𝑴𝒆𝒓𝒖𝒏𝒅𝒖𝒏𝒈

------------------------
ᴮᵃᶜᵃ ᵐᵘˢʰᵃᶠⁿʸᵃ ᵈᵘˡᵘ ᵇᵃʳᵘ ᵇᵃᶜᵃ ᵂᴾ
.
.
𝓢𝓮𝓵𝓪𝓶𝓪𝓽 𝓶𝓮𝓶𝓫𝓪𝓬𝓪
------------------------

Duduk berdua menjelang azan maghrib berkumandang, ada rindu menyeruak di relung kalbu. Bertukar pendapat dan membicarakan perolehan puasa serta rencana saat idul fitri tiba. Sepertinya babak baru kehidupan akan segera tiba.

"Bang, kemarin apa kabar ahwat yang akan Abang khitbah?" Aku berdiri dan menggeleng.

Tidak ada jawaban yang pas untuk diberikan kepada Oomar akan hal itu. Suaah bagiku membuat janji temu dengan orang tua Calla. Jika mereka bisa, aku banyak acara yang tidak bisa kutinggalkan. Namun, ketika aku bisa dan menyempatkan, mereka juga sedang memiliki kepentingan lain.

"Kamu sendiri bagaimana?"

"Idul fitri hari kedua, aku diminta untuk ke rumah beliau. Abang bisa kan menemani? Sebelum akhirnya aku mengajak ayah dan ibu serta." Aku memang telah berjanji dan sudah sepatutnya akan aku tepati. "Insyaallah."

Hari kemenangan, suka cita lebur atas segala khilaf dan salah. Bersilaturahmi, saling berjabat tangan lalu mendoakan kebaikan. Taqobalallhu minna wa minkum menjadi ucapan sekaligus doa kepada sesama umat muslim yang merayakan kemenangannya tiba.

Duduk bersimpuh, mengeluarkan segala yang ada di dalam hati, meminta pengampunan. Sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di Indonesia. Mencicipi makanan khas lebaran dengan ketupat opor yang aduhai menggoyang lidah.

"Kapan anggota keluarga kita bertambah? Rasanya sudah cukup pantas ayah dan ibu dipanggil kakek dan nenek dari anak-anak Zaqi atau Oomar."

"Doakan kami selalu, Ayah. Insyaallah jika waktunya sudah tepat, Allah akan mendatangkannya untuk kami."

"Aamiin, berdoa juga disertai dengan usaha."

Dan hari yang ditunggu oleh Oomar tiba. Aku bersiap, sampai detik ini pun aku belum tahu siapa yang telah di pilihnya. Yang aku tahu, Oomar menaruh hati pada anak salah seorang petinggi di kantor tempatnya bekerja.

"Bang, sudah siap?"

"Insyaallah."

"Mengapa aku jadi deg-degan seperti ini ya Bang? Padahal aku telah menyampaikan kepada keduanya sebagai prolog silaturahmiku hari ini."

"Silaturahmi itu mempererat ukhuwah, mengalirkan jalan rezeki dan tentu saja memperpanjang usia." Jangan diartikan secara lafzi karena sejatinya silaturahmi itu akan membawa ketentraman dan rasa bahagia sehingga dalam makna majazi kesemuanya akan menambahkan rezeki dan memperpanjang usia.

"Bagaimana kalau dia tidak bersedia?" Mendengar ucapan Oomar, mengapa ingatanku kembali kepada Azeera?

"Khusnudzon, bismillah. Ayo kita berangkat."

"Bang__?"

"Hmm, apalagi?"

"Kalau, misalanya diterima?"

"Alhamdulillah dong. Maksudmu apa?" Aku tidak mengerti dengan adikku ini, tadi galau ditolak tapi mengapa sekarang khawatir ketika diterima? Jadi yang diinginkannya seperti apa?

"Bukan begitu, kalau aku diminta untuk menyegerakan dan abang__" aku kembali tersenyum. Ternyata adikku sungkan melangkahiku untuk menikah terlebih dahulu.

"Sama seperti mati, yang lahir dulu tidak harus menikah terlebih dulu. Karena mati juga tidak harus menunggu tua."

"Kalau sudah keluar dalil seperti ini berat Bang, aku tidak akan sanggup melawanmu." Aku menepuk pundaknya perlahan. Pundak yang nantinya akan menjadi sandaran untuk keluarga kecilnya.

"Abang sudah ikhlas kalau kamu harus melangkah dulu."

Rumah pejabat, meskipun open house telah ditentukan jadwalnya, namun, tamu yang berkunjung untuk bersilaturahmi masih saja bergulir.

