the game
T H E G A M E
―――oOo―――
Wondrous realities obscured the fact that they were all only lies
.
.
.
Hoseok tak mengenal bahaya. Dia muncul dari dalam cengkeraman portal berwarna putih yang membutakan, dengan senapan serbu di tangan, serta coreng-moreng debu di wajah dan pakaian. Kakinya yang kurus dan panjang melangkah lebar, angkuh, tetapi penuh wibawa dan kehormatan―melewati bidang portal yang bergetar dan penuh pusaran terang menggelegak.
Dia menapak ke dalam sebuah ruangan baru―dimensi berbeda dari apa yang ada di balik portal. Di sini gelap dan suram. Satu-satunya sumber cahaya adalah kilauan portal di belakangnya.
"Aku menang lagi," kata Hoseok, lirih, dan tak beralamat. Kelelahan sedikit menyurutkan nada dalam suaranya, namun dia nyengir bangga.
"Seperti yang kuduga," kata suara berat dan jantan, muncul bagai pukulan memantul dalam ruangan yang kelam. Hoseok tak perlu mencari sumber suaranya, sebab dia sudah tahu siapa yang berbicara. "Mereka bilang kau memang yang terbaik di antara semuanya, Hope," kata suara itu lagi. "But you even exceeded my expectation."
Senyum Hoseok tersungging miring, congkak.
"I heard that a lot." Dia menggantung senapan pada bahunya, bersikap ketus alih-alih tersipu. "Pokoknya, aku mau kau mengirimkan uangnya―seperti biasa. Kutunggu sampai malam ini."
Hoseok tak mau repot-repot menunggu jawaban. Dia sudah berbalik, hendak kembali ke dalam portal. Tetapi, suara itu menahannya.
"Hope."
"Ya?" jawab Hoseok.
"Ajak teman-temanmu untuk bermain game ini juga," kata suara tersebut, dingin dan menghasut. "All of you will have great success, I guarantee. Just eliminate them and get the money."
"Apakah itu akan mengurangi kekayaanku?"
"Tidak akan," bisik si suara cepat. "Justru bertambah setiap hari, doubling according to how many you have destroyed."
"Sounds great." Kekehan terselip pada cara Hoseok menjawab.
Dia lantas menuntaskan satu kalimat itu bersama kaki yang melangkah pergi, menaiki portal, masuk kembali ke dalam ruang nyata dunianya.
-oOo-
Hoseok membuka mata di dalam Peti Tidur, atau begitulah para ilmuwan menyebutnya. Itu serupa mesin berbentuk peti tertutup di mana pengunjung akan terbangun dalam dunia virtual.
Cahaya ungu terpancar di sekelilingnya, kemudian pintu peti yang menyala tampak di depan matanya, berdesis ketika bergeser membuka dan diiringi dengung mekanis mesin.
Dia menunggu sejenak, membiarkan kabel-kabel syaraf melepaskan diri dari kulitnya. Bagian yang paling tidak enak, yang membuatnya tidak nyaman, adalah ketika sulur-sulur kecil kabel tercabut dari punggung, lengan, serta kakinya―rasanya seperti setrum statis yang menggelitik. Mereka menggelincir kembali ke bawah peti untuk dipakai pada kunjungan berikutnya.
Semuanya kembali ke dalam realita.
Seperti habis menenggak sebotol obat batuk, ketidaksadaran separuh membutakannya. Selalu begini. Perjalanan virtual selalu membuatnya lelah. Hoseok merangkak keluar dari petinya, terhuyung dan basah oleh keringat. Dia duduk di tepi ranjangnya, merasakan keutuhan lantai dan udara hangat di kamarnya. Oh, rasanya menyenangkan kembali ke dunia nyata. Sambil menarik napas, berpikir-pikir. Di bawah fakta bahwa sebentar lagi histeria dunia virtual itu akan digantikan oleh kebisingan dunia nyata, ada satu kesenangan yang membekas dalam pikiran Hoseok.
Suara pria itu, suara Redrum, si creator dunia virtual. Seorang agen yang meminta bakat personalnya untuk mengikuti permainan paling seru abad ini. Tawarannya benar-benar menggiurkan. Hoseok mulai membayangkan menarik lembaran uang dari mesin ATM lebih banyak lagi.
Nothing is more tempting than money.
-oOo-
Hoseok begitu gigih dan profesional dalam menembak kepala-kepala musuh dalam permainan.
