๐ท๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐ป๐โ๐๐๐๐
------------------------
แดฎแตแถแต แตแตหขสฐแตแถ โฟสธแต แตแตหกแต แตแตสณแต แตแตแถแต แตแดพ
.
.
๐ข๐ฎ๐ต๐ช๐ถ๐ช๐ฝ ๐ถ๐ฎ๐ถ๐ซ๐ช๐ฌ๐ช
------------------------
"Aku saja sakit apalagi abang."
Kalimat sederhana Naura seolah terbukti ketika aku telah kembali ke Indonesia. Sebenarnya rezeki bukan hanya dipatok dari lembaga apa yang menaungi kita dalam sebuah pekerjaan. Namun sepertinya legitimasi masyarakat itu jauh lebih penting sehingga terkadang hanya untuk sebuah gengsi seseorang benaru mengambil keputusan yang sangat fatal dalam hidupnya.
"Itu loh Zaq, pakdhe punya kenalan orang dalam. Biar cepat masuknya lewat jalur belakang saja. Toh kalau sudah bekerja rasanya juga sama kok. Kamu ini pintar, hanya saja nasibmu tidak sebaik adikmu, si Oomar." Budhe Wiwik bicara seolah semua ini begitu gampang diraih jika kita punya koneksi dan uang.
Tidak ada jawaban selain kata iya, menanggapinya itu berarti menyamakan diriku dengan sekelompok orang yang memiliki pemikiran sempit seperti itu. Sesungguhnya hari ini aku sudah harus ada di sebuah yayasan tahfidz. Setelah melalui beberapa wawancara, alhamdulillah yayasan tersebut membutuhkan tenagaku sebagai pengajar sekaligus murrabi yang menerima setoran hafalan dari para santri. Allah menitipkan rezekiku melalui yayasan itu, apalagi yang harus aku lakukan selain bersyukur.
Sepeninggalan budhe Wiwik aku meminta izin untuk segera berangkat kepada ibu. Wanita paling sabar sedunia yang selalu mendoakan kebaikan untuk kami, putra-putrinya.
"Jangan diambil hati, budhemu wataknya kaku memang. Kalau tidak sependapat katakan iya saja, jangan melawannya. Biar bagaimanapun beliau tetap budhemu, kakaknya ayah."
"Iya Bu, Zaqi paham sepenuhnya. Zaqi berangkat dulu Bu, assalamu'alaikum."
Hal terindah bagi seorang santri itu adalah bisa menyampaikan kembali apa yang telah diperolehnya terdahulu kepada orang lain. Tidak perlu banyak, sedikit namun sering akan lebih terasa indahnya. Ibarat bayi tidak akan mampu pencernaannya apabila dia langsung diberikan makanan berat, pedas dan sulit dicerna.
Tidak perlu vanyak penyesuaian, karena sesungguhnya melakukan sesuatu yang berdasar dari hati itu lebih mudah penyampaiannya sekaligus lebih mudah diterima. Tidak memaksa dan tidak terkesan mendoktrin mereka namun pemahaman konsep dasar itu memang harus diberikan sedari awal kita ingin mencetak seseorang menjadi seperti apa.
Zaqi memang bukan senior namun rasa kekeluargaan dan sharing season bersama para senior-seniornya serta evaluasi diri menjadikannya berkembang untuk menjadi yang lebih baik lagi.
"Dua jempol loh, para santri memberikan nilai positif pada Ustad Zaqi."
"Saya masih harus belajar banyak dari para senior semuanya."
"Tidak ada senior atau junior, kita semua yang ada di sini ini adalah penghamba yang selalu mengharap ridho-Nya. Sama-sama belajar, intinya berupaya untuk selalu menjadi orang baik."
Sesungguhnya pujian itu merupakan ujian, bisa jadi ketika pujian itu datang kesombongan pun juga bersamaan menghampiri. Lupa bahwa semua itu adalah nikmat Allah yang harus disyukuri, hingga rasa takjub pada diri sendiri akan membawa sifat yang membinasakan.
"Ustad Zaqi, tunggu." Aku menghentikan langkah sejenak, mencari sumber suara dan menunggu kiranya ada masalah apa yang membuat Kiai Guntur sedikit berlari mendekatiku.
"Maaf Ustad, ada yang ingin saya sampaikan. Tapi ini bukan dengan urusan santri dan juga tentang pekerjaan." Beberapa hari kemarin aku memang diajak kiai Guntur joint venture bisnis yang lagi booming saat ini, hanya saja modal yang aku punya belum seberapa untuk bisa dikatakan investasi.
"Iya Kiai, maaf saya tidak tahu kalau Kiai butuh saya hari ini. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ustad Zaqi tidak ada lagi jam mengajar?" Aku menggelengkan kepala ringan. Rencananya setelah ini aku akan melihat beberapa sapi untuk bisa dirawat dan dikembangkan di tanah milik ayah yang masih kosong. Satu bulan yang lalu aku sudah membuatkan kandang lengkap dengan drainase yang baik.
