03. Langkah Pertama Oboe

โ™ฌโ™ฉโ™ชโ™ฉ โ™ฉโ™ชโ™ฉโ™ฌ

Malam berganti pagi, langit gelap yang membentang luas di atas bumi berganti warna menjadi keemasan dengan sapuan jingga. Kicauan burung yang bersahut-sahutan menggema di udara, seakan menyambut terbitnya sang surya di ufuk timur.

Pagi itu, seluruh anggota klub ansambel sedang berada di kantin untuk sarapan. Terima kasih kepada para staff kantin yang bersedia menyediakan konsumsi, kami tidak jadi menyediakan mengonsumsi sup bambu terus-menerus selama kemah musim panas.

Aku meletakkan nampan di atas meja kemudian mendaratkan pantat di kursi kosong yang berada di sebelah Xiao, duduk satu meja bersama ketiga kawan akrabku. "Selamat pagi!" sapaku riang.

Mereka hanya berdeham sebagai respon. Mulut mereka penuh dengan makanan, sehingga aku memaklumi jika mereka tidak mengucap balasan atas sapaku.

Aku pun meraih paha ayam, menggigitnya sebelum memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut. Sembari mengunyah, mataku mengamati sekitar. Saat itulah aku mendapati sosoknya berada di meja paling pojok, memakan sarapannya sendirian.

Wajahnya tak berekspresi. Namun entah mengapa, sorot matanya tampak kesepian.

"Apa dia selalu makan sendirian seperti itu, ya?"

"Siapa?"

Sialan! Aku tak sengaja mengatakan isi pikiranku!

"Oh, Lumine," lanjut Kazuha, kudapati dia turut memandang ke arahnya tatkala melirik. "Setahuku, dia memang selalu menyendiri di setiap sesi makan. Dia tidak pernah terlihat makan dengan siapa pun, dengan kembarannya sekali pun."

"Begitu, ya." Pantas saja dia terlihat kesepian.

"Jadi, kau benar-benar tertarik padanya, ya?"

Aku menoleh, mendapati Kazuha yang sedang tersenyum dengan salah satu tangannya menutup mulut Heizou. Dia tampaknya tahu apa yang akan dikatakan oleh pemuda bermata hijau limun itu dan langsung membungkamnya. Bohong jikalau aku tidak merasa bersyukur akan tindakan jejaka bermata merah tersebut.

Aku mengangkat tangan kananku, mendekatkan jari telunjuk dan ibu jari sambil mengulas senyum. "Sedikit."

Aku lantas bangkit dari tempat duduk, tanganku mengangkat nampan dengan sarapan yang masih tersisa setengah. Hal ini menarik perhatian ketiga pemuda di meja ini, tampak jelas dari sepasang mata yang melirik ke arahku.

"Mau ke mana?"

Xiao yang tiba-tiba bersuara membuatku heran, namun aku hanya menolehkan kepala dan menjawab, "Ada urusan kecil, aku tak akan lama."

Dengan begitu, aku pun berjalan ke meja Lumine, mengabaikan Kazuha dan Heizou yang saling berbalas praduga terhadap tindakanku barusan. Aku tak terlalu peduli, toh prasangka mereka sama sekali tidak benar. Hitung-hitung, dosaku akan berkurang karena dua orang itu.

"Selamat pagi," sapaku ketika sampai di mejanya.

Lumine terlonjak kaget. Dia perlahan mendongak, menatapku dengan ekspresi terkejut seperti melihat orang yang baru saja bangkit dari kubur. Sepasang iris madu membesar, menambah kesan manis pada dirinya. Imut sekali.

Gadis itu langsung kembali menundukkan pandangan setelah kami bertatapan sepersekian detik. Malu sepertinya.

"Apa boleh aku duduk di sini?" lanjutku, berusaha memecah keheningan di antara kami.

Dia mengangguk pelan tanpa mengangkat pandangan. "Si-Silahkan."

Suaranya begitu kecil, aku bahkan hampir tak bisa mendengarnya. Tapi jujur saja, suaranya terdengar lembut seperti angin musim semi. Apa dia selalu berbicara seperti ini?

