๐ฏ๐๐๐๐๐๐
------------------------
แดฎแตแถแต แตแตหขสฐแตแถ โฟสธแต แตแตหกแต แตแตสณแต แตแตแถแต แตแดพ
.
.
๐ข๐ฎ๐ต๐ช๐ถ๐ช๐ฝ ๐ถ๐ฎ๐ถ๐ซ๐ช๐ฌ๐ช
------------------------
Senyuman, penawar getir di dalam hati. Seolah menjadi tameng utama. Meski tidak tahu pastinya berhasil atau justru membuat malu diri sendiri. Memilih untuk diam, bukan karena tidak mengerti tetapi semakin banyak bicara semakin menyakiti diri sendiri.
Tidak semua kejujuran membawa kebaikan. Aku baru menyadarinya kini saat sebuah pertanyaan menyapaku meminta sebuah kejujuran.
"Oh iya, mas Zaqi dulu ingin bicara serius ke om ada apa ya? Saking lamanya nggak kemari jadi lupa. Sekarang datang lagi jadi ingat."
"Oh silaturahmi saja Om, kebetulan dulu saya dengan dik Calla pernah satu tim fotografi di aliyah."
"Ow begitu. Calla juga cerita tapi saya lupa saking banyaknya pekerjaan. Mohon maaf ya?" Aku hanya mampu tersenyum. Andaikata aku harus berbicara jujur saat ini, aku tidak bisa memastikan nanti aku masih bisa berjalan sampai rumah atau tidak karena kecewanya adikku mengetahui hal yang sebenarnya.
"Oomar, bagaimana?"Senyum mengembang itu jelas tertuju kepada adikku.
Di hadapan keluarga, bahkan komplit dengan keluarga kiai Guntur. Pakย Azrul mengatakan dengan lantangnya, "pada prinsipnya bapak setuju. Ibu juga pastinya sangat mendukung. Tapi alangkah lebih baiknya jika kamu menyampaikan secara langsung kepada Calla. Dia juga berhak tahu semuanya."
"Benar kata bapak, Oomar. Kehidupan itu nanti kalian yang menjalani. Calla harus tahu, dan kita semua juga akan menunggu jawabannya." Bu Azrul menambahkan yang membuat kepalaku semakin dalam menunduk. Sungguh jika diperbolehkan untuk memilih, lebih baik aku tidak berada dalam perbincangan ini.
"Sebelumnya saya minta maaf Bapak, Ibu, jika kedatangan saya kali ini belum bersama orang tua. Seperti yang telah saya sampaikan ke Bapak tempo hari, selain untuk bersilaturahmi sesungguhnya saya ingin mengulang apa yang dulu pernah saya sampaikan kepada Calla, lima tahun yang silam." Aku menghidu udara dalam. Memasok oksigen maksimal untuk menyelamatkan hati.
"Calla pernah berkata kala itu, halalkan atau tinggalkan. Meninggalkan untuk maju, setidaknya keputusan saya seperti itu hingga akhirnya merasa tepat hari ini." Aku mengangkat wajahku, melihat keoptimisan Oomar seperti biasa dan di saat yang tepat mataku berserobok dengan tatapan penuh tuntutan penjelasan dari Calla.
"Calla Vyandinashini, dengan mengucap bismillahirohmanirohim. Meninggalkanmu lima tahun yang lalu adalah caraku berusaha memantaskan diri untuk bisa berdiri satu shaf di depanmu. Hari ini, atas izin Allah aku kembali datang menjawab semuanya, bermaksud ingin menghalalkanmu menjadi milikku. Bersediakah engkau menerimaku untuk melengkapkan iman di sisa usiamu?"
Perih tiada terperi, ngilu terhempap keadaan, maju tatu mundur ajur, semua telah merobek pertahananku.
Ungkapan hati sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah tersimpan rapi di dalamnya. Semua masih terdengar jelas, rona bahagia bersemu harap, jelas sekali nampak pada raut muka adikku. Sementara Calla, beberapa kali menatapku dengan sorot mata nanar penuh amarah. Aku tidak mungkin menjelaskan, bahkan aku tahu wanita yang akan Oomar khitbah juga hari ini. Tolong jelaskan padaku, bagaimana caranya aku bisa memberitahukannya?
"Calla, Oomar menunggu jawabanmu. Ayah ingin jawaban terbaik yang akan kamu sampaikan nanti."
"Nduk, Calla. Hal yang baik itu harus disegerakan. Kalau pakdhe dengar kamu pernah berkata tinggalkan atau halalkan. Sekarang Oomar datang, memintamu kepada kedua orang tuamu, dengan maksud baik menghalalkanmu menjadi miliknya. Orang tuamu telah menjaminnya. Jawablah, atau jika masih meragu komunikasikanlah dengan pemilik hidupmu sekarang."
