the kill order

"Hope, apa aku kelihatan ganteng pakai ini?" 

Seokjin memeriksa bayangannya di kaca jendela perpustakaan di Ruthwell city, kota buatan yang ada di dunia virtual. Misi mereka sekarang adalah menumpas para Green Blobs yang bersembunyi di sana.

Hoseok membenahi eyepiece Seokjin, meletakkan gagangnya lebih tinggi dari batang hidungnya. Dia mirip seperti orang yang sedang memakai kacamata renang hanya di satu mata. "Begini memakainya, dasar kau udik. Sudah benar komputer memprogram busana kita hari ini, mengapa harus diutak-atik?"

"Habis kelihatan aneh di penglihatanku."

Namjoon berceletuk sambil membenahi letak eyepiece-nya. "We're not allowed to take off this shit?"

"Tidak boleh," kata Hoseok. "Jangan pernah melepasnya. Saat masuk ke dunia virtual, game memprogram kita untuk menjalani misi menggunakan eyepiece. Kalau dilepas, kau otomatis keluar dari permainan."

"Sungguh disayangkan kalau kegantenganku berkurang." Seokjin mengeluh lagi, lalu dia mendongak ke lantai atas gedung. "Dari sini, sinar hijau mereka kelihatan. Terang sekali. Do we really have to kill them all?"

"Harus dibunuh. Yang bersinar hijau adalah target. And we can't let them see our face, so quickly wear your mask!"

Kemudian Namjoon dan Seokjin menaikkan masker yang menggantung di leher. Mereka mengikuti Hoseok, yang secara insting mengambil jalan tikus untuk mencapai lantai atas. Yang Hoseok lakukan hanyalah memunculkan hologram denah perpustakaan―mencuri data mentah, lalu memanipulasi kode, dan―tada! Portal rahasia terbuka.

Mereka bertiga menyelinap ke dalam portal-portal yang muncul bagai pusaran gelap di tembok, hingga akhirnya sampai pada lantai teratas gedung. Di sana merupakan bilik membaca. Ada beberapa pengunjung yang membaca buku di bilik, memelototi komputer, atau hanya sekedar bercengkrama. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang virtual yang juga hidup di dunia nyata. Mereka ada di perpustakaan untuk mengumpulkan poin dari misi games yang sedang dimainkan. Peraturannya, satu poin membuatmu naik tingkat.

Dulu Hoseok menikmati bermain game seperti mereka. Dia pernah pergi ke kastil vampire untuk melakukan misi pencurian jantung Raja yang dijadikan tumbal, lalu pernah bertarung melawan zombie, atau berteman dengan para kurcaci. Segalanya begitu menyenangkan sampai tawaran Redrum datang dan mengajaknya bermain dalam sebuah game terbaru.

Redrum. Seorang pria yang mengaku sebagai salah satu creator dunia virtual. Hoseok tak pernah melihat Redrum. Dia hanya mengerti asal-usulnya dari berbagai versi buku sejarah dunia virtual. Bayangan bahwa Redrum adalah kakek-kakek yang hidup di kursi roda mungkin adalah asumsi yang paling masuk akal, mengingat dunia virtual telah dibuat sejak beberapa puluh tahun ke belakang.

Redrum datang kepadanya, menawarkannya untuk mengambil bagian sebagai penguji sebuah shooter game. Ini adalah jenis terbaru yang membuat pemainnya dapat merasakan sensasi paling nyata membunuh manusia.

Di dunia virtual sendiri, belum pernah ada karakter manusia yang menjadi target pembunuhan, tetapi jelas karakter manusia pada game yang dimainkan Hoseok bukanlah manusia asli di dunia nyata, melainkan hanya bot. Memang berbahaya dengan risiko penembakan meleset, tetapi karena salah satu alasan itulah Hoseok dan teman-temannya dipilih. Mereka semua adalah jajaran top pemain legendaris dari games yang selama ini dimainkan.

Jadi, sekarang Hoseok bersembunyi di balik tirai pada balkon. Dari sana dia dapat melihat semua aktvitas yang ada di dalam perpustakaan. Dia berpaling dan melihat Namjoon menyamar sebagai pengguna komputer. Seokjin menunggu di ujung lorong, siap menembaki para Green Blobs yang hendak melarikan diri bila pertempuran pecah.

Lalu, semuanya dimulai.

