Epilog โ€• Intermezzo

โ™ฌโ™ฉโ™ชโ™ฉ โ™ฉโ™ชโ™ฉโ™ฌ

" ... Dan begitulah akhir dari pertemuanku dengan sosok yang membuat diriku jatuh cinta pada eufonium."

Aku pun mengakhiri cerita dengan senyuman. Kulihat jam yang melilit pergelangan tanganku, mendapati bahwa sekarang sudah pukul enam lebih. Ah, tampaknya aku keasyikan bercerita.

Kepalaku menoleh, mendapati Klee yang memasang raut wajah kesal. Tatapannya tajam dengan kedua alis bertaut, tangannya bersedekap di depan dada. Dia terlihat benar-benar jengkel.

Oh, tidak ... apa mungkin ceritaku terlalu membosankan? Jika benar seperti itu, membuat Klee kembali ke ruang musik akan menjadi hal yang mustahil!

"Pak Venti."

Panggilan yang tiba-tiba tersebut membuatku terjengit kaget. Kepalaku menoleh perlahan ke arah gadis berkuncir dua itu, menanggapi dengan senyum canggung. "Ya, ada apa, Klee?"

"Pak Venti benar-benar pemaksa, ya," ucapnya dengan nada kesal dan menghakimi. "Sampai memaksa Nona Lumine seperti itu ... Pak Venti benar-benar keterlaluan."

Aku mengamati gadis yang tengah menghela napas sambil menggelengkan kepala tersebut, lantas mengelus dada. Apa ... ternyata dia hanya bereaksi atas ceritaku tadi to. Aku hampir saja putus harapan.

Aku menggedikan kedua bahu. "Ya mau bagaimana lagi. Jika Bapak tak berkata seperti itu, Lumine tidak akan mau berteman dengan Bapak."

"Iya sih ... tapi yang Pak Venti lakukan tetap saja tidak baik!" timpal gadis itu dengan penuh emosi.

"Setidaknya Bapak sudah minta maaf?!"

"Itu tidak mengubah fakta bahwa Pak Venti sudah membuat Nona Lumine panik!"

Mendengar seruan yang meluap-luap itu membuatku tak dapat menahan tawa lagi. Aku pun tertawa, yang mana malah mengundang pertanyaan sinis dari muridku.

"Kenapa Pak Venti tertawa? Senang ya melihat orang lain ketakutan begitu?"

Aku pun berhenti tertawa, tangan kananku melambai pelan sebagai bentuk penyanggahan. "Bukan, bukan itu yang membuat Bapak tertawa."

Klee memicingkan mata. "Kalau bukan karena hal itu, lalu apa?"

Spontan, senyum terbit di bibirku. Kuletakkan tangan di pucuk kepala pemudi di hadapan, mengelusnya lembut. "Bapak hanya senang kamu mau berbicara panjang lebar seperti barusan."

Klee hanya merespon dengan dehaman panjang. Tangannya hanya diam, tak ada niatan untuk menepis telapak tanganku yang masih mengelus kepalanya. Daripada merasa risih, Klee malah terlihat menyukai gestur ini.

Benar-benar anak yang manis, entah mengapa sisinya ini mengingatkanku pada seseorang.

Selesai memberi usapan lembut, aku menarik tanganku dan bangkit dari posisi duduk. Tanganku menepuk celana, berusaha membersihkan rerumputan maupun dedaunan yang menempel. Aku tidak ingin disebut manusia pedalaman oleh para anak didikku saat memasukki ruang musik nanti.

Mata hijauku melirik ke arah Klee. Gadis itu masih duduk di posisinya, namun pandangannya terpaku pada eufonium yang tergeletak di sampingnya.

Hm ... sepertinya, gadis ini butuh sedikit dorongan.

"Klee."

Anak perempuan itu menoleh, menatapku dengan kedua mata ruby besarnya. Kepalanya meneleng ke kanan, eskpresi bingung terlukis di rupa. Aku pun mengulurkan tanganku.

"Ayo kembali ke ruang musik, teman-temanmu sudah menunggumu," ajakku ramah.

Namun, tampaknya dorongan ini tidak terlalu berpengaruh padanya. Klee memandangku sekilas, sebelum kembali melihat ke arah eufonium berwarna emasnya. Oke, dia masih ragu.

Hanya butuh satu dorongan lagi. Dan aku yakin, dia pasti akan mengiyakan ajakanku.

"Jika kau mau kembali ke ruang musik bersama Bapak sekarang, Bapak berjanji akan menceritakan lebih banyak tentang Nona Lumine dan eufonium-nya di waktu mendatang. Bagaimana?"

Dalam hitungan satu ... dua ... ti--

"Baiklah," tanggap Klee sembari menoleh ke arahku dengan rona wajah cerah. "Benar ya, Pak. Janji harus ditepati, lho."

Lihat, kalimatku berhasil membujuknya.

"Iya, iya. Bapak janji," ucapku sembari menyilang dada. Klee merespon dengan tawa riang.

Gadis itu pun berdiri, menepuk roknya beberapa kali sebelum meraih eufonium yang tergeletak di tanah. Ia lalu tersenyum, tangannya memeluk erat alat musik brass yang ada dalam dekapan.

"Siap untuk kembali?"

Klee mengangguk mantap. "Saya siap!"

Senyuman di bibirku kian merekah. Dengan begitu, kami pun berjalan beriringan menuju gedung sekolah.

Sebelum melangkah lebih jauh, aku menolehkan kepala ke belakangโ€• memandang tempat pertemuan pertamaku dengan Lumine sejenak. Sekilas, aku mendapati sosoknya berada di sana, berdiri dengan eufonium dalam pelukannya. Dia tersenyum ke arahku sebelum hilang bersama angin yang bertiup.

Pandanganku berubah teduh usai melihat hal tersebut. Aku kembali mengalihkan pandangan ke depan, namun pikiranku masih terpaku pada sosok bersurai emas yang baru saja kulihat. Seakan tak membiarkanku lupa, kini runguku dipenuhi dengan melodi eufoniumnya yang legendaris.

Lumine, kau benar-benar gadis yang merepotkan.

โ™ฌโ™ฉโ™ชโ™ฉ โ™ฉโ™ชโ™ฉโ™ฌ

|End of The Sheets|

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top