Yang bersinar hijau, tembak! Dia mengingat bagaimana senapan di dalam dunia virtualnya mengirimkan sensor yang mirip seperti aslinya. Otot-ototnya terasa kebas dan kaku―tapi itu hanya berlaku kalau berada dalam dunia virtual saja. Di dunia nyata, kesakitan itu musnah. Kabel-kabel syaraf untuk pengunjung virtual dibuat sedemikian rupa agar memberikan sensasi yang sama seperti yang dirasakan oleh pemain. Panas membara gurun, setruman pistol listrik, bahkan bau busuk ketika jatuh dalam saluran pembuangan, semuanya sama.
Kalau dipikir-pikir, hal terakhir itu bikin mual.
Hoseok berpaling kepada Seokjin, melupakan aroma bangkai tikus yang tadi dia injak. Dia sudah ada di dunia nyata sekarang, di salah satu meja café yang ada di pusat kota. Tak perlu mengingat-ingat bagian yang itu.
"Tahu tidak, saat aku bilang aku membunuh dalam sekali tembak, rasanya jantungku hampir copot karena melihat tubuh mereka bergelimpangan di jalan."
Seokjin mencomot sepotong daging dari mangkuknya, mengunyah sambil berkata pada Hoseok. "Tapi itu tidak nyata, bukan?" katanya. "Yang kau bunuh itu hanya daging virtual mereka."
"Penampakannya kelihatan nyata setengah mati." Hoseok berujar, melihat kepada Namjoon yang ikut memperhatikannya. "Ada darah dan kepala yang terkoyak. Tapi, tidak, itu bukan daging virtual, Hyung. Mereka sebenarnya tidak nyata. They're not real humans in real life."
"Ya, kau sudah bilang," kata Namjoon, mengejar saus tomat dengan kentangnya. Dia pria tinggi yang suka sekali berpakaian sederhana; baju longgar dan celana jeans belel. Dengan tubuh ramping, rambut hitam pendek, dan kulit kecoklatan. Penampilannya sama sekali berbeda dengan Namjoon di dunia virtual yang selalu dibungkus seragam snipper dan dipenuhi aksesoris senjata.
Seokjin menyeruput sisa kuah mi dengan suara keras.
"Ah, aku kenyang―" dia bersendawa sambil mengusap perut, "―ya, ya, kau bilang kau ini menembaki karakter musuh dalam game, ya? My bad. Food breaks focus."
"Benar, Green Blobs―Gumpalan Hijau, that's what we call them," tegas Hoseok, mengabaikan maaf setengah hati Seokjin. Dia menghela napas dan menyandarkan kepalanya di kursi. "Pada kenyataannya, aku hanya bermain dalam game uji coba mereka yang akan diluncurkan di bulan November nanti, menembaki para Green Blobs yang menyamar sebagai manusia, lalu mendapatkan uang."
"Ah, tunggu," Namjoon menengahi, "Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka Green Blobs? Semua yang ada di dunia virtual punya fisik manusia, kan?"
"Aku memakai eyepiece," jawab Hoseok. "Melalui eyepiece, orang yang kepalanya bersinar hijau disebut Green Blob. Jadi, mereka bukan manusia asli, harus dibunuh."
Seokjin mengangguk paham. Dia pria berambut cokelat mengilat, dengan wajah bersih dan putih, berpakaian begitu rapi dan licin setiap hari. Di dalam dunia virtual penampilannya tidak begitu berbeda dengan Namjoon―hanya rambutnya yang berubah pink dan kemana-mana membawa trisula, bukannya senapan serbu semi automatik.
"Keren sekali, and you get money even though the game hasn't been launched yet?" Namjoon tahu-tahu menyahut dengan terpana. "Only by shooting them?"
"As simple as that," Hoseok tersenyum congkak. "Eyepiece memprogram kode di dalam kepala Green Blobs dan menghancurkannya. Titik hijau itu sangat kecil. Kau harus jeli untuk menembaknya."
"Aneh sekali tidak, sih, kalau mereka membayarmu mahal?" tanya Seokjin.
Hoseok berdecak. "Peduli amat. Bagiku uang segalanya. Aku cinta uang."
Namjoon menyunggingkan senyum penuh lagak, "Kemarin di malam turnamen kau bilang kau cinta Jia."
"Itu aku lagi mabuk, kok!" sergah Hoseok, kupingnya memerah.