Hoseok menargetkan pelurunya pada salah seorang Green Blob yang menenggelamkan perhatiannya pada buku. Melalui eyepiece, kepala orang itu bersinar dan berdenyut hijau. Ada sebuah gumpalan paling terang yang menjadi bidikan—tepat di bagian otak kecilnya. Hoseok mengarahkan bidikan, menghitung satu sampai tiga di dalam hati, kemudian menarik pelatuk.

Ledakan menyalak. Kepala Green Blob tersebut meledak dan darah menyiprat ke mana-mana, membasahi seorang perempuan yang duduk di sebelahnya.

Jeritan bergaung, mengiris kesunyian. Semua orang menghambur melarikan diri seperti semut-semut. Walau di dalam dunia virtual kesakitan hanya bersifat sementara, tapi kalau kepalamu meledak, itu artinya kau juga menghancurkan kode pelindung yang tertanam untuk menyeimbangkan kehidupanmu di dunia virtual. Kepala meledak artinya kau juga mati di dunia nyata.

Namun, semua ini tidak berlaku untuk Green Blob, bukan? Mereka bukan manusia. Mereka hanya bot yang mirip manusia.

Namjoon melancarkan aksinya. Pria ini punya bidikan yang lebih tepat dan lebih mematikan. Kau tidak perlu khawatir kehabisan peluru kalau berurusan dengannya. Dia bisa membunuh musuh dalam jarak terjauh yang bisa dicapai senapannya hanya dalam sekali tembak, bahkan kalau ada tiga musuh yang berjejer berdampingan, satu pelurunya dapat membunuh ketiganya.

Ledakan demi ledakan muncul. Yang bersinar hijau, tembak. Seokjin melakukan hal yang cukup baik. Selain trisula, dia membawa pistol kedap suara, menembaki dengan muka tenang—nyaris bosan. Seorang Green Blob mengetahui persembunyiannya dan hendak melesat kabur, tetapi Seokjin lebih cepat melempar trisulanya. Pisau-pisau tajam dari tombak itu langsung menghunjam tepat di bagian punggungnya.

Hanya memerlukan sedetik bagi Seokjin untuk membeku. Dia segera beringsut ke depan, berguling menghindari pecahan kaca, lalu berlari zig-zag menghampiri Hoseok.

"Seru, kan, Hyung?" kata Hoseok, terkekeh. Dia tak pernah merasa sebahagia ini menembaki manusia. Di dunia nyata, tindakan kriminal akan mendapat sangsi parah. Dia bahkan selalu menahan diri untuk tidak menonjok orang di kampus, tapi kali ini rasanya semua keraguan itu tersapu bersih. Menembak dan menembak. I killed you. You. You. And you.

"Hope, we need to talk," kata Seokjin.

Hoseok melihat Seokjin dan mendapati keriusan dalam matanya.

"Tunggu sebentar, jangan lepaskan mereka Hyung!" Hoseok mendorong Seokjin yang secara terang-terangan tak menghiraukan Green Blobs yang berlari menghindar di depan mata. Dia maju ke depan dan menembak. Darah muncrat mengenainya.

"Ewh!" dengusnya dengan raut jijik.

Semua orang yang ada di lobi perputakanan mulai habis. Namjoon membereskan sisanya. Dia menembak dua Green Blobs yang berusaha kabur melewati pintu, lalu melihat tubuh mereka menggelepar tak berdaya sebelum menghilang.

"What the fuck did you do?" bentak Hoseok pada Seokjin. "Why'd you keep quiet and not kill them?" dia marah karena Seokjin melepas target yang sudah di depan mata.

Mereka berkumpul di lobi tengah yang sepi dan mulai berdebat.

"Hope, there's something wrong in here," kata Seokjin, mencoba sabar.

"What? Your butt's itchy and need to be scratched?"

"Hei, Hope, respect him. He's older than you," Namjoon menengahi.

Seokjin tak menjawab. Alih-alih, dengan wajah pucat, Seokjin menggeret Hoseok ke lorong pintu darurat―tempat Seokjin menunggu di rencana awal. Namjoon mengikuti keduanya, lalu mereka berhenti di dekat tubuh yang terbaring telungkup dan menggelepar sekarat. Trisula menghunjam di punggungnya. Green Blob itu belum mati dan menghilang. Dalam eyepiece mereka, kepala orang itu bersinar begitu terang.