"Oomar, Ayah, Ibu dan semua yang ada di sini. Terima kasih, saya menyambut baik niat Oomar hari ini. Namun, jujur dari dalam hati ini terlalu mendadak untuk saya pribadi." Ada jeda dari kalimat Calla yang menggantung.
"Ada hal lain yang belum ayah atau ibu ketahui, Nduk?"
Hening, semua masih bungkam. Membuat suasana semakin tercekat dan hatiku terombang ambing dalam kegelisahan. Sumpah atas nama Rabbi Illahi, Calla. Jangan buka di majelis ini. Aku telah menutup rapat semuanya. Bukan aku tidak ingin mengungkapkannya tapi lebih menjaga perasaan adikku.
"Maaf jika kejujuran Calla akan banyak menyakiti hati. Namun sungguh, wajib bagi Calla untuk meluruskannya supaya tidak timbul mudharat setelah ini. Ada seseorang yang datang kepada Calla sebelum Oomar, Ayah." Allahu akbar Calla, habis sudah riwayatku. "Insyaallah dia orang yang baik. Bukankah haram bagi seorang muslim menawar dagangan yang telah ditawar muslim lainnya?"
"Katakan, siapa dia?"
"Calla sudah sampaikan kepadanya untuk menemui Ayah dan Ibu__"
"Belum ada yang datang kepada ayah untuk memintamu, selain Oomar." Aku memejamkan mataku, berharap semoga hati masih kuat untuk menjaga. Air mata kumohon jangan sampai menetes di hadapan mereka.
"Siapa Nduk?"
"Laki-laki itu__" Oomar menggenggam tanganku. Percaya diri yang telah dia bangun dari rumah seolah runtuh mendengar penuturan dari Calla. Dia butuh kekuatan dan aku harus menguatkannya. Meski sejujurnya bukan hanya Oomar yang harus dikuatkan.
"Begini saja, istikharah dulu lebih baik. Azrul, ada baiknya masalah penting seperti ini kamu komunikasikan sebelumnya dengan Calla. Sehingga tidak terjadi missunderstand dengan Oomar seperti ini." Suara kiai Guntur menyelamatkan mukaku, masyaallah. Ayah dari wanita yang telah aku tolak ini telah menyelamatkan kehormatanku saat ini.
"Iya Pakdhe, matur nuwun. Oomar maaf untuk ini, aku akan pastikan dulu dia maju atau memilih mundur."
"Aku mengerti Calla." Suasana sudah tidak lagi sehangat semula. Oomar terlihat sudah patah dan aku harus mengambil tindakan. Tidak perlu berlama-lama berada di rumah ini. Mereka jelas membutuhkan ruang untuk berdiskusi.
Aku mengambil suara, "jika demikian, ada baiknya kami berdua izin undur diri. Terima kasih atas waktunya, semoga kebaikan senantiasa melingkupi kita semua. Om Azrul dan keluarga, Kiai Guntur, saya dan Oomar mohon pamit, sekali lagi terima kasih dan mohon maaf untuk semuanya. Ayo Oomar, kita pulang dulu."
Kiai Guntur dan Azeera mengiring kepergian kami, "Oomar, percayalah. Allah tidak akan pernah salah menjodohkan hambanya. Hanya butuh sedikit waktu untuk bersabar. Calla pasti memiliki jawaban terbaik untukmu."
"Benar kata abi, Oomar. Jodoh tidak pernah keliru memilih. Meski sabar itu tidak pernah mudah, tapi percayalah semuanya akan berbuah manis jika kita berusaha mengikhlaskan." Azeera berkata menambahkan. Sedikit namun jelas itu menampar hatiku. Bagaimana mungkin wanita selembut Azeera ini berkata sedemikian lembutnya namun terdengar sangat menusuk ke relung hatiku?
"Terima kasih, Kiai, Kak Azeera. Oomar pikir, Calla sudah tahu dari bapak. Ternyata bapak justru belum menceritakannya atau memang__"
"Khusnudzonbillah, minta sama Allah lebih banyak lagi. Tikung sepertiga malam." Kiai Guntur membesarkan hati Oomar dengan mengajaknya bercanda.
"Kami pamit dulu, Kiai. Assalamu'alaikum."
Lari dari tanggung jawab? Itu sama sekali bukan aku, aku pasti akan menyelesaikannya. Tidak sekarang, tidak hari ini, tapi nanti. Aku harus menguatkan hati adikku terlebih dulu. Dia, juga satu dari bagian hidupku.
----------------------------------------๐ฒ๐ฒ
__to be continued
Blitar, 14 Januari 2022
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: AzTruyen.Top