"Ha, mau dijelaskan juga percuma," kata Seokjin, berdecak meremehkan. Dia membereskan nampan makan siangnya dan bersikap bosan. "Kalau kau ingat waktu kau mabuk, rasanya mau menusuk pantatmu pakai gagang panci. Sudahlah, Joon, anak ini hanya kebingungan saja karena baru ditolak Jia." Melihat pada Namjoon dengan tatapan sebal, "Money scavenging's just a coping mechanism for his broken heart. Dia bakalan malu sendiri kalau ingat apa yang dia lakukan pada Jia saat ditolak." Seokjin berdecak prihatin. "Sumpah, kasihan sekali si Jia disukai cowok edan sepertimu."
Hoseok memasang tampang cemberut, dengan bibir bawah maju dan tangan terlipat, dia memandang Seokjin dengan kesal. Mau marah, tapi Seokjin benar.
Kalau mau jujur, Hoseok sesungguhnya ingat dengan apa yang terjadi di malam turnamen itu. Jia―si cewek paling cantik dan populer di kampusnya―menyukai Yoongi, senior futsal kaya raya yang kakeknya adalah salah satu creator dunia virtual. Sementara Hoseok ditolak karena katanya kurang ganteng dan tidak bermodal? The world must be kidding. Di dalam dunia virtual, cewek-cewek berlomba-lomba memberikan apapun hanya untuk memegang tangannya.
"Ah, dasar si kerdil Yoongi," serapah Hoseok. "Hanya karena dia kaya, dia bisa mendapatkan semuanya. Andai dia mau menyembunyikan kekayaannya sebentar saja...."
"Dia bukannya tidak mau menyembunyikan kekayaan, tapi karena dia tidak bisa," kata Namjoon, menyeruput kopinya. "Fasilitas yang diberikan pada para keturunan muda creator dunia virtual tidak main-main. He got a symbol on his wrist that allows him to access all of our public facilities. Semuanya bisa dia peroleh, dan orang yang melihatnya mungkin akan gelap mata untuk mendapatkannya. Makanya untuk beberapa hal dia lebih beruntung darimu, termasuk soal cewek."
"Ya, dia mirip artis," kata Seokjin.
"Statusnya lebih spesial daripada artis," kata Hoseok, cemberut. "Inilah alasan mengapa Tuhan menciptakan jari tengah, because the world has an annoying boy like him."
"Hoseokie," Namjoon tahu-tahu memotong, mengembalikan topik, "Apapun yang terjadi, berhati-hatilah," katanya serius. "Jangan terlalu percaya pada Redrum. Agak aneh kalau dia merekrut bocah sepertimu untuk menjadi pemain beta. Dapat uang pula, dan jumlahnya fantastis―sorta doubtful, he wouldn't do that without intention."
"Ah, yang penting, 'kan, yang kulakukan bukan tindakan kriminal," cemooh Hoseok.
Seokjin menyahut. "Namjoon's right, Seok. Kalau yang kau lakukan bermain di dalam game, seharusnya itu bukan pekerjaan besar."
"You assume," tandas Hoseok. "Kata Redrum ini pekerjaan penting yang akan mengumpulkan cetak biru dalam membangun dunia virtual yang lebih nyata dan hebat lagi. He didn't fucking recruit me randomly."
Namjoon dan Seokjin sama-sama menaikkan alis.
Hoseok menyapu pemandangan café di sekelilingnya, lantas mencondongkan tubuh pada kedua temannya. "Dengar," bisiknya, seolah takut sesuatu yang lain mengetahui percakapannya. "Redrum mengirimkan enkripsi rahasia kepada beberapa orang terpilih, dan hanya orang yang bisa menerjemahkannya yang mendapat keistimewaan ini."
Seokjin mengeluarkan suara seperti sentakan terkejut. Namjoon menambahkan. "Wow, artinya kau benar-benar peretas hebat."
"We are," tanggap Hoseok, lalu saat Namjoon mengerutkan kening, dia melanjutkan. "Redrum memintaku agar kalian ikut dalam permainan ini."
"What?" Sedetik wajah Seokjin meragu, seakan itu ide teraneh yang dia dengar, tetapi kemudian dia menyembur terpana, "It's totally badass."
"But we were not even chosen." Namjoon berkata kalem, meski begitu sinar matanya berubah.
"They do see something in you," kata Hoseok. "Percayalah, Redrum tidak pernah salah melihat bakat. Kita bisa mengikuti permainannya. Kau bilang liburan musim panas ini mau ke Paris? Uang yang kau dapat bahkan bisa kita gunakan untuk bolak-balik Paris lima kali."
Hoseok menunggu jawaban dari kedua temannya.
Dalam sepersekian waktu yang hening, Seokjin dan Namjoon hanya melihat satu sama lain, seakan saling mengirim pesan rahasia.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top