Seokjin tanpa disangka membuka eyepiece miliknya.

Hoseok berseru kaget. "Hyung! I said you can't―"

Tanpa menjawab Hoseok, setelah Seokjin membuka eyepiece-nya, dia langsung berjongkok untuk membalik tubuh terkapar tersebut. Pandangannya langsung membeku dalam ketakutan. Wajahnya pucat, dan tubuhnya tiba-tiba gemetar.

Namjoon tiba-tiba cemas. "Hyung, ada apa?"

Seokjin mendongak menatap keduanya. "Take off your fucking eyepiece!"

Namjoon merasakan ketegangan ketika mendengar geraman Seokjin. Hoseok sempat melarang mereka, mengatakan sesuatu seperti "Menjaga peraturan game" dan "Akan mendapat sangsi dari Redrum" tapi Namjoon tak repot-repot menggubrisnya. Dia membuka eyepiece-nya, kemudian ikut berjongkok melihat tubuh yang masih menggelepar itu.

Raut namjoon berubah pucat.

"Hope, we've been tricked."

Hoseok membeku. "Apa?"

"Lihatlah siapa yang kita kira Green Blob," kata Namjoon. Dia langsung bangkit dan tanpa basa basi mencopot eyepiece Hoseok (dia tersentak terkejut), dan Namjoon langsung mendorong anak itu ke bawah.

"He's Yoongi!"

Hoseok membeku di tempatnya. Dia melihat jelas, tanpa gumpalan hijau yang terang itu, pria ini adalah Yoongi, dipenuhi darah dan gelegak batuk yang menggenangi tubuhnya. Trisula Seokjin menancap di punggungnya. Dia belum mati. Masih sekarat. Tubuhnya kejang.

"Pasti ada yang salah di sini," gemetar Hoseok.

Seokjin mengusap peluh di dahinya. Semuanya melepas masker untuk menormalkan pernapasan karena diburu panik.

"Sejak awal aku ragu," kata Namjoon yang mulai frustrasi. Pria itu mondar-mandir di tempat dengan gelisah. "Why'd you think we must wear that dumb eyepiece? It's answered, Hope. Eyepiece meretas kode pelindung manusia asli dan membuatnya bersinar hijau sebagai titik bidik peluru kita! Saat peluru kita mengenainya, artinya mereka juga tewas di dunia nyata!"

"Tapi kalau begitu semua orang yang ada di sini juga Green Blobs!" Hoseok menyergah. Kelimpungan. "Hyung lihat tadi, kan? Jelas ada orang yang kepalanya bersinar hijau dan ada yang tidak. Kau dan juga kau!" Hoseok menghunjam pada Namjoon dan Seokjin. "Saat aku memakai eyepiece, kepala kalian tidak bersinar hijau. Bagaimana kau bisa menjelaskan itu?"

Hening sejenak.

Kemudian Seokjin menyentak napas, tahu-tahu langsung memeriksa sesuatu pada lengan Yoongi. Dia menyingkap pakaian Yoongi dan menemukan tanda di dekat pergelangannya. Berbentuk seperti simbol rune kecil yang ditato vertikal.

"Ya, barangkali itu jawabannya," kata Namjoon, terbersit raut kepahaman di wajahnya. "Target Redrum sebenarnya adalah mereka, para keturunan creator. Tanda itulah yang membedakan kita dengan mereka."

"Tapi tidak mungkin orang sebanyak itu berkumpul semua di sini!" sergah Hoseok.

"Redrum's cunning," kata Namjoon. "He might've set a trap for the chosen visitors. It was actually him who sent them here to be slaughtered by us."

"Guys, we need to save him first," kata Seokjin. Dia beringsut di dekat Yoongi, mengecek kondisinya. "Dia tidak akan mati di dunia nyata kalau chip pelindung yang terprogram di otaknya tidak rusak. Beruntung trisulaku tidak mengenainya."

"Kita harus menembaknya lagi di sembarang tempat," kata Namjoon. "Selesaikan kematiannya, dan dia akan terbangun di dunia nyata lagi."

Hoseok segera mengangkat senapannya dan tanpa peringatan langsung menembakkan peluru ke perutnya. Darah menyiprat, Yoongi mengejang memilukan, kemudian dia tewas. Dalam sekejap, tubuhnya mengalami glitch, kemudian dia menghilang bagai debu yang disapu.