Tanpa menghiraukan isi pikiranku, aku meletakkan nampan di meja dan duduk di kursi seberangnya.

"Terima kasih."

Lumine hanya melenggut sebagai respon.

Dia pun kembali meraih sendok, melanjutkan kegiatan memakan sarapannya yang terhenti karena interupsiku tadi. Aku melakukan hal yang sama sembari memikirkan topik yang dapat kami bicarakan.

"Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya kita berbicara secara berhadapan seperti ini, bukan?"

Lumine kembali mengangguk, tak ada kata terucap dari mulutnya. Tampaknya, dia masih malu untuk berbicara.

Tapi, tidak masalah! Aku akan berusaha berbicara dan berteman dengannya! Dengan begitu, mungkin Lumine bisa menjadi lebih terbuka kepada orang lain dan dapat akrab dengan para anggota band lainnya.

Aku pun mengulurkan tangan ke arah gadis pirang ituโ€• yang mana membuatnya menatapku dengan tatapan bingung.

"Kita berkenalan?" tawarku sambil tersenyum. "Kita mungkin sudah tahu nama satu sama lain, tapi kita belum berkenalan secara resmi."

"O-Oh, benar.... "

Lumine turut mengulurkan tangan dengan ragu-ragu, dan kami pun saling berjabat tangan.

Tangan Lumine memang tampak kecil dan ramping, tapi aku tak menyangka bahwa akan semungil ini. Selain itu, tekstur telapak tangannya pun sangat halus dan lembut. Apa tangan gadis memang sehalus ini? Aku tak terlalu ingat.

Aku menggeleng. Bukan saatnya memikirkan itu sekarang! Benar, perkenalan ... aku harus segera memperkenalkan diri atau situasi akan kembali berubah canggung.

Aku pun berdeham, mulai memperkenalkan diri.

"Aku Venti, dari kelas 3-2. Aku menjabat sebagai ketua klub sekaligus salah satu pemain oboe. Yah, sepertinya kau sudah tahu tentang itu."

Lumine merespon dengan anggukan. Kemudian, ia mulai membuka mulut dan berkata dengan suara pelan, "Lu-Lumine Viatrix ... ke-kelas 1-3 ... eufonium...."

Imutnya!

Aku terkekeh. "Salam kenal ya, Lumine!"

"Salam kenal, um ... Kak Venti."

Kak ... dia memanggilku dengan embel-embel 'Kak'!

Menundukkan pandangan, bertutur dengan suara halusnya yang pelanโ€• cara berbicaranya yang seperti itu membuatku semakin gemas akan dirinya. Benar-benar gadis yang manis!

Setelah bertukar identitas, kami melepaskan jabatan tangan kami. Ia kembali meletakkan tangan di atas meja, terlihat enggan untuk meraih sendok. Arah tatapannya juga masih sama, tertuju pada nampan sarapan yang belum habis.

Dia benar-benar pemalu, ya?

Aku akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan gantungan yang kutemukan sore lalu, menunjukannya kepada Lumine. "Apa ini punyamu?"

Lumine perlahan mengangkat pandangan, rona wajahnya langsung berubah cerah tatkala kedua netra aurumnya melihat benda yang tengah kupegang. Dia mengangguk cepat, kedua tangannya terulur untuk menerima gantungan kunci berwarna keemasan ini.

"Benar, ini punya saya," jawabnya dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya.

Aku pun tersenyum. "Sudah kuduga. Ini kukembalikan," balasku sembari meletakkan benda di genggaman ke atas telapak tangannya.

Lumine memandangi gantungan kuncinya dengan mata berbinar, kebahagiaan terlihat amat kentara dari wajahnya.

Gadis itu menggenggam gantungan kunci dalam tangan dengan erat, mendekatkannya ke dada dengan mata terpejam dan rekahan senyum. Ia tampak sangat lega.

"Saya benar-benar berterima kasih. Saya kira ... ini akan hilang dan tidak bisa ditemukan lagi."

"Sama-sama. Aku menemukannya di ruang musik kemarin. Mungkin kamu tidak menyadari benda ini jatuh karena terlalu terburu-buru."

