๐‘ฒ๐’‰๐’‚๐’…๐’Š๐’‹๐’‚๐’‰ ๐‘จ๐’›๐’†๐’†๐’“๐’‚

------------------------
แดฎแตƒแถœแตƒ แตแต˜หขสฐแตƒแถ โฟสธแตƒ แตˆแต˜หกแต˜ แต‡แตƒสณแต˜ แต‡แตƒแถœแตƒ แต‚แดพ
.
.
๐“ข๐“ฎ๐“ต๐“ช๐“ถ๐“ช๐“ฝ ๐“ถ๐“ฎ๐“ถ๐“ซ๐“ช๐“ฌ๐“ช
------------------------

Menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, banyak kegiatan di pesantren terlebih untuk mengingatkan para santri atas janji, utang puasa, yang belum ditunaikan sampai bulan suci kembali datang bertamu di kediaman setiap muslim di muka bumi ini.

Ramadhan masih kurang sebulan lagi namun riuhnya sudah seperti besok akan mulai berpuasa.

Aku menutup kembali mushaf yang selalu menemaniku berjuang. Meruntinkan untuk membacanya setidaknya program one day one juz-ku istiqomah terlaksana. Hari ini memang bagianku menjadi pengawas anak-anak untuk membersihkan masjid, kamar mandi dan tempat wudhu yang biasa kami pergunakan sehari-hari. Dan sepertinya mereka sudah mulai memanggilku untuk mengawasi mereka.

"Ustad Zaqi, para santri sudah siap."

"Ayo kita kerjakan, tunggu sebentar, saya ganti pakaian dulu." Bukan hal yang baru bagiku ketika melakukan amal sholih seperti ini,meski hanya bertanggung jawab untuk mengawasi saja rasanya kurang afdal bagi kami yang dulu pernah nyantrik hanya bertopang dagu saja. Rasanya tidak ikhlas jika surga itu hanya untuk mereka.

"Ustad Zaqi itu memang beda dengan yang lain, Ukh. Beliau dengan sukarela turun tangan membantu santri-santri jika jadwalnya mendampingi mereka amal sholih." Telingaku masih cukup sehat untuk sekedar menangkap pujian yang terucap entah dari siapa. Karena tempat kami berdiri memang terhalangi oleh sketsel yang terbuat dari rotan.

"Iya, Umi. Pantas beliau menjadi idola para santri ternyata memang akhlaknya patut diajungi dua jempol sekaligus."

"Saya bilang ke abah atau bagaimana, biasanya dawuh kiai sepuh seperti abah itu selalu digugu oleh para santri. Kalau abah yang mintakan untuk Ukhti, insyaallah ustad Zaqi tidak akan menolak." Aku mendengar suara tawa lirih.

"Jangan Umi, sepertinya ustad Zaqi sudah memiliki calon."

"Ukhti Azeera tahu darimana? Sampai sekarang neliau juga belum menikah kok. Kalian itu sama-sama lulusan luar negeri, satu lulusan Madinah satu lulusan Kairo. Insyaallah jika Allah menjodohkan, surga dunia bisa membawa keluarga yang berpedoman dalam nilai-nilai islami."

"Masyaallah indah sekali didengarnya di telinga. Tapi jangan bicara kepada abah, Umi Nun. Apalagi kepada Umi Ain." Hatiku berdesir, jadi wanita yang pernah kutolak kehadirannya kini sudah kembali dari Kairo dan menjadi bagian dari pesantren ini?

Aku memilih untuk menjauh. Ada perasaan canggung yang mungkin nanti akan tercipta. Mengapa aku tidak sedikit pun berpikir bahwa nantinya ketika Azeera lulus kuliah dan kembali ke Indonesia dia pasti akan langsung menjadi bagian dari pesantren ini karena keluarganya termasuk awwalul mukminin yang membesarkan pesantren ini sampai hari ini, astaghfirullah.

"Ustad, semua lantai masjid sudah dipel tinggal disucikan saja."

"Tunggu kering dulu setelah itu baru kita sucikan, kamar mandi dan tempat wudhu sudah ya, kolah bawah sekalian dibuang airnya nanti kita isi lagi setelah semuanya suci."

Enam puluh santri cukup bertanggungjawab untuk menyelesaikan semuanya dalam waktu dua jam. Memasuki waktu dhuhur semuanya sudah siap untuk dipakai. Dan dhuhur kali ini, aku harus sempurna berdiri untuk memimpin mereka memenuhi panggilan-Nya.