Ketika di Madinah kemarin aku belajar juga menjadi seorang peternak. Ilmu itu akhirnya ingin aku terapkan di Indonesia. Terlebih teman sebangku waktu SMA dulu kini sedang koas sebagai dokter hewan. Sehingga aku dengan mudah belajar padanya.
"Bisa mampir dulu ke rumah?"
"Sekarang Kiai?"
"Ustad ada acara lain?"
"Eh maaf, sebenarnya saya ada janji untuk melihat beberapa sapi dengan teman yang kebetulan sedang koas. Tapi kalau memang mendesak saya bisa membatalkannya."
"Ow begitu, ya sudah begini saja. Sebenarnya tidak terlalu mendesak namun saya memang harus membicarakan kepada Ustad secepatnya."
"Maaf tapi kira-kira perihal apa ya Kiai?"
"Oh itu, sebaiknya kita bicarakan di rumah saja. Singkatnya ada seseorang yang menanyakan Ustad Zaqi kepada saya. Nanti saya beritahu lebih detailnya di rumah. Kalau begitu, silakan jika ada janji, saya tunggu di rumah. Semoga ini adalah jalan dari Allah untuk lebih sambung silaturahminya."
Aku hanya mampu tersenyum untuk menanggapi kemudian segera berlalu.
Tidak perlu kamus tebal, tidak juga memerlukan penerjemah untuk sekedar mengetahui apa maksud yang tersirat dari perbincangan singkat kami. Indonesia,di usiakuyang rawan akan pertanyaan 'jodoh' membuatku selalu merasa ketakutan. Sudah pantaskah aku untuk bisa meminang seseorang, sedangkan aku sendiri masih mengusahakan duniaku. Meski Allah menjaminnya tapi tetap saja, bagiku laki-laki bertanggung jawab penuh atas wanita yang nantinya akan dia pilih menjadi istri. Setidaknya, satu tahun setelah lulus kuliah dan berusaha sedikit memantaskan diri aku akan datang menemui kedua orang tuanya.
Dari beberapa pilihan akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi undangan kiai Guntur untuk sowan ke rumah beliau. Rumah yang bisa dibilang cukup megah diantara rumah-rumah yang lain di lingkungan beliau tinggal.
"Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga rumahnya. Bagaimana tadi sapinya? Sudah dapat?"
"Alhamdulillah Kiai, alamatnya jelas kok insyaallah tidak sulit untuk mencari. Mengenai sapi juga alhamdulillah, Allah memudahkan semuanya. Sebenarnya ini bukan kali pertama untuk saya melihatnya hanya tinggal deal harga saja dan nanti sore akan dikirimkan ke kandang."
"Saya semakin kagum loh dengan Ustad Zaqi ini, ternyata selain cakap di bidang ilmu agama, ulet juga sebagai wirausahawan."
"Masih belajar Kiai, mohon doanya. Dulu waktu di Madinah saya banyak belajar dari para peternak unta di sana. Dan kemarin setelah sampai di Indonesia saya sempat mengikuti kursus singkat tentang peternakan khususnya penggemukan sapi dan juga sapi perah."
"Loh, ini jadinya sapi perah atau penggemukan?"
"Dua-duanya. Kebetulan kandang juga telah disiapkan untuk keduanya."
"Dapat berapa ekor tadi?"
"Tiga ekor simental dan dua ekor sapi perah."
"Wah itu nambah dikit lagi sudah dapat Toyota Calya." Aku tertawa, bukan sedikit tapi masih kurang banyak karena uangku hanya cukup untuk membeli 5 ekor saja. Kalau untuk mobil sepertinya masih belum terlalu membutuhkan.
"Insyaallah masih belum terlalu penting Kiai, apalagi duitnya belum cukup, sepertinya saya juga belum mampu untuk membeli dan mengendarainya."
"Biar Allah mampukan nanti, kita cukup ikhtiyar saja. Lebih baik tidak memaksakan diri, jika Allah memandang mampu pasti akan dimampukan."
"Masyaallah, nasihat ini untuk saya. Syukraan katsiraan, Kiai."
"Malah itu nasihat untuk saya juga__"
"Jadi ada dhawuh apa untuk saya, Kiai?"
"Jadi begini," kiai Guntur mengambil sebuah album di lemari kemudian menunjukkannya kepadaku. "Putri bungsu saya, insyaallah dia sekarang masih di Mesir sekarang. Khadijah Azeera namanya. Melihat sosok Ustad Zaqi selama ini, ingin rasa hati untuk mengenalkan Ustad kepada Azeer dengan harapan Ustad bisa membantu Azeer mencapai surga nanti."
"Mohon maaf Kiai, tapi untuk lebih jelasnya bagaimana?"
"Jika Ustad Zaqi belum ada calon, izinkanlah saya sebagai orang tua Azeer bermaksud untuk meminang Ustad Zaqi. Insyaallah, Azeer seorang muslimah yang baik meski masih banyak kurangnya__"
Hanya hembusan nafas yang terdengar sebelum akhirnya sebuah kalimat terpilih sebagai jawaban.
----------------------------------------๐ฒ๐ฒ
__to be continued
Magelang, 03 Desember 2021
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top