Tubuhku menegang saat kemudi Oomar berputar dan kendaraan kami memasuki kompleks perumahan yang sangat kuhafal salah seorang yang tinggal di perumahan mewah ini. Otakku mendadak tumpul, hatiku meradang, perih, namun tak mampu tersuarakan lewat kata-kata. Mataku basah tapi aku berusaha untuk menutupinya, jiwaku seolah tak lagi bersama raga kala mobil berhenti sempurna di ujung blok rumah Calla. Karena memang mobil penuh terparkir di sisi kiri sepanjang jalan.

"Abang pasti telah mengenalnya." Suara Oomar menggetarkan gendang perunguku. Rasanya kaki tak sanggup lagi melangkah. Ini terlalu berat ya Rabb, bahkan ketika hatiku menolak logika dan nalarku bibir Oomar kembali bersuara. "Calla Vyandhinashini, sejak aliyah aku telah mengungkapkan perasaanku kepadanya, Bang. Dulu dia berkata tidak ada kebaikan seorang mukmin selain bertaqwa. Batasan ikhtilat ahwat dan ikhwan itu jelas maka dari itu dia meminta untuk menghalalkan atau meninggalkan__" Sumpah demiAllah, setelah kalimat itu aku tidak ingin mendengarkan kalimatnya lagi. Sampai akhirnya tangannya terulur menepuk bahuku untuk mengajak keluar.

"Bang, kita turun yuk. Aku sudah mendapat balasan dari pak Azrul, beliau sudah menunggu kita di rumahnya." Jika berkhianat itu bukanlah bentuk dosa ingin rasanya aku lari sejauh-jauhnya saat ini. Menyembunyikan diri dari kenyataan bahwa kami menyukai wanita yang sama.

"Astaghfirullahaladziim," bibirku beristighfar lirih menghilangkan maksiat yang singgah di otak kotorku.

"Bang__"

"Eh, iya. Biar abang yang membawa parsel buahnya." Kuat Zaqi, kamu pasti bisa. Dia adikmu.

Limbung, oleng, atau apalah sebutannya semua seolah kompak menertawakan kebodohanku. Kakak yang tidak peka, kakak yang terlalu egois, kakak yang tidak pwrnah peduli. Bagaimana mungkin Oomar bisa menyembunyikan nama sementara aku telah tahu dia sedang jatuh cinta. Mengapa aku tidak pernah kepo, mengapa aku tidak pernah ingin tahu bahkan bertanya. Mengapa aku terlalu egois? Mengapa ya Rabb? Mataku terpejam, helaan napas panjang mengiring kakiku melangkah.

Sambutan hangat, bahkan tak segan ayah Calla memperkenalkan Oomar sebagai staf baru yang cukup bisa dibanggakan prestasinya. Sebegitu bodohnyakah aku, hingga tidak pernah menyadari saat Oomar dengan antusias bercerita bahwa wanita yang menarik hatinya adalah anak dari petinggi di kantornya. Mengapa tidak pernah terbersit bahwa wanita itu adalah Calla? Apa karena aku terlalu percaya diri atas semua doaku selama ini? Astaghfirullah.

"Nah ini dia datang, loh ternyata kalian bersaudara?" Aku tahu Oomar kaget mengetahui ayah Calla telah mengenaliku. "Ayo masuk dulu Mar, di dalam kebetulan ada kakaknya ibu."

"Wah sekalian, Oomar langsung ke dalam kita makan sama-sama. Calla juga ada di dalam." Terlihat bahwa Oomar memang telah mengenal baik keluarga Calla.

Dalam getir hatiku, kakiku hanya melangkah dengan lesu. Senyuman itu hanyalah kamuflase untuk menutup semua luka hatiku. Rasanya jika melihat kehangatan sambutan keluarga Calla, aku akan kembali berteman dengan lagunya almarhum Didi Kempot. 'Aku tak sing ngalah, trima mundur timbang lara ati.'

"Nah ini Oomar, kakak pertama ibunya Calla."

"Selamat siang, Bapak, Ibu." Sapa Oomar dengan sopan. Aku masih mengekor dengan kepala tertunduk, belum sanggup rasanya memandang senyum Calla untuk Oomar.

"Ustad Zaqi?" Suara wanita ini tidak asing di telingaku tapi aku yakin itu bukanlah milik Calla.

"Kiai Guntur?"

Semesta kembali mempermainkan hatiku. Saat aku ingin berlari kini aku harus tersandung dan menahan untuk jatuh tersungkur. Allah sebaik-baiknya pembuat rencana.

----------------------------------------🚲🚲

__to be continued

Blitar, 08 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top