Mereka tertahan sejenak di sana. Hoseok merasa gamang, melemas di lantai dan gemetar. Namjoon dan Seokjin bersandar di tembok dan terpekur.

"We killed real people," kata Seokjin. "I didn't even remember how many of them."

"Redrum," kata Namjoon, menurunkan kepalanya ke tangan, menutupi matanya. "Redrum. Redrum. Why don't we realize? It can be spelled backward as Murder."

"I should've known this long time before," ujar Hoseok. "This is my fault. These all're on me. I should've not gotten you involved."

Tidak ada yang berkata di antara mereka. Barangkali mereka tahu, di atas semua kekacauan ini, tak ada gunanya saling menyalahkan. Mereka sudah tergelincir ke dalam jebakan dan tidak ada yang bisa memutar waktu.

Dalam kesunyian, mereka menunggu. Seokjin tahu-tahu berceletuk. "Hei, menurut kalian, mengapa Redrum merencanakan semua ini? Killing innocent people."

Namjoon menyahut tanpa sekalipun melihat pada Seokjin. "Konspirasi," katanya di balik bibir yang terkatup. "Aku membaca banyak sejarah tentang perilisan dunia virtual di masanya, tiga puluh tahun silam. Ada tonggak kelam yang menghancurkan banyak nyawa melalui riset dan sebagainya. Banyak pihak yang bertentangan, and maybe Redrum is the one who holds a grudge over that dark period."

"But why us?" nada Seokjin terdengar seperti tercekik. "What does that old asshole think by letting us kill these innocent humans?"

Hoseok tahu-tahu menyela. "Guys, wait."

Namjoon dan Seokjin memperhatikan.

"Seharusnya, kalau kita membunuh manusia asli, akan ada pihak keamanan virtual yang menangkap kita," lanjut Hoseok. "Mereka bahkan bisa melacak kita di dunia nyata. But, you know―I've killed before you, but no one comes. You know what that means?"

Namjoon menyahut dengan sedikit gentar. Ada kecemasan tersirat dari wajahnya, dan tangan-tangannya yang bergetar. "We only have one possibility."

Dia melanjutkan sambil menahan napas. "Ada sesuatu ... pada kita ... yang membuat kita tidak bisa dilacak secara mudah."

Terbersit keheningan mencekam di dalam ruangan. Baik Hoseok maupun Seokjin saling menatap satu sama lain. Kemudian, pandangan mereka beringsut pada sebuah eyepiece yang tergeletak di dekat tempat tubuh Yoongi terkapar.

"Hope, kau bilang ... kalau kita melepas eyepiece, kita akan keluar dari permainan, 'kan?"

Hoseok membenamkan wajah di lututnya. Tangannya mencengkeram kasar rambutnya. Dia lalu mendongak dengan raut frustrasi. "Eyepiece itu ... mungkin adalah alat terakhir yang kita lepas apabila keadaan sudah berbahaya. Redrum menyuruhku untuk tidak melepas eyepiece apapun yang terjadi, dan dia tak pernah mengatakan kepadaku alasannya."

"So this is the reason," ujar Namjoon. "Inilah sebab yang membuat kita masih bertahan sejauh ini."

Bersamaan setelah kata-katanya, ruangan di dalam bilik tersebut tahu-tahu meremang. Sebidang layar muncul di udara, melayang rendah di lantai sebelum naik ke dinding di depan mereka. Suara sirine peringatan didengungkan―begitu nyaring dan memekakkan. Kemudian ruangan padam dan diganti dengan secercah cahaya merah yang menyilaukan, menyorot ketiganya. Sebuah suara bernada robotis muncul dari titik entah, mengguncang ketiganya.

"Pelanggaran Pasal 7A, kode 3. Pembunuhan rakyat sipil di dunia virtual. Hoseok Jung, Namjoon Kim, dan Seokjin Kim. Kalian semua di bawah kendali satuan keamanan virtual. Matikan program dan kembali ke fase bangun."

Hoseok merinding lagi. Dia mengernyit ketika dengung mekanis mesin berderu di telinganya, kemudian suara Seokjin lewat di telinganya sebelum mereka semua dihentikan paksa dari kesadaran dunia virtual.

"Ya Tuhan, mampuslah kita."[]

E N D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top