"Begitu, ya," lirihnya sambil mengusap gantungan kunci tersebut.

Aku mengangguk. "Sepertinya, itu benda yang berharga buatmu, ya?"

"Iya," balasnya, tatapan masih tertuju pada benda yang berada di atas telapak tangannya itu. "Ini adalah hadiah dari Kakak saya yang dia berikan saat ulang tahun ke-7 saya. Jadi, ini merupakan benda yang sangat berharga bagi saya."

Kakak? Apa yang dia maksud Aether? Atau mungkin ... dia mempunyai kakak lagi?

Ingin rasanya aku bertanya, namun aku sadar akan posisiku yang merupakan orang asing baginya. Menanyakan pertanyaan bersifat privasi seperti demikian terkesan tidak sopan. Aku tak ingin membuatnya risih.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk melanjutkan percakapan tentang gantungan kunci serta 'Kakak' yang dimaksud oleh Lumine.

"Kau pasti sangat menyayangi kakakmu itu, ya? Sampai merasa sedih saat gantungan kunci ini hilang."

Lumine melenggut. "Iya. Karena, ini merupakan peninggalannya sebelum berangkat ke Su--hmph!"

Lumine langsung menutupi mulutnya dengan kedua tangan dan menunduk tanpa menyelesaikan ucapannya. Tampak panik seperti baru saja melafalkan rahasia negara.

Eh? Ada apa ini?

Belum sempat aku bertanya, gumaman lirih sudah tertangkap oleh runguku lebih dahulu.

"Aku terlalu banyak berbicara lagi...."

Terlalu banyak berbicara? Apa maksudnya? Apa ada alasan di balik sifat pasifnya kepada orang lain?

Lagi-lagi, aku tak dapat menanyakan segala pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Jika ditanyakan pun akan mengakibatkan kecanggungan terjadi di antara kami.

Berpikirlah, Venti! Topik lain ... selain membahas untaian kata yang terucap tanpa sadar oleh Lumine barusan....

Topik ... topik....

Oh! Begini saja....

"Suaramu indah, jadi tidak apa-apa," pujiku sambil menyangga kepala dengan tangan kanan. "Akan lebih baik lagi jika kamu lebih banyak berbicara ke depannya."

Hening menyapa, dan Lumine langsung menundukkan kepala dua sekon setelahnya. Aku tak dapat melihat ekspresi apa yang terlukis di rupanya, poni pirang miliknya yang panjang menghalangiku untuk melihat.

Lumine lantas berdiri sambil membawa nampannya. Dengan kepala yang masih menunduk, dia lalu berkata, "Te-Terima kasih atas waktunya. Ka-Kalau begitu ... saya permisi."

Dan dia pun lari meninggalkan meja, meninggalkanku sendirian dengan seribu kebingungan dalam benak.

Apa ada yang salah dengan pujianku? Padahal aku berkata jujur tentang suaranya yang menurutku memang indah.

Hm, atau mungkin tampangku tampak seperti pemuda buaya yang bisa menggaet perempuan dengan ucapannya? Ah, tidak mungkin. Wajahku ini 'kan tipikal baby face yang tampak polos seperti anak tak berdosa, bukan seperti Kazuha atau Heizou yang jelas-jelas terlihat seperti pemuda bermulut manis dengan 1001 rayuan.

Aku mengehela napas. Berbicara dan mengakrabkan diri dengan Lumine tampaknya lebih sulit dari dugaanku.

Sepertinya, aku harus berterima kasih pada gantungan kunci itu. Berkatnya, aku bisa berkomunikasi dengan Lumine hari ini, juga merasakan kelembutan dari telapak tangan mungilnya.

Garis bawahi, perkataanku ini benar-benar biasa saja dan tidak mengandung unsur aneh-aneh walau mungkin terdengar demikian.

Seuntai senyum terbit di bibirku tatkala mengingat interaksi kami barusan. Aku hanya berharap, semoga kami bisa berbicara lebih lama saat kesempatan datang kembali.

โ™ฌโ™ฉโ™ชโ™ฉ โ™ฉโ™ชโ™ฉโ™ฌ

|Scroll down to continue the sheets|

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top