Selepas dhuhur baru aku bisa beristirahat sejenak sebelum masuk kelas untuk memberikan materi hadist kitabul nikah. Setiap kali mengisi materi ini seolah merasa tertampar sendiri. Sebenarnya banyak ustad yang sudah menikah dan ilmu mereka tidak kalah dari seorang awam yang masih meraba-raba sepertiku ini. Hanya karena lulusan luar negeri dan juga aku lebih dekat dengan para santri usia nikah maka ditaskhihkanlah tanggung jawab ini kepadaku.

"__wanita mahal selayaknya Khadijah. Mahal bagaimana, padahal Khadojah sendiri mengungkapkan perasaannya kepada Rasulullah bukankah itu artinya dia yang mengumbar perasaan dengan merendahkan martabatnya? Ada yang bisa menjawab?"

"Karena Khadijah yakin bahwa Rasulullah akan menerimanya melalui sahabatnya Nafisah binti Munyah beliau meminang nabi Muhammad yang kala itu berusia lebih muda 15 tahun darinya."

"Masyaallah, cerita cinta paling romantis ini rasanya selalu diingat untuk santriwati yang selalu berdoa semoga mendapatkan pasangan seorang pria sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah."

"Aamiin," jawab santriwati yang masih berkumpul di masjid dengan kompak.

"Jika saya bertanya apa yang membuat Khadijah jatuh cinta kepada nabi pasti kalian sudah bisa menjawabnya. Lalu apa alasan nabi bersedia menjadi suaminya padahal Nafisah hanya berkata dia, sahabatku?"

Suara itu adalah suara yang sama yang aku dengar beberapa jam yang lalu. Ternyata kami berdua memang sama-sama memegang hadist kitabul nikah yang harus disampaikan kepada santri usia pra nikah.

Langkahku tersegerakan menuju ke kelas para santri laki-laki karena jam sudah menunjukkan terlambat sepuluh menit karena sebelumnya aku harus menemui tamu terlebih dulu di kantor. Qodarullah, jika mungkin bukan karena halangan itu aku tidak akan mendengar suara Azeera menggema menyampaikan materi kepada santriwati yang telah duduk rapi di hadapannya.

Rasanya tidak akan pernah nyaman seperti ini. Aku harus menyampaikannya secara langsung, supaya tidak ada kesalahpahaman dan mungkin rasa sungkan ketika kami akan dipertemukan nanti dalam berbagai acara di pesantren atau di tempat yang lain.

"Ustadzah Azeera__" panggilku menghentikan langkahnya. Sekilas dia memandangku untuk memastika kemudian menunduk kembali menghalangi pandangan kami.

"Ada hal yang ingin saya sampaikan, Ustadzah ada waktu sebentar?"

"Silakan Ustad, sepertinya di sini cukup aman untuk menghindari fitnah."

"Saya minta maaf untuk peristiwa beberapa bulan lalu, melalui kiai Guntur saya__"

"Saya sudah menerimanya, Ustad. Mohon maaf atas kelancangan abah pada waktu itu. Insyaallah kami sudah mengikhlaskan, semua itu kami anggap sebagai cara untuk berikhtiyar. Jika Allah belum memberikan jalan sesuai dengan keinginan kita ya berarti Dia meminta kita untuk bersabar."

"Bukan begitu, Ustadzah. Terus terang saya merasa sungkan dan tidak enak hati."

"Wallahi, kami sekeluarga sudah mengikhlaskan Ustad. Tidak perlu merasa sungkan, menikah itu harus dilandasi dengan rasa suka dan rela. Allah sebaik-baiknya pembuat rencana. Lalu, Ustad sendiri bagaimana? Undangan pernikahannya kami tunggu loh." Dia masih muda secara usia daripadaku tapi penguasaan hati juga cara penyampaian kalimat kepadaku tidak sedikit pun menyinggung hati. Demi Allah, bukannya lega aku justru semakin tidak enak hati.

"Ada lagi Ustad Zaqi yang ingin disampaikan, saya harus segera kembali ke rumah. Karena insyaallah hari ini umi akan mengadakan syukuran kecil-kecilan atas kembalinya saya dari Kairo dua bulan yang lalu. Jika berkenan untuk hadir, silakan Ustad Zaqi ke rumah. Ba'da maghrib nanti."

"Insyaallah," aku masih bingung datang atau tidak atas undangan ini.

"Saya pamit dulu, assalamu'alaikum."

Tidak ada yang berlebihan, semuanya pas. Tidak terlalu dipaksakan juga tidak berusaha untuk dilepaskan. Kalimat yang terucap seolah natural mengalir sedemikian rupa. Allah, terbuat dari apa hati wanita ini?

----------------------------------------๐Ÿšฒ๐Ÿšฒ

__to be continued

Blitar, 02 Januari 2022

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top