar dengan warna hitam dari jelaga dan abu pembakaran, sementara matanya menyala-nyala merah bagai api yang berkobar. Rahangnya terbuka lebar bagai harimau yang memamerkan taring-taringnya yang gemuk, panjang, dan dilelehi darah. Wajah makhluk itu berlumur oleh entah darah siapa. Gareth bahkan nyaris bisa melihat darah bercampur liur yang menggantung goyah di dagunya.

"Aku bisa menembaknya dari sini," kata Gareth dengan yakin, tetapi River menahannya sejenak. Dalam keheningan yang menghantam setelah wabah Kureiji melanda, bunyi tembakan bisa terdengar lebih nyaring daripada ledakan bom.

"Kau bisa menarik perhatian monster lainnya yang ada di sekitar sini," kata River.

Pemuda itu benar. Namun, mereka tak bisa berlama-lama.

"Mm, kawan-kawan?" Juan berkata ragu. "Barangkali kita bisa menjadi maneken sebentar di sini. Makhluk itu akan pergi setelah tak mendapat reaksi apa-apa dari kita."

"Dia tak akan pergi," kata Gareth, sementara tangannya sudah mengacung mantap membidik kepala monster itu. "Kita selesaikan sampai di sini, lalu kita lari sekuat tenaga ke arah hutan."

"Tunggu, begini," kata Isaac. "Kalau ternyata di sini ada lebih banyak monster yang bersembunyi, itu artinya kita akan dikejar oleh gerombolannya."

"Ah, sial," River mengerang.

"Kalau begitu kita vote," kata Juan. "Antara berpura-pura menjadi maneken atau tembak dan lari. Mana yang kalian pi―"

Kata-kata Juan terpotong karena monster itu mendadak saja meraung liar membelah udara. Sebelum sang makhluk berlari menghambur mengejar mereka, Gareth langsung melepaskan satu tembakan penuh keyakinan―desing peluru meledak nyaring, membuat semua orang berjengit karena kerasnya suara menggedor gendang telinga. Kepala monster tersentak ke belakang seolah-olah seseorang menyentak keningnya dengan keras, lalu tubuh raksasanya ambruk ke lantai teras sehingga menimbulkan gempa kecil.

Disusul, beberapa detik kemudian, raungan makhluk buas yang sama terdengar dari beberapa titik di sekitar mereka.

River sekonyong-konyong berteriak panik; "SEMUANYA LARI!"

Secara praktis perintahnya disambut pelarian terburu-buru dari lima orang penyintas yang memutuskan kabur dari serangan monster.[]

-oOo-

.

.

.

Halooo, semuaa ^^

Buat yang sudah lupa sama karakter2nya, di sini aku mau mengingatkan lagi ke kalian:

A. Sepasang kakak adik River Salvadore dan Juan Salvadore. Mereka saudara tiri, tapi saling menyayangi karena sekarang yang mereka miliki hanyalah satu sama lain.

B. Sepasang sahabat yang enggak bisa dipisahkan, Gareth Altair dan Isaac Paris (dua-duanya monster). Mereka adalah teman pertama River ketika pertama kali datang di penginapan milik Claude.

C. Ketua para monster (yang dimaksud ketua, dialah yang pertama kali menciptakan koloni kaum setengah monster yang berakal sehat) Claude Frederick Rowansky. Kakak sulung kaya raya yang tinggal di penginapan monster. Ayahnya adalah seorang ilmuwan bernama Marcus, dan ibunya adalah model bernama Nancy.

D. Tentara pembelot (mantan sersan) Nathaniel Altair yang akhirnya ngikut hidup bersama kawanan monster. Orang satu ini masih manusia biasa, sama kayak Juan dan Euros. Nathaniel adalah kakak dari Gareth, mereka sempat terpisah karena suatu masalah pelik.

E. Euros Evander. Sahabat Juan yang luntang-luntung enggak paham sama hidupnya sendiri. Tentunya dia manusia, bukan monster. Keberadaannya di sini sebetulnya adalah buah keterpaksaan dari sikapnya yang cenderung